Dengan sebuah centong, Bu Inem memasukkan adonan ke dalam tungku satu per satu. Adonan yang berasal dari tepung beras dicampur dengan santan ini dibentuk melingkar sesuai dengan bentuk tungku. Ada empat tungku yang tersedia di hadapan Bu Inem, dimana tungku itu dipanaskan dengan menggunakan kayu bakar.
“Saya sudah setahun di sini, Pak,” ujar wanita yang rambutnya sudah memutih ini. “Alhamdulillah nggak ada yang ngusir saya. Mungkin karena kasihan kali ya melihat saya.”
Mungkin memang begitu, kasihan. Seperti juga saya kasihan melihat nasib Bu Inem ini, yang terpaksa menyambung hidup dengan cara berjualan kue serabi. Alasan kasihan inilah yang membuat saya memaksa diri untuk memberhentikan sepeda yang saya kayuh melewati Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Bu Inem yang bukan pelayan seksi, tapi cuma seorang penjual serabi di Bukit Duri. Huhuyy!
Di Bukit Duri itulah Bu Inem berjualan serabi. Tepatnya di depan Pasar Bukit Duri. Bersama seorang anak semata wayangnya, Dewi, Bu Inem menjual serabi seharga Rp 1.000 per serabi. Pekerjaan ini ia lakukan semenjak suaminya meninggal di usianya yang relatif masih muda, yakni 42 tahun.
Setiap hari, Bu Inem membuat sepanci adonan, dimana dalam sepanci itu bisa menghasilkan 70 sampai 75 serabi. Artinya, tanpa menghitung biaya produksi harga tepung beras dan santan, Bu Inem menghasilkan uang senilai Rp 70 ribu- Rp 75 ribu. Jika berjualan Senin-Minggu, ia akan mengantongi uang Rp 490 ribu- Rp 525 ribu. Uang itu belum dipotong ini-itu, termasuk membayar kontrakan, listrik, maupun air.
“Kalo kayu bakar ini selalu dikasih sama warung di pasar, Pak,” kata Bu Inem. Yang dimaksud kayu bakar adalah kayu yang berasal dari peti kayu yang sudah tidak terpakai bekas apa saja.
Bu Inem bukanlah Doris Callebout si Inem Pelayan Seksi. Wanita kelahiran Solo ini hanya sebagian kecil dari warga negara Indonesia yang mencoba mengais rezeki di kota metropolitan Jakarta ini. Terus terang saya miris melihat wanita ini ketika membayangkan sebuah mal atau pusat jajan, dimana banyak orang yang tertawa bahagia tanpa memikirkan uang yang mereka keluarkan untuk rasa bahagia itu. Tak ada yang salah dari itu. Itu hak mereka, cuma saya saja yang terlalu ‘romantis’ memikirkan kontradisi.
Ada jurang di bawah langit. Di jurang itu ada seorang Ibu bersama seorang anak yang berjuang untuk hidup. Anaknya yang bernama Dewi itu pun nasibnya tak seindah namanya. Ia tidak pernah menyelesaikan pendidikan SD, karena faktor biaya. Seharusnya kini Dewi seperti gadis-gadis lain yang menikmati bangku kuliah, karena usianya sudah menginjak 19 tahun. Namun hanya orang-orang berhati mulia seperti kita yang bisa menolong mereka, setidaknya untuk Dewi yang kelak bisa merubah nasib Ibunya yang luar biasa itu.
Adonan yang terbuat dari tepung beras dan santan ini dalam sehari bisa menghasilkan 70-75 serabi, dimana satu serabi dijual seribu perak.
“Pak uangnya kebanyakan,” kata Dewi pada saya. Meski wajahnya nampak kusan, karena asap dari tungku-tungku itu selalu mengenai kulitnya, pun terik matahari yang membakarnya, toh Dewi masih bisa memberikan senyum pada pelanggannya. Saya menafsirkan, ia tetap optimis dengan kehidupan di masa depan dan masih berharap bisa merubah nasib keluarganya.
“Ambil saja semua,” jawab saya sambil kabur pergi dengan sepeda saya.
Hari ini, Allah kembali mempertemukan saya lagi seorang wanita sekaligus Ibu yang luar biasa. Ibu yang berjuang untuk hidup di tengah kapitalisme yang menurut Karl Mark dalam buku The Communist Manifesto (1848) sebagai sesuatu yang kejam dan eksploitatif. Seorang Ibu yang dikatakan Charles Darwin di buku The Descent of Man (1871) sedang menjalankan proses linear dari perjuangan hidup yang keras (struggle for life) menuju halang rintang rintang (survival of the fittest). Lebih dari itu, saya juga menjumpai seorang anak yang sungguh mulia, karena berbakti pada orangtuanya. Contoh nyata ini jelas merupakan karunia yang tak ternilai bagi Bu Inem, dimana belakangan banyak anak seusia Dewi yang sudah tidak lagi menghormati orangtua mereka. Mereka lebih hormat pada materi. Padahal Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan:
Qaala rasulullahi shallallahu ‘alaihi wasallam: Idzaa mataa ibnu aadama, inqath a’amaluhu illaa min tsalaatsin: Shadaqqatin jaariyatin, au ‘ilmin yuntafa ‘ubih, au waladin shaalihin yad ‘uulah. Artinya: “Rasulullahi SAW bersabda: Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal kecuali dari tiga hal yang kekal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.”
Saya menganggap Dewi adalah anak sholah, yang akan selalu mendoakan Ibunya yang tengah berjuang untuk hidup. Sepeninggal ia dan Bu Inem, saya mendoakan pada mereka untuk selalu diberikan kesabaran, kesehatan, dan tentu saja selalu percaya bahwa Allah punya maksud dari ini semua dan akan memberikan jalan yang terbaik untuk seluruh ummat-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar