Minggu, 04 November 2012

Berkunjung ke Rumah Kebun Aquaponic Fadly Padi

Doomsday preppers!

Begitu kata Andy Fadly Arifudin alias Fadly tentang rumah kebunnya di Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Jelas vokalis band Padi ini, konsep rumah dengan kebun aneka tumbuhan ini sengaja ia buat untuk kebutuhan sehari-hari, terutama kebutuhan akan sayuran organik dan protein hewani.
Kita makan apa yang kita tanam,” ujarnya

Istilah doomsday preppers (DP) atau ‘preppers kiamat’ ini diakuinya, saat ia nonton di National Geographic (Nat Geo), yakni di situs www.gardenpool.org. DP adalah acara reality showdi kanal National Geographic (NatGeo). Konsepnya menggambarkan aktivitas orang-orang yang mempersiapkan diri menghadapi akhir peradaban. Salah satu persiapan adalah memproduksi sendiri kebun berisi tanaman untuk kebutuhan hidup. Sehingga, pada saat musim kelaparan tetap memiliki stok makanan.

Saya pikir (DP) ini sama dgn yang saya bikin. Cuman orang Amerika lebih lengkap. Mereka bersiap untuk kejatuhan Dollar. Saya merasa, kita semua sudah berada di akhir zaman, dimana suatu saat tanaman akan menjadi alat tukar.”

1351074976207649598

Bloggers, terlepas dari fenomena DP, saya beruntung bisa berkunjung ke rumah kebun Fadly Padi siang kemarin. Kebetulan istri saya, Sindhi, yang aktif di #IndonesiaBerkebun mengabarkan pada saya, bahwa komunitas yang bergerak dalam berkebun, ingin melakukan kunjungan ke rumah Fadly. Sudah sejak lama saya ingin melihat rumah kebunnya yang inspiratif ini. Alhamdulillah, impian saya tercapai.

Bloggers, Fadly membangun kebun di atas tanah seluas 386 m2 ini sejak 2012. Di tanah ini, ada bangunanan. Sementara sekitar 150 m2 dipergunakan untuk kebun. Sebelum menjadi kebun, rumah pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 13 Juni 1975 sekadar rumah ‘biasa’, sebagaimana rumah-rumah tetangga sebelahnya. Ada bangunan, plus tanah dengan tanaman ala kadarnya.

Ia membeli rumah kebun yang lokasinya di gang persis di seberang lapangan udara Pondok Cabe ini pada 2007. Saat itu, ia ditawari oleh Dika, pemain bas Ada Band, yang tak lain sepupunya. Si pemilik menjual tanah bersertarumah tua seluas kurang lebih 500 m2. Dari luas itu, Fadly dan Dika membagi dua.

Saya mengambil tanah 386 meter persegi, plus bonus rumah tua ini, sementara Dika mengambil sisanya,” jelas suami Dessy Aulia ini.

1351075062268985443

Dua tahun setelah dibeli, barulah Fadly giat menjadikan rumahnya penuh dengan tanaman. Tak kurang dari pak choy, cabe, sereh, pohon salam, jahe merah, binahong, lengkuas, pandan, tomat, basil, timun suri, kacang panjang, dan kemangi. Ada pula buah-buahan, mulai dari alpukat, sirsak, manggis, jambu, pepaya, pisang ambon, dan durian. 

Alhamdulillah, targetnya kebun ini bisa untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar ayah dari Bilal, Aidan, Fathimah, dan Hasan ini.

Bloggers, melihat aneka jenis tanaman dan buah-buahan yang ada di kebun Fadly ini, jelas sudah bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Betapa tidak, ingin memasak sayur, tinggal ambil di kebun. Untuk lauk-pauk, ia juga memiliki kolam ikan. Jika sebelumnya, ia memelihara ikan lele, ketika saya berkunjung, yang ada di kolam adalah ikan nila.

Di kolam ini lela cuma bertahan 2 bulan. Bukan karena mati, tapi kita makanin terus,” papar mantan vokalis Mr. Q. Band dari Surabaya, yang kini sedang mempersiapkan mengelola ribuan lele di dalam sebuah bekas watertoren ini.

13510751001618039604

Dalam mengelola kebunnya, Fadly cukup kreatif. Ia rajin mengumpulkan barang-barang bekas dan memanfaatkannya menjadi pot. Ada bekas bath tube, gentong air, botol minuman mineral, watertoren, dan barang bekas lain. Selain digunakan untuk pot, ia memanfaatkan botol minuman mineral untuk membungkus bambu-bambu yang menjadi penyangga tanaman di kebun itu.

Bambu ini diplastikan supaya tidak kena rayap,” jelas Fadly, yang mengurus kebunnya ini bersama 2 orang lain. “Rayap nggak mungkin masuk, karena nggak ada celah untuk masuk, karena bambu sudah terbungkus plastik. Kalo kena air, bambu juga nggak cepat lapuk. Soalnya kalo penyangga nggak mau cepat lapuk harus pake kayu jati dan itu jelas mahal.

Tentu untuk mengumpulkan, Fadly harus hunting. Namun, katanya, ia hunting jika mau cari kolam dan growbed untuk Aquaponic. Huntingnya pun dekat rumah. Khusus untuk bamboo, ia mengaku punya teman penjual bambu dan lapak barang bekas, dimana biasa mengantarkan botol minuman mineral bekas dan bambu ke rumah kebunnya.

Selama ini, ia belajar berkebun dengan otodidak, termasuk belajar Aquaponic. Khusus Aquaponic, ia belajar dari YouTube dan berbagai sumber internet. Juga dari buku karya Sylvia Bernstein berjudul Aquaponics gardening.

Bagi Bloggers yang belum tahu, Aquaponics adalah campuran antara budidaya ikan atau peternakan ikan dan hidroponik atau budi daya tanaman dengan menggunakan sedikit tanah dalam sistem tertutup. Dengan naiknya harga bahan bakar dan pupuk, sementara pasokan air irigasi berkurang, Aquaponics bisa menjadi alternatif.

Menurut Sylvia Bernstein, “Aquaponics benar-benar merupakan sistem sirkulasi lahan basah, sehingga sistem itu berjalan tepat di tepi danau kami.”


Sistem Aquaponic ini menarik dan semakin banyak orang di seluruh dunia berkebun Aquaponics, dan menikmati hasilnya: pasokan makanan yang sehat, aman dan lezat sepanjang tahun. Di India, Aquaponics dijadikan salah satu kegiatan ekonomi yang tumbuh paling cepat dalam 10 tahun terakhir ini. Menurut Fadly, sibuknya hanya di awal-awal pada saat membangun system. “Setelah itu tingggal menyemai dan menanam. Jadi sebenarnya tidak terlalu menyibukkan.”

Selain tidak menyibukkan jika ssstem sudah berjalan, dari segi pendanaan pun relatif murah meriah. Ungkap Fadly, dana yang dibutuhkan untuk perawatan, paling cuma membayar tagihan listrik dan pembelian benih. Selama berkebun dengan Aquaponic ini, tagihan listriknya setiap bulan sekitar Rp. 200.000. Lalu, tenaga kerja cuma datang 2 kali sepekan.

Mereka datang untuk nge-check mesin pompa.

1351075169437398857

Bloggers, tentu saja, selain fokus berkebun dengan Aquaponic-nya, Fadly tetap bergabung dengan rekan-rekannya: Ari (gitar), Yoyo (drum), Rindra (bas), dan Piyu (gitar) di Padi. Maklumlah, ia adalah pendiri band yang didirikan pada 8 April 1997 ini. Belakangan, ia sedang mengerjakan proyek bersama Rindra, Yoyo, dan Stephan Santoso dengan nama Musikimia.

Kita cuma berempat. Anggotanya memang minimalis, tetapi musiknya maksimalis,” jelas Fadly, yang aliran musiknya seperti Soundgarden atau Led Zeppelin. 

Musikimia ini adalah proyek Fadly dan kawan-kawan selama mengisi kekosongan Padi yang sedang vakum. Band ini sendiri dimanajeri oleh Ari, yang tak lain adalah gitaris Padi, selain gitaris utama: Piyu. Di Musikimia, selain menjadi Manajer, Ari juga bertindak sebagai co-Producer dan fokus di belakang layar. Saat ini mereka sedang mempersiapkan album.

Bloggers, sebelum saya dan teman-teman dari #IndonesiaBerkebun pamit pulang, Fadly sempat ditodong nyanyi. Awalnya ia malu-malu. Namun, karena didesak oleh permintaan para ‘ibu-ibu’, Fadly pun menyerah. Ia pun menyanyi sepotong lagu Padi sambil memainkan gitarnya.


Jumat, 12 Oktober 2012

DKI Jakarta Siap Operasikan Bike Path, Jalur Sepeda Paling Aman

ak akan lama lagi para pesepeda di DKI Jakarta akan memiliki bike path. Tak seperti bike line, bike path merupakan jalur khusus sepeda. Tak boleh ada kendaraan lain selain sepeda, termasuk motor, yang diizinkan masuk ke jalur sepeda.

Selama ini, DKI Jakarta hanya memiliki bike line. Di Blok M, Jakarta Selatan misalnya. Ada jalur hijau yang merupakan bike line. Selain Blok M, beberapa lokasi yang sudah punya jalur sepeda adalah adalah Lippo Karawaci, Lippo Cikarang, Sentul City dan Jababeka. Namun sayangnya bike line ini tidak efektif, karena jalurnya masih menyatu dengan kendaraan umum lain. Motor seringkali menyerobot masuk ke bike line. Pun mobil seenaknya parkir di jalur yang sebenarnya khusus untuk sepeda itu. Metromini atau angkot berhenti seenaknya menghalangi jalur sepeda. Oleh karena itu, pembangunan bike path sangat dinantikan pesepeda.

Menurut rencana, bike path akan dioperasikan ruas-ruas menuju jalan protokol di Jakarta. Namun, untuk periode pertama, bike path baru dilakukan di Kanal Banjir Timur (KBT).  Menurut Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Udar Pristono, saat ini bike path di KBT sudah selesai 80%. Jika tidak aral melintang, jalur sepeda sepanjang 6,7 km ini akan rampung per akhir 2012 ini.

Setelah KBT, Pemda DKI Jakarta akan melanjutkan pembangunan bike path hingga ke Marunda. Jalur sepeda ke arah rumah si Pitung ini akan memiliki panjang kurang lebih 44 km, dimana di sisi utara panjangnya 22 km dan sisi selatan 22 km. Tentu saja, ruas-ruas lain juga akan dibangun bike path, apalagi jika terdapat lahan di sisi sungai, pasti bisa dibangun bike path, termasuk jalan yang melintasi Sungai Ciliwung, seperti Manggarai, Pasar Baru, maupun Tanah Abang.

Guna menjaga agar bike path tidak dimanfaatkan oleh motor, Dishub DKI Jakarta sudah memasang marka, pembatas beton, bollard, maupun portal. Menurut Udar, setiap hari akan ada lima petugas dari Dishub DKI Jakarta yang berjaga di setiap persimpangan bike path.

Melihat kebijakan Pemda DKI Jakarta yang ramah terhadap pesepeda, rasanya tak berlebihan jika suatu hari nanti, Jakarta akan menjadi kota sepeda. Tidak seperti sekarang menjadi kota motor. Dan jika menjadi kota sepeda, Insya Allah kota Jakarta bisa sejajar dengan 11 kota di dunia yang berhasil memperoleh predikat kota paling ramah untuk pesepeda, yakni Amsterdam, Belanda; Portland, Oregon, AS; Copenhagen, Denmark; Boulder, Colorado, AS; Davis, California, AS; Sandnes, Norwegia; Trondheim, Norwegia; San Fransisco, California, AS; Berlin, Jerman; Barcelona, Spanyol; Bassel, Swiss;

Sebagaimana diungkapkan dalam penelitian Virgin-Vacations (www.virgin-vacations.com), bahwa salah satu upaya memperbaiki kualitas bersepeda di dalam kota justru berasal dari dua pihak: penduduk dan pemerintah kota. Dalam hal ini, kebijakan Pemda DKI Jakarta sudah benar. Kebijakan pembangunan bike path ini akan membuat penduduk semakin nyaman menggunakan sepeda sebagai alternatif transportasi.
Namun begitu, ada masalah lain. Pesepeda boleh senang, tetapi sebaliknya belakangan pelaku industri sepeda nasional justru mengeluhkan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada produsen sepeda dalam negeri. Pasalnya, harga produksi dalam negeri lebih mahal daripada harga impor sepeda utuh. Betapa tidak, bea masuk impor bahan baku sepeda saat ini 10%-15%, sedangkan bea masuk impor sepeda 0%-5%.

Selasa, 12 Juni 2012

JANGAN PERNAH MAU MENGALAH DENGAN PENGENDARA MOTOR

Pejalan kaki memiliki kasta paling rendah karena dianggap paling miskin dan tak memiliki kendaraan”.

Pernyataan Pengamat Perkotaan dan Lingkungan Hidup, Nirwono Yoga yang penulis kutip dari Republika (2/3/2012) itu, tentu tidak sedang melecehkan pejalan kaki. Namun, justru ingin mengkritisi Pemerintah Kota (Pemkot) serta pemilik kendaraan yang memarjinalkan para pejalan kaki.

Buruknya kondisi trotoar di Ibu Kota, menurut Yoga, karena pola pikir Pemkot dan pemerintah pusat yang tidak memprioritaskan hak pejalan kaki. Jadi jika dikatakan pedestarian merupakan infrastruktur kota yang memiliki kasta paling rendah di kota besar, terutama di Jakarta, itu bukan omong kosong.

Bloggers, salah satu sebab mengapa pejalan kaki termarjinalkan, karena Pemkot lebih memilih memberdayakan pedagang kaki lima (PKL) dan juru parkir untuk memanfaatkan trotoar. Jika pejalan kaki ‘menghamburkan uang’, karena Pemkot harus membuat infrastruktur, sementara PKL dan juru parkir menghasilkan uang bagi kas Pemerintah Daerah (Pemda). Meski sebetulnya kas Pemda yang saya maksud di sini masih perlu dipertanyakan kelegalitasannya. Sebab, baik PKL maupun juru parkir off road, kebanyakan illegal. Tak terdata secara formal sebagai kas negara, tetapi lebih untuk pemasukkan oknum.


Dengan menggunakan pola pikir ekonomi illegal seperti itu, sampai kapan pun masalah pejalan kaki yang termarjinalkan ini tidak akan pernah selesai. Ini belum kita bongkar tentang proyek-proyek penataan area pedestarian yang dilakukan oleh 12 instansi di jajaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Dinas Pertamanan dan Keamanan (Distamkam) mengurus masalah estetika, seperti bangku, tempat sampah, dan halte. Lalu, Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI mengurus terkait jalan dan utilitas. 

Banyaknya instansi yang memiliki kewenangan di atas trotoar membuat pengamanan dan perawatan terabaikan,” ujar Pengamat Tata Kota Yayat Supriyatna. “Akibatnya, banyak trotoar yang diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi. Masalahnya apa lagi kalau bukan soal uang. Mereka (PKL) kan dipungut retribusi”. 

Apa yang dikatakan Yayat memang terbukti. Fakta di lapangan, banyak halte yang dijadikan warung rokok atau kios koran. Begitu juga di jembatan penyebrangan. Saat ini jembatan penyeberangan tidak luput dari PKL. Mereka yang berjalan kaki sudah tidak nyaman lagi menyeberang, karena setengah area jalan sudah dicaplok oleh PKL. Sangat mustahil jika aparat dari Pemprov tidak tahu kondisi tersebut. 

Soal fungsinya beralih, bukan tugas kami,” begitu kata Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum Jalan Jakarta Barat, Yusmada Faizal, seolah lepas tangan dari kondisi tersebut.

Sejak dari zaman Gubernur Sutiyoso sampai Fawzi Bowo (Foke) sekarang, PKL memang makin menjamur tanpa ada penertiban. Padahal sebetulnya Sutiyoso sudah sempat membuat prototipe melokalisasikan PKL di satu tempat. Namun entah kenapa di zaman Foke ini PKL dibiarkan bebas, sehingga mengganggu pejalan kaki.


Giliran di trotoar tidak ada PKL atau parkir kendaraan, para pejalan kaki belum juga aman. Mereka masih diganggu oleh para pengendara motor. Jika kebetulan sedang berjalan kaki, saya adalah orang yang tidak akan pernah memberi jalan motor-motor yang melaju di trotoar. Kompasianers, jika Anda juga pejalan kaki dan sedang berjalan di trotoar, saya sarankan JANGAN PERNAH MAU MENGALAH DENGAN PENGENDARA MOTOR. Anda punya hak untuk berjalan, bukan memberi jalan.

Ketika saya mengendarai motor, Alhamdulillah saya menahan diri untuk tidak mengambil hak para pejalan kaki dengan melajukan motor saya di trotoar. Semacet-macetnya jalan, buat saya HARAM berkendaraan di trotoar. Sebab, bagaimana kita mau mengkritisi orang lain untuk berdisiplin kalau kita sendiri tidak disiplin? Bagaimana kita mau berbicara tentang hak kita kalau hak orang lain saja kita injak-injak? Bagaimana kita membuat orang lain aman jika kebiasaan kita selalu membuat orang lain tidak aman?

Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Anda yang terbiasa merampok hak pejalan kaki. Alhamdulillah, saat ini di Kota-Kota besar tumbuh komunitas bernama Koaliasi Pejalan Kaki (KoPK). Menurut Ketua KoKP, Ahmad Safrudin, koalisi yang terdiri dari berbagai latarbelakang profesi ini merupakan komunitas yang ingin memerdekakan hak pejalan kaki dari pengguna pendaraan bermotor.

Sebuah kota yang beradab bukan terlihat dari gedung-gedung mewah, tetapi dari tingkat kedisiplinan yang terlihat di jalan raya,” ujar Safrudin ketika diinterview oleh Andy Noya di acara Kick Andy.


Beberapa waktu lalu harian Kompas sempat membuat jejak pendapat terhadap 418 responden di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok (Jabodetabek) tentang keamanan dan kenyamanan berjalan di trotoar. Tujuhpuluh koma tiga persen responden  usia 17 tahun ke atas dan sudah menikah ini mengatakan, tidak nyaman lagi berjalan di trotoar. Begitu banyak PKL dan motor melaju di trotoar. Lalu tentang faktor keamanan berjalan di trotoar, 70,3% juga mengatakan tidak aman.

Melihat fakta tersebut, kebijakan terhadap pedesterian sangat urgent! Namun, menurut Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Indonesia Ellen Tangkudung, perbaikan area pedestarian tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong. Tambah Yayat, harus jelas juga interkoneksinya dan orientasi pembangunannya.

Apakah menuju halte ke tempat kerja, rumah, ataupun stasiun bus”. 

TAK PERLU SATU ABAD MENJERNIHKAN KALI

Osaka, Jepang, 1962. Sejumlah warga membuang langsung sampah rumah tangga ke kali. Kondisi kali makin parah dengan sampah dari industri-industri yang tengah berkembang pesat pada saat itu. Meski kotor, bau dan menggandung penyakit, namun kali itu tetap saja dipergunakan warga Osaka untuk segala kebutuhan, baik itu untuk mencuci, mandi, dan minum.

Saat musim panas tiba, airnya sangat berbau,” ujar Wali Kota Osaka, Kunio Hiramatsu.

Gambaran tentang kali di Osaka tersebut benar-benar mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pada 8 Juni 2012 lalu, Surabaya Post mengungkapkan air Kali Surabaya Timur yang mengalir dari Gunungsari-Jagir dianggap sebagai kali yang paling buruk. Daerah aliran sungai (DAS) yang melintasi 17 daerah di antaranya Kota Malang, Kabupaten Malang,Kabupaten Mojokerto,Kota Mojokerto, Kabupaten Jombang,dan Kediri ini mendapat predikat zona merah.


Tak beda dengan kali di Jakarta. Menurut buku Alam Jakarta: Sebuah Panduan Keanekaragaman Hayati yang Tersisa di Jakarta (Murai Kencana, 2008)yang ditulis oleh Ady Kristanto, air kali di Jakarta telah tercemar Bakteri Escherichia coli (Bakteri E.coli), dengan tingkat pencemaran mencapai 80%. Kondisi ini memprihatinkan dan sangat berbahaya bagi kesehatan warga.

Selama ini banyak anggapan, bahwa industrilah yang memiliki kontribusi besar mencemari sungai. Ternyata, Sekitar 80% pencemaran air sungai di Jakarta disebabkan oleh limbah rumah tangga. Selain kebiasaan membuang sampah sembarangan di kali, pencemaran berasal dari bahan pencuci yang mengandung fosfar tinggi serta surfaktan. 

Jika pencemaran terus berlanjut dan tidak ada perbaikan kualitas air, perairan akan menjadi anaerob (tidak ada oksigen). Kondisi ini dapat membuat organisme yang hidupnya bergantung pada oksigen akan mati. Efek yang lebih parah lagi, terganggunya rantai makanan yang dapat mengakibatkan kematian bagi organisme lain, baik langsung maupun tak langsung.

Kembali ke masalah kali di Osaka. Melihat kali di kota itu kotor, pada 1970-an Pemerintah Kota (Pemkot) mensahkan Undang-Undang Pengendalian Pencemaran Air untuk mengontrol limbah, mengawasi pembuangan limbah, dan mengendalikan pembuangan limbah domestik. Intinya, semua potensi yang mencemarkan air kali, dikontrol ketat oleh Pemkot Osaka. 

Ternyata tidak perlu seabad untuk menjernihkan air kali. Jika Pemkot serius, bukan tidak mungkin masalah air kali yang kotor bisa diselesaikan dengan baik. Sang Wali Kota Hiramatsu bangga memajang gambar air kali di Osaka di situs Asosiasi Solusi Lingkungan dan Air Kota Osaka (OWESA). Sejak Maret 2000, air sungai yang dulu cokelat kehitam-hitaman, kini menjadi bersih. Bahkan Pemkot Osaka membuat sistem pengolahan air sungai, sehingga air tersebut layak untuk diminum, karena berhasil menghilangkan bau dan rasa tidak enak pada air. Yang pasti juga tidak terdapat Bakteri E.coli

Kini kapasitas penyediaan air mencapai 2,43 juta meter kubik per hari. Setidaknya, 97,3 persen warga sudah terlayani air ledeng dan penyakit yang disebabkan oleh air, hampir nol persen. Sistem pengolahan air ledeng ini mendapatkan penghargaan standar ISO 22000  pada 2008, yakni standar internasional untuk menajeman keamanan pangan. Pada 24 Mei 2011, di ajang Monde, air asal Osaka ini mendapat penghargaan internasional di Brussels, Belgia.

Sekarang air untuk mencuci, mandi, dan minum di Osaka sama. Sungai-sungai yang bersih juga memungkinkan bermacam-macam acara digelar di sepanjang tepi sungai,” ujar Hiramatsu.

Sabtu, 02 Juni 2012

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 4


Gudeg telah mendunia. Itulah fakta pada gudeg yang tidak bisa lagi menganggap remeh. Makanan yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu, dan sambal goreng kerecek ini bukan makanan ndeso lagi, tetapi sudah menjadi makanan kaum urban. 

Tentu Djuariah (79) tak menyangka usahanya akan sukses seperti sekarang ini. Wanita yang dikenal sebagai mbah Djum yang tak lain pemilik warung Gudeg Yu Djum ini hanya bercita-cita tidak ingin menjadi pencari rumput untuk makanan sapi selama-lamanya. Namun berkat kegigihannya, usaha gudeg di jalan Wijilan no 31 yang dirintis sejak 1946 maju pesat. Begitu pula warung gudeg di Dusun Karangasem, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogya. Tak kuran dari 100 sampai 150-an mobil parkir di situ untuk menikmati gudeg Yu Djum, dimana rata-rata satu mobil membawa 5 penumpang.

Melalui gudeg, cucu-cucu mbah Djum rata-rata telah mengecap pendidikan tinggi. Begitu pula dengan dinasti bu Lies. Warung gudeg yang didirikannya sejak 1990-an ini mengantarkan ketiga anaknya menjadi Sarjana. Namun, Chandra (40), Elina (36), dan Feri (34) lebih memilih meneruskan bisnis orangtua mereka menjual gudeg, ketimbang bekerja sesuai latar belakang pendidikan mereka.

Berikanlah semua yang terbaik yang bisa kamu berikan pada pelanggan”.

Bloggers, itulah filosofi mbah Djum yang diwariskan pada anak-anaknya. Tak heran, gudeg jualannya tetap laris hingga ke generasi kedua dan ketiga. Menurut Haryani, anak mbah Djum, melalui filosofi itu, ibunya telah mempersiapkan anak-anaknya untuk meneruskan tahta warung gudegnya. Sehingga, selain cita rasa, anak-anaknya wajib mengikuti kultur yang sudah dilakukan ibunya, yang membuat warungnya laku.

Saya ingat betul, ibu selalu bilang, ‘Apa yang sudah ada di tangan jangan sampai dilepas. Tekuni saja, pasti berhasil’,” ujar Haryani (Kompas Minggu, 3/7/2011).

Sejak 1982, tahta pergudegan mbah Djum sudah dipegang oleh Haryani. Dinasti warung Gudeg Tugu juga diturunkan oleh Trispratoyo pada Supadmi (57) sejak duapuluh satu tahun lalu. Trispratoyo sendiri mewarisi bisnis gudeg dari orangtuanya yang sudah puluhan tahun berjualan di jalan AM Sangaji, tak jauh dari Pasar Kranggan, Yogyakarta. Jadi, Supadmi adalah generasi ketiga.

Kami mau meneruskan usaha ini (gudeg) karena usaha kami laku,”aku Supadmi, yang mewarisi tak cuma pelanggan dan warung gudeg, tetapi dapur, hingga seluruh peralatan memasak.

Tak beda dengan Supadmi, Maryati (42) adalah generasi ketiga penjual gudeg. Ia meneruskan usaha gudeg dari mertuanya, Suharti, yang laris di Pasar Pakem, Sleman. “Ibu (Suharti) sendiri meneruskan usaha gudeg si mbah,” ungkap Maryati. “Ternyata usaha ini (gudeg) menjanjikan”.

Bloggers, gudeg memang sudah menjadi usaha yang menjanjikan. Makanan ndeso yang konon ditemukan oleh Sri Sumantri, seorang istri prajurit Mataram, pada 1557 M ini bukan lagi sekadar makanan untuk para prajurit yang membangun benteng Mataram, tetapi sudah bertransformasi menjadi produk ekspor. Jelas fakta ini sangat membanggakan bagi kita sebagai orang Indonesia. 

(tamat)

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 3


Gudeg mengalami transformasi. Kesimpulan itu ditulis oleh wartawan Kompas, Budi Suwarna dan Aloysius B. Kurniawan di Kompas Minggu (3 Juli 2011). Dari hasil liputan mereka, gudeg saat ini tak sekadar dianggap kuliner lokal atau nasional, tetapi sudah menjadi makanan kelas dunia.

Gudeg tidak lagi dibukus dengan daun pisang atau box karton, tetapi sudah dikemas dengan kaleng. Layaknya ikan sarden kaleng, gudeg kini dimasukkan ke dalam kaleng, dimana mampu bertahan hingga dua tahun, meski tidak menggunakan bahan pengawet.

Bloggers, begitulah tuntutan zaman. Inovasi yang kini diterapkan oleh sejumlah pengusaha gudeg agar bisa mempu mengekspor makanan khas Yogya itu melintasi batas negara dan benua. Kemasan kelang ini jelas cocok bagi konsumen yang terbiasa dengan gaya hidup praktis dan instan.

Sejak muncul diperkirakan pada 1940-an, gudeg bukan sekadar dinikmati oleh penikmat kuliner lokal maupun nasional, tetapi juga wisatawan asing yang sempat merasakan kelezatan makanan khas Yogya ini. Penjual gudeg pun sudah turun temurun. Maryati (45) misalnya. Wanita ini adalah generasi ketiga pewaris tahta warung gudeg Bu Suharti yang berlokasi di Pasar Pakem, Sleman.

Tak beda dengan mbah Djum (78). Ia adalah generasi kedua yang mewarisi dunia gudeg. Orangtuanya, (alm) Geno Suwito adalah pembuat gudeg terkenal dari Kampung Mbarek. Padahal sebelum menjadi penjual gudeg, mbah Djum yang bernama asli Djuariah ini adalah seorang pencari rumput.

Namun warisan orangtuanya bukanlah bisnis yang sudah eksis. Ada motivasi dan tekad yang kuat dari mbah Djum. Ia tidak ingin menjadi pencari rumput yang cuma memiliki penghasilan pas-pasan. Nasibnya harus bisa berubah. Sementara ‘kendaraan’ yang digunakan untuk merubah nasibnya adalah ilmu per-gudeg-an warisan orangtuanya.

Setiap hari saya harus bisa mengumpulkan tiga keranjang rumput. Dua keranjang untuk makansapi, satu keranjang untuk dijual dan uangnya ditabung di dalam bambu yang jadi tiang rumah,” tutur mbah Djum mengingat masa lalunya (Kompas, Minggu, 3/7/2011).

Begitu tabungan cukup, mulailah mbah Djum membuka usaha gudeg. Kala itu, sekitar 1950-an, ia harus berjalan kaki menuju jalan Wijilan untuk berdagang gudeg. Orangtuanya yang membuat, ia yang menjual. Setiap malam memasak, pagi jualan. Begitu terus menerus dilakukannya bertahun-tahun.

Bloggers, kini, ketika kita ke Yogya, tak ada yang tak kenal dengan Gudeg Yu Djum yang berada di Kampung Berek, tepat sebelah utara kampus Universitas Gadjah Mada. Begitu pula dengan Gudeg Bu Lies yang berada di Wijilan. Meski sudah dipegang oleh generasi kedua, namun gudeg-gudeg mereka tetap manis dan gurih.

Guna memenuhi kebutuhan pasar, bu Elies membuat inovasi dengan menjual gudeg dalam kemasan kaleng. Sebenarnya inovasi ini pertama kali dirancang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gunung Kidul, Yogyakarta pada 2008-2009.

Pada 2011, inovasi karya LIPI itu diadopsi beberapa warung gudeg, mulai dari Gudeg Bu Lies, Gudeg Bu Citro, dan Gudeg Bu Joyo. Gudeg kemasan kaleng ini telah berhasil menembus pasar Arab Saudi, Belanda, dan negara-negara Eropa lain. Menurut Agus Susanto, peneliti LIPI Gunung Kidul, setiap hari memproduksi 1.000-1.500 kaleng gudeg. Sementara kemampuan produksi bisa mencapai 8.000-10.000 kaleng per hari. Itu artinya, warung-warung gudeg bisa memanfaatkan kemampuan itu untuk menjual gudeg dalam bentuk kaleng.

(bersambung)

Jumat, 01 Juni 2012

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 2


Setiap hari  Sukarman (49) mengolah 200 kilogram gori (buah nangka muda) menjadi gudeg, mengupas 2.000 butir telur, dan menyembelih 150 ekor ayam. Tentu saja, bukan cuma Sukarman sendiri. Ada sekitar 40 orang yang menjadi karyawan di Gudeg Yu Djum, Dusun Karangasem, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta ini.

Kami bisa memproduksi dua atau tiga kali lipat pada akhir pekan,” ujar pria berbadan kekar itu (Kompas Minggu, 3 Juli 2011). “Produksi ditingkatkan lagi pada libur lebaran. Bahkan  kami bisa memproduksi dua ton gudeg untuk dijual pada hari kedua hingga ketujuh setelah lebaran”.

Bloggers, gara-gara Gudeg Yu Djum, Kampung Mbarek ini mendapatkan rezeki. Betapa tidak, selain banyak warga kampung yang menjadi karyawan warung gudeg itu, tak sedikit pula tumbuh warung gudeg di kampung yang berada di sisi jalan Kaliurang, Yogyakarta.

Peneliti makanan tradisional dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Mudijati Gardjito memperkirakan, tradisi memproduksi gudeg di Kampung Mbarek ini muncul pada periode antara 1950 dan 1965. Perkiraan ini diambil atas dasar, pada periode 1950-an, penjual gudeg hanya bisa ditemui di pasar.

Analisa Prof. Mudjiati tersebut boleh jadi benar. Sebab, sebelum membuka warung gudeg di seberang kampus Universitas Gadjah Mada, mbah Djuwariah (nama asli pemilik Gudeg Yu Djum) masih jalan kaki dan menggendong gudegnya ke Wijilan. Bertahun-tahun kemudian, mbah Djum menggangkut dagangannya dengan becak, andong, dan kemudian mobil.

Meski jualan gudegnya ke Wilijan, tetapi sejak awal, produksi gudegnya di Kampung Mbarek. Mbah Djum adalah generasi kedua penjual gudeg. Saat orangtuanya, Geno Suwito sudah tak mampu lagi berjualan, mbah Djum yang melakukan. (alm) Geno yang memasak di Kampung Mbarek dan mbak Djum yang berjualan gudeg. Itulah cikal bakal Kampung Mbarek menjadi kampung gudeg.

Bloggers, sejak Gudeg Yu Djum diserbu banyak pelanggan, ada sekitar lima warung gudeg tumbuh di sekitar Kampung Mbarek dan mereka eksis sampai saat ini. Warung-warung itu adalah Gudeg Bu Ahmad, Gudeg Bu Atemo, Gudeg Bu Gito, Gudeg Bu Narni, dan Gudeg Bu Nendar. Yu Djum sendiri sudah tidak aktif lagi secara operasional. Ia lebih suka mengunyah sirih sambil melipat daun pisang untuk pembungkus gudeg. Sejak 1982, kedua anaknya lah yang kini mengurus warung Gudeg Yu Djum. Satu di Wijilan, satu lagi di Kampung Mbarek.

(bersambung)

GUDEG: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA # 1


Tak banyak tahu, saat ini gudeg telah dikonsumsi oleh warga Eropa. Namun, sudah  setahun lebih Elies Dyah Dharmawati (59) telah mengekspor gudeg melintasi benua hingga Eropa. Ibu yang akrab disapa bu Lies ini mengemas gudeg dalam bentuk kaleng.

Itulah gudeg, makanan khas Yogja yang kini telah bertransformasi menjadi makanan kelas dunia. Dengan kekhasan buah nangka muda (gori) yang manis, daging ayam kampung yang disuwir-suwir, telur bebek pindang rebus, paduan sayur tempe, dan sambal krecek, menjadikan gudeg sangat populer di berbagai kalangan.

Bloggers, sampai saat ini saya belum menemukan literatur sejarah pasti gudeg. Untuk melacak eksistensi gudeg biasanya dari warung-warung penjual gudeg itu sendiri. Di selatan Plengkung Tarunasura (Plengkung Wijilan) berderet warung-warung gudeg. Di antara warung tersebut, warung ibu Slamet yang pertama kali merintis usaha gudeg, yakni pada 1942.

Baru pada 1950-an, muncul warung gudeg Campur Sari dan Warung Gudeg Ibu Djuwariah yang dikenal dengan Gudeg Yu Djum. Meski warung ibu Slamet yang pertama menjual gudeg, tetapi Gudeg Yu Djum yang dikenal sampai kini. Bahkan Warung Campur Sari sempat tutup pada 1980-an dan 13 tahun kemudian muncul dengan brand berbeda, yakni Gudeg ibu Lies yang dimiliki ibu Elies Dyah Dharmawati itu.

Di lokasi berbeda, di sisi Barat areal gedung bioskop jalan Sultan Agung, Yogyakarta, terdapat Gudeg Permata yang dirintis oleh ibu Pujo sekitar 1951. Dinamakan Gudeg Permata, karena nama bioskop di lokasi warung gudeg itu berada adalah Permata. Bioskop Permata itu sendiri sudah berdiri sejak 1940-an.

Bloggers, Gudeg Permata ini begitu terkenal. Tak cuma dari kalangan warga biasa, tetapi dari kalangan ningkrat maupun tokoh nasional. Sebut saja Sri Sultan HB X, almarhum Sri Paku Alam VIII, Walikota Yogyakarta Herry Zudianto, Menpora Andi Mallarangeng, Wakil Gubernur Banten Rano Karno, dan masih banyak lagi.

Gudeg Yu Djum juga tak kalah terkenal. Warung yang terletak di seberang kampus Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta itu juga kerap didatangi oleh para tokoh nasional maupun public figure. Haryadi (38) juru parkir di Kampung Mbarek, kampung Gudeg Yu Djum ini mengatakan, setiap hariada 100 hingga 150-an mobil pengunjung yang masuk ke kampung ini, dimana rata-rata 1 mobil berisi 5 penumpang. Tujuannya tak lain ke warung Gudeg Yu Djum.


Meski di Plengkung Wijilan dan di area gedung bioskop jalan Sultan Agung, Yogyakarta baru muncul pada 1940-an, tetapi ada literatur yang mengatakan sejarah gudeg telah ada sejak era dibukanya alas (hutan) Mentaok untuk pembangunan Kraton Mataram. 


Ketika membebaskan hutan, di situ terdapat banyak tumbuh pohon nangka muda (gori) sebagai bahan baku utama gudeg. Selain itu juga terdapat pohon kelapa yang tumbuh di pinggir hutan dan tepi sungai. Suatu ketika para prajurit yang bertugas memasak gori dan santan dari kelapa diminta prajurit lain yang bertugas menebang pohon. Walhasil, gori yang telah bercampur santan itu lupa diangkat selama 6-8 jam. Namun, dari ‘kecelakaan’ itu justru menciptakan makanan baru bernama gudeg.

Sementara ada kisah lain yang mengatakan, penemu gudeg bukan prajuit Mataram yang bertugas di dapur umum. Gudeg ditemukan oleh seorang istri prajurit yang bernama Sri Sumantri. Wanita ini pertama kali memasak gudeg menggunakan nangka muda yang dicampur dengan gula dan santan pada 1557 M.

(bersambung)

Senin, 07 Mei 2012

Kedatangan Teman Baduy Dalam # 2: “Loe Tau Darimane Nomer Gue?”

Pada saat ke Baduy Dalam beberapa waktu lalu, saya dan istri belum pernah berjumpa dengan Yardi dan Jali. Makanya saat hadir ke rumah kami, wajah mereka asing buat kami. Katanya, saat kami ke Baduy Dalam, tepatnya ke kampung Cibeo, mereka sedang berladang. Kami hanya menjumpai Safri dan Sarta, dua teman Baduy Dalam yang berkunjung ke rumah kami.

Pekerjaan wajib masyarakat Baduy adalah ngahuma (bertanam padi lahan kering). Pekerjaan ini bukan hanya sekedar mata pencaharian, tetapi juga merupakan ibadah yang merupakan kegiatan suci. Sebab, dalam berladang aktivitas yang dilakukan adalah mengawinkan dewi padi atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri

Kegiatan berladangnya akan selalu diikuti dengan upacara-upacara keagamaan yang dipimpin oleh ketua adat.  Beberapa larangan dalam proses kegiatan berladang bagi masyarakat Baduy antara lain:  (1) tanah tidak boleh dibalik, maksudnya dalam kegiatan penanaman dilarang mencangkul, tetapi cukup dinunggal; (2) dilarang menggunakan pupuk dan oabat-obat kimia;  (3) Dilarang membuka ladang di leuweng titipan (hutan tua) atau leuweng lindungan lembur (hutan kampung); (4) waktu pengerjaan harus sesuai ketentuan, tidak saling mendahului. 

Ke-4 ketentuan dan tata cara berladang tersebut, sifatnya mutlak. Semua ditentukan secara musyawarah oleh ketua adat di Baduy-Dalam berdasarkan pikukuh karuhun serta berlaku untuk semua warga Baduy. 

Back to kisah Yardi. Sore menjelang malam, Yardi sempat mendapat telepon dari seorang wanita. Kebetulan saya belum pulang dari kantor. Istri pun tidak mencoba untuk menggali wanita yang menghubungi Yardi ini. Selain mengganggu privacy, juga tidak terlalu penting untuk dijadikan pembicaraan. 

Namun yang menarik, pada saat menerima telepon, Yardi berbicara dengan bahasa Betawi ‘medok’ sekali. Istri yang kebetulan mendengar, karena memang suara Yardi keras, jadi tersenyum sendiri.

Ini sapa, nih?!” tanya Yardi. “Loe tau darimane nomor gue?!

Oleh karena saya tidak ada, jadi saya membayangkan, Yardi bukan lagi orang Baduy Dalam yang menggunakan bahasa lokalnya. Saya membayangkan, ia seperti sosok Mandra yang sedang menerima telepon dari wanita, sebagaimana pernah muncul dalam beberapa scene di sinetron Si Doel Anak sekolahan.

Seperti sebagian dari Anda ketahui, orang Baduy Dalam menggunakan bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Meski tidak mendapat pendidikan formal, sehingga tidak bisa membaca dan menulis, sebagian besar warga Baduy Dalam apalagi Baduy Luar, mampu berbahasa Indonesia. Oleh karena sering ke Jakarta, logat Betawi Yardi ternyata lebih kental. Kata ‘elo’ dan ‘gue’ sudah dikuasai dengan lancar.
  
(bersambung)

Kedatangan Teman Baduy Dalam #1: “Kalo Bapak Nggak Ada, Kami Nggak Jadi Nginep”

Siap-siap kedatangan tamu agung dari Baduy Dalam ya…”

Pesan dari istri saya via Blackbarry Message (BBM) cukup menggagetkan. Pasalnya, kami belum membuat janji pada teman-teman dari Baduy Dalam. Bukan kami tidak mau menerima tamu, tetapi justru kami ingin menjadikan tamu terhormat, yakni dengan cara mempersiapkan segala sesuatu di rumah.

Mereka sudah sampai Cawang, Pap,” ujar istri saya lagi.

Saya yang masih berada di kantor, tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempersiapkan diri berjumpa dengan mereka. Begitu pula istri, yang kebetulan masih on the way menuju ke rumah. Walhasil, terpaksa kami menerima mereka apa adanya.

Maaf merepotkan,” ujar Syafri, salah seorang dari empat warga Baduy Dalam, saat memasuki rumah kami.

Tidak kok. Malah senang banget bisa kedatangan tamu jauh,” sambut istri. “Tapi maaf ya rumahnya kecil dan kita nggak sempat beres-beres“.

Ah, nggak apa-apa. Ini sudah lebih dari cukup,” kata Syafri lagi.

Saya dan istri senang sekali bisa dikunjungi teman-teman Baduy Dalam ini. Selain Syafri, ada Yardi, Sarta, dan Jali. Sebab, tak semua orang Jakarta yang pernah ke Baduy, akan dikunjungi oleh mereka, bahkan dijadikan rumah tempat mereka menginap.

Suami ibu pulang jam berapa?” tanya Syafri pada istri saya.

Malam itu, kebetulan saya memang belum pulang dari kantor. Ada shooting program televisi yang harus saya kontrol. Meski sebetulnya bisa dilakukan oleh Produser, namun salah satu tugas dan tanggungjawab saya di kantor, memastikan sebuah shooting berjalan dengan lancar. Nah, kebetulan kemarin saya harus pulang malam.

Memangnya kenapa, Syafri?” tanya istri.

Kalo suaminya nggak ada, kami nggak jadi nginep.”

Luar biasa! Buat saya, pernyataan itu sebuah bentuk kesopansantunan dari seorang tamu. Meski teman-teman dari Baduy Dalam ini tidak ‘berpendidikan’, ternyata mereka memiliki prilaku yang beradab. Mereka tahu, betapa tidak sopan menginap di rumah orang, tetapi kepala rumah tangga tidak ada. Satu contoh lagi yang saya belajar dari mereka.

Dalam agama saya, Islam, juga mengajarkan tentang hal ini. Meski sang tuan rumah tetap mengizinkan menginap, namun jika ada kepala rumah tangga tidak ada, maka pamali untuk bermalam. Berbeda sekali dengan beberapa orang tamu yang biasa kita jumpai. Mereka seringkali tidak peduli ada atau tidak ada pemilik rumah atau kepala rumah tangga, tetap ngotot menginap.

Ada kok, tapi nanti pulangnya malam,” jelas istri saya, menenangkan hati Syafri dan kawan-kawan.

“Suami saya juga meminta kalian bermalam di sini“.

Mereka pun akhirnya menginap di rumah kami.

(bersambung)

Selasa, 17 April 2012

@JktBerkebun #Tanam Perpisahan @Springhill

Saya baru tahu kalo bibit biji jagung warnanya biru,” ujar Rahma Umaya, presenter televisi.

Barangkali bukan cuma Rahma yang baru tahu warna bibit biji jagung. Beberapa orang yang hadir di kebun Springhill, Kemayoran, Jakarta Pusat, bisa jadi mengalami hal yang sama. Namun, beruntunglah bagi Rahma dan mereka yang baru pertama kali hadir. Sebab, acara tanam-menanam sore 15 April 2012 ini merupakan Tanam Perpisahan di kebun Spinghill.

 Lahan di Springhill merupakan lahan yang pertama dari 4 lahan yang ‘dibina’ oleh komunitas @JktBerkebun. Tanam pertama dilakukan pada Februari 2011. Selain Springhill, @JktBerkebun juga ‘memiliki’ lahan di Bumi Pesanggrahan Mas, Kelapa Gading & Bumi Bintaro Permai. Lahan-lahan tersebut merupakan lahan kosong yang tidak difungsikan.

Tepat satu setengah tahun lalu, komunitas @JktBerkebun dipinjamkan oleh pihak developer Springhill, untuk memakai lahan kosong apartemen seluas satu hektar. Waktu itu jangka waktu peminjamannya cuma tiga bulan. Waktu tiga bulan itu dimanfaatkan oleh anggota komunitas untuk mengolah tanaman agrikultural. Tanaman pertama yang waktu itu dipilih adalah kangkung.

Kenapa kangkung? Sebab, tanaman ini merupakan tanaman yang paling mudah dan cepat untuk ditanam. Kangkung hanya membutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan untuk dipanen. Bagi anggota awal @JktBerkebun, proyek berkebun perdana ini memang tak ingin menargetkan menanam yang susah-susah. Yang penting anggota memiliki semangat untuk menjalankan aktivitas urban farming (istilah yang ditujukan untuk mengembalikan fungsi jalur hijau kota pada fungsi yang sebenarnya, yakni dengan melakukan kegiatan berkebun atau agrikultural di tengah kota dengan memanfaatkan lahan apa pun, baik lahan kosong atau lahan terbengkalai).

Para penggagas @JktBerkebun memang tak semua memiliki pengetahuan yang baik tentang berkebun. Harap maklum, mereka berasal dari latar belakang profesi yang bebeda. Namun ada pula beberapa anggota komunitas ini yang sudah sering melakukan house farming, atau berkebun di areal rumah mereka sendiri dan memiliki pengetahuan berkebun yang jauh lebih memadai. Keragaman itulah yang membuat mereka saling berbagi ilmu.

Kenangan tanam pertama di Springhill itu barangkali akan menjadi sejarah yang tak pernah terlupakan. Tak heran, ketika lahan di Springhill akan digunakan oleh developer, @JktBerkebun langsung mengajak seluruh pencinta berkebun untuk melakukan acara fareweel di Springhill. Judul acaranya: ‘Tanam Perpisahan’. 

Sedih juga sih lahan Springhill nggak ada lagi,” ujar Sindhi, salah satu pengiat di komunitas @JktBerkebun ini.

Buat Sindhi, Springhill punya kesan tersendiri. Dari lahan itulah ia pertama kali berkenalan dengan komunitas @JktBerkebun dan kemudian menjadi anggota aktif. Gara-gara lahan di Springhill itu pula, wanita cantik yang sempat bekerja di perusahaan logistik international ini bisa mengenalkan suami dan kedua anaknya berkebun di lahan luas.

Meski lahan Springhill kini tinggal kenangan, @JktBerkebun tetap memiliki sejumlah lahan lain, dimana lahan-lahan ini bisa menjadi arena menanam dan memaneng yang seru dan fun bersama teman dan keluarga di saat weekend.

Duhai Warmo, Kok Rasanya Gak Seenak Dahulu Kala Sih?

Nggak ada niat sedikit pun mengikuti Calon Wakil Gubernur (Cawagub) DKI Jakarta, Didik J. Rachbini, kalo siang ini saya mampir ke Warteg Warmo di jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan. Niat saya mulia, bukan mau mengobral janji, tetapi cuma mau makan.

Bahwa sebelumnya diberitakan, pada Selasa, 27 Maret 2012 lalu, Didik dan rombongan tim suksesnya bertandang ke warteg terkenal tersebut pada pukul 12.00 hingga 12.20 WIB. Di warteg ini, kader PAN yang diduetkan dengan Calon Gubernur (Cagub) Hidayat Nurwadih ini menjumpai sang pemilik, Hj. Warmo dan menanyakan pajak bagi pengusaha warteg.

 Buat saya, nggak ada urusan dengan pajak. Urusan saya cuma mau mengisi perut yang sudah keroncongan ini, karena telat breakfast. Yap! Hari ini breakfast saya cukup telat. Biasanya, saya breakfast pukul 07. Kali ini, karena harus mengantar sana-sini, jadi jadwal breakfast saya telat. Namun sayang seribu kalil sayang, breakfast saya hari ini ‘gagal’.

Menurut saya warmo sekarang gak seenak dahulu kala. Bumbu sayurnya tidak segurih dulu. Dadar telurnya sudah nggak terasa telurnya, tetapi lebih banyak tepungnya. Yang paling level-nya turun adalah sambal. Dulu sambalnya yahud. Racikannya pas. Sekarang ini, sambalnya asing banget. Entah yang buat sambal ini mau kawin atau memang sekarang ini konsepnya garam yang dikasih sambal.

 Ketidaksuksesan itu membuat saya berpikir iseng. Bolehlah warmo nggak dipajakin, asal rasanya back to basic. Bumbu yang dahulu kala mak nyus, tetap dipertahankan kekhasannya. Nggak dikurang-kurangin. Tapi kalo rasanya nggak seenak dulu, mending dipajakin aja, karena dianggap ‘menyengsarakan’ kenikmatan pelanggan lama.

Senin, 26 Maret 2012

TOUR OF BADUY DALAM # 7: “KALO BAHASA INGGRIS-NYA SAYA SUKA KAMU APA?”

Ini hari terakhir kami di kampung Cibe’o, Baduy Dalam. Waktu dua hari rasanya begitu cepat berlalu. Sebetulnya kami ingin berlama-lama lagi tinggal di sini. Selain hubungan yang sudah begitu akrab dengan Sarip, Syapri, Sarja, Sarta, Sarid, dan tentu saja dengan pak Narja, kami merasa nyaman tinggal di lingkungan yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Saat di Baduy Dalam, kami seperti hidup di alam kedamaian. Tidak dikejar-kejar oleh kesibukan, deadline, dan aneka godaan duniawi. Kami tak terkontaminasi oleh berita-berita negatif, bebas dari kasak-kusuk dunia perpolitikan yang penuh kemunafikan, dan tentu bebas polusi.

Selama dua hari, kami belajar banyak dari orang-orang Baduy Dalam. Belajar tentang kepemimpinan, loyalitas, kesederhanaan, dan tentu saja kejujuran. Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa seluruh warga kampung Baduy Dalam patuh pada jabatan yang bernama Pu’un. Bagi mereka yang melanggar, akan diberikan sanksi oleh Pu’un. Sanksi yang paling keras adalah dikelarkan dari kampung.

Kepemimpinan Pu’un jelas sangat terhormat. Pu’un adalah sistem dan semua warga Baduy Dalam harus tunduk pada sistem. Loyalitas dan konsekuen pada sistem inilah yang tak ditemukan di luar Baduy Dalam. Saya berani katakan, Indonesia saat ini tidak punya pemimpin yang dihormati. Ketakutan orang pada Presiden saat ini lebih bukan karena tunduk pada sistem, tetapi mereka takut pada jabatan atau posisi. Mereka takut juga, karena ingin cari muka. Sungguh munafik.

Begitu banyak contoh, dimana Presiden tidak lagi mendapat respek dari sebagian besar warga. Tentang ketidakkonsistenan pemberantasan korupsi dan ‘tebang pilih’ pada mereka yang sudah jelas korup. Berbeda dengan apa yang kami lihat di Baduy Dalam ini. Tanpa politik pencitraan, namun dengan kesederhanaan mereka konsisiten dan loyal pada pemimpin dan hukum adat.

Harus sepagi ini, pak?” tanya Imung pada pak Narji.

Iya,” jawab pak Narji.

Sebagaimana pembicaraan tadi malam, tour leader kami, Imung, diminta pak Narji untuk menghadap ke Pu’un. Hal ini dilakukan, karena kami dianggap telah melanggar aturan. Di masa Kawalu, seharusnya kami dilarang berkunjung ke Baduy Dalam. Kalau pun boleh, seharusnya tidak lebih dari 3 orang. Sementara tim kami yang datang dan menginap di Baduy Dalam berjumlah 11orang.

Saat diperintahkan pak Narji itu, Imung sedang bercakap-cakap dengan teman kami di papange. Kebetulan suasana masih gelap, karena baru saja kami selesai melaksanakan sholat subuh berjamaah. Jam di tangan saya menunjukan pukul 04:45 wib.

Menurut pak Narji, kenapa Imung harus menghadap sepagi itu, karena para Pu’un akan melaksanakan meeting. Ada masalah mendesak yang harus dibicarakan. “Meeting para Presiden,” ujar pak Narji, yang mengistilahkan Pu’un sebagai seorang Presiden.

Sambil menunggu kabar pertemuan pak Narji dan Imung dengan Pu’un, kami bercakap-cakap dengan Syapri dan teman-temannya. Rupanya saat ini Syapri sedang senang belajar bahasa Inggris. Kesempatan berjumpa dengan kami, dimanfaatkan olehnya untuk bertanya tentang kata-kata atau percakapan sederhana dalam bahasa Inggris.

Kalau saya suka itu apa bahasa Inggrisnya?” tanya Syapri.

I like it,” jawab teman kami.

Kalo saya suka kamu, I like you,” tambah teman saya lagi.

Oh, bukan I love you ya?” protes Syapri.

Itu saya cinta atau sayang kamu…”

Keinginan belajar bahasa Inggris Syapri begitu keras. Ini terlihat dari antusiasmenya bertanya dan mengulang kata atau kalimat-kalimat yang diberikan teman saya. Melihat hal itu, salah seorang teman saya langsung mengeluarkan buku catatan kecil berwarna kuning dari tasnya dan menuliskan beberapa kata. Begitu selesai ditulis beberapa kata, langsung diberikan ke Syapri.

Syapri memegang kertas kecil sambil membaca. Beberapa teman-temannya, Sarip dan Sarid mengerumuni Syapri. Berharap bisa ikut belajar bahasa Inggris. Suasana paska Subuh itu mirip seperti kursus singkat bahasa Inggris.

Sementara teman-teman kami melakukan short course, saya ngobrol dengan teman Syapri lain, Agus. Dengannya saya baru tahu, tiga warga Baduy Dalam yang semalam pergi ke Ciboleger itu adalah mereka yang ingin membeli keperluan untuk seorang warga Baduy Dalam yang meninggal.

Ada nenek-nenek yang umurnya sudah seratus tahun meninggal,” ujar Agus.

Kita nggak boleh berkunjung ke rumah yang meninggal ya?” tanya saya penasaran.

Tidak boleh”.

Rasa penasaran itu muncul, karena biasanya dalam kematian di sebuah dearah terdapat upacara adat, sebagaimana di Batak misalnya. Ada seorang Mauli Bulung, yakni sebutan orang yang meninggal, dimana jazadnya diletakkan di peti mayat, dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan.

Kematian seseorang dengan status Mauli Bulung, menurut adat Batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Oleh karena itu, tidak ada lagi isak tangis. Bahkan pihak keluarga boleh bersyukur dan bersuka cita, berpesta tetapi bukan hura-hura, yakni dengan cara memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi Penyayang.

Begitu pula upacara kematian dalam Adat Bugis Makassar yang biasa disebut Ammateang. Dimana saat ada seseorang dalam suatu kampung meninggal, mereka yang melayat biasanya membawa sidekka (semacam sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan), yakni berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat.

Sementara di luar rumah orang yang meninggal, anggota keluarganya membuat usungan (ulureng) untuk golongan to sama’ (bacanya tau samara yang artinya warga biasa) atau walasuji (golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Berbarengan dengan pembuatan ulureng, dibuat pula cekko - cekko, semacam tudungan berbentuk lengkungan panjang, sepanjang liang lahat. Cekko-cekko itu akan diletakan di atas timbunan liang lahat, saat jenazah telah dikuburkan.

Nah, saya yakin banget Baduy Dalam juga punya upacara kematian. Namun, begitu Agus mengatakan saya tidak boleh mengunjungi orang yang meninggal, pun tidak boleh mendekat ke rumah yang meninggal, saya tidak ingin melanggar perintah itu. Sebab, jika nekad, bisa jadi saya barangkali tidak bisa pulang hari ini, ‘dipaksa’ untuk berputar-putar di bukit sebagaimana pernah terjadi pada Imung, atau disihir jadi batu seperti Malin Kundang.

Lewat Agus saya juga mendapatkan info, bahwa pernah ada warga Bandung yang meninggal di sungai yang dalamnya 6 meter. Menurutnya, tewasnya warga Bandung itu bukan, karena kesalahan sungai, tetapi kesalahan si korban. Sebetulnya almarhum sudah diingatkan agar jangan berenang di sungai itu oleh Jaro, tetapi ia nekad dan kemudian tewas.

Ternyata bukan cuma seorang warga Bandung yang tewas di sungai itu, tetapi ada tiga orang lain, yang semuanya warga Baduy Dalam. “Mereka semuanya bunuh diri,” ujar Agus tanpe merinci penyebab mereka bunuh diri. “Satu orang bunuh diri sambil membawa anaknya yang masih bayi.”

Waktu sudah pukul 08:30 wib. Kami siap-siap untuk pamit, kebetulan pula Imung sudah kembali dari Pu’un. Setelah berkisah sedikit tentang pertemuannya dengan Pu’un, kami pamit dengan anggota keluarga, dimana tempat kami menginap. Saat pamit, kami mengucap banyak terima kasih pada mereka yang dengan tulus dan ikhlas telah menerima kami.

Terima kasih bapak-ibu, Insya Allah nanti kalo Syapri menikah, kami bisa berkunjung ke sini lagi,” janji salah seorang teman kami.

Kami pun meninggalkan Baduy Dalam, kampung yang selama dua hari ini kami tinggali. Kampung dengan penuh kesederhanaan, yang masih berkomitmen untuk tidak ikut godaan duniawi. Kampung yang memiliki pemimpin yang dihormati seluruh warga dan patuh pada hukum. Ah, seandainya pelajaran tentang loyalitas pada pemimpin dan hukum, kesederhanan, dan kejujuran itu ada pada diri kita yang hidup di luar Baduy Dalam ini, Indonesia pasti menjadi bangsa yang luar biasa. Namun sayang, perampok-perampok negeri ini adalah saudara-saudara kita sendiri. Jadi butuh pemimpin bertangan besi dan tidak berjiwa korup yang berani menghabisi perampok-perampok itu.

(tamat)

TOUR OF BADUY DALAM # 6: PAK NARJI DAN GOLOK BERUSIA 100 TAHUN ITU...

Ketika kami ngobrol, terdengar suara batuk anak-anak Baduy Dalam yang persis di sebelah kanan dan kiri rumah pak Narji. Bahkan keponakan pak Narji sendiri, yang malam itu tidur di ruang depan, batuk cukup parah.

Saya mendengar kabar, beberapa minggu ini, petugas kesehatan sering bolak-balik ke Baduy Dalam. Mereka mencurigai, anak-anak Baduy Dalam terserang infeksi paru-paru atau bronkitis akut, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Pneumonia.

Mengutip Wikipedia, bahwa Pneumonia adalah sebuah penyakit pada paru-paru, dimana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer, meradang dan terisi oleh cairan. Pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh bakteria, virus, jamur, atau pasilan (parasite). Radang paru-paru dapat juga disebabkan oleh kepedihan zat-zat kimia atau cedera jasmani pada paru-paru, atau sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau berlebihan minum alkohol.

Tentang berlebihan minum alkohol, saya sangat tidak yakin jika anak-anak Baduy Dalam melakukan itu. Pun orang dewasa dan orangtua di Baduy Dalam minum alkohol. Sebab, mereka anti-alkohol. Merokok saja tidak.


Selama di kampung Cibe’o, saya tidak pernah melihat orang Baduy Dalam mengisah rokok. Kabaranya di dua kampung Baduy Dalam lain pun begitu, yakni Cikertawana dan Cikeusik. Biasanya, meski di kampung-kampung pedalaman, saya seringkali menjumpai penduduk setempat merokok. Sebagian dari mereka awalnya sekadar iseng, karena untuk menghangatkan badan, karena suhu sekitar yang relatif dingin, juga sebagai ‘teman’ saat menyeruput kopi. Namun, rata-rata kebiasaan buruk itu jadi berlanjut menjadi ketergantungan. Nah, Alhamdulillah di Baduy Dalam tidak seperti kampung-kampung lain. Kampung Baduy Dalam adalah kampung bebas perokok. Padahal kalo dipikir-pikir udara di Baduy Dalam pun relatif dingin.

Ya, memang nggak ada yang mau merokok aja,” jawab pak Narja, ketika saya tanya mengapa tak ada seorang pun penduduk yang merokok.

Saya pikir, tak ada yang merokok itu, karena ada aturan adat yang melarang. Ternyata tidak. Nampaknya seluruh penduduk mengerti bahaya merokok dan sangat sayang jika alam yang asri, dinodai oleh asap nikotin, sehingga terjadi polusi. Mereka yang sangat sederhana, ternyata memiliki pola pikir modern dan sehat.

Lalu mengapa terjadi Pneumonia? Selidik punya selidik, saya menyimpulkan ada dua sebab. Yang pertama tentang rumah Baduy Dalam. Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, rumah Baduy Dalam itu tidak memiliki jendela. Baik di depan maupun samping rumah tertutup rapat oleh bilik yang disebut sase. Udara hanya masuk melalui pintu yang cuma satu-satunya, yang terletak di depan rumah. Itu pun tak semua pemilik rumah selalu membuka pintu setiap pagi.

Selain pintu, sebenarnya ada satu ventilasi tempat udara masuk. Namanya lolongok. Namun lolongok ini tidak sebesar jendela sebagaimana rumah-rumah umumnya, yang berukuran 1,5 x 3 meter atau paling kecil ½ x ½ meter. Ukuran lolongok cuma sebesar biskuit. Dari namanya saja kita tahu fungsinya bukan sebagai ventilasi, tetapi sebagai tempat mengintip.

Sebab yang kedua adalah faktor makanan. Saya sedih melihat anak-anak Baduy Dalam sudah terpengaruh snack berkadar garam dan vetsin tinggi. Barangkali Anda heran, bagaimana pola makanan tak sehat ini bisa masuk, padahal di Baduy Dalam tak ada warung. Pun anak-anak juga tidak pernah termakan bujuk rayu iklan makanan ringan tersebut, karena mereka tidak menonton televisi. Spanduk, poster, atau flyer pun tidak diizinkan muncul di kampung ini.

Kebetulan ada orang dari Ciboleger yang membuka dagangan di kampung ini,” jelas pak Narji, ketika saya tanya darimana anak-anak mengkonsumsi makanan ringan itu.

Benar saja. Ketika saya jalan menyusuri kampung, saya melihat langsung bapak berusia 50-an tahun, membuka lapak di depan sebuah rumah di Baduy Dalam ini. Di lapak tersebut, terdapat aneka snack yang biasa dikonsumsi anak-anak kota.

Saya melihat sendiri anak-anak itu mengunyah makanan ringan itu. Mereka jelas tak mengerti betapa buruk makanan itu bagi kesehatan mereka. Kebetulan orangtua mereka pun tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kandungan pada makanan tersebut. Bagi Pedagang asal Ciboleger itu juga tak peduli dengan kesehatan anak-anak. Baginya, yang penting dagangannya laku keras.

Menurut pak Narji, Pedagang asal Ciboleger itu sudah 4 tahun berdagang. Entah dari mana ia mendapatkan izin berdagang. Yang pasti baik Pu’un maupun Jero sepertinya tidak melarang, apalagi mengusir.

Habis dia juga berdagang kebutuhan pokok yang kebetulan dibutuhkan oleh masayarakat sini, seperti minyak, gula, kopi, dan kebutuhan pokok lain,” jelas pak Narji, yang sepertinya pasrah dengan kondisi tersebut.

Sambil terus berkisah, bunyi batuk anak-anak yang ada di rumah sebelah kanan dan kiri pak Narji belum juga berakhir. Saya pikir, batuk yang diderita anak-anak itu sudah lama terjadi. Mendengar suara batuk mereka, saya sedih sekali. Rasanya, mereka letih sekali dengan penyakit yang mereka derita.

Batang liling tinggal setengah. Lelehan lilin menggumpal di tepi batang itu. Ada yang menetes dan jatuh ke kayu. Mata saya sudah mulai kantuk. Saya juga melihat mata pak Narji juga mulai kriyep-kriyep. Namun, ia masih terus meladeni Imung untuk bercakap-cakap. Topik berikutnya yang dibahas tentang golok.

Jika masih punya waktu, keesokan pagi, kami akan diajak ke kampung Batu Beulah, tempat pembuatan golok.Seperti kisah saya sebelumnya, bahwa peralatan berkebun yang dilakukan Baduy Dalam hanya golok. Oleh karena itu, golok merupakan alat yang vital dan setiap orang harus memiliki golok yang terbaik.

Ini golok kepunyaan saya yang merupakan warisan kakek saya turun temurun,” papar pak Narji sambil memperlihatkan golok berukuran sekitar 30 cm itu pada saya dan Imung.

Golok itu kelihatannya biasa saja. Warna dasar besi sudah terlihat agak kusam, namun bekas tempaan besinya masih terlihat jelas. Ada kerut-kerut yang menjadi tanda bagus-tidaknya sebuah golok. Kerut-kerut pada dasar besi tersebut adalah tanda si Pengrajin golok membakar dan memlintir golok tersebut berkali-kali. Soal ketajaman golok pak Narji ini, tak perlu diragukan lagi.

Umur golok ini sudah 100 tahunan,” tambah pak Narji, seperti membuka rahasia. “Berapa pun biaya yang ditawarkan, saya tidak akan melepas golok ini”.

Sambil didekatkan ke lilin, Imung mencoba mengamati golok itu. Dari cahaya yang dipantulkan pada lilin, memang nampak golok itu ‘berbeda’ dari golok umumnya. Ada kesan magis yang nampak pada golok tersebut.

Pak Narji masuk ke ruang dalam dan kembali lagi sambil membawa gula aren yang masih dibungkus oleh kulit pisang kering. Ia mengambil golok dan memecahkan gula aren dengan golok itu. Prokk!! Dengan sekali pukul gula aren itu pecah dan kemudian diletakkan ke sebuah piring.

Besok kita lihat pembuatan golok di Batu Beulah ya. Mudah-mudahan ada Pengrajin yang sedang buat,” kata pak Narji sambil meletakkan piring berisi gula aren yang sudah terpecah-pecah itu, dan mempersilahkan kami mencicipi.

(bersambung)

TOUR OF BADUY DALAM # 5: “OH, DEKAT INDOSIAR DAN RCTI YA?”

Orang Baduy biasa menyebut sebagai orang Kanekes atau Urang Kenekes. Khusus orang Baduy Dalam biasa dikenal dengan sebutan Urang Tangtu. Bagi saya, orang Baduy Dalam menggunakan penglihatan dengan rasa dan hati. Kesimpulan ini saya ambil saat memperhatikan mereka jalan tanpa menggunakan alat penerangan, baik senter maupun obor.

Ketika saya dan teman-teman berada di papange, seorang berjalan dengan cepat menyusuri jalan. Padahal kondisi gelap gulita. Lebih dari itu, jalan di antara rumah-rumah berbatu. Jika orang biasa seperti kita, yang terjadi akan menabrak rumah atau tersandung batu.

Mereka sudah khatam dengan jalan di sini,” ujar salah seorang teman saya.

Selain seorang Baduy Dalam tadi, ada tiga orang Baduy Dalam lain yang sempat melewati kami. Mereka tampak terburu-buru. Salah seorang yang berada di depan hanya menggunakan sebatang kayu panjang.

Mau kemana pak malam-malam?” tanya pak Narja dalam bahasa Sunda.

Mau ke Ciboleger,” jawab salah seorang.

Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, Ciboleger adalah tempat perhentian terakhir kendaraan yang ingin berkunjung ke Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Jarak dari kampung Cibe’o, tempat kami menginap, ke Ciboleger kurang lebih 12 km, dan memakan waktu perjalanan sekitar 5-6 jam. Sementara dari Cibe’o ke Cijahe kurang lebih 2 km dan ditempuh dalam waktu 1-2 jam perjalanan.

Jadi, Anda bisa bayangkan, tiga orang Baduy Dalam yang hendak pergi ke Ciboleger itu, berjalan turun-naik bukit di malam hari tanpa menggunakan lampu penerangan. Luar biasa bukan?




Tepat pukul 21:10 WIB, saya pamit untuk masuk ke rumah pak Narja. Selain ngantuk, kaki sudah pegal, dan berdoa keesokan pagi segar kembali dan bisa sholat subuh. Sementara teman-teman lain sepertinya masih menikmati udara malam dan taburan bintang di langit.

Aneh bin ajaib. Sesampai di dalam rumah pak Narji, saya tidak bisa tidak, apalagi mendengar percakapan Imung, tour guide kami. Padahal saya sudah berusaha memejamkan mata, memasukkan badan ke dalam sleeping bag. Namun, saya ternyata tak kuasa untuk bangun dan ikut nimbrung mereka bercakap-cakap.

Sebetulnya di saat sekarang ini tidak boleh ada yang berkunjung ke Baduy Dalam, apalagi lebih dari 3 orang,” papar pak Narji. “Makanya besok pagi harus menghadap ke Pu’un.”

Baik, pak. Besok pagi kalo saya belum bangun, dibangunkan saja, pak,” ujar Imung.

Setiap 1 Februari atau yang bertepatan dengan bulan Karo, itu merupakan bulan Kawalu. Bulan Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy, terhitung hingga tiga bulan ke depan. Menurut pak Narji, saat kami datang ini, bertepatan dengan tanggal 1 di bulan Sapar atau 1 April di bulan Masehi atau akhir bulan Kawalu.

Di akhir bulan Kawalu ini, para tetua dan tokoh adat melakukan upacara besar, yakni perjalanan ziarah ke Arca Domas, yakni sebuah tempat yang mereka sucikan dan letakkan sangat dirahasiakan. Tak cuma dirahasiakan pada sebagian warga Baduy sendiri, apalagi bagi para penggunjung dari luar kampung.

Baduy, khususnya Baduy Dalam, memang memiliki bulan tersendiri. Sambil menghitung dengan jari, pak Narji menggungkapkan ke-12 bulan itu, mulai dari Kasa, Karo, Katilu, Sapar, Kalima, Kaanam, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapid Lemah, dan Hapid Kayu. Dan bulan Kawalu yang dijelaskan di atas tadi berada di bulan Karo, Katilu, dan Sapar.

Jika bulan Karo, Katilu, dan Sapar adalah bulan Kawalu, bulan Harpid Kayu adalah bulan yang baik untuk menikah dan mengobatin padi. Khusus mengobati padi, dilakukan dengan cara menyemprotkan daun dan buah mengkudu, yang sudah ditumbuk dan dicampur air cuka, dengan mulut.

Sambil ditemani sebatang lilin yang menyala di atas sebongkah kayu, pak Narji berkisah tentang banyak hal, mulai dari para Jenderal yang sempat berkunjung ke rumahnya itu dan tentang Hercules. Kata beliau, salah seorang Jenderal berbintang akrab dengannya. Saking akrab, ia pernah menginap di rumah sang Jenderal di Cikeas.

Tentang Herculues, kata pak Narja, belum sempat ke Baduy Dalam, karena takut capek. Mendengar itu, saya sempat tersenyum. Orang sekaliber Hercules yang sangat ditakuti itu ternyata masih takut capek. Meski begitu, antara Hercules dengan orang Baduy, terutama Baduy Dalam sangat akrab. Jika berkunjung ke Ciboleger, Hercules menanyakan tentang situasi di Baduy. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan oleh penduduk Baduy, Hercules dan kelompoknya siap mengamankan.

Pak Narja kemudian memperlihatkan sebuah buku alamat kecil, yang disimpan di dalam plastik kresek warna putih. Di buku alamat itu terdapat beberapa nama orang yang sudah berkunjung ke rumahnya, termasuk juga nama seorang anak pejabat Orde Baru (Orba).

Saya sudah dua kali ke Bandung,” ujar pak Narja. “Kalo ke Jakarta sudah sering sekali.”

Pak Narja ke Bandung sekitar 1990-an, dalam rangka diundang oleh Gubernur Jawa Barat yang pada masa itu dijabat oleh Yogie S. Memet. Setahun berikut, ia diundang kembali ke Bandung oleh salah seorang Pejabat di Gedung Sate.

Di Jakarta, pak Narja sudah keliling di hampir semua Jakarta. Ia sering menginap di belakang pusat kursus Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) di Pancoran, Jakarta Selatan. Ia juga hafal daerah di Pondok Gede, Jatiwaringin, maupun Grogol, Jakarta Barat.

Bapak kerjanya dimana?” tanya pak Narja ke saya.

Di Kedoya, pak.”

Oh, dekat Indosiar dan RCTI ya?

Saya takjub. Pak Narja ternyata tahu sekali lokasi tempat kerja saya. Ia pun kenal dengan lokasi tempat tinggal saya di Cempaka Putih.

Dekat Rawasari ya?” tanya pak Narja. “Saya sering nginap di kompleks Pengadilan.”

Saya tepuk jidat. Makin tepuk jidat begitu tahu, bahwa untuk mencapai Jakarta menghabiskan waktu perjalanan selama 2 hari. Harap maklum, orang Baduy, baik Luar maupun Dalam pantang naik kendaraan umum. Mereka selalu jalan kaki. Anda tahu berapa hari pak Narja harus ke Bandung? Lima hari!

Sebelum masuk ke Baduy Dalam, Imung sempat berpesan pada anggota tim, bahwa jangan pernah memberikan alamat atau nomor telepon jika tidak berkenan untuk didatangi orang Baduy. Saya mengerti mengapa Imung berpesan seperti itu. Sebab, banyak orang kota Metropolitan tidak berkenan menerima tamu sembarangan, terlebih lagi orang Baduy Dalam yang tidak menggunakan sendal setiap hari, tidak pernah gosok gigi dengan pasta gigi, tidak pernah mandi menggunakan sabun, tidak pernah keramas menggunakan shampo, dan tidak pernah menggunakan minyak wangi sebagai pengharum tubuh.

Dewasa ini orang kota banyak yang tidak tulus menerima orang dusun, seperti orang Baduy Dalam ini. Mereka dekat dengan orang miskin jika ada maksud tertentu, jika tidak memanfaatkan kemiskinan (baca: menjual kemiskinan agar bisa memperoleh dana dari funding) atau sebagai pencitraan yang lazim dilakukan di dunia politik. Namun saya bukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kebanyakan menjual kemiskinan, atau politikus. Saya adalah Warga Negara Indonesia yang ingin memiliki banyak teman dan sahabat. Tak heran saya tidak bisa menyembunyikan alamat saya dan terpaksa melanggar pesan Imung.

Boleh minta alamat rumah dan telepon?” tanya pak Narji.

Boleh pak,” ujar saya.

Pak Narji kemudian menyerahkan buku alamat kecil ke saya. Dengan mengandalkan cahaya lilin seadaannya, saya pun menulis alamat lengkap saya beserta no telepon rumah. Bagi saya, permohonan pak Narji meminta alamat dan nomor telepon saya adalah sebuah bentuk awal silaturahim. Dan saya pun sangat senang mendapatkan teman baru.

(bersambung)