“Siap-siap kedatangan tamu agung dari Baduy Dalam ya…”
Pesan dari istri saya via Blackbarry Message (BBM) cukup
menggagetkan. Pasalnya, kami belum membuat janji pada teman-teman dari
Baduy Dalam. Bukan kami tidak mau menerima tamu, tetapi justru kami
ingin menjadikan tamu terhormat, yakni dengan cara mempersiapkan segala
sesuatu di rumah.
“Mereka sudah sampai Cawang, Pap,” ujar istri saya lagi.
Saya yang masih berada di kantor, tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa
untuk mempersiapkan diri berjumpa dengan mereka. Begitu pula istri, yang
kebetulan masih on the way menuju ke rumah. Walhasil, terpaksa kami menerima mereka apa adanya.
“Maaf merepotkan,” ujar Syafri, salah seorang dari empat warga Baduy Dalam, saat memasuki rumah kami.
“Tidak kok. Malah senang banget bisa kedatangan tamu jauh,” sambut istri. “Tapi maaf ya rumahnya kecil dan kita nggak sempat beres-beres“.
“Ah, nggak apa-apa. Ini sudah lebih dari cukup,” kata Syafri lagi.
Saya dan istri senang sekali bisa dikunjungi teman-teman Baduy Dalam
ini. Selain Syafri, ada Yardi, Sarta, dan Jali. Sebab, tak semua orang
Jakarta yang pernah ke Baduy, akan dikunjungi oleh mereka, bahkan
dijadikan rumah tempat mereka menginap.
“Suami ibu pulang jam berapa?” tanya Syafri pada istri saya.
Malam itu, kebetulan saya memang belum pulang dari kantor. Ada shooting
program televisi yang harus saya kontrol. Meski sebetulnya bisa
dilakukan oleh Produser, namun salah satu tugas dan tanggungjawab saya
di kantor, memastikan sebuah shooting berjalan dengan lancar. Nah, kebetulan kemarin saya harus pulang malam.
“Memangnya kenapa, Syafri?” tanya istri.
“Kalo suaminya nggak ada, kami nggak jadi nginep.”
Luar biasa! Buat saya, pernyataan itu sebuah bentuk kesopansantunan dari
seorang tamu. Meski teman-teman dari Baduy Dalam ini tidak
‘berpendidikan’, ternyata mereka memiliki prilaku yang beradab. Mereka
tahu, betapa tidak sopan menginap di rumah orang, tetapi kepala rumah
tangga tidak ada. Satu contoh lagi yang saya belajar dari mereka.
Dalam agama saya, Islam, juga mengajarkan tentang hal ini. Meski sang
tuan rumah tetap mengizinkan menginap, namun jika ada kepala rumah
tangga tidak ada, maka pamali untuk bermalam. Berbeda sekali dengan
beberapa orang tamu yang biasa kita jumpai. Mereka seringkali tidak
peduli ada atau tidak ada pemilik rumah atau kepala rumah tangga, tetap
ngotot menginap.
“Ada kok, tapi nanti pulangnya malam,” jelas istri saya, menenangkan hati Syafri dan kawan-kawan.
“Suami saya juga meminta kalian bermalam di sini“.
Mereka pun akhirnya menginap di rumah kami.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar