Selasa, 12 Juni 2012

JANGAN PERNAH MAU MENGALAH DENGAN PENGENDARA MOTOR

Pejalan kaki memiliki kasta paling rendah karena dianggap paling miskin dan tak memiliki kendaraan”.

Pernyataan Pengamat Perkotaan dan Lingkungan Hidup, Nirwono Yoga yang penulis kutip dari Republika (2/3/2012) itu, tentu tidak sedang melecehkan pejalan kaki. Namun, justru ingin mengkritisi Pemerintah Kota (Pemkot) serta pemilik kendaraan yang memarjinalkan para pejalan kaki.

Buruknya kondisi trotoar di Ibu Kota, menurut Yoga, karena pola pikir Pemkot dan pemerintah pusat yang tidak memprioritaskan hak pejalan kaki. Jadi jika dikatakan pedestarian merupakan infrastruktur kota yang memiliki kasta paling rendah di kota besar, terutama di Jakarta, itu bukan omong kosong.

Bloggers, salah satu sebab mengapa pejalan kaki termarjinalkan, karena Pemkot lebih memilih memberdayakan pedagang kaki lima (PKL) dan juru parkir untuk memanfaatkan trotoar. Jika pejalan kaki ‘menghamburkan uang’, karena Pemkot harus membuat infrastruktur, sementara PKL dan juru parkir menghasilkan uang bagi kas Pemerintah Daerah (Pemda). Meski sebetulnya kas Pemda yang saya maksud di sini masih perlu dipertanyakan kelegalitasannya. Sebab, baik PKL maupun juru parkir off road, kebanyakan illegal. Tak terdata secara formal sebagai kas negara, tetapi lebih untuk pemasukkan oknum.


Dengan menggunakan pola pikir ekonomi illegal seperti itu, sampai kapan pun masalah pejalan kaki yang termarjinalkan ini tidak akan pernah selesai. Ini belum kita bongkar tentang proyek-proyek penataan area pedestarian yang dilakukan oleh 12 instansi di jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dinas Pertamanan dan Keamanan (Distamkam) mengurus masalah estetika, seperti bangku, tempat sampah, dan halte. Lalu, Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI mengurus terkait jalan dan utilitas. 

Banyaknya instansi yang memiliki kewenangan di atas trotoar membuat pengamanan dan perawatan terabaikan,” ujar Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna. “Akibatnya, banyak trotoar yang diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi. Masalahnya apa lagi kalau bukan soal uang. Mereka (PKL) kan dipungut retribusi”. 

Apa yang dikatakan Yayat memang terbukti. Fakta di lapangan, banyak halte yang dijadikan warung rokok atau kios koran. Begitu juga di jembatan penyebrangan. Saat ini jembatan penyeberangan tidak luput dari PKL. Mereka yang berjalan kaki sudah tidak nyaman lagi menyeberang, karena setengah area jalan sudah dicaplok oleh PKL. Sangat mustahil jika aparat dari Pemprov tidak tahu kondisi tersebut. 

Soal fungsinya beralih, bukan tugas kami,” begitu kata Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum Jalan Jakarta Barat, Yusmada Faizal, seolah lepas tangan dari kondisi tersebut.

Sejak dari zaman Gubernur Sutiyoso sampai Fawzi Bowo (Foke) sekarang, PKL memang makin menjamur tanpa ada penertiban. Padahal sebetulnya Sutiyoso sudah sempat membuat prototipe melokalisasikan PKL di satu tempat. Namun entah kenapa di zaman Foke ini PKL dibiarkan bebas, sehingga mengganggu pejalan kaki.


Giliran di trotoar tidak ada PKL atau parkir kendaraan, para pejalan kaki belum juga aman. Mereka masih diganggu oleh para pengendara motor. Jika kebetulan sedang berjalan kaki, saya adalah orang yang tidak akan pernah memberi jalan motor-motor yang melaju di trotoar. Kompasianers, jika Anda juga pejalan kaki dan sedang berjalan di trotoar, saya sarankan JANGAN PERNAH MAU MENGALAH DENGAN PENGENDARA MOTOR. Anda punya hak untuk berjalan, bukan memberi jalan.

Ketika saya mengendarai motor, Alhamdulillah saya menahan diri untuk tidak mengambil hak para pejalan kaki dengan melajukan motor saya di trotoar. Semacet-macetnya jalan, buat saya HARAM berkendaraan di trotoar. Sebab, bagaimana kita mau mengkritisi orang lain untuk berdisiplin kalau kita sendiri tidak disiplin? Bagaimana kita mau berbicara tentang hak kita kalau hak orang lain saja kita injak-injak? Bagaimana kita membuat orang lain aman jika kebiasaan kita selalu membuat orang lain tidak aman?

Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Anda yang terbiasa merampok hak pejalan kaki. Alhamdulillah, saat ini di Kota-Kota besar tumbuh komunitas bernama Koaliasi Pejalan Kaki (KoPK). Menurut Ketua KoKP, Ahmad Safrudin, koalisi yang terdiri dari berbagai latarbelakang profesi ini merupakan komunitas yang ingin memerdekakan hak pejalan kaki dari pengguna pendaraan bermotor.

Sebuah kota yang beradab bukan terlihat dari gedung-gedung mewah, tetapi dari tingkat kedisiplinan yang terlihat di jalan raya,” ujar Safrudin ketika diinterview oleh Andy Noya di acara Kick Andy.


Beberapa waktu lalu harian Kompas sempat membuat jejak pendapat terhadap 418 responden di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok (Jabodetabek) tentang keamanan dan kenyamanan berjalan di trotoar. Tujuhpuluh koma tiga persen responden  usia 17 tahun ke atas dan sudah menikah ini mengatakan, tidak nyaman lagi berjalan di trotoar. Begitu banyak PKL dan motor melaju di trotoar. Lalu tentang faktor keamanan berjalan di trotoar, 70,3% juga mengatakan tidak aman.

Melihat fakta tersebut, kebijakan terhadap pedesterian sangat urgent! Namun, menurut Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Indonesia Ellen Tangkudung, perbaikan area pedestarian tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong. Tambah Yayat, harus jelas juga interkoneksinya dan orientasi pembangunannya.

Apakah menuju halte ke tempat kerja, rumah, ataupun stasiun bus”. 

TAK PERLU SATU ABAD MENJERNIHKAN KALI

Osaka, Jepang, 1962. Sejumlah warga membuang langsung sampah rumah tangga ke kali. Kondisi kali makin parah dengan sampah dari industri-industri yang tengah berkembang pesat pada saat itu. Meski kotor, bau dan menggandung penyakit, namun kali itu tetap saja dipergunakan warga Osaka untuk segala kebutuhan, baik itu untuk mencuci, mandi, dan minum.

Saat musim panas tiba, airnya sangat berbau,” ujar Wali Kota Osaka, Kunio Hiramatsu.

Gambaran tentang kali di Osaka tersebut benar-benar mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pada 8 Juni 2012 lalu, Surabaya Post mengungkapkan air Kali Surabaya Timur yang mengalir dari Gunungsari-Jagir dianggap sebagai kali yang paling buruk. Daerah aliran sungai (DAS) yang melintasi 17 daerah di antaranya Kota Malang, Kabupaten Malang,Kabupaten Mojokerto,Kota Mojokerto, Kabupaten Jombang,dan Kediri ini mendapat predikat zona merah.


Tak beda dengan kali di Jakarta. Menurut buku Alam Jakarta: Sebuah Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta (Murai Kencana, 2008)yang ditulis oleh Ady Kristanto, air kali di Jakarta telah tercemar Bakteri Escherichia coli (Bakteri E.coli), dengan tingkat pencemaran mencapai 80%. Kondisi ini memprihatinkan dan sangat berbahaya bagi kesehatan warga.

Selama ini banyak anggapan, bahwa industrilah yang memiliki kontribusi besar mencemari sungai. Ternyata, Sekitar 80% pencemaran air sungai di Jakarta disebabkan oleh limbah rumah tangga. Selain kebiasaan membuang sampah sembarangan di kali, pencemaran berasal dari bahan pencuci yang mengandung fosfar tinggi serta surfaktan. 

Jika pencemaran terus berlanjut dan tidak ada perbaikan kualitas air, perairan akan menjadi anaerob (tidak ada oksigen). Kondisi ini dapat membuat organisme yang hidupnya bergantung pada oksigen akan mati. Efek yang lebih parah lagi, terganggunya rantai makanan yang dapat mengakibatkan kematian bagi organisme lain, baik langsung maupun tak langsung.

Kembali ke masalah kali di Osaka. Melihat kali di kota itu kotor, pada 1970-an Pemerintah Kota (Pemkot) mensahkan Undang-Undang Pengendalian Pencemaran Air untuk mengontrol limbah, mengawasi pembuangan limbah, dan mengendalikan pembuangan limbah domestik. Intinya, semua potensi yang mencemarkan air kali, dikontrol ketat oleh Pemkot Osaka. 

Ternyata tidak perlu seabad untuk menjernihkan air kali. Jika Pemkot serius, bukan tidak mungkin masalah air kali yang kotor bisa diselesaikan dengan baik. Sang Wali Kota Hiramatsu bangga memajang gambar air kali di Osaka di situs Asosiasi Solusi Lingkungan dan Air Kota Osaka (OWESA). Sejak Maret 2000, air sungai yang dulu cokelat kehitam-hitaman, kini menjadi bersih. Bahkan Pemkot Osaka membuat sistem pengolahan air sungai, sehingga air tersebut layak untuk diminum, karena berhasil menghilangkan bau dan rasa tidak enak pada air. Yang pasti juga tidak terdapat Bakteri E.coli

Kini kapasitas penyediaan air mencapai 2,43 juta meter kubik per hari. Setidaknya, 97,3 persen warga sudah terlayani air ledeng dan penyakit yang disebabkan oleh air, hampir nol persen. Sistem pengolahan air ledeng ini mendapatkan penghargaan standar ISO 22000  pada 2008, yakni standar internasional untuk menajeman keamanan pangan. Pada 24 Mei 2011, di ajang Monde, air asal Osaka ini mendapat penghargaan internasional di Brussels, Belgia.

Sekarang air untuk mencuci, mandi, dan minum di Osaka sama. Sungai-sungai yang bersih juga memungkinkan bermacam-macam acara digelar di sepanjang tepi sungai,” ujar Hiramatsu.

Sabtu, 02 Juni 2012

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 4


Gudeg telah mendunia. Itulah fakta pada gudeg yang tidak bisa lagi menganggap remeh. Makanan yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu, dan sambal goreng kerecek ini bukan makanan ndeso lagi, tetapi sudah menjadi makanan kaum urban. 

Tentu Djuariah (79) tak menyangka usahanya akan sukses seperti sekarang ini. Wanita yang dikenal sebagai mbah Djum yang tak lain pemilik warung Gudeg Yu Djum ini hanya bercita-cita tidak ingin menjadi pencari rumput untuk makanan sapi selama-lamanya. Namun berkat kegigihannya, usaha gudeg di jalan Wijilan no 31 yang dirintis sejak 1946 maju pesat. Begitu pula warung gudeg di Dusun Karangasem, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogya. Tak kuran dari 100 sampai 150-an mobil parkir di situ untuk menikmati gudeg Yu Djum, dimana rata-rata satu mobil membawa 5 penumpang.

Melalui gudeg, cucu-cucu mbah Djum rata-rata telah mengecap pendidikan tinggi. Begitu pula dengan dinasti bu Lies. Warung gudeg yang didirikannya sejak 1990-an ini mengantarkan ketiga anaknya menjadi Sarjana. Namun, Chandra (40), Elina (36), dan Feri (34) lebih memilih meneruskan bisnis orangtua mereka menjual gudeg, ketimbang bekerja sesuai latar belakang pendidikan mereka.

Berikanlah semua yang terbaik yang bisa kamu berikan pada pelanggan”.

Bloggers, itulah filosofi mbah Djum yang diwariskan pada anak-anaknya. Tak heran, gudeg jualannya tetap laris hingga ke generasi kedua dan ketiga. Menurut Haryani, anak mbah Djum, melalui filosofi itu, ibunya telah mempersiapkan anak-anaknya untuk meneruskan tahta warung gudegnya. Sehingga, selain cita rasa, anak-anaknya wajib mengikuti kultur yang sudah dilakukan ibunya, yang membuat warungnya laku.

Saya ingat betul, ibu selalu bilang, ‘Apa yang sudah ada di tangan jangan sampai dilepas. Tekuni saja, pasti berhasil’,” ujar Haryani (Kompas Minggu, 3/7/2011).

Sejak 1982, tahta pergudegan mbah Djum sudah dipegang oleh Haryani. Dinasti warung Gudeg Tugu juga diturunkan oleh Trispratoyo pada Supadmi (57) sejak duapuluh satu tahun lalu. Trispratoyo sendiri mewarisi bisnis gudeg dari orangtuanya yang sudah puluhan tahun berjualan di jalan AM Sangaji, tak jauh dari Pasar Kranggan, Yogyakarta. Jadi, Supadmi adalah generasi ketiga.

Kami mau meneruskan usaha ini (gudeg) karena usaha kami laku,”aku Supadmi, yang mewarisi tak cuma pelanggan dan warung gudeg, tetapi dapur, hingga seluruh peralatan memasak.

Tak beda dengan Supadmi, Maryati (42) adalah generasi ketiga penjual gudeg. Ia meneruskan usaha gudeg dari mertuanya, Suharti, yang laris di Pasar Pakem, Sleman. “Ibu (Suharti) sendiri meneruskan usaha gudeg si mbah,” ungkap Maryati. “Ternyata usaha ini (gudeg) menjanjikan”.

Bloggers, gudeg memang sudah menjadi usaha yang menjanjikan. Makanan ndeso yang konon ditemukan oleh Sri Sumantri, seorang istri prajurit Mataram, pada 1557 M ini bukan lagi sekadar makanan untuk para prajurit yang membangun benteng Mataram, tetapi sudah bertransformasi menjadi produk ekspor. Jelas fakta ini sangat membanggakan bagi kita sebagai orang Indonesia. 

(tamat)

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 3


Gudeg mengalami transformasi. Kesimpulan itu ditulis oleh wartawan Kompas, Budi Suwarna dan Aloysius B. Kurniawan di Kompas Minggu (3 Juli 2011). Dari hasil liputan mereka, gudeg saat ini tak sekadar dianggap kuliner lokal atau nasional, tetapi sudah menjadi makanan kelas dunia.

Gudeg tidak lagi dibukus dengan daun pisang atau box karton, tetapi sudah dikemas dengan kaleng. Layaknya ikan sarden kaleng, gudeg kini dimasukkan ke dalam kaleng, dimana mampu bertahan hingga dua tahun, meski tidak menggunakan bahan pengawet.

Bloggers, begitulah tuntutan zaman. Inovasi yang kini diterapkan oleh sejumlah pengusaha gudeg agar bisa mempu mengekspor makanan khas Yogya itu melintasi batas negara dan benua. Kemasan kelang ini jelas cocok bagi konsumen yang terbiasa dengan gaya hidup praktis dan instan.

Sejak muncul diperkirakan pada 1940-an, gudeg bukan sekadar dinikmati oleh penikmat kuliner lokal maupun nasional, tetapi juga wisatawan asing yang sempat merasakan kelezatan makanan khas Yogya ini. Penjual gudeg pun sudah turun temurun. Maryati (45) misalnya. Wanita ini adalah generasi ketiga pewaris tahta warung gudeg Bu Suharti yang berlokasi di Pasar Pakem, Sleman.

Tak beda dengan mbah Djum (78). Ia adalah generasi kedua yang mewarisi dunia gudeg. Orangtuanya, (alm) Geno Suwito adalah pembuat gudeg terkenal dari Kampung Mbarek. Padahal sebelum menjadi penjual gudeg, mbah Djum yang bernama asli Djuariah ini adalah seorang pencari rumput.

Namun warisan orangtuanya bukanlah bisnis yang sudah eksis. Ada motivasi dan tekad yang kuat dari mbah Djum. Ia tidak ingin menjadi pencari rumput yang cuma memiliki penghasilan pas-pasan. Nasibnya harus bisa berubah. Sementara ‘kendaraan’ yang digunakan untuk merubah nasibnya adalah ilmu per-gudeg-an warisan orangtuanya.

Setiap hari saya harus bisa mengumpulkan tiga keranjang rumput. Dua keranjang untuk makansapi, satu keranjang untuk dijual dan uangnya ditabung di dalam bambu yang jadi tiang rumah,” tutur mbah Djum mengingat masa lalunya (Kompas, Minggu, 3/7/2011).

Begitu tabungan cukup, mulailah mbah Djum membuka usaha gudeg. Kala itu, sekitar 1950-an, ia harus berjalan kaki menuju jalan Wijilan untuk berdagang gudeg. Orangtuanya yang membuat, ia yang menjual. Setiap malam memasak, pagi jualan. Begitu terus menerus dilakukannya bertahun-tahun.

Bloggers, kini, ketika kita ke Yogya, tak ada yang tak kenal dengan Gudeg Yu Djum yang berada di Kampung Berek, tepat sebelah utara kampus Universitas Gadjah Mada. Begitu pula dengan Gudeg Bu Lies yang berada di Wijilan. Meski sudah dipegang oleh generasi kedua, namun gudeg-gudeg mereka tetap manis dan gurih.

Guna memenuhi kebutuhan pasar, bu Elies membuat inovasi dengan menjual gudeg dalam kemasan kaleng. Sebenarnya inovasi ini pertama kali dirancang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gunung Kidul, Yogyakarta pada 2008-2009.

Pada 2011, inovasi karya LIPI itu diadopsi beberapa warung gudeg, mulai dari Gudeg Bu Lies, Gudeg Bu Citro, dan Gudeg Bu Joyo. Gudeg kemasan kaleng ini telah berhasil menembus pasar Arab Saudi, Belanda, dan negara-negara Eropa lain. Menurut Agus Susanto, peneliti LIPI Gunung Kidul, setiap hari memproduksi 1.000-1.500 kaleng gudeg. Sementara kemampuan produksi bisa mencapai 8.000-10.000 kaleng per hari. Itu artinya, warung-warung gudeg bisa memanfaatkan kemampuan itu untuk menjual gudeg dalam bentuk kaleng.

(bersambung)

Jumat, 01 Juni 2012

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 2


Setiap hari  Sukarman (49) mengolah 200 kilogram gori (buah nangka muda) menjadi gudeg, mengupas 2.000 butir telur, dan menyembelih 150 ekor ayam. Tentu saja, bukan cuma Sukarman sendiri. Ada sekitar 40 orang yang menjadi karyawan di Gudeg Yu Djum, Dusun Karangasem, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta ini.

Kami bisa memproduksi dua atau tiga kali lipat pada akhir pekan,” ujar pria berbadan kekar itu (Kompas Minggu, 3 Juli 2011). “Produksi ditingkatkan lagi pada libur lebaran. Bahkan  kami bisa memproduksi dua ton gudeg untuk dijual pada hari kedua hingga ketujuh setelah lebaran”.

Bloggers, gara-gara Gudeg Yu Djum, Kampung Mbarek ini mendapatkan rezeki. Betapa tidak, selain banyak warga kampung yang menjadi karyawan warung gudeg itu, tak sedikit pula tumbuh warung gudeg di kampung yang berada di sisi jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Peneliti makanan tradisional dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Mudijati Gardjito memperkirakan, tradisi memproduksi gudeg di Kampung Mbarek ini muncul pada periode antara 1950 dan 1965. Perkiraan ini diambil atas dasar, pada periode 1950-an, penjual gudeg hanya bisa ditemui di pasar.

Analisa Prof. Mudjiati tersebut boleh jadi benar. Sebab, sebelum membuka warung gudeg di seberang kampus Universitas Gadjah Mada, mbah Djuwariah (nama asli pemilik Gudeg Yu Djum) masih jalan kaki dan menggendong gudegnya ke Wijilan. Bertahun-tahun kemudian, mbah Djum menggangkut dagangannya dengan becak, andong, dan kemudian mobil.

Meski jualan gudegnya ke Wilijan, tetapi sejak awal, produksi gudegnya di Kampung Mbarek. Mbah Djum adalah generasi kedua penjual gudeg. Saat orangtuanya, Geno Suwito sudah tak mampu lagi berjualan, mbah Djum yang melakukan. (alm) Geno yang memasak di Kampung Mbarek dan mbak Djum yang berjualan gudeg. Itulah cikal bakal Kampung Mbarek menjadi kampung gudeg.

Bloggers, sejak Gudeg Yu Djum diserbu banyak pelanggan, ada sekitar lima warung gudeg tumbuh di sekitar Kampung Mbarek dan mereka eksis sampai saat ini. Warung-warung itu adalah Gudeg Bu Ahmad, Gudeg Bu Atemo, Gudeg Bu Gito, Gudeg Bu Narni, dan Gudeg Bu Nendar. Yu Djum sendiri sudah tidak aktif lagi secara operasional. Ia lebih suka mengunyah sirih sambil melipat daun pisang untuk pembungkus gudeg. Sejak 1982, kedua anaknya lah yang kini mengurus warung Gudeg Yu Djum. Satu di Wijilan, satu lagi di Kampung Mbarek.

(bersambung)

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 1


Tak banyak tahu, saat ini gudeg telah dikonsumsi oleh warga Eropa. Namun, sudah  setahun lebih Elies Dyah Dharmawati (59) telah mengekspor gudeg melintasi benua hingga Eropa. Ibu yang akrab disapa bu Lies ini mengemas gudeg dalam bentuk kaleng.

Itulah gudeg, makanan khas Yogja yang kini telah bertransformasi menjadi makanan kelas dunia. Dengan kekhasan buah nangka muda (gori) yang manis, daging ayam kampung yang disuwir-suwir, telur bebek pindang rebus, paduan sayur tempe, dan sambal krecek, menjadikan gudeg sangat populer di berbagai kalangan.

Bloggers, sampai saat ini saya belum menemukan literatur sejarah pasti gudeg. Untuk melacak eksistensi gudeg biasanya dari warung-warung penjual gudeg itu sendiri. Di selatan Plengkung Tarunasura (Plengkung Wijilan) berderet warung-warung gudeg. Di antara warung tersebut, warung ibu Slamet yang pertama kali merintis usaha gudeg, yakni pada 1942.

Baru pada 1950-an, muncul warung gudeg Campur Sari dan Warung Gudeg Ibu Djuwariah yang dikenal dengan Gudeg Yu Djum. Meski warung ibu Slamet yang pertama menjual gudeg, tetapi Gudeg Yu Djum yang dikenal sampai kini. Bahkan Warung Campur Sari sempat tutup pada 1980-an dan 13 tahun kemudian muncul dengan brand berbeda, yakni Gudeg ibu Lies yang dimiliki ibu Elies Dyah Dharmawati itu.

Di lokasi berbeda, di sisi Barat areal gedung bioskop jalan Sultan Agung, Yogyakarta, terdapat Gudeg Permata yang dirintis oleh ibu Pujo sekitar 1951. Dinamakan Gudeg Permata, karena nama bioskop di lokasi warung gudeg itu berada adalah Permata. Bioskop Permata itu sendiri sudah berdiri sejak 1940-an.

Bloggers, Gudeg Permata ini begitu terkenal. Tak cuma dari kalangan warga biasa, tetapi dari kalangan ningkrat maupun tokoh nasional. Sebut saja Sri Sultan HB X, almarhum Sri Paku Alam VIII, Walikota Yogyakarta Herry Zudianto, Menpora Andi Mallarangeng, Wakil Gubernur Banten Rano Karno, dan masih banyak lagi.

Gudeg Yu Djum juga tak kalah terkenal. Warung yang terletak di seberang kampus Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta itu juga kerap didatangi oleh para tokoh nasional maupun public figure. Haryadi (38) juru parkir di Kampung Mbarek, kampung Gudeg Yu Djum ini mengatakan, setiap hariada 100 hingga 150-an mobil pengunjung yang masuk ke kampung ini, dimana rata-rata 1 mobil berisi 5 penumpang. Tujuannya tak lain ke warung Gudeg Yu Djum.


Meski di Plengkung Wijilan dan di area gedung bioskop jalan Sultan Agung, Yogyakarta baru muncul pada 1940-an, tetapi ada literatur yang mengatakan sejarah gudeg telah ada sejak era dibukanya alas (hutan) Mentaok untuk pembangunan Kraton Mataram. 


Ketika membebaskan hutan, di situ terdapat banyak tumbuh pohon nangka muda (gori) sebagai bahan baku utama gudeg. Selain itu juga terdapat pohon kelapa yang tumbuh di pinggir hutan dan tepi sungai. Suatu ketika para prajurit yang bertugas memasak gori dan santan dari kelapa diminta prajurit lain yang bertugas menebang pohon. Walhasil, gori yang telah bercampur santan itu lupa diangkat selama 6-8 jam. Namun, dari ‘kecelakaan’ itu justru menciptakan makanan baru bernama gudeg.

Sementara ada kisah lain yang mengatakan, penemu gudeg bukan prajuit Mataram yang bertugas di dapur umum. Gudeg ditemukan oleh seorang istri prajurit yang bernama Sri Sumantri. Wanita ini pertama kali memasak gudeg menggunakan nangka muda yang dicampur dengan gula dan santan pada 1557 M.

(bersambung)