Sabtu, 10 April 2010

WISATA SEPEDA KAMPUNG SERPONG

Sudah lama banget saya nggak menikmati kampung sambil bersepeda. Barangkali kalo dihitung-hitung sudah lebih dari limabelas tahun lalu, saat terakhir menggowes sepeda di antara pematang sawah atau melewati kerbau yang sedang membantu petani membajak sawah. Nggak heran ketika ditawari istri ikutan acara bersepeda menyusuri kampung, saya langsung mengiyakan.

Berhari-hari saya membayangkan jalur yang akan saya lalui di hari-H benar-benar sebuah kampung, dimana rumah masih tidak sepadat proyek Mohamad Husni Thamrin (MHT)-nya Gubernur Ali Sadikin di Jakarta ini. Rumah masih jarang. Pekarangan masih luas. Yang pasti, masih banyak pohon yang tumbuh di sekitar jalur bersepeda. Maklumlah, susah sekali menemukan jalur bersepeda model begitu di Jakarta ini. Yang ada bukan hutan pohon, tapi hutan beton dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.



Di Jakarta nggak akan menemukan lagi jalur yang masih penuh pohon dan rumah kampung kayak begini.

Hutan yang rimbun di Jakarta ini paling-paling bisa kita jumpai di Tebet Timur. Di lokasi itu ada Hutan Taman Kota yang dikelola oleh Dinas Pertanaman DKI Jakarta. Namun lokasinya nggak bicyle friendly alias bukan buat penggowes sepeda, deh. Jalur yang dibuat di situ diperuntukan buat penjalan kaki. Maklumlah jalurnya nggak terlalu panjang kalo buat menggowes sepeda.

Mencari pepohonan yang masih hijau dan rimbun di Jakarta serta rumah-rumah kampung yang jalurnya masih tanah ibarat mencari sesuatu yang nggak mungkin. Tadi itu di Tebet, apalagi di rumah saya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Ada sih beberapa jalan raya yang masih rimbun dengan pepohonan kayak di jalan menuju Taman Solo, Cempaka Putih. Atau ke arah Timur di Polomas, di jalan dari arah Kelapa Gading menuju Arion, Rawamangun. Itu masih ada jalur yang penuh pohon yang rindang. Termasuk di sepanjang jalan Diponegoro, Menteng, dan jalan-jalan yang menggunakan Hang, misalnya Hang Leukir, Hang Jebat, dan lain-lain.

Kalo mau mendapatkan jalur sepeda dengan fasilitas pepohonan yang rimbun, hijau, dan perkampungan, barangkali kudu menyisir ke pinggiran Jakarta, kayak di Cibubur, Pondok Rangon, Cilangkap, atau daerah yang sudah masuk ke wilayah antara Jakarta dan Jawa Barat (baca: Jakarta coret), yakni Cimanggis, Depok, Ciganjur, atau Bekasi. Padahal beberapa tahun lalu, Jakarta masih kampung.


Mejeng dulu di rumah sang penggagas wisata sepeda ke kampung Serpong: kang Ade. Kang Ade yang pake kaos merah, tetapi bukan yang bejilbab, lho. Yang pakai helm sepeda.

Menurut catatan seorang penulis Belanda (lihat: Ady Kristanto dan Frank Momberg, Alam Jakarta: Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta, Murai Kencana, 2008, hal 20), pada abad ke-17, Jakarta yang waktu itu masih bernama Batavia masih dikelilingi hutan lebat. Percaya nggak percaya, binatang kayak harimau dan badak masih nampak berkeliaran di pinggir kota. Ih, kebayang kalo dulu saya sempat ketemu harimau atau badak, yang ada pengen foto-foto terus, deh. Nggak perlu pergi ke Ujung Kulon atau Sumatera. Kalo nggak foto sendiri-sendiri, ya foto berdua bareng macan dan badak. Trus fotonya di-tag di Facebook. Keren kan?

Namun sayang seribu kali sayang. Sekarang jangankan harimau atau badak, monyet aja sudah males nongkrong di Jakarta. Wong pohon buat bergelantungan sudah nggak ada? Padahal kalo sekarang masih ada monyet yang bergelantungan di pohon, bisa kita ajak nongkrong di Bengawan Solo atau KFC. Oh iya, tentang banyaknya pohon atau perkebunan di Jakarta yang saya kisahkan di atas tadi, bukan isapan jempol. Beberapa nama wilayah yang menyangkut nama pohon atau kampung bisa kita kumpulkan. Sebut saja Cempaka Putih, Kayu Putih, Kemang, Kosambi, atau Menteng. Itu semua nama-nama pohon.


Sebelah kiri saya (berarti sebelah kanan foto) itu adalah jurang. Bukan jurang yang isinya batu-batu di sungai, sih, tetapi sebuah tanah lapang. Tetapi cukup curam, bo!

Pada tahun 1946, Jakarta masih ditemukan sekitar 256 jenis burung. Namun pada tahun 2006-2007, survey oleh Jakarta Green Monster (JGM-komunitas relawan yang peduli pada alam Jakarta) dan Fauna & Fauna Indonesia (FFI) tinggal ditemukan 121 jenis burung. Ini baru soal jenis burung, belum ngomongin ruang terbuka hijau (RTH).

Tata kota DKI Jakarta memang carut marut. Nggak sesuai dengan master plan. Menurut buku Alam Jakarta: Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta (hal 23), Rencana Induk Jakarta tahun 1965-1985, kawasan Senayan yang luasnya mencapai 279 hektar ini diperuntukan sebagai RTH. Kalo ada bangunan, paling-paling cuma boleh mengambil 16% dari total luas kawasan Senayan. Namun apa yang terjadi? Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, dalam hal ini Dinas Tata Kota pada tahun 1965-1985 lebih suka kongkalikong dengan pengusaha. Demi uang, pejabat Pemda rela melego tanah RTH buat dibangun gedung maupun mal.





Adegan menanjak part one. Ada yang sok kuat, ngegowes terus sampai ujung tanjakan, padahal belum pernah merasakan tantangan ini. Mereka yang realistis, begitu tak kuasa menanjak, sepedanya langsung diajak jalan bersama alias ditenteng

Pada tahun 1974, di kawasan Senayan dibangun Ratu Plaza. Gedung yang masih berdiri kokoh di jalan Sudirman ini konon mejadi cikal bakal mal pertama di Jakarta. Dulu zaman saya kalo sudah ke Ratu Plaza, rasanya kayak sudah pergi ke luar negeri. Maklum, yang ‘berani’ pergi ke Ratu Plaza tahun 70-an dianggap ‘orang gedongan’.

Setelah Ratu Plaza menempati tanah Senayan, giliran Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan) menempati wilayah Senayan di tahun 1976; lalu Hotel Atlet Century (1996); Plaza Senayan (1996); Hotel Mulia (1997); Depdiknas (2003); Sudirman Palace (2003) yang kemudian berganti nama menjadi EX gara-gara Sudirman Palace bangkrut; dan beberapa bangunan lain.


Saya bukan berada di Amrik atau di Afrika, lho. Tetapi di Serpong, Tangsel. Seandainya di Jakarta ada jalur bersepeda seperti hutan kayak begini. Pasti laku keras!

Belum puas mengobrak-abrik wilayah Senayan, Pemda DKI Jakarta juga mengancurkan master plan tata kota di wilayah Utara dan Barat. Di Timur, Rencana Induk Pertama (1965-1985), Kelapa Gading adalah jalur hijau. Tetapi di masa kepemimpinan Gubernur Sumarno (1965-1966), Ali Sadikin (1966-1977), Tjokropranolo (1977-1982), sampai Gubernur Soeprapto (1982-1987), wilayah Kelapa Gading malah dijadikan pemukiman.

Adalah perusahaan property Summarecon Agung yang menjadikan wilayah Kelapa Gading diubah peruntukannya sebagai pemukiman pada tahun 1976. Dijadikannya Kelapa Gading sebagai pemukiman seolah merupakan keberhasilan PT. Summarecon. Saking bangganya, kalo kita masuk ke Kelapa Gading, ada sebuah monumen yang dibuat oleh Summarecon. Padahal, kalo sesuai master plan-nya, Kelapa Gading adalah jalur hijau. Sekarang sulit banget mencari jalur hijau di Kelapa Gading. Semuanya sudah berubah menjadi pemukiman, mal, apartemen, dan ruko. So, jangan heran kalo Kelapa Gading selalu banjir.

Lain Kelapa Gading, lain pula wilayah Angke. Dalam Rancangan Induk 1985-2005, proyek jalur hijau sudah nggak ada lagi. Penghancuran lahan hijau ini dimasa Gubernur Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto (1987-1992), Surjadi Soedirdja (1992-1997), dan Soetiyoso (1997-2007).

“Ini membuktikan bahwa pembangunan Jakarta ditentukan oleh pasar, bukan peraturan,” kata anggota Tim Penasehat Arsitektur Kota Jakarta Bambang Eryudhawan yang penulis kutip dari buku Alam Jakarta: Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta (hal 24).



"I'm really scare!" ucap Devi saat hendak meluncurkan sepedanya menurun ke bawah (foto bawah). Kata Ronald dengan gentlemen, "It's ok, you can do it!"


Itulah mengapa saya senang sekali diajak istri buat ikutan wisata kampung sambil ngegowes sepeda. Undangan yang di-email-kan via istri saya itu datang dari kang Ade. Beliaulah penggagas acara wisata kampung ini dan menggajak keluarga besar Ship South Eeast Asean Youth Program (SSEAYP) International Indonesia buat ikutan acara yang kebetulan jatuh di hari Sabtu (10/4/10) ini. Oh iya, acara ini dilaksanakan di Bumi Serpong Damai (BSD) yang kini masuk ke wilayah Tangerang Selatan (Tangsel).

Sekadar info, SSEAYP International Indonesia (SII) adalah sebuah organisasi alumni program pertukaran kapal ASEAN. Saat ini SII ini diketuai oleh Rino. Kang Ade adalah salah satu alumni tahun 1987. Saya bukan alumni SSEAYP, tetapi istri saya Sindhi Diah Savira lah yang tercatat sebagai alumni, alumni 1994 Alhamdulillah, acara wisata kampung Serpong ini mengikutsertakan keluarga. So, suami macam saya ini jadi bisa ikutan deh. Kebetulan acaranya memang saya suka, yakni ngegowes, di kampung pula. Kalo acara lain, ya barangkali saya pun bisa jadi nggak tertarik.


"Kok, nenek-nenek dipoto?" kata salah satu nenek. Pengennya sih bilang,"Habis di Jakarta kayak nenek sudah langka, Nek." Untung nggak kesampaian. Sebagai pengganti nenek difoto, saya kasih duit aja buat belanja di Carrefour selama dua bulan.

Sebelum berkeliling kampung, peserta berkumpul dulu di rumah kang Ade di jalan Mega Kencana, Sektor XII, BSD. Yang berhasil kumpul di pagi hari nan ceria adalah Devi (alumni SSEAYP 2000), Sindhi (alumni 1994), dan kemudian datang Trisna (alumni 1994). "Ronald, Melvin, dan Teguh lagi on the way katanya," ucap kang Ade. Yang dimaksud Ronald bukan ikon McDonnald, lho, tetapi alumni SSEAYP 1993. Begitu juga Melvin dan Teguh yang masing-masing juga almuni 1993.

Di rumah kang Ade ini, tim wisata kampung breakfast dulu sambil menunggu beberapa orang yang terlambat datang. Kami berterima kasih sekali pada istri kang Ade yang tega-teganya menyiapkan lontong sayur yang mak nyos di pagi itu. Lho kok tega-teganya? Eh, maksudnya sempet-sempatnya membuat lontong sayur. Bangun jam berapa ya?

Ternyata kelezatan lontong sayur istri kang Ade tercium oleh beberapa alumni SSEAYP. Nggak heran kalo dua alumni yang sengaja datang ke jalan Mega Kencana, Sektor XII, cuma numpang breakfast. Bahkan salah seorang, belum juga mandi, ujug-ujug datang dan menyantap lontong sayur. Habis itu, say goodbye deh. Harusnya mereka ini bayar ke istri kang Ade, karena cuma numpang breakfast.









Ini bukan sedang adegan pacaran atau konsultasi spiritual. Tetapi kebetulan sepeda yang dipakai Sindhi (maksudnya sepeda pinjaman, bo!) ada yang kurang beres.

Kelar breakfast, orang yang ditunggu yang menjadi tim wisata kampung, belum juga datang. Siapakah orang yang ditunggu ini? Nggak lain, nggak bukan Trio Kwek-Kwek: Ronald, Teguh, dan Melvin. Kang Ade berinisiatif mengajak tim yang sudah ready berkeliling dulu. Ya, anggap pemanasan dulu. Akhirnya, para bos yang ditunggu muncul juga. Kalo melihat jam weker, kita baru start dari rumah kang Ade buat berkeliling kampung sekitar pukul 9. Sebenarnya jam segitu sudah terlalu siang. Harusnya lebih asyik berangkat mulai pukul 7. Tapi ya namanya juga kudu mengikutsertakan ‘orang penting’, ya terpaksa kita harus berangkat kesiangan deh.

Alhamdulillah, rasa sebel gara-gara menunggu terobati. Rute yang beberapa hari terbayang-bayang, ternyata sesuai kenyataan. Acara wisata kampung sesuai dengan namanya, yakni berwisata memasuki rumah penduduk yang masih kampung, banyak pohon, ada kandang kerbau, rumah kampung, dan jalan masih banyak yang belum diaspal, dengan menggowes sepeda. Kang Ade yang menggagas ini ternyata tidak membohongi publik. Benar-benar kampung dan view-nya keren!





Terus terang saya nggak sempat ngobrol dengan warga kampung situ, karena takut ditinggal oleh tim. Maklumlah saya belum kenal jalur wisatanya. Padahal kebiasaan saya, begitu berjumpa dengan hal yang unik, menarik, atau membuat penasaran, pasti naluri reporter-nya muncul. Apalagi saya tertarik sekali mengetahui nama kampung di belakang perumahan BSD ini. Maklumlah, dulu kan mantan reporter news. Sekarang aja sudah insyaf jadi 'orang biasa'.

Dari logat penduduk setempat, kayaknya mereka berasal dari etnis Betawi dan campur etnis Sunda yang berasal dari Tangsel dan Banten-nya. Mereka yang beretnis Betawi, sebagian besar pasti bekas gusuran berbagai proyek di Jakarta. Kalo membaca buku Mengungkap Kampoeng Koeningan: Nilai Sejarah dan Warisan Sosial Budaya Kota Jakarta karya Sudarman Juwono dan Wardie Asnawie (Kuningan Press, Nov 2005), ada beberapa periode penggusuran etnis Betawi. Di antaranyanya ketika pemerintah Hindia Belanda menjalankan program perbaikan kampung yang disebut kampong verbetering tahun 1920. Gara-gara program ini, beberapa warga mengungsi ke pinggiran, termasuk ke Serpong. Hal yang sama ketika Kampung Kuningan, Jakarta Selatan digusur buat jalan tol tahun 1984; Kampung Senayan digusur buat bangun Gelora Bung Karno; dan kampung-kampung lain di tahun 60-an.

Perjalanan wisata kampung sambil ngegowes sepeda ini sebenarnya cuma menggambil rute yang tantangannya ‘biasa’. Namun sebagian anggota merasa, ‘biasa’ tetapi berat juga, euy! Menurut saya barangkali karena cuacanya sudah terlalu siang, sehingga energi panas yang dikeluarkan membuat badan kita yang kena sinar matahari jadi cepat letih dan haus. Kalo nggak banyak istirahat dan minum air putih, bisa-bisa dehidrasi lah yau.

Menurut kang Ade, jarak dari rumahnya lalu ngider-ngider ke kampung dan balik ke rumahnya lagi sekitar 12 km. Buat penggowes sepeda, jarak segitu memang biasa. Terus terang saya juga merasa begitu. Namun yang ikut di dalam tim bukan penggowes sepeda ‘profesional’, yang menganggap jarak 12 km itu cukup jauh. Harusnya buat penggowes, jarak yang terjauh ya sekitar 40-60 km. Bayangkan kalo mereka yang ikutan wisata kampung ini harus ngegowes sepanjang 40-60 km, yakin deh setelah ngegowes langsung masuk RSCM buat diinfus atau jangan-jangan malah berkunjung ke Karet atau Jeruk Purut, maksudnya ke Taman Pemakaman Umum (TPU) buat ketemu mereka yang sudah lebih dulu beristirahat.

Sebenarnya kenapa 12 km dianggap melelahkan, juga lebih karena jalur yang dilalui. Dua kali tanjakan dan dua kali turunan. Tanjakannya pun bukan tanjakan bersudut 20 derajat, tetapi ada yang sekitar 30-40 derajat, bo! Eh, ada nggak ya? Ah, yang pasti paha dan betis pegal-pegal gitu, deh. Selain tanjakan dan turunan, para peserta juga cukup berat harus berhadapan dengan beberapa kerbau. Kerbau-kerbau tersebut cukup intens melihat peserta, apalagi peserta yang belum married. Jangan-jangan kerbau-kerbau itu naksir berat.

Wisata berakhir di sebuah turunan yang ada di samping perumakan Viena di BSD City. Ada beberapa orang yang masih belum pede menggowes sepedanya sambil menurun. Nggak heran kalo ‘atraksi’ ini dilihat oleh sejumlah penduduk kampung situ. Yang nggak ngelihat bukan orang dewasa, tetapi anak-anak muda maupun para orangtua.

“Lurus saja mbak turunnya, lewat lapangan bolanya,” ujar salah seorang pria setengah baya sok menasehati.

Saya yakin, penduduk yang menasehati belum pernah merasakan sebagaimana anggota tim yang wajahnya agak pucat ketika mendapat tantangan menggowes sepeda di turunan yang curam kayak begitu. Ya namanya juga orang, terkadang sok tahu duluan, baru merasakan akibatnya ketika sudah membuktikan sendiri. Dia seharusnya juga tahu bahwa manusia juga punya rasa takut, termasuk takut nyusruk alias terjatuh.

Soal penduduk kampung ini memang lucu juga. Bukan cuma sok tahu itu tadi, tetapi ucapan-ucapan mereka pada saat rombongan kami berkeliling kampung. Setidaknya ada dua ucapan mereka yang lucu, yang kebetulan didengar oleh sebagian rombongan wisata kampung.

“Orang gedongan lewat.”

“Ah, mending tahu jalannya, sok lewat kampung kita.”

“Ngapain sih orang-orang gedongan lewat sini sih?”

Mereka pikir, jalur yang kami lalui belum pernah dilalui oleh tour guide kita, yakni kang Ade. Mereka pikir, kami semua ‘orang gedongan’? Mentang-mentang harga sepeda yang kami naiki nggak ada yang dibawah 5 juta jadi kami dianggap ‘orang gedongan’. Padahal mereka nggak tahu, di antara kami banyak yang pinjam sepeda. Setidaknya ada enam anggota tim yang pinjam sepeda dari kang Ade. Tapi ya nggak apa-apalah dibilang ‘orang gedongan’, daripada dibilang markus palsu, ya nggak? Apa hubungannya ya? Whatever lah!

Kelar berwisata kampung, kami kembali ke rumah kang Ade. Di rumah kang Ade, sudah tersedia lunch yang lagi-lagi sudah disiapkan istri kang Ade. Ada sayur bayam, ikan mas, lalapan, dan tentu saja karedok yang nyumi. Kali ini nggak ada almuni yang datang cuma khusus lunch. Eh, ada ding, sang Ketua SII, yakni mas Rino. Rupanya aroma sayur asem dan ikan mas tercium oleh mas Rino, bukan begitu mas? Selain mas Rino, nggak ada alumni lain yang datang di acara lunch.

Setelah sempat merebahkan badan, kami kemudian pamit. Saya bilang ke kang Ade, bahwa nggak terlalu lama lagi saya ingin berwisata lagi di Serpong ini. Jakarta sudah bosan saya kelilingi. Lebih dari itu, saya pun sudah tidak menemukan lagi perkampungan sebagaimana di Serpong ini. Tentunya kalo nanti jadi berwisata kampung sambil ngegowes lagi, saya ingin tantangannya lebih ditingkatkan lagi. Paling tidak tanjakan dan turunannya ada sekitar sepuluh biji.

Terima kasih kepada kang Ade dan sang istri yang sudah direpotkan oleh mahkluk-mahkluk yang kurang bertanggungjawab. Datang nggak bawa sepeda, makanan dan minuman gratisan semua, maupun ke-hospitality-an kang Ade beserta keluarga. Semoga next time kami bisa diizinkan untuk merepotkan kang Ade dan istri lagi. Auf wiedersehen!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Kamis, 01 April 2010

RUMAH BERSALIN BUAT ORANG MISKIN

“Saya cinta mati sama Melania,” ujar kepala suster Rumah Bersalin (RB) Melania, Rawasari, Jakarta Pusat, Henny.

Menurut suster Henny, ketenangan bathin lah yang membuatnya cinta mati. Bahwa RB Melania nggak seperti RB lain, yang biasanya memasang target dalam prihal mendapatkan jumlah pasien yang akan melahirkan. Dalam rangka pasang target, beberapa RB membuat iklan, pasang spanduk, maupun sewa bilboard.

Bukan cuma pasang iklan, dalam mengejar target, seringkali RB juga mengorbankan hak pasien untuk mencoba melakukan persalinan secara normal. Nggak heran, banyak RB yang membebankan dokter kandungan agar bisa membuat pasien yang hendak melahirkan menggunakan cara cecar. Padahal sang dokter belum berusaha buat memotivasi pasien untuk terus berusaha melahirkan secara normal.



RB Melania di Percetakan Negara. Perhatikan foto tahun 70-an dan foto tahun 2010. Nggak ada perubahan dari struktur gedung. Yang berubah cuma pagar dan lingkungan sekitar RB Melania. Kalo dulu di samping kiri foto jadul itu adalah sawah dan pohon kepala, sejak tahun 2000-an di samping RB Melania sudah ada toko bahan bangunan.

“Sejak dulu dan sampai sekarang Melania tidak memiliki alat buat melahirkan cecar,” ujar suster Henny. “Karena kami percaya semua ibu bisa melahirkan secara normal.”

Saya percaya apa yang dikatakan suster Henny. Bahwa semua ibu pasti mampu melahirkan secara normal. Memang saya belum pernah merasakan bagaimana susahnya melahirkan, tetapi sekadar flashback, orangtua-orangtua kita jarang sekali yang melakukan persalinan secara cecar. Silahkan tanya orangtua Anda. Kalo pun pada saat mengeluarkan jabang bayi sulit, biasanya ibu zaman dahulu tidak di-cecar, tetapi sang bayi disedot.

Namun kini, ketika rumah sakit sudah tidak lagi menjadi tempat sosial, semua serba ditarget. Bahkan saya sempat mendengar ada salah satu dokter di rumah sakit yang berada di bilangan Jakarta Barat, terkenal sebagai dokter cecar. Maklumlah, dokter ini selalu menyuruh pasiennya untuk melakukan cecar. Sekadar info, di rumah sakit tempat dokter ini men-cecar, tarifnya 12 juta. Nah, bisa bayangkan kalo 30% dari biaya cecar masuk ke kantong si dokter. Itu belum termasuk biaya visit dan bonus target.


Tempat melahirkan. Dari dulu sampai tahun 2010 ini ya seperti ini. "Semua yang melahirkan di sini normal, karena tidak ada alat untuk cecar," kata suster Hanny.

Itulah yang membuat bathin suster Henny tidak tenang. Selalu hidup penuh dengan terget. Bekerjasama dengan dokter yang orientasinya uang, uang, dan uang. Nggak heran, sejak tahun 1984 sampai 2010 ini, suster Henny betah kerja di RB Melania.


RUMAH BERSALIN BERSEJARAH

Suster Henny adalah satu dari karyawan RB Melania yang memang punya dedikasi tinggi. Rata-rata karyawan di RB Melania memang nggak money oriented. Hal ini sesuai dengan visi dari RB Melania itu sendiri, yakni berkomitmen untuk melayani masyarakat miskin, tersisih, lemah, dan berkesusahan.

“Saya selalu mengatakan pada karyawan Melania, kalo mau cari duit bukan di Melania,” ujar ketua Yayasan Melania Dr. L. Yvonne Siboe. “Luar biasanya karyawan di sini sangat berdedikasi. Ini berkat iman. Tanpa iman, pasti mereka nggak akan betah di sini.”

RB Melania termasuk RB bersejarah. RB ini dibentuk tahun 1929. Saat itu, ibu-ibu asal Belanda yang tinggal di Batavia tergerak hatinya buat membantu perempuan-perempuan pribumi yang melahirkan. Oleh karena itulah di Bronbeekweg, Mr.Cornelis atau saat ini dikenal dengan sebutan Jatinegara, didirikan klinik Melania-tehuis untuk perempuan hamil.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1934, dibuka balai pengobatan Melania di Kampung Sawah, Bekasi. Di tahun yang sama, Melania-tehuis pindah ke Matraman, karena dinilai terlalu sempit.

Balai pengobatan Melania di Kampung Sawah, Bekasi ternyata nggak berumur panjang. Sebelas tahun setelah dibuka tahun 1934, balai pengobatan ini ditutup. Sebab, balainya rusak parah. Namun, setelah Yayasan Melania dibentuk pada tahun 17 Mei 1958, Melania di Kampung Sawah, Bekasi mulai dibangun kembali. Tepat pada tahun 1963, balai pengobatan itu dibuka lagi.


MENJAGA KOMITMEN

Saya lahir dan dibesarkan di Cempaka Putih Barat. Sejak masa kanak saya sudah mengenal RB Melania yang ada di dekat rumah saya, tepatnya di jalan Percetakan Negara, Jembatan Serong no 30, Jakarta Pusat. Sejak dulu sampai kini, RB Melania ya begitu-begitu saja. Nggak ada perubahan, baik struktur bangunan, maupun jumlah peralatan medis.

“Sempat beberapa dokter datang ke sini untuk menawarkan membuka klinik spesialis, tetapi kami tolak,” ujar dr. Yvone. “Bukan kenapa-kenapa, sebab kami tidak ingin visi dan misi kami untuk melayani pasien miskin jadi tidak tercapai. Kami ingin tetap menjaga komitmen itu, sebagaimana pendahulu-pendahulu kami.”

RB Melania di Percetakan Negara ini didirikan pada tahun 1959. Saat itu, Melania masih di bawah pengelolaan Rumah Sakit St. Carolus yang ada di Salemba, Jakarta Pusat. Waktu itu, ibu (alm.) P.K. Auwjong Peng Koen mencari tanah yang tidak jauh dari St Carolus. Ternyata ia mendapat di ujung Percetakan Negara, dimana saat itu masih berupa jalan setapak dan rawan.

Ketika pertama kali dibeli, tanah RB Melania ini bermasalah. Maklumlah waktu itu, menjual tanah masih menggunakan girik, bukan sertifikat seperti sekarang ini. Gara-gara pakai girik, semua orang bisa mengakui si pemilik tanah yang sah. Awalnya, Melania membeli pada si pemilik tanah. Namun, begitu si pemilik tanah meninggal, anaknya merasa belum menyetujui bahwa tanah yang sudah dibeli Melania ini sah, karena tidak ada tandatangannya. Akhirnya, tanah yang sekarang ditempati Melania ini sah dan punya sertifikat.

Sebenarnya tanah Melania meliputi tanah yang saat ini digunakan sebagai kampus STF Driyakara yang ada di sekitar situ. Namun menurut dr Yvone, sejak dulu sampai kini tidak ada yang tahu kapan tanah Melania menjadi tanah yang sah milik STF Driyakara. Yang pasti, STF baru membuka pendidikan di Rawasari mulai tahun 1973. Artinya jauh sesudah berdiri RB Melania pada tahun 1959.

Ketika pertama kali berdiri, RB Melania di Percetakan Negara ini hanya memiliki 1 bangsal dengan 8 tempat tidur. Kini ada dua tipe ruangan, yakni kelas I dan bangsal. Kalo kelas 1 jumlah tempat tidurnya 2, sedangkan bangsa ada 6 tempat tidur. Menurut suster Henny, dari dulu sampai sekarang ruangannya ya seperti sekarang ini.


BANGGA KERJA DI MELANIA

Sejak berdiri beberapa rumah sakit di sekeliling RB Melania di Percetakan Negara ini, jumlah pasien berkurang dari tahun ke tahun. Menurut data yang saya ambil dari buku Karya Cinta: Lima Puluh Tahun Peziarahan Melania Jakarta (2008, hal 32), pada tahun 1997 jumlah pasien mencapai sekitar 8.000 orang, atau sekitar 20-an orang per hari. Namun pada tahun 2007, jumlah pasien hanya 3.500 orang, atau nggak sampai 10 orang per hari. Jumlah ini menurun sekitar 51% dibanding sepuluh tahun lalu.

Menurut pimpinan unit Rawasari, Jeanita, penurunan tersebut disebabkan munculnya Puskesmas yang ada di dekat RB Melania. Puskesmas ini menerapkan tarif murah buat pasien.

“Kalo cabut gigi di sini (di Melania-pen) biayanya Rp 50 ribu, di Puskesmas biayanya cuma Rp 5.000,” ujar dokter gigi yang sudah bertugas di Melania selama 10 tahun ini. “Pasien jelas pilih yang tarifnya lebih murah.”

Selain Puskesmas, ada pula Rumah Sakit Islam di Cempaka Putih Tengah. Kalo mereka yang status sosialnya menengah ke atas, memilih pergi ke Rumah Sakit MH Thamrin di Salemba Tengah. Sementara mereka yang koceknya sedang-sedang saja, bisa ke St. Carolus atau ke Cipto Mangunkusomo. Itulah yang membuat RB Melania seperti nanggung. Nggak punya uang banyak ke Puskesmas, punya uang lebih mending ke rumah sakit-rumah sakit lain yang ada di sekitar situ.

Meski seperti ‘nanggung’, RB Melania Percetakan Negara tetap eksis sampai kini. Suster Henny mengaku bangga bisa bekerja di Unit Rawasari ini. Bukan soal gaji yang diterimanya , yang konon nggak begitu besar, melainkan bisa membantu melayani banyak pasien miskin.

“Ada kepuasan tersendiri ketika bisa melayani ibu bersalin secara normal,” ujarnya.