Jumat, 13 November 2009

YANG PENTING MASIH PUNYA KOMITMEN NGEGOES KE KANTOR

Hobi saya sekarang ini adalah bersepeda ke tempat kerja. Kenapa saya cuma bisa mengatakan bersepeda sebatas hobi? Karena saya belum betul-betul bike to work. Saya baru punya komitmen dalam lima hari kerja, ada dua atau tiga hari yang kudu naik sepeda. So, jadi belum pantas kan kalo saya disebut sebagai penggoes sepeda to work?

Sebenarnya bersepeda bukan aktivitas baru. Sejak SD sampai awal-awal SMA, saya selalu bersepeda dari rumah ke sekolah di bilangan Rawamangun, yang jaraknya sekitar 2 kilo. Bahkan saat itu, saya dan kawan-kawan sempat membuat geng sepeda.

Waktu di sekolah dulu, saking senangnya bersepada, saya pernah mepunyai aneka jenis sepeda. Mulai dari sepeda BMX, yang jaman itu sangat ngetop sekali, sepeda roda satu, sepeda tandem, sampai sepeda jangkung yg tingginya mencapai 2 meter. Bersama teman-teman yang kebetulan menyukai sepeda, kami sempat membentuk geng sepeda. Kalo nggak salah nama geng-nya: ”Guru Kencing Berdiri, Kafilah Berlalu”. Sebenarnya, geng sepeda ini dibentuk untuk menyangi geng mobil yang kebetulan ada di sekolah kami. Dulu, saya termasuk kaum proletar, sementara kaum ningrat diindikasikan dengan kartu anggota geng mobil.



Banyak sekali pengalaman bersepeda. Ada satu pengalaman lucu saya dengan sepeda jangkung. Barangkali Anda ada yg nggak tahu, cara naik sepeda jangkung adalah di tiang listrik atau di tembok. Maklum, jok sepeda dan pedal untuk mengayuh sangat tinggi. Suatu ketika saya hendak berhenti, namun saya nggak menjumpai satupun tiang listrik di tempat itu, sementara tembok rumah juga tidak representatif untuk memberhetikan sepeda. Mau nggak mau terpaksa saya harus ngider-ngider mencari tiang listrik lain atau tembok di tempat lain yg ternyata cukup jauh.

Belum lama ini saya membeli sepeda. Sebenarnya saya sudah mengidam-idamkan sejak lama, apalagi sejak geng Bike to Work banyak berkeliaran di jalan. Saya makin jatuh cinta lagi pada sepeda saat melihat sebuah sepeda berbody alumunium warna merah di Ace Hardware. Keren baget! Tapi karena harga sepeda selangit, maka seringkali saya menunda-nunda untuk membelinya. Lebih baik uangnya ditabung, didepositokan, atau dibelikan emas. Toh, akhirnya impian membeli sepeda akhirnya terwujud juga.



Hampir setiap Sabtu dan Minggu, saya rutin bersepeda. Awal-awalnya cuma ngider-ngider di kompleks rumah saya. Lama kelamaan, saya mengayuh keluar kompleks dan bersepeda sampai lebih dari 10 kilo. Kalo nggak melewati jalan raya, saya juga paling suka menyusuri jalan-jalan sempit (baca: jalan MHT). Saya pikir, kapan lagi saya bisa melihat kehidupan di gang-gang sempit, dimana rumah-rumah saling berhimpitan, ada got di depan rumah yang selalu macet, banyak polisi tidur, dan tak kalah menarik banyak anak kecil lalu lalang tanpa busana sementara orangtuanya mengejar-ngejar anak itu.

Ternyata banyak hal yang bisa saya lakukan dengan bersepeda. Selain melihat kehidupan ”lain” yang jauh beda saat kita duduk manis di dalam mobil ber-AC, saya juga bisa menyalurkan hobi lain, yakni fotografi. Bekal yang harus saya bawa selama bersepeda adalah sebuah camera pocket digital. Tiap ada objek menarik, saya tak segan-segan mengabadikannya.



Nikmat sekali bersepeda. Saya membayangkan Jakarta ramah dengan para pesepedah. Kredit motor maupun mobil dipersulit. Nggak seperti sekarang, dengan uang 200 rb bisa punya motor, dengan uang 5 juta bisa punya mobil. Begitu juga pajak untuk motor dan mobil dinaikkan. Jalan-jalan penuh dengan orang bersepedah sebagaimana di China. Perkantoran maupun pusat perbelanjaan memiliki tempat parkir khusus sepedah. Mulai dari Bapak tua, Ibu muda, ABG, sampai anak-anak bersepeda.

Saya membayangkan nggak boleh lagi ada kendaraan bermotor pribadi yang melintas dari Blok M sampai kota, kecuali Busway maupun sepeda. Kendaran pribadi hanya boleh lewat jalan tikus maupun jalan tol. Saya menghayal, jalan Margonda tidak lagi macet dan berpolusi ketika semua kendaraan pribadi hanya boleh sampai batas stasiun Depok lama atau Pasar Minggu. Terakhir sebelum sadar, saya juga menghayal, DPR membuat Undang-Undang mengenai wajib bersepeda seminggu sekali untuk para karyawan di perkantoran Kuningan maupun Sudirman.



Terus terang, saya belum tergabung dalam geng Bike to Work. Namun saya apriciate dengan organisasi ini yang masih eksis dan komit dengan misinya. Meski belum gabung, seperti yang sudah saya jelaskan di awal cerita ini, bahwa saya tetap punya komitmen naik sepeda ke kantor. Kalo nggak tiga hari dalam lima hari kerja, at least dua hari. Yang penting masih ada komitmen buat naik sepeda ke kantor bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar