Selasa, 30 Maret 2010

DEMI AKSES YANG MUDAH TEGA MEMOTONG RTH

Entah siapa yang memberikan izin, sebuah jalan hot mix memotong Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada di Rawasari, Jakarta Pusat. Jalan ini bukan jalan umum yang bisa dilewati oleh semua kendaraan umum maupun pribadi. Tetapi jalan ini adalah akses khusus menuju ke kantor marketing sebuah rusunami di Rawasari yang bernama Green Pramuka Residences. Enak bener!

Green Pramuka Residences (GPR) adalah salah satu rusunami yang akan dibangun di tanah milik PT Angkasa Pura II. Kabarnya rusunami ini menggunakan sistem Hak Guna Bagunanan (HGB) selama 50 tahun. Artinya, selama 50 tahun, pihak manajemen Green Pramuka bisa memanfaatkan lahan milik perusahaan milik negara yang ada di bawah Departemen Perhubungan (Dephub) ini.


Lahan kosong inilah yang tidak akan lama lagi akan berdiri rusunami sampai 50 tahun mendatang

Barangkali kalo sekadar ngontrak tanah milik PT. Angkasa Pura II tidak akan mengganggu hak warga Jakarta, karena hal tersebut urusan manajemen Green Pramuka Residences dengan PT. Angkasa Pura II. Namun kalo sudah mengganggu hak warga, dalam hal ini sampai memotong RTH, buat saya itu patut menjadi pertanyaan. Yaiyalah! Siapa yang ngasih izin?

Terlepas dari pertanyaan soal pemberi izin, saat ini Jakarta masih kurang banget RTH. Sekadar info, sasaran Pemerintah Kota (Pemkot) DKI Jakarta buat RTH tahun 2010 sebesar 9.544,81 hektar atau 13,94% dengan rencana ideal seluas 21,626 hektar. Nah, dengan pemotongan RTH yang dilakukan Green Pramuka Residences kayak begitu, jelas sasaran RTH nggak bakal tercapai.

Apa sih pentingnya RTH? Jelas penting! RTH itu menydiakan area hijau, dimana terdapat pepohonan buat menyaring polusi udara. Lalu terdapat tanah terbuka untuk menyerap air hujan. Intinya, RTH berfungsi buat memelihara 'kesehatan kota'.



Anda tahu, dalam spanduk rusunami ini tertulis ada 103 hektar lahan hijau. Buat pembeli yang nggak ngerti, barangkali akan takjub. Wah, luar biasa! Ada rusunami yang nantinya punya 103 hektar lahan hijau. Padahal luas tanah yang akan dibangun rusunami itu memang 103 hektar. Namun lahan hijau yang tersisa ya nggak mungkin 103 hektar kalee! Tapi begitulah marketing. Menjual kata green demi menarik konsumen. Sayang visi tersebut tidak dibarengi kenyataan. Yang paling kecil ya pemotongan RTH di Rawasari itu. Ini jelas bertentangan banget dengan visi GPR yang katanya green ini, ya nggak?

Pembukaan jalan tembus ke kantor marketing GPR adalah karena akses yang mudah bagi konsumen maupun karyawan. Sebelum jalan tembus di lahan RTH ini dibuka, konsumen dan karyawan harus memutar ke arah jalan Percetakan Negara, tepatnya di jembatan Serong, Jakarta Pusat. Baik mereka yang ada di arah Salemba, Tanjung Priuk, Yos Sudarso, maupun Cempaka Putih, semua harus melewati satu akses pintu, yakni melewati jembatan Serong dan jalan tembus menuju ke jalan Pramuka Raya. Begitu ketemu gedung Ekadiyasa yang ada di pintu masuk kompleks Angkasa Pura II, langsung belok kiri.



Kesulitan akses itulah yang membuat manajemen GPR agaknya membuka akses baru dengan mengorbankan beberapa m2 lahan di RTH. Sejak dibuka jalan yang bukan umum itu, dua orang security menjaga di ujung jalan. Mereka ditempatkan di situ buat mengatasi kemacetan mobil-mobil yang akan berbelok ke jalan itu, terutama mobil yang tidak melewati fly over dari arah Utan Kayu. Yakni mobil-mobil milik konsumen dan karyawan dari arah jalan Pramuka Raya atau jalan Pemuda, Jakarta Timur yang harus memotong kendaraan yang melaju dari fly over. Bayangkan! Ketika kendaraan dari fly over sedang padat, mobil-mobil harus memotong ke kiri menuju askses pintu masuk yang ada di RTH itu. Jadi masalah potong memotong yang dilakukan GPR bukan cuma pada lahan RTH, tetapi juga pada arus lalu lintas.

Belakangan, jalan potong RTH ini dimanfaatkan sebagai akses truk-truk yang bakal mengangkut fasilitas proyek rusunami ini. Mulai dari beton, pasir, dan lain sebagainya. Nah, bisa terbayang, RTH bisa semakin rusak. Harusnya ada pejabat terkait yang melakukan tindakan tegas, entah itu Pemkot DKI urusan Dinas Tata Kota atau instansi-instansi yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Tapi kalo pejabat atau instansinya kongkalikong, ya susah juga ya?


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Rabu, 24 Maret 2010

SELAMAT TINGGAL BIOSKOP RAKYAT

Tepat tanggal 31 Maret 2010 kemarin, bioskop non-21 atau non sinepleks bernama Benhil Raya Theater telah resmi ditutup. Oleh pemiliknya, bioskop yang terletak persis di dalam pasar Benhil di jalan Bendungan Hilir Raya no 1, Jakarta Pusat ini, dinyatakan bangkrut.

"Pimpinan kami nggak sanggup lagi mengelola bioskop ini," ujar pak Sai'in, karyawan senior di bioskop Benhil yang sudah bekerja lebih dari 25 tahun ini. "Apalagi terakhir saya dengar bioskop ini menunggak hutang PBB sebesar 40 juta perak."



Benhil Raya Theater didirikan pada tahun 1974, bersamaan dengan peresmian pasar Benhil. Sejak terbentuk, bioskop ini menjadi bioskop idola kaum muda. Kalo bioskop di dekat kuburan Karet Tengsing, yang kini lokasinya jadi Menara Batavia disukai oleh golongan menengah ke bawah, dahulu penonton bioskop Benhil dari kalangan menengah atas. Maklum, lokasinya strategis banget dari jalan Sudirman.

Sejak dahulu sampai dengan hari ini mau tutup, bioskop Benhil memiliki kapasitas kursi yang cukup besar. Awalnya terdapat 1.200 kursi. Belakangan banyak kursi-kursi yang sudah patah dan bolong, sehingga sulit menghitung jumlah kursi yang masih layak diduduki. Kalo Anda sempat melihat, kondisinya memang miris sekali. Kita seperti masuk dalam sebuah gudang yang gelap gulita dengan ditemani tikus-tikus atau kecoa. Kebetulan, dalam gudang tersebut ada layar yang bisa diputarkan film.









Agar bioskop ini tetap eksis, manajemen bioskop membuat strategi, yakni dengan memutar film esek-esek alias film seks. Ini termasuk strategi yang mau nggak mau dilakukan, karena kalo nggak begitu, nggak akan ada penonton yang bakal mau datang ke bioskop ini. Padahal tiketnya murah banget, yakni 3.000 perak, bo!

"Bira tiket sudah murah, kalo nggak dikasih film yang ada adegan seks-nya, tetap aja nggak akan ada penontonnya," ujar pak Yoyok, manager bioskop sambil tersenyum. "Pernah kita memutar film drama atau eksyen, penotontonya nggak ada."

Kalo nggak ada penonton, terpaksa pemutaran film dibatalkan. Sebab, manajemen sudah menargetkan, bioskop akan memutarkan film kalo jumlah penontonnya minimal mencapai 10 orang. Kurang dari 10 orang, maka tiket yang sudah dibeli, akan dikembalikan lagi oleh petugas.

Biasanya, kelangkaan bioskop terjadi kalo hari-hari kerja, Senin-Kamis. Kalo weekend, apalagi malam minggu dan midnite, penonton Benhil Raya Theater ini masih bisa mengumpulkan jumlah penonton sebanyak kurang lebih 200-an orang. Luar biasa bukan? Toh, meski masih banyak orang yang tertarik nonton, bioskop Benhil harus mengakhiri 'hidup'-nya pada akhir Maret lalu.



"Nggak tahu nasib saya dan lima karyawan lain kalo bioskop ini ditutup," ujar pak Sai'ih lagi.

Penutupan Benhil Raya Theater ini sungguh ironis. Kenapa? Sebab, di saat ulang tahun perfilman nasional yang kebetulan jatuh pada tanggal 30 Maret, justru satu bioskop yang bisa dibilang punya sejarah ini, dinyatakan bangkrut. Baik pemerintah, maupun pihak swasta nggak bisa berbuat apa-apa.

Kalo bioskop Benhil ini tutup, maka kini diperkirakan tinggal dua bioskop tua non-sinepleks di Jakarta yang masih bertahan, yakni Gita Bahari yang ada di seberang pasar Senen, Jakarta Pusat dan bioskop Koja, Jakarta Utara. Alhamdulillah, pada saat detik-detik menjelang penutupan, saya sempat merasakan berada di dalam bioskop Benhil Raya ini. Saya nggak menikmati film esek-esek yang sedang diputar, padahal bisa saja duduk di kursi sambil ditemani oleh wanita-wanita muda yang menawari kencan, yang kebetulan memang banyak beredar di Benhil situ. Saat itu saya justru melihat satu per satu wajah karyawan bioskop. Ada seorang ibu setengah tua yang memberikan tiket kepada calon penonton, yang ibu itu tahu tiket itu adalah tiket terakhir. Ada pula karyawan yang bertugas memasang roll film di alat pemutar tua merek Phillips itu. Dia pun tahu, film yang dipasang di proyektor itu adalah film terakhir yang diputar di bioskop Benhil ini. Sungguh ironis.

Selamat tinggal bioskop rakyat!

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

"DULU SIH INDONESIA DITAKUTI, TAPI SEKARANG..."

Pernyataan Hadi Mulyadi tentu bukan tanpa alasan. Pada tahun 70-an, sepakbola Indonesia dikenal sebagai ‘Macan Asia’. Tim nasional (Timnas) PSSI kita berhasil mengalahkan Korea Selatan (Korsel). Nggak tanggung-tanggung, 5-2 di Djakarta Anniversary Football Tournament III di Stadion Gelora Bung Karno 19 Juni 1972. Bahkan sebelum akhirnya Korsel berhasil memasukkan gol ke gawang Ronny Paslah, para pemain yang dimonitori oleh Basri, lalu Anwar Ujang, Muljadi, Soenarto, Surya Lesmana, dan Sueb Rizal, sempat unggul 5-0. Luar biasa bukan?


Fam Tek Pong alias Hadi Mulyadi. Etnis Tionghoa terakhir yang berhasil masuk ke dalam Timnas. Ia berhutang budi pada orang bernama (alm) Drg.Endang Witarsa. "Belum ada pelatih di Timnas sehebat dia!"

Indonesia juga pernah mengalahkan Jepang 1-0 di final Pesta Sukan Singapura pada tahun 1972. Di event itu disebut sebagai All Indonesian Final. Kenapa? Sebab, Indonesia mengirim dua tim sepakbola. Hebatnya, dua tim ini memperebutkan posisi pertama dan kedua. Negara-negara lain yang ikut di Pesta Sukan, tewas semua. Terakhir pada tahun 1988, Indonesia meraih juara pertama sepakbola SEA Games XIV di Jakarta setelah mengalahkan Malaysia.

“Dulu Indonesia memang ditakuti di negara Asia,” ujar Hadi Mulyadi lagi. “Musuh bebuyutan Indonesia paling-paling cuma Burma (sekarang Myanmar) dan Korea Selatan. Kalo Malaysia, Singapura, atau Thailand waktu itu nggak ada apa-apanya. Takut sama Indonesia. Tapi sekarang?”

Hadi heran, kenapa Timnas Indonesia sekarang prestasinya di bawah tiga negara yang dulu ngeri sama Indonesia. Nggak usah ngomong mengalahkan Korea Selatan yang saat ini sudah jauh baget dari kita prestasinya, lawan Thailand saja keok.

"Sistem pembinaan kita memang harus diubah,: jelas Hadi Mulyadi. "Dibuat saja kayak dulu. Nggak ada salahnya kan mencontoh zaman dahulu?"

Padahal, tambah Hadi, teknis pemain Indonesia itu nggak kalah dengan pemain asing, lho. Yang salah memang mental dan semangatnya. Kalo pemain-pemain sekarang yang dipikirkan duit dulu. Kalo zaman dulu, main dulu sampai titik darah penghabisan. Soal menang memang risiko dari sebuah perjuangan.

Saya beruntung sekali masih bertemu dengan Hadi Mulyadi ini. Beliau adalah salah seorang legenda hidup dalam dunia sepakbola, dimana bisa bercerita soal masa kejayaan sepakbola tempo dulu. Bukan sekadar juara di Djakarta Football Tournament atau Pesta Sukan sebagaimana kisah di atas tadi, tetapi di berbagai event sepakbola kelas dunia.









Ketika menjadi juara King's Cup (1968). Presiden Soeharto bela-belain minta difoto bareng dengan Timnas. Dari semua pemain ini, yang sudah meninggal 6 orang. Tekpong (dua dari kanan) adalah pemain yang masih menjadi legenda hidup.


Siapakah Hadi Mulyadi itu?

Pria ini bernama lengkap Fam Tek Pong. Sehari-hari akrab disapa Tekpong. Ia akrab sebagai pemain Timnas di tahun 1963-1973. Awal karir Tekpong sebagai pemain bola dirintis dari bawah. Sejak kecil ia memang gemar bermain bola di Gang Kancil (kini Gang Kancil berubah menjadi jalan Keselamatan).

“Gang ini dulu dikenal banyak orang yang jago main sepakbola,” papar Tekpong.

Nggak jauh dari Gang Kancil, ada sebuah stadion sepakbola, dimana di stadion tersebut terdapat klab sepakbola yang paling tersohor sat itu, yakni Union Makes Strength (UMS). Klab ini kebetulan memang sudah lama dibentuk, yakni sejak zaman Belanda, tepatnya di tanggal 15 Desember 1905. Tepat di tahun 1959, Tekpong masuk ke UMS.



Beberapa penghargaan yang diterima Tekpong, salah satunya sertifikat dari Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PSSI.

Di UMS, karir sepakbolanya langsung melejit. Sekadar info, di UMS terdapat level-level buat menentukan pemain ini layak ‘naik kelas’ atau enggak. Ada enam level, dimana paling atas adalah level ke-6. Model level ini mirip kursus bahasa Inggris LIA. Nah, Tekpong berhasil naik dari level terakhir, yakni level 1 cuma dalam tempo 3 tahun. Nggak semua orang bisa secepat Tekpong, lho naik level-nya. Ada yang butuh 6 tahun, bahkan lebih dari itu.

Di UMS, Tekpong digembleng oleh pelatih Drg. Endang Witarsa. Tepat di tahun 1963, ia masuk ke Persatuan Sepakbola Jakarta (Persija) sebagai stopper. Di tahun yang sama, Persija berhasil menjadi juara klab sepakbola nasional. Kemenangan itu yang kemudian mengantarkan Tekpong masuk ke Timnas PSSI.

“Dokter itu sangat berjasa bagi karir sepakbola saya,” aku Tekpong.

Yang dimaksud dokter nggak lain adalah Drg. Endang Witarsa itu adalah otak dan arsitek dari Timnas di tahun 70-an. Pria yang bernama asli Liem Soen Joe ini disebut sebagai ‘dokter bola’. Ia rela meninggalkan praktek dokter gigi, demi menjadi pelatih di UMS dan kemudian Timnas.

Bersama rekan-rekan se-Timnas, Tekpong berhasil menjuarai beberapa event sepakbola kelas internasional, antara lain piala Agha Khan di India Selatan (1966, Bangladesh); Kings Cup (1968, Bangkok); Merdeka Games (1969, Malaysia); Presiden Cup (Korea Selatan); dan Pesta Sukan (Singapura).

“Gara-gara kami juara di Kings Cup tahun 1968, Presiden Soeharto menemui kita buat berfoto bersama,” kenang Tekpong. “Sebelum dan sesudahnya mana ada Pemimpin negara yang mau berfoto dengan Timnas?”

Iya juga sih. Sekarang ini nggak ada prestasi yang dibanggakan dari Timnas, sehingga wajar kalo Presiden setelah Soeharto nggak ada yang mau foto bareng dengan para pemain Timnas. Kalo dulu, bukan cuma Presiden, saya bangga pada PSSI.

Saya masih ingat ketika televisi baru TVRI. Setiap kali Timnas berhadapan dengan salah satu negara, TVRI selalu bersiaran langsung. Saya yang bukan pencinta bola yang fanatik, selalu saja dag-dig-dug menyaksikan Timnas berlaga. Darah nasionalisme saya begitu mendidih, sebagaimana para pemain yang sedang bertanding di lapangan hijau. Suara (alm.) Sambas pun membuat semangat kami menggelora.

“Dulu main bola memang hobi. Tapi hobi ini serius kami kerjakan,” kata Tekpong. “Setiap kali bertanding, yang ada di pikiran kami adalah bermain habis-habisan. Nggak mikirin bonus dan hal-hal yang nggak penting lain. Itulah yang barangkali membuat kami bergelora setiap menghadapi lawan.”

Pada tahun 1973, Tekpong ‘pensiun’ dari PSSI. Meski nggak tergabung dengan Timnas, ia masih bersentuhan dengan sepakbola. Ia kemudian ditawari bekeja di perusaaan Warna Agung. Tanpa menunggu terlalu lama, ia pun bergabung dengan Warna Agung. Selain jadi marketing, Tekpong bertugas sebagai pelatih klab Warna Agung. Selain Tekpong, di Warna Agung ada nama pemain nasional lain yang cukup terkenal, yakni Risdianto.







Bersama para tukang ojak langganan yang biasa mengantarkannya ke lapangan Petaksingkian yang kini bernama Stadion UMS.

“Sebenarnya banyak pemain sepakbola muda yang bagus-bagus. Sayangnya PSSI nggak membina mereka,” ucapnya. “Saya punya seorang murid yang jago main bolanya. Tapi begitu diterima di perguruan tinggi, ia pergi ke Ambon dan nggak tertarik buat main bola lagi.”

Pada tanggal 19 April 1980, Tekpong mendapatkan sertifikat dari Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Sertifikat ini berupa Lencana Mas kelas II yang diberikan tujuh tahun sepeninggalnya dari Timnas.

Kini Tekpon hidup di bersama seorang anak dan dua cucu di perumahan Green Garden, Jakarta Barat. Sebagai pemain sepakbola yang sempat mengharumkan nama bangsa, Tekpong jarang mendapatkan penghargaan oleh pemerintah. Boro-boro bonus uang, penghargaan lain pun belum pernah diberikan pemerintah, kecuali mendapat Sertifikat dari Ketum PSSI yang waktu itu dijabat oleh Ali Sadikin. Rumah yang ia tempati sekarang ini juga bukan hasil pemberian dari pemerintah, tetapi dari pimpinan Warna Agung.

“Dulu saya tinggal di dekat Lokasari (salah satu tempat terkanal di daerah Glodok, Kota). Namun kebetulan Warna Agung punya proyek mengecat seluruh rumah di kompleks Green Garden (dulu kompleks Green Garden bernama Taman Bumi Indah). Rupanya ongkos pengecetan tersebut dibarter dengan dua buah rumah. Saya kemudian diberikan jatah rumah barteran yang saya tempati sekarang ini sejak tahun 1986.”

Selain bermain dengan kedua cucunya, Tekpong juga melatih klab almamaternya, yakni UMS setiap Selasa dan Kamis. Menurutnya, kalo saja sistem pembinaan di PSSI baik, sebenarnya banyak bibit-bibit unggul yang baik di tiap klab, tertama di UMS yang ia latih.

"Saya dulu punya anak didik asal Ambon. Teknik dan mentalnya luar biasa. Tapi karena nggak ada komptesi atau sistem pembinaan yang baik, ketika diterima di perguruan tinggi di Ambon, ia nggak balik-balik lagi. Sayang kan?"

Selama ini setiap kali pergi melatih, ia berjalan kaki dari rumah di Green Garden ke halte terdekat di jalan Raya Panjang. Menurut saya cukup jauh, tetapi itu sudah biasa dilakukan oleh Tekpong. Dari jalan Raya Panjang ini, ia baru naik angkot jurusan Kebon Jeruk-Glodok. Sampai di Glodok, ia berhenti di salah satu gang, dimana dulu ia pernah main bola waktu kecil, yakni di Gang Keselamatan. Setelah itu barulah ia naik ojek langganan ke lapangan UMS yang ada di jalan Ubi Petak Sinkian, Jakarta Barat.


Rumah Tekpong di Green Garden. Pemberian dari pemilik perusahaan Warna Agung di tahun 1986. Satu-satunya harta hasil prestasi main bola. Bukan dari pemerintah, tapi justru dari swasta. Coba kalo nggak dikasih rumah, siapa yang mau memberi?

“Saya pernah kerampokan di angkot,” kata Tekpong yang mengaku honor yang ia terima sangat kecil, di bawah Rp 1,5 juta.

Menyedihkan banget sih nasib Tekpong ini? Ini baru Tekpong, atlet sepakbola, belum atlet-atlet tua lain yang sempat membuat bangga pemerintah Indonesia maupun internasional. Belum atlet-atlet lain. Namun beruntunglah bagi Tekpong. Selain rumah yang ia terima dari Warna Agung, kehidupan sehari-harinya kini dijamin oleh sang kakak yang punya bisnis besar.

“Kata kakak, saya disuruh main bola saja,” ucap Tekpong.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Jumat, 19 Maret 2010

“DIA PENGEN NYIKSA SAYA KALI!”

Kalo saja tidak mengintip dari balik pagar kayu, barangkali saya tidak akan pernah tahu kalo di tengah pepohonan itu ada sebuah rumah tua. Maklumlah, lokasi rumah tua ini dikelilingi oleh pohon pisang, pohon singkong, maupun beberapa jenis pohon lain.

Barangkali kalo rumah itu itu berada di sebuah pedesaan, masih masuk akal. Rimbun pohon yang mengelilingi rumah menjadi hal yang lumrah. Tapi kalo Anda berpikir rumah yang saya maksud ini adalah sebuah rumah di salah satu desa atau kaki gunung di Indonesia, Anda salah besar! Percaya tak percaya, lokasi rumah tua ini ini tepat berada di samping gedung Menara Jamsostek di jalan Jendral Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

”Saya sudah tinggal di sini seja tahun 1975,” ujar ibu Endang Rekno Besane Sutarti Sepuluh yang sejak married berganti nama menjadi Tumiyem atau biasa disapa bu Iyem ini. ”Rumah dan tanah ini bukan milik saya. Saya cuma ngejagain aja.”












Di balik pepohonan pisang yang ada di tanah yang luas yang ada di samping Menara Jamsostek dan gedung Tifa, Gatot Subtoto itu terdapat sebuah rumah yang ditempati oleh seorang janda. Namanya ibu Iyem.

Tanah yang sejak 35 tahun ditempati oleh ibu Iyem ini adalah salah seorang pensiunan dari Kejaksaan Agung. Beliau tinggal di Bantul, Yogyakarta. Menurut ibu Iyem, awal-awalnya ia baik sekali. Hampir tiap tahun, datang berkunjung ke rumah di jalan Gatot Subroto ini. Lambat laun, si pemilik tanah mulai jarang datang.

”Bahkan tiga tahun terakhir ini nggak pernah datang lagi,” kata ibu Iyem. ”Mungkin dia pengen nyiksa saya kali!”


JUALAN GADO-GADO

Ibu Iyem mengganggap, sikap pemilik tanah yang membiarkan Ibu Iyem hidup sendirian di rumah itu adalah sebuah bentuk penyiksaan. Kenapa? Si pemilik tanah sudah lama tidak pernah lagi memberikan uang sebagai honor menjaga tanah dan rumah. Pada saat suami ibu Iyem meninggal, ia cuma datang sebentar dan memberikan sumbangan duka 50 ribu perak.

”Padahal ada orang yang sempat memberikan sumbangan lebih dari 500 ribu,” aku ibu Iyem yang kini usianya genap 66 tahun.

Oleh karena dibiarkan sendiri tanpa memberikan gaji sebagai penjaga tanah, ibu Iyem menghidupi sehari-hari berjualan di samping rumah itu. Selain warung nasi rames, di warungnya juga dikenal menjual gado-gado.

Sekadar info, di lahan seluas kurang lebih 200 m2, ada tiga bangunan. Bangunan pertama dipergunakan sebagai warung, bangunan kedua sebagai tempat tinggal utama, dan bangunan terakhir adalah bangunan belum jadi. Bagunan yang belum jadi ini cuma bangunan kosong, dimana cuma tiang-tiang beton yang berdiri, tanpa atap.

”Sebetulnya dulu ingin saya jadikan kontrakan. Tapi sudah keburu nggak punya uang lagi, ya saya diamkan aja,” aku ibu Iyem.

Kehidupan ibu Iyem memang mengenaskan. Tetapi anehnya, dalam kondisi yang miskin, ia masih berusaha untuk melayani saya dengan baik. Ia berusaha menyiapkan teh manis hangat dan memasakkan kerupuk dengan menggunakan kayu bakar, karena tidak mampu lagi membeli minyak tanah.


KAWIN CERAI-KAWIN CERAI

Ibu Iyem lahir pada tahun 1944. Ia adalah anak pertama dari 6 bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai prajurit aktif di Angkatan Darat (AD) dan sempat bertugas ke beberapa wilayah, baik di dalam maupun luar negeri, antara lain Dili, Borneo, maupun ke singapura. Jabatan terakhir ayahnya adalah Sersan.

“Ayah saya tukang kawin cerai,” aku ibu Iyem. “Istri ayah saya tujuh! Ayah pernah nikah dua kali di Pacitan dan dapat dua anak. Sekarang anaknya tinggal tiga, karena yang tiga sudah meninggal. Saya adalah anak pertama dari istri pertama.”

Rupanya tradisi kawin cerai ini diturunkan oleh kakeknya. Kalo ayahnya punya tujuh istri, kakaknya lebih banyak lagi, yakni punya sembilan istri. Tapi menurut ibu Iyem, kesembilan istri kakeknya dibuat senang semua. Kalo ada istri dibelikan mobil, semua istri dibelikan mobil juga. Kalo ada istri yang dibangunkan rumah, kesembilan istri harus dibuatkan rumah.

”Kakek saya adalah anak Ratu Kidul ke-3,” ucap ibu Iyem.

Terus terang ketika ibu Iyem mengatakan soal Ratu Kidul, saya mulai ilfil alias ilang feeling. Kenapa? Saya mulai menyangka ibu Iyem gokil! Mana mungkin Ratu Kidul punya anak? Anaknya berwujud manusia pula! Lebih dari itu, Ratu Kidul yang saya kenal selama ini kan sekadar mitos?

Namun saya tidak mau menyakiti hati ibu Iyem. Toh, kedatangan saya ke rumah ibu Iyem bukan dalam rangka mengomentari soal kebenaran Ratu Kidul. So, saya mendengarkan saja seluruh kisah ibu Iyem dan mengganggap kisah Ratu Kidul adalah memang benar. Apalagi mendengar kisah-kisah selanjutnya soal keajaiban yang terjadi pada diri kakek dan bapaknya, saya jadi percaya tak percaya.


Ibu Iyem di depan pintu rumah utama.

Anda tahu, ayahnya ibu Iyem meninggal pada usia 170 tahun. Kakeknya lebih luar biasa lagi, meninggal di usia 180 tahun. Saya baru kali ini mengetahui ada orang Indonesia yang meninggal dalam usia lebih dari 100 tahun. Terus terang dalam riset saya, belum menemukan nama orang yang usianya panjang banget, kecuali cerita dari ibu Iyem ini.

Percaya tak percaya lagi, sang ayah pernah tapa (maksudnya bertapa atau bersemedi) di Gunung Damar, Jawa Timur selama 13 tahun. Kakeknya lebih dahsyat lagi, tapa selama 33 tahun.

”Eyang meninggalnya juga tidak dalam kondisi sakit-sakitan,” terang ibu Iyem. ”Eyang meninggalnya di kolam besar yang sudah diisi oleh bunga mawar. Sebelum meninggal, Eyang memakai kain kafan sendiri. Lalu berendam di dalam kolam itu. Ia masih sempat membaca Al-Qur-an yang ia bawa dan baca saat berendam.”

Beberapa detik sebelum menghembuskan nafas terakhir, Eyang meminta istrinya membunyikan kentongan. Tujuannya supaya warga di sekitar rumah mendengar ada yang meninggal. Setelah kentongan selesai dipukul tiga kali, Eyang pun meninggal. Menurut ibu Iyem, ketika warga mengangkat jasad kakeknya, beratnya mirip kapuk.

”Enteng banget!”


DIPAKSA MARRIED

Ketika masih berusia 8 tahun, ibu Iyem sempat dipaksa married. Saat itu wanita yang pertama kali datang ke Jakarta pada tahun 1958 ini masih berstatus siswa SD kelas 3. Oleh karena masih kecil, ibu Iyem membrontak. Meski begitu, sang ayah tetap memaksa dan sempat membuat saya hampir dibunuh.

Akhirnya pada tahun 1962 atau di usia 18 tahun, ibu Iyem married untuk pertama kali dengan seorang lurah. Dengan lurah, ia mendapatkan dua orang anak. Sayang, kedua anaknya sudah meninggal semua. Dua tahun berikutnya, ibu Iyem married lagi. Oleh karena suami keduanya ’jahat’, ia pun kabur dari rumahnya di Pacitan selama 35 tahun.

Selama 35 tahun itu, ibu Iyem tidak pernah berhubungan dengan keluarganya, termasuk dengan ayahnya. Ia pun belum married dengan siapa pun juga. Baru pada tahun 1972, ibu Iyem menikah lagi dengan pria asal Purworedjo. Sayang, dengan suami ke-3 ini, ibu Iyem tidak dikaruniai keturunan.

Sejak tahun 1975, bersama sang suami, ibu Iyem menunggu sebidang tanah di daerah Gatot Subroto. Namun beberapa tahun sang pemilik tidak lagi memberikan gaji. Ketika suami ibu Iyem meninggal pun tidak ada bantuan yang diberikan. Itulah yang membuat ibu Iyem terpaksa berjualan.

”Pelanggan saya banyak,” ungkap ibu Iyem. ”Ada yang dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, Brimop, ada pula dari Angkatan Laut. Mereka itu kerja di museum.”

Yang dimaksud museum oleh ibu Iyem tidak lain adalah museum Satria Mandala yang kebetulan lokasinya di samping rumah yang ditinggalinya. Biasanya, setiap kali jam makan, mereka datang ke warungnya. Ibu Iyem sangat menyayangkan, para pelanggannya itu kemudian ditarik ke Cilangkap sampai mereka pensiun.

Ada kisah soal para pelanggan. Suatu ketika, beberapa pelanggan yang semuanya adalah bujangan, duduk di warung sambil makan. Salah seorang meminta ibu Iyem untuk memilih satu di antara pelanggan itu.

”Kata salah seorang dari mereka: ’daripada jualan gado-gado terus, mending jadi istri saya’,” ingat ibu Iyem, mencoba mengingat salah seorang pria asal Surabaya yang mencoba mengajaknya married. ”Maklumlah saat itu suami saya sudah meninggal dan saya masih 21 tahun.”


KERAJAAN KANJENG RENGGO

Saat ini ibu Iyem tinggal sendirian di rumah tua yang persis di samping Menara Jamsostek, jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Meski sendirian, di halaman rumahnya, ia memelihara 5 angsa dan 10 kambing.

Seekor angsa dari lima angsa itu menurut ibu Iyem merupakan angsa jadi-jadian. Angsa itu muncul tiba-tiba dari dalam tanah. Angsa itu adalah angsa milik Kanjeng Renggo Syeik Purbo. Siapa itu Kanjeng Renggo? Menurut ibu Iyem, ia adalah Bapak kandung dari Nyi Roro Kidul.

”Wilayah ini adalah kerajaan Kanjeng Renggo,” jelas ibu Iyem. ”Di kerajaan ini terdapat kolam ikan yang bagus dan besar, ada buaya hitam dan putih, kodok yang gede, dan 12 pembantu. Mengitari halaman rumah ini juga terdapat lampu-lampu indah. Ada lampu templok seperti lampu aladin dan lampu kerlap-kerlip seperti lampu disko.”


Pohon yang gede di sebelah kanan foto adalah pohon kapuk. Sementara papan kecil di sebelah kiri adalah papan nama perusahaan pemilik area kosong ini. Meski kosong, seluruh area ini adalah milik kerajaan Kanjeng Renggo. Nggak ada orang yang berani menebang pohon kapuk itu, kecuali niat mau mati.

Angsa jadi-jadian itu menurut ibu Iyem merupakan angsa yang jelek. Di kerajaan Kanjeng Renggo banyak angsa yang lebih bagus dari yang ada sekarang. Ketika muncul dari tanah, angsanya sepasang. Angsa jantan dan angsa betina. Namun sayang, angsa betinanya sudah mati, karena dimakan musang.

Kisah mendapatkan angsa jadi-jadian ini cukup unik. Ceritanya suatu hari sekeliling perut ibu Iyem seperti tersengat listrik. Cukup kuat sekali sengatannya. Ia yakin sengatan itu merupakan petunjuk. Entah kenapa, ia langsung membuka lemari makan. Di dalam lemari, ia menemukan beberapa telur angsa pecah. Padahal saat itu ia belum memelihara angsa.

Lokasi utama kerajaan ada di pohon kapuk yang ada di tanah yang dekat rumah ibu Iyem. Meski Kanjeng Renggo tidak pernah ada di pohon kapuk tersebut, namun tidak ada seorang pun yang berani menebang pohon kapuk tersebut.

”Termasuk pak Saji,” kata ibu Iyem.

Yang dimaksud pak Saji adalah seorang bapak yang bertugas menunggu tanah puluhan hektar milik PT. Idola Tunggal. Sekadar info, di samping Menara Jamsostek ada tanah yang sangat luas yang diantaranya dimiliki oleh PT. Idola Tunggal dan gedung Tifa yang ada di belakang tanah ini. Nah, di tanah tersebut kini hanya tinggal rumah ibu Iyem yang memang belum dibebaskan.

Tugas pak Saji adalah mengawasi serta membabat alang-alang liar yang ada di tanah tersebut. Beberapa kali beliau mencoba menebang pohon kapuk yang persis di samping papan PT. Idola Tunggal. Namun beberapa kali pula, pria yang sudah 13 tahun melakukan pekerjaannya ini sakit. Oleh karena itu, sampai sekarang ia tidak berani memotong lagi pohon kapuk itu, karena ia tahu pohon tersebut milik Kanjeng Renggo.


ANGSA ITU BERNAMA YOSIS

”Dia kan Ratunya saya!”

Begitu kata ibu Iyem, ketika saya tanya kenapa ia begitu tahu soal Nyi Roro Kidul. Ia tahu, bencana yang terjadi belakangan ini di Indonesia, karena Nyi Roro Kidul hendak menikahkahkan anaknya. Tidak mengherankan, korban-korban longsor maupun gempa dikirim ke Pantai Selatan.

Pernahkah ibu Iyem bertemu dengan Kanjeng Renggo?

”Pernah!” jawabnya. ”Saya cuma puasa 3 hari 3 malam di rumah samping ini, tiba-tiba Kanjeng datang. Dia bilang: ’kenapa di luar?’. Saya kemudian disuruh masuk. Saya bilang ke Kanjeng: ’saya ingin yang punya tanah ini disiksa’. Kanjeng bilang: ’sudah. Memangnya tidak dikasih tahu pembantu saya?’”







Halaman rumah yang ditempati oleh ibu Iyem.

Rupanya Kanjeng Renggo menghancurkan rumah si pemilik tanah yang saat ini ditempati ibu Iyem. Bukan yang di Menara Jamsostek, tetapi yang di Bantul. Tentu Anda masih ingat peristiwa gempa di Bantul? Nah, salah satu rumah yang hancur adalah rumah beliau.

Kanjeng Renggo memang baik sekali pada ibu Iyem. Angsa jadi-jadian yang diberikan padanya menjadi ’penjaga’ sehari-hari di rumahnya. Angsa ini bisa menjadi pocong, bisa pula berwujud sebagai manusia raksasa yang bertubuh besar dan tinggi.

”Pernah suatu hari saya mencari angsa pemberian Kanjeng dan baru ketemu jam 3 pagi,” jelas ibu Iyem. ”Wujudnya waktu itu Pocong. Dia bilang: ’cari sopo kowe? Aku iki Yosis’. Pocong itu kemudian menunduk ke tempat minum angsa dan lambat laun berubah menjadi angsa.”

Ibu Iyem tidak mengerti kenapa angsa itu menamakan dirinya Yosis. Nama itu terucap dari Pocong yang merupakan wujud dari angsa jadi-jadian itu. Ketika saya berkunjung ke rumah ibu Iyem dan memfoto sudut-sudut rumah maupun halaman, angsa bernama Yosis itu memang nampak paling ’berisik’. Menurut ibu Iyem, kalo belum kenal orang, angsa Yosis seperti itu.

”Kalo sudah kenal dan orang yang dikenal jarang datang, angsa itu pasti akan ngomong: ’kok jarang datang?’”


GARA-GARA PECANDU NARKOBA

Baik ibu Iyem, apalagi saya, tidak tahu seperti apa kehidupan Ibu Iyem selanjutnya. Si pemilik tanah sudah tidak peduli lagi dengan kehidupan janda berusia 66 tahun ini, sehingga ia tidak lagi punya uang bulanan.

Si pemilik tanah seolah sedang ’menyiksa’ ibu Iyem dengan membiarkan tetap hidup, tetapi tidak ’diurus’. Padahal Developer sudah menawar harga pembebasan rumah dan tanahnya Rp 1.250.000 per meter persegi. Ketika para tetangganya menerima harga Rp 250 ribu, tanah yang ditinggali ibu Iyem ini sempat ditawar Rp 1.250.000 per meter.


Rumah yang ditinggalin ibu Iyem dilihat dari Menara Jamsostek lantai 5 (kanan). Rimbun banget ya? Cuma terlihat atap genteng di tengah rerimbunan pohon. Perhatikan jalan di sebelah kanan, itu jalan mobil di kompleks gedung Menara Jamsostek yang mengarah ke jalan Gatot Subroto. Lihat kan gedung-gedung yang ada di jalan Gatot Subroto?

”Bahkan ada developer yang menawar sampai lima juta per meter,” jelas ibu Iyem. ”Tetapi saya kan bukan pemilik tanah. Jadi saya ingin dia (maksudnya pemilik resmi tanah ini) ngomong saya harus bagaimana.”

Maksud ibu Iyem, si pemilik tanah seharusnya mengerti, sebagai orang yang sudah puluhan tahun menjaga tanah, ya diberikan pesangon berupa uang. Ketika pihak Developer sudah menawar, seharusnya pemilik tanah memutuskan: setuju atau tidak. Kalo setuju, bagaimana nasib Ibu Iyem selanjutnya. Kalo tidak, bagaimana pula nasib ibu Iyem.

”Jangan disiksa kayak sekarang ini! Dia pengen tunggu saya sampai mati kali!”

Wajarlah kalo Ibu Iyem protes seperti itu. Buat janda seperti dia, tentu butuh penghasilan untuk menutupi kehidupan sehari-hari. Apalagi dalam tiga tahun ini, usaha warungnya telah tutup.

”Gara-gara keponanan saya,” aku ibu Iyem yang sempat dilamar oleh duda yang lebih muda usia darinya yang kini.

Tiga tahun lalu, keponakannya sering main ke rumah ibu Iyem. Ia tidak sendirian, tetapi bersama ketiga temannya. Awalnya ibu Iyem tidak curiga dengan kedatangan mereka. Namun lambat laun, ibu Iyem baru mengerti alasan mereka datang ke rumahnya.

”Pantes saja sendok saya sering hilang. Saya pikir siapa yang ambil. Eh, ternyata sendok itu dipergunakan mereka untuk pakai narkoba.”

Kecurigaan ibu Iyem terbukti dengan ditemukan beberapa sendok yang sudah bengkok yang ada di halaman belakang, tepatnya di dekat kandang kambing. Selain itu, ia juga menemukan beberapa jarum suntik di kebun belakang.

”Saya nggak mau rumah ini jadi sarang narkoba dan saya dipenjara. Makanya sejak itu saya nggak mau lagi jualan. Biar rumah ini sepi lagi.”


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

OH MY BUSWAY, BETAPA MALANG NASIBMU....

Kalo kebetulan melintas di jalan bypass menuju ke arah Cililitan, perhatikan halte-halte busway. Anda akan melihat halte-halte tersebut rusak berat. Sedih banget! Selintas saja, Anda pasti akan melihat kaca-kaca halte tersebut pecah. Kalo masuk ke halte, kondisi lebih parah lagi. Anda akan melihat dengan mata kepala sendiri lembaran-lembaran yang terbuat dari baja, dimana digunakan sebagai lantai halte, dicopot.

Halte-halte tersebut adalah halte-halte yang merupakan lintasan Koridor 9 jurusan Pinang Ranti sampai Pluit dan Koridor 10 jurusan Cililitan ke Tanjung Priuk. Saat ini diperkiraan ada sekitar 10 halte yang rusak.



Inilah salah satu halte busway yang rusak, yang lokasinya persis di depan kantor Bea Cukai, Jakarta Timur.




Saya jadi berpikir, kok begitu Sutiyoso nggak menjabat jadi Gubernur DKI Jakarta, halte-halte yang sudah dibuat, dicuekin. Perhatikan halte-halte dari Semanggi (depan Komdak) menuju Cawang. Lalu halte di bypass menuju ke Tanjung Priuk. Fasilitas sudah dibuat, tetapi nggak dimanfaatkan di masa Gubernur Fawzi Bowo.

"Itu mah biasa! Proyek loe, proyek gue, proyek gue!"

Maksudnya, ketika masa kepemerintahan Sutiyoso jadi Gubernur, proyek pembangunan busway digeber sampai tuntas. Halte-helte didirikan tanpa memikirkan apakah sudah tersedia bus yang melintasi halte-halte itu atau belum. Yang penting halte berdiri dan proyek selesai. Nah, begitu Gubernur Fawzi Bowo apa yang terjadi? Padahal selama busway beroperasi sejak 6 tahun lalu, terjadi lonjakan penumpang. Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, pada tahun 2007, penumpang busway berjumlah 61,4 juta penumpang. Angka tersebut meningkat 34% di tahun 2009, yakni 82,38 juta penumpang.


Petugas kebersihan busway sedang membersihkan debu di halte busway Pramuka, Jakarta Timur. Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang penulis kutip di tvOne, buat maintenance per halte per tahun mencapai 100 miliar. Banyak amat ya?

Menurut Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Riza Hasyim (Kompas, Jumat, 19/3/2010), kerusakan fasilitas dan buruknya pelayanan lebih banyak disebabkan faktor manusia di luar pengguna maupun operator. Sebagai contoh, rusaknya halte, hilangnya lantai jembatan penyeberangan, kerusakaan separator, itu semua disebabkan oleh orang-orang yang nggak bertanggungjawab.

Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Profesor Irwan Katili mengungkapkan, pembengkakan biaya operasional busway berlipat tiap tahun. Pada tahun 2009, Pemerintah Provinsi DKI kudu mengeluarkan dana sekitar Rp 600 juta buat memperbaiki separator busway. Kita tahu, separator tersebut rusak gara-gara kendaraan yang melanggar. Baik mobil, apalagi motor, dengan seenaknya beralih jalur, dari jalur busway ke jalur biasa dengan melewati separator. Gokils kan? Itulah yang menyebabkan Wakil Gubernur DKI Jakarta gemas. Saking gemasnya, ia sempat menganjurkan untuk mengganti separator dengan pagar.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Kamis, 18 Maret 2010

TEBET: ‘KAMPUNG BARU’ GUSURAN SENAYAN

Mengenang Tebet seperti mengingat masa saya pacaran dahulu. Kalo saja tidak punya pacar orang Tebet, barangkali saya tidak begitu mengenal Tebet. Memang sih pengetahuan saya tetang wilayah yang berada di Jakarta Selatan ini masih seujung kuku alias cetek. Masih kalah dengan mereka yang sudah lebih dulu lahir dan besar di Tebet. Meski begitu, kurang lebih tujuh tahun tinggal di Tebet, cukup buat saya tahu tempat-tempat di Tebet.

Saya menginjakkan kaki pertama kali di Tebet sejak awal tahun 1997. Saat itu, saya sering bolak-balik Tebet-Cempaka Putih. Tidak dalam rangka bisnis, tetapi PDKT alias pendekatan pada seorang gadis yang tinggal di Tebet Timur Dalam. Gadis berdarah Magelang, Jawa Tengah ini lahir dan dibesarkan di Tebet.

Gadis yang kelak bersuamikan saya ini bernama Sindhi. Kebetulan orangtuanya adalah salah satu keluarga yang sempat tinggal di Senayan. Oleh karena pada tahun 1963 akan didakan penyelenggaraan Games of New Emerging Forces (Ganefo), maka warga penduduk di Senayan dan sekitarnya terpaksa dibebaskan.


PERHELATAN PERTAMA DAN TERAKHIR

Kisah Tebet menjadi sebuah pemukiman yang berkembang, memang tidak bisa lepas dari kisah Ganefo pada tahun 1963 itu. Adalah Presiden Republik Indonesia ke-1, Ir. Sukarno berhasil mengguncang dunia dengan membuat tandingan dari Olimpiade Tokyo dengan menyelenggarakan Ganefo ini.

Penyelenggaraan Ganefo ini dipicu oleh kemarahan Soekarno marah gara-gara Komite Olimpiade Internasional (KOI) menskorsing Indonesia buat ikutan Olimpiade Tokyo. Pasalnya, Soekarno melarang Israel dan Taiwan ikut Asian Games tahun 1962 di Jakarta. Larangan tersebut merupakan bentuk dukungan Indonesia pada Republik Rakyat China (RRC) dan negara-negara Arab yang sedang konflik dengan Taiwan dan Israel, padahal Taiwan dan Israel adalah anggota resmi PBB.


Foto ini saya ambil dari dalam Hutan Kota Tebet. Bayangkan Tebet di tahun 60-an, ketika belum ada warga gusuran Senayan, asri dan rimbunnya hampir mirip kayak begini. Ada pepohonan yang rimbun dan anak sungai Ciliwung yang mengalir membelah hutan, meski sungainya masih alami alias tidak ditembok kayak begini.

Meski ada larangan dari KOI, Ganefo berlangsung dengan sukses. Penyelenggaraan olahraga ini dihadiri oleh 2.200 atlet dari 48 negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa. Sementara itu, nggak kurang dari 450 wartawan dari berbagai belahan dunia, datang ke Senayan. Ganefo ternyata menjadi perhelatan pertama dan terakhir, karena penyelenggaraan berikutnya gagal akibat persoalan politik.

Saya memang tidak mengalami Ganefo. Maklumlah, saat itu saya belum lahir. Namun saya bisa membayangkan berapa jumlah kampung yang dibebaskan pada tahun 1960-an. Data statistik menunjukkan, luas wilayah Tebet sekitar 3.00-an km2, dimana terdapat Tebet Barat, Tebet Timur, dan Tebet Utara. Kalo ditambah wilayah lain, yakni Kebon Baru, Bukit Duri, Manggarai, Manggarai Selatan dan Menteng Dalam, dimana wilayah tersebut masuk ke dalam Kecamatan Tebet, maka luas Tebet mencapai 9.53 km2.


BEKAS RAWA DAN EMPANG

Gara-gara proyek pembangunan kompleks olahraga Gelora Bung Karno dan perkampungan atlet, memang terjadi eksodus besar-besaran warga kampung Betawi ke wilayah ‘baru’ di Tebet. Sementara di Tebet sudah bermukim beberapa etnis lain. Tidak heran setelah tahun 1963, Tebet dihuni oleh multietnis. Selain etnis Tionghoa dan Arab, ada pula orang Belanda maupun Portugis yang masih bermukim di Tebet pada tahun 1960-an.

“Setidaknya ada dua kampung Betawi asal Semanggi yang pindah ke Tebet. Nama kampung itu adalah kampung Tunduan,” jelas pak Soetono, warga asli Tebet yang sekrang bermukim di Cipondoh, Tanggerang, Banten. “Kayaknya warga kampung Tunduan sudah nggak ada, deh. Yang pasti dulu, kampung ini mendiami wilayah yang sekarang dikenal dengan Semanggi sampai Parkir Timur Senayan.”

Belakangan ketika ada perluasan di sekitar Senayan, ada kampung lain yang juga dibebaskan. Kampung yang kena gusur ini dikenal dengan kampung Kemandoran yang sebelum tahun 1970-an mendiami wilayah sekitar stasiun kereta api Palmerah.

“Warga yang di Semanggi punya tanah ribuan meter persegi, begitu di Tebet diganti jadi beberapa kavling,” jelas pak Soetono.

Kalo menggali sejarahnya, sebelum terjadi eksodus besar-besaran warga Betawi dari Senayan, wilayah Tebet sebenarnya memang sudah ada. Namun Tebet belum menjadi pemukiman yang ‘asyik’. Maklumlah, Tebet masih dianggap sebagai ‘jin buang anak’, karena mayoritas lokasi masih berupa rawa, semak belukar, pepohonan yang besar-besar, serta anak-anak sungai yang mengalir di beberapa wilayah itu.

Kata ‘Tebet’ sendiri berasal dari kata ‘Tebat’. Arti ‘Tebat’ adalah sebuah tambak di tengah rawa-rawa, dimana air yang ada di tambak itu berasal dari aliran sungai. Tambak di sini bisa difungsikan sebagai tempat menampung air hujan agar tidak menggenangi daerah sekeliling. Kalo bahasa Betawi, dikenal dengan sebutan ‘Empang’. Arti kedua, adalah tambak yang dibuat di sungai dan juga di rawa, dimana tempat itu dijadikan tambak ikan.

Kalo melihat arti kata pertama, bahwa ketika zaman Belanda, Tebet dijadikan salah satu wilayah resapan air, karena terdapat banyak rawa dan dilewati oleh aliran anak sungai cabang dari sungai Ciliwung yang memang dekat dari wilayah Tebet. Kebetulan pula Tebet dianggap sebagai dataran rendah. Idenya, ketika Hindia Belanda mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Batavia kemudian berkembang, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menjadikan Kota sebagai pusat pemerintahan. Sementara itu, wilayah di luar itu dijadikan sebagai daerah pemukiman serta dearah resapan air.

Dengan mencontoh negara asalnya, tata ruang di Batavia dibentuk sedemikain rupa sehingga mirip seperti di Belanda. Ada kanal yang dibangun untuk menanggulangi masalah banjir atau genangan air, salah satunya pendirian Banjir Kanal Barat pada tahun 1930-an, dimana pintu kanalnya berada di Manggarai. Sementara itu, daerah-daerah yang memang secara alamiah telah berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air, tetap dibiarkan begitu saja. Artinya, pihak Belanda tidak mengizinkan orang bermukim di lokasi tersebut. Kisah yang beredar, agar penduduk tidak berani mendirikan rumah di daerah resapan air, dibuatlah legenda untuk menakut-nakuti warga, bahwa lokasi yang rawa-rawa sebagai tempat jin buang anak.

“Wah kalo dulu setiap sore mancing di sungai dekat rumah,” kata pak Soetono, mengingat kenangan masa kanak dengan orangtuanya yang sejak tahun 1962 mendiami Tebet Timur Dalam ini.

Seiring dengan waktu, dimana sudah tidak banyak lagi rawa maupun tambak, nama ‘Tebat’ berubah menjadi Tebet. Maklumlah, Tebet kemudian menjadi salah satu wilayah pemukiman kelas menengah ke atas. Belakangan malah berdiri apartemen, perkantoran, dan pusat jajan.

Sebenarnya bukan cuma Tebet yang dahulu bekas rawa-rawa. Banyak daerah yang jelas-jelas menggunakan kata ‘rawa’. Sebut saja Rawa Badak, Rawa Jati, Rawasari, dan sebagainya. Sudah pasti, penamaan itu ada kaitannya dengan fungsi daerah tersebut pada masa silam, yakni daerah rawa-rawa juga. Sekarang, rawa-rawa itu sudah lenyap, tinggal namanya saja.

Begitu pula dengan Empang. Di Jakarta ini dahulu banyak sekali Empang. Emang-Empang di Jakarta kini sudah ‘almarhum’. Sekarang kita mengenal Empang sekadar kata yang dijadikan nama jalan. Salah satunya jalan Empang Tiga di daerah Kalibata, Jakarta Selatan.


TANAH LAPAN TEMPAT MAIN BOLA

Tiap kali ngapel ke rumah calon istri, saya selalu naik Metromini S-60. Rute S-60 adalah Manggarai-Kampung Melayu. Baik dari Manggarai menuju Kampung Melayu atau sebaliknya, S-60 pasti akan melewati Tebet. Kalo dari Manggarai, S-60 akan melewati Tebet Barat Dalam. Metromini ini pasti akan ngetem di samping Kecamatan Tebet, tepatnya di samping McDonnald, jalan Prof. Dr. Soepomo. Setelah mendapatkan ‘sewa’ yang biasanya mereka yang habis mengurus sesuatu di Kecamatan atau mengirim surat di kantor pos yang ada di situ. Saya sendiri pada saat mengurus surat menikah, di Kantor Urusan Agama (KUA) yang ada di kompleks Kecamaten Tebet situ.

Metromini kemudian bergerak ke Pasar Tebet Barat. Nah, di Pasar Tebet Barat ini Metromini ngetem lagi untuk yang kedua kali. Tentang Pasar Tebet Barat, Anda harus sedikit mengetahuinya, karena pasar ini cukup bersejarah. Kenapa? Sebab, sebelum eksodus besar-besaran warga kampung Betawi asal Semanggi tahun 1960-an, pasar Tebet Barat sudah ada.

Sebelum menjadi gedung dan dikelola oleh PD Pasar Jaya, pasar Tebet Barat hanya sebuah tanah lapang yang luas. Bayangkan sebuah lapangan sepakbola yang ada di tengah-tengah rawa maupun persawahan. Dahulu belum banyak perumahan yang bermukim di sekitar Tebet Barat. Meski begitu, lapangan yang luas ini menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai daerah, termasuk dari Manggarai, Cililitan, maupun Pasar Minggu. Yang paling banyak berdagang pada saat itu adalah etnis Tionghoa. Literatur menyebutkan, etnis Tionghoa menguasai perdagangan di beberapa wilayah Batavia sejak abad 19.

Rawa yang tumbuh di sekitar mulai ditebang. Munculah beberapa rumah di sekitar pasar. Penghuni rumah tidak hanya dari etnis Tionghoa, tetapi juga dari etnis lain. Begitu eksodus, banyak warga Betawi asal Senayan yang memilih tinggal di dekat Tebet Barat.

Mereka yang memilih Tebet Barat sebagai pemukiman ini lumrah. Setidaknya ada dua alasan. Alasan pertama, lokasi perumahan mereka dekat dengan jalan utama. Kalo mereka ingin ke Pasar Minggu cukup jalan kaki ke Pancoran lalu naik oplet atau delman dari Pancoran. Alasan kedua, biasanya warga Betawi yang memilih Tebet Barat adalah ingin ikut berdagang. Orang-orang Betawi yang terakhir ini biasanya bukan sebagai pegawai, tetapi memang wiraswasta, entah itu menjadi pedagang ayam potong atau pedagang makanan seperti gado-gado, soto Betawi, nasi uduk, dan makanan lain khas Betawi.


Lapangan sepakbola PSPT di Tebet Timur. Dahulu Pasar Tebet Barat cuma tanah lapang kayak lapangan sepakbola ini. Di tanah lapang ini berdiri gubuk-gubuk para pedagang. Lambat lain dibuatkan bedeng semi permanen, permanen, dan akhirnya dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta di jaman Ali Sadikin.

Ketika menjelang sore, tanah lapang itu difungsikan untuk main sepakbola. Di tahun 1960-an memang belum ada lapangan sepakbola PSPT seperti sekarang ini. Warga Tebet masih main sepakbola di Tebet Barat. Namun ketika jumlah pedagang semakin banyak, apalagi ketika terjadinya eksodus, lapangan bola terpaksa digusur, dialihkan ke lapangan sepakbola di Tebet Timur.

Agar supaya lokasi dagang aman, teduh, dan tidak terkena hujan, maka lapangan tersebut ‘disulap’ menjadi kios-kios permanen. Kios-kios tersebut dibuat dari kayu. Baru pada zaman Gubernur Ali Sadikin, Pasar Tebet Barat dikomersilkan dengan dikelola langsung oleh Pemda DKI Jakarta.


CIKAL BAKAL WARTEG DI JAKARTA


Rawa-rawa dan persawahan masih banyak sampai dengan tahun 1962. Kalo Anda pernah melancong ke Tebet dan mengetahui ada hutan kota Tebet yang terletak di Tebet Timur, dahulu lokasi itu adalah persawahan. Dari hutan kota Tebet sampai dengan pasar darurat yang menuju ke arah Tebet Utara, semuanya masih sawah.

Di ujung pasar darurat, persis di pojok perlintasan antara Tebet Utara, Tebet Barat, dan Tebet Timur, ada sebuah warung yang sampai sekarang masih ngetop, yakni warung makan bernama Warmo. Kata ‘Warmo’ sebenarnya kependekatan dari Warung Mojok. Seperti yang saya sudah jelaskan, maksud ‘warung mojok’ ya karena warungnya memang lokasinya di pojok jalan.

Seperti juga warung-warung makan lain, Warmo juga menjual makanan rumahan ala warung Tegal biasa. Barangkali yang membedakan, kalo kebetulan makan di situ dan beruntung, Anda bisa bertemu dengan sejumlah artis ibukota. Maklumlah, dahulu warung ini seringkali menjadi tempat gaul para artis ibukota, yang sebagaian besar berdomisili di kawasan Tebet dan sekitarnya. Hingga sekarang, sekelompok artis itu sesekali masih sering mangkal di Warung ini. Yang istimewa lagi, warung berukuran 10x7 m2 ini buka 24 jam non-stop.


Warmo (kanan), tempat nongkrong para artis yang kebetulan sempat tinggal di Tebet. Jalan di sebelah kiri itu merupakan jalan menuju ke Tebet Timur Dalam, dimana di lokasi itu terdapat Hutan Kota Tebet. Jalan ini bisa nembus sampai ke jalan MT Haryono.

Warmo termasuk salah satu pelopor warung tegal di Jakarta. Warteg ini didirikan Darsyid dan adiknya, Tumuh. Kedua pria ini berasal kota pesisir, Tegal, Jawa Tengah. Mereka merantau ke Jakarta pada tahun 1955. Di Jakarta, Darsyid berganti-ganti pekerjaan. Awalnya ia menjadi jadi pembantu rumah tangga. Lalu ia pernah berjualan es podeng. Setelah menikah dengan wanita sekampungnya, Tarina, pada tahun 1970, Darsyid nekad membuka warung nasi.

“Waktu ada uang saya mikir, daripada dibeliin radio lebih baik buka warung nasi,” kata Darsyid.

Di tahun 1970-an belum ada nama brand bernama ‘warteg’ atau warung tegal di Jakarta. Dulu namanya masih warung nasi saja. Suatu ketika masih di tahun 1970-an, Darsyid mengajak rekan anggota arisan pengusaha warung nasi asal Tegal untuk mengubah nama warung-warung mereka menjadi warung Tegal. Usulan tersebut kemudian disepakati. Inilah cikal bakal kata ‘warteg’.

Sebelum menetap di Tebet, Darsyid dan Tumuh membuka warteg di pinggir gang Kober, Jatinegara, Jakarta Timur. Namun wartegnya digusur, karena pelebaran gang menjadi jalan besar. Ia kemudian pindah ke Tebet. Ia mendirikan warteg dengan bilik bambu di atas tanah negara di tempat yang bertahan hingga kini.

Awalnya Darsyid menamai warungnya dengan warteg. Namun Raja Dangdut Rhoma Irama, yang kebetulan sempat tinggal di jalan Gudang Peluru yang tidak jauh dari Tebet, memberi nama Warmo. Warmo singkatan dari warung mojok. Nama itu dipilih karena lokasinya di pojokan. Kebetulan juga salah seorang karyawan Darsyid bernama Warmo. Karena Darsyid sering memanggilnya, nama Warmo menjadi akrab di telinga pelanggan. Bahkan nama itu lebih terkenal daripada namanya pemiliknya, Darsyid dan Tumuh.

Anak muda seperti Rhoma Irama tadi lebih suka menyebutnya Warmo daripada warteg. Darsyid pun terpaksa mengubah nama warungnya menjadi Warmo. Kini namanya Warteg Warmo Jadi Mulya.

Oh iya, entah benar atau tidak, ada yang bilang kalo makan di Warmo jangan dibawa pulang. Kalo dibawa pulang, makanannya jadi tidak sedap lagi. Mending makan di tempat. Kenapa? Konon menurut kabar, ada 'jimat' yang diletakkan di salah satu sudut warung itu, dimana 'jimat' itu mensyaratkan makanan cuma enak kalo makan di situ. Biasalah, di warteg mana pun pasti ada hal-hal yang dimiliki oleh si pemilik. Kalo bukan centong nasinya yang harus centong tertentu yang sudah dibacakan oleh 'dukun' atau yang paling banyak huruf Arab yang biasanya diambil dari petikan dari Al-Qur'an yang diletakkan di atas pintu masuk warteg. Kutipan Al-Qur'an itu membungkus beberapa butir biji padi.

SEKOLAH DARI ATAP RUMBIA

Kalo sedang tidak naik kendaraan pribadi, biasanya kalo ngapel ke rumah calon istri saya naik Metromini S-60 dan turun di daerah yang ngetop dengan sebutan ‘bedeng’. Kata ‘bedeng’ sebenarnya merujuk pada sebuah sekolah yang dikenal dengan nama SD Bedeng yang berdiri sekitar tahun 1962. Padahal nama SD-nya sendiri bukan SD Bedeng.
Asal muasal dinamakan SD Bedeng, karena dahulu bangunan sekolah ini menggunakan bahan dari tripleks, mirip bedeng tempat para kuli biasa tinggal untuk sementara waktu selama bekerja di sebuah proyek. Kalo seluruh bangunannya menggunakan tripleks, atapnya menggunakan rumbia. Tahu kan rumbia? Yakni dari daun kelapa yang sudah kering.


Foto ini bukan foto siswa-siswi SD Bedeng, tetapi salah satu SD di Tebet, yakni SDN Tebet Timur Pagi 3, angkatan 1977. Mohon maaf saya belum menemukan foto kayak begini dari alumni SD Bedeng.

SD Bedeng ternyata berhubungan erat dengan SD BO yang ada di Pisangan Baru I, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Huruf BO di depan kata SD, kependekan dari Boedi Oetomo. Sejak tahun 80-an, SD BO diganti namanya menjadi SD Pisangan Timur.
Ketika SD BO direnovasi, sisa bahan bangunannya dikirim ke SD Bedeng. Namun sayang, bahan bangunan yang dikririm, dikorupsi oleh warga sekitar SD Bedeng. Bukan hanya pasir, tetapi bata maupun ubin diambil. Kebetulan pada saat pembangunan SD Bedeng dari tripleks menjadi tembok dan dari atap rumbiah menjadi genteng, warga sekitar yang melaksanakan. Tahun itu belum banyak kuli bangunan atau kontraktor yang dibayar untuk membangun gedung.

“Target sepuluh kelas, eh jadi cuma tiga kelas,” ujar pak Soetono, warga Tebet Timur Dalam, dimana rumanya dekat sekali dengan SD Bedeng. “Habis bahan bangunannya dikorupsi. Sebagian dari mereka yang ikut membangun SD Bedeng membawa bahan bakunya ke rumah masing-masing.”

Di samping SD BO sebenarnya ada SD lain yang kini sudah almarhum, yakni SD Gotong Royong. SD swasta ini didirikan oleh Sitti Rohaya sekitar tahun 1972. Wanita ini pula yang menjadi Kepala Sekolah.


Sitti Rohaya (duduk) bersama sang suami, Raden Saleh Sastrawinata, dan putra pertama mereka.

Nama Sitti Rohaya memang nggak bisa dilepaskan dari SD Gotong Royong. Sebelum mendirikan sekolah swasta ini, Sitti adalah seorang guru di SD Kemajuan Istri pada tahun 1962. Murid sekolah ini khusus wanita.

Suatu hari, seorang pengusaha ingin menjual tanahnya yang berhektar-hektar di jalan Pisangan. Nama pengusaha ini adalah Mr. Hadi. Beliau pengusaha dari Yogya. Untuk mewujudkan cita-cita memiliki sekolah, akhirnya Sitti Rohaya membeli sedikit tanah, yakni sekitar 250 m2 di samping SD BO. Inilah cikal bakal berdirinya SD Gotong Royong.

Menurut ibu Sitti Saudari, Sitti Rohaya adalah salah seorang wanita pintar di Indonesia. Kenapa? Wanita asal Sindang Laut, Jawa Barat ini berhasil disekolahkan oleh orang Belanda gara-gara jago matematika.

“Setelah ibu Dewi Sartika, ya ibu Sitti Rohaya ini yang disekolahkan oleh orang Belanda,” kata ibu Sitti Saundari, yang merupakan menantu ibu Sitti Rohaya ini dari anak kedua.

Sitti Rohaya menikah dengan Raden Saleh Sastrawinata. Pria keturunan ningkrat ini asli Cianjur lalu pindah ke Bandung. Di kota Bandung inilah Sitti Rohaya dan Raden Saleh berjumpa. Mereka dikarunai dua orang putra. Yang pertama bernama Raden Didi Sunardi. Anak kedua bernama Raden Dundi Djunaedi. Ibu Sitti Saundari adalah istri Raden Dundi Djunaedi.

Raden Saleh juga orang pintar. Menurut ibu Raden Saundari, Raden Saleh adalah salah seorang yang membangun stasiun kereta api Pasar Minggu. Ia pun sempat menjadi Kepala Stasiun di zaman Belanda yang dikenal dengan istilah ‘OO’ atau offsetter.

Sepeninggal Raden Saleh, Sitti Rohaya membangun sekolah di atas tanah yang dahulu adalah rawa-rawa di Pisangan Baru. Selain siswa yang mampu bayar, wanita ini juga menampung anak-anak yang nggak mampu. SD Gotong Royong ini memang punya misi sosial, padahal sekolah ini adalah sekolah swasta. Beda dengan SD sebelahnya, yakni SD BO.
“Ibu Sitti Rohaya sendiri pindah ke Jakarta dari Bandung sebelum Gestapo,” ujar ibu Sitti Saundari.

Begitu Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta, wilayah DKI berubah, termasuk di daerah Pisangan. Bersamaan dengan perubahan ini, tumbuh beberapa SD Inpres. Nggak cuma SD BO dan SD Gotong Royong lagi. Ada SD 01 di Bypass atau jalan Ahmad Yani, Jakarta Pusat. Lalu SD 03 Gang Skip, Jakarta Timur. Ada pula SD Domis yang didirikan oleh orang Belanda bernama Domispar.


SD BO yang sekarang masih gagah berdiri.

Munculnya SD-SD baru membuat SD Gotong Royong kekurangan murid. Sejumlah orangtua murid memasukkan anak-anak ke SD-SD baru itu. Padahal SD swasta ini nggak terlalu cari untung. Seperti yang sudah dijelaskan ibu Sitti Saundari, bahwa SD Gotong Royong juga menampung murid-murid yang orangtuanya nggak mampu.

“Bahkan ibu Sitti Rohaya senang banget kalo mendapatkan murid pintar tapi miskin dan nggak mampu bayar,” jelas ibu Sitti Saundari yang kini hidup menjanda, karena suaminya sudah meninggal.

Meski sudah dibuka sekolah SMP dan SMA, SD Gotong Royong tetap nggak mampu bertahan. Bahkan operasional sekolah SMA cuma bertahan sampai 5 tahun. Walhasil, sekolah Gotong Royong ditutup, karena mengalami kebangkrutan. Ini terjadi sekitar tahun 80-an.

“Bekas bangunan sekolah Gotong Royong kemudian kami jadikan kos-kosan,” ujar ibu Sitti Saundari. “Habis darimana kami bisa mendapatkan uang kalo nggak membuat kos-kosan?”

Menurut ibu Sitti, kos-kosan di rumah bekas sekolah Gotong Royong ini menjadi cikal bakal tumbuhnya kos-kosan di wilayah Pisangan. Seperti juga sekolah yang dikelola almarhum Sitti Rohaya yang sangat peduli pada orang miskin, kos-kosan ibu Sitti ini juga menampung para pedagang dan orang-orang kelas bawah. Gara-gara menampung orang miskin, harga kos-kosan pun jauh lebih murah.

“Kalo di kos-kosan lain harganya sudah 500 ribuan, di kos-kosan kami cuma 200 ribuan,” ujar ibu Sitti Saundari. “Bahkan dengan harga segitu, masih ada yang ngicil bayar 50 ribuan segala.”

Ada bahkan penghuni kos seorang janda yang profesinya pencuci pakaian. Saking kasihan, ibu Sitti Saundari memberikan keringanan sampai dengan harga kos-kosan per bulannya Rp 100 ribu. Padahal penghuni yang lain bayar Rp 200 ribu.

Saat ini jumlah kamar kos-kosan di rumah ibu Sitti berjumlah 15 kamar. Sepuluh kamar di bawah, 5 kamar di atas. Kalo melihat jumlah kamar, beberapa orang sekitar situ menganggap ibu Sitti banyak duitnya. Padahal, ya itu tadi, bahwa penghuni kos-kosannya banyak yang nyicil. Bahkan sering ada penghuni kos yang melupakan cicilan bulan lalu yang kurang.

“Saya sih nggak cerewet, paling-paling anak saya yang marah-marah,” ungkap ibu Sitti. “Biasanya kalo ada penghuni yang nakal, anak saya mengunci pintu kos atau mengusir mereka yang nggak bayar-bayar. Kasihan juga sih. Habis gimana lagi?”


SEMPAT DIRAWAT DUA MINGGU

Pada Desember 2003, saya sempat dirawat di Tebet. Rumah Sakit (RS) Tebet ini merupakan salah satu RS swasta di DKI Jakarta yang dikelola oleh Yayasan Bina Sehat Internal. Lokasi RS Tebet di jalan Letnan Jenderal MT Haryono No. 8, Tebet, Jakarta Selatan.

Sejarah Rumah Sakit Tebet Rumah Sakit Tebet berdiri pada 2 April 1982. Setelah setahun berdiri, RS Tebet masih merupakan klinik praktek bersama Dokter Spesialis. Dengan alat penunjang yang minim (Radiologi dan USG), jumlah karyawan yang minim, dan pengembangan sumber daya manusia belum ada, RS Tebet tetap melayani pasien. Maklumlah, selain nggak banyak RS yang dekat di Tebet, RS Tebet ini relatif murah dibanding dengan RS-RS yang ada pada tahun itu.


Saya sempat dua minggu bermalam di RS ini.

Berberapa tahun kemudian, RS Tebet maju pesat. Pada tahun 2003 akreditasi RS ini meningkatkan, yakni dari 12 pelayanan menjadi 16 akreditasi pelayanan. Jadi beruntung banget saat saya sakit, RS ini sudah memiliki akreditasi 16 pelayanan. Kebetulan pula saya dilayani oleh suster yang nggak ngebetein. Tahu sendiri dong, banyak RS yang memelihara suster-suster ngesot, eh salah, maksudnya suster yang prilakunya kayak ibu Tiri. Niatnya sih bagus, supaya pasien disiplin, tetapi kebanyakan mereka berlebihan dalam menerapkan disiplin. But saat dirawat di RS Tebet, Alhamdulillah saya dilayani dengan penuh perasaan.


MEMIMPIKAN PUNYA RUMAH DI TEBET

Peristiwa saya dirawat di RS Tebet sampai sekitar dua minggu lebih itu terjadi ketika saya sudah married. Saat itu saya sudah tinggal di sebuah rumah kontrakan di jalan Tebet Timur VK no 3. Tepatnya di belakang pasar PSPT.

Sengaja saya ngontrak di Tebet, meski rumah mertua saya tidak jauh dari situ, karena sedikitnya tiga alasan. Pertama, karena kami ingin mandiri. Sebagai pasangan yang sudah married, malu banget kalo masih tinggal di PIM alias pondok mertua indah. Dengan ngontrak, kita sebagai pasangan bisa 'bebas' memiliki kebijakan di rumah kita sendiri. Bayangkan kalo nebeng di PIM, wah sudah pasti mertua akan punya 'kebijakan' atau peraturan tersendiri.


Rumah mertua saya di Tebet Timur Dalam, dimana merupakan rumah tertua. Ketika rumah-rumah lain belum ada, rumah mertua kami ini sudah lebih dulu eksis. Maklum, salah seorang warga gusuran Senayan.

Alasan kedua, supaya kami lebih dekat dengan orangtua kami alias orangtua istri saya alias mertua. Lho kenapa mau dekat-dekat? sebab, orangtua kami tinggal sendirian di rumahnya di Tebet Timur Dalam. Beliau sudah sepuh. Nah, agar kita tetap mandiri, tetapi tetap bisa mengawasi, ya cari kontrakan tidak jauh dari Tebet Timur, deh.

Alasan terakhir, karena saya suka Tebet. Selain Cempaka Putih, daerah di Jakarta yang paling saya sukai, ya di Tebet. Kenapa Tebet? Sebab, tata kota wilayah Tebet tidak begitu berdesak-desakan, sebagaimana kebanyakan wilayah lain di Jakarta ini. Tebet seolah sudah dibuat sedemikian asri, dimana setiap wilayah memiliki sebuah taman bermain. Kecuali di belakang Warmo, pemukiman di Tebet tidak banyak yang menggunakan tata ruang MHT yang tidak bisa dilewati mobil. Biasanya kalo sebuah pemukiman dilewati MHT, pasti antarrumah berdesakan. Kalo sudah berdesakan pasti akan terlihat kumuh. Nah, di Tebet tidak seperti itu.

Di rumah kontrakan, selain mandiri, kami juga membangun rumah tangga kami di awal-awal married. Saya masih ingat, guna mengoptimalkan roda sehari-hari, orangtua saya meminjamkan mobil Corolla DX tahun 1981 warna biru metalik. Dengan mobil itu saya bisa mengantarkan anak ke sekolah di Ar-Rahman di Kuningan, samping hotel Four Season dan mengantar istri di DHL Pancoran, Jakarta Selatan. Sementara saya kerja di gedung Sentra Mulia yang kebetulan juga masih di wilayah Jakarta Selatan, tepatnya di jalan HR Rasuna Said.

Mobil itu membantu sekali kehidupan kami. Meski AC-nya tidak berfungsi dengan baik, seringkali meski di-on-kan, kami tetap kepanasan, Corolla DX ini berhasil mengantarkan kami memiliki mobil pertama hasil jerih payah, yakni Toyota Avanza. Mobil Avanza manual seri G ini merupakan Avanza keluaran pertama di tahun 2004, dimana saat itu kami beli seharga Rp 92 juta.

Lambat laun kami sadar, ngontrak sangat merugikan keuangan kami. Bayangkan, ngontrak di Tebet dengan kondisi rumah tiga kamar pada tahun 2000-an minimal 15 juta/ tahun. Ketika pasaran di Tebet sudah melambung di atas Rp 20 juta, kami mendapat rumah tiga kamar masih Rp 15 juta. Tetapi ketika tahun kedua, pemilik kontrakan kami ingin menaikkan harga sampai Rp 20 juta, kami berpikir keras dan bertanya-tanya: gokil juga kalo setahun mengeluarkan Rp 20 juta cuma buat diberikan ke orang lain, mending mencicil rumah tetapi nantinya menjadi sendiri, ya tidak? Alhamdulillah, singkat cerita kami berhasil mencicil rumah mungil di Cempaka Putih Barat sejak tahun 2005-an dan kini sudah lunas. Allah memang baik pada kami, bersamaan dengan rumah lunas, mobil Avanza pun kami ganti dengan mobil lain yang lebih baru lagi tahun pembuatannya.

SENAYAN SEKARANG

Wilayah Tebet sekarang ini sudah berubah wujud menjadi pemukiman. Meski jadi pemukiman, namun Tebet masih tetap banyak jalur-jalur hijaunya. Maklumlah, di tiap RW, masih ada taman bermain. Yang paling asyik kalo sempat berkunjung ke Tebet Timur Dalam, Anda akan menjumpai Hutan Kota Tebet.

Kalo Tebet masih menjaga keasrian wilayah, gimana dengan Senayan? Seperti kita tahu, Senayan kan mantan daerah warga Tebet yang tergusur? Senayan adalah daerah yang parah! Pemerintah Kota (Pemkot) DKI Jakarta dan juga pemerintah nggak bisa menjaga wilayah Senayan sebagai salah satu jantung Jakarta.

Sebagaimana saya kutip dari buku Alam Jakarta karya Ady Kristanto dan Frank Momberg (penerbit PT. Rajagrafindo Persada, 2008, hal 124), menurut Rencana Induk Jakarta tahun 1965-1985, areal seluas 279 hektar di Senayan itu, 80%-nya akan dibuat Ruang Terbuka Hijau (RTH). Namun apa yang terjadi? Senayan dialihfungsikan menjadi Gedung DPR, Mal Senayan, hotel, dan JCC.

Meski separuh wilayah Senayan sudah jadi 'hutan beton', Senayan tetap menjadi andalan buat paru-paru kota. Maklumlah, masih ada beberapa pohon tumbuh di sekitar situ. Kalo beruntung, di pohon-pohon yang tumbuh di Senayan itu ada beberapa satwa liar, antara lain cecak terbang (Draco volans), cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), burung kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), betet biasa (Psittacula alexandri), walet linchi, dan kapinis. Bayangkan kalo dahulu Senayan nggak dialihfungsikan, saya yakin banyak satwa liar lain yang 'bergentayangan' di situ.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

UJIAN PASKA SARJANA YANG LEBIH MIRIP PERGELARAN TARI

Baru pertama kali saya berjumpa dengan seorang mahasiswa yang niat banget menyiapkan ujian Paska Sarjananya. Bukan cuma menyiapkan skripsi yang disampul hard cover, dimana dalam skripsi tersebut terdapat foto-foto indah. Atau mentransfer soft copy skripsi ke dalam sebuah CD, sehingga presentasi di hadapan sidang penguji menggunakan slide. Bukan, bukan itu.

Pria ini justru menyewa Teater Studio. Tahu kan Teater Studio itu? Teater yang berada di gedung baru di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat ini baru diresmikan tahun 2010 ini. Selain menyewa teater, ia juga menyiapkan segala pergelaran dengan kostum -kostum yang colourfull serta menyewa beberapa pemain musik tradisionil Betawi.



Ujian Paska Sarjana mahasiswa ini terlihat cukup mewah. Mirip menyelenggarakan pergelaran tari yang dilakukan oleh Event Orginizer (EO). Saya dan istri sempat takjub. Ada sebuah 'pagar bagus' yang memakai pakaian adat Betawi. Ada resepsionis menyiapkan buku tamu dan membagikan flyer ke penonton. Semua ini bukan sebuah pertunjukan, tetapi dilakukan oleh seorang mahasiswa dalam rangka ujian Paska Sarjana, bo!

Memang sih apa yang ia lakukan bagus banget dan seharusnya memang begitu. Dia serius banget mempersiapkan ujian S2-nya. Kalo saya prediksi, biaya buat mempersiapkan ujian nya mencapai lebih dari Rp 10 juta. Ah, barangkali buatnya, uang segitu cuma buat jajan kali ya.

Mahasiswa itu bernama B. Kristiono Soewardjo. Pria lulusan STIE Perbanas dan S1 Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini pada Rabu, 17 Maret 2010 kemarin melaksanakan ujian Paska Sarjana (S2) IKJ. Dalam malaksanakan ujian ini, ia membuat pergelaran tarian berjudul Kembang Antik.




Pergelaran Kembang Antik bercerita tentang seorang perempuan dari kelas menengah-bawah yang mewariskan tarian Cokek yang diajarkan oleh Ibunya.

Tari Cokek merupakan tarian yang berasal dari budaya Betawi Tempo Doloe. Sebenarnya tarian ini khas Tanggerang. Menurut literatur sejarah, tari ini berkembang pada abad ke-19 M di Kabupaten Tanggerang, Banten.

Tari Cokek diwarnai budaya etnik China. Penarinya mengenakan kebaya yang disebut cokek. Tarian cokek mirip sintren dari Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini kerap identik dengan keerotisan penarinya, yang dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Dalam mengiringi penari, terdapat orkes gambang kromong. Nah, oleh B. Kristiono, wardrobe penari yang colourfull dan orkes gambang kromong dipersiapkan di pergelaran Kembang Antik malam itu.

Sebagai pembimbing karya Kembang Antik adalah Julianti L. Parani, Ph.D. Sementara pembimbing karya tulisnya Arthur S. Nalan, S.Sen, M.Hum. Sementara B. Kristiono sendiri bukanlah orang baru di dunia tari. Pria kelahiran 27 Desember 1966 ini sudah sejak usia 10 tahun belajar menari tradisionil Sunda, Jawa, dan Bali. Ia pernah mendapatkan juara kedua Lomba Karya Tari Betawi dengan tari Topeng Jigrik'ndat (1998-200). Lalu sempat mendapatkan predikat kedua pada GKJ Award (199) dengan tarian berjudul Ngangres dan membawakan tarian tersebut di Soul International Dance Festival (2000).

Selain prestasi itu, B. Kristiono juga sempat menjadi koreografer dan penari terbaik dalam acara Bandar Serai Award di Riau (2002). Di tahun yang sama, pria yang sempat bergabung dengan Robert Wilson pada produksi kontemporer I La Galigo ini menampilkan karya tari Melintas Cahaya di Indonesian Dance Festival.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sabtu, 13 Maret 2010

SSSTTT!!! TERNYATA NGGAK ADA HANTU DI JERUK PURUT...

Hantu Jeruk Purut ternyata cuma mitos. Memang sih sebagai umat beragama kita kudu percaya pada mahkluk gaib ciptaan Allah. Sebangsa jin memang eksis. Tetapi kalo hantu yang bergentayangan tiap malam atau seminggu sekali atau sebulan sekali di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, itu konfirm terlalu dibesar-besarkan. Bahkan sebagian besar warga asli bilang, itu mitos aja.

“Jeruk purut itu jalanan hidup,” ungkap pak Kardi, pria kelahiran Pati, Jawa Tengah yang sudah duapuluh tahun mendiami daerah Jeruk Purut ini.

Yang dimaksud pak Kardi dengan ‘jalanan hidup’ adalah jalan yang pagi-siang-malam selalu dilewati oleh berbagai macam kendaraan. Jalanan nggak pernah sepi. Kalo nggak kendaraan umum, ya kendaraan pribadi yang melintas di wilayah ini.


Salah satu sudut di TPU Jeruk Purut. Kalo datang ke TPU Jeruk Purut, saya jadi mengenang detik-detik teman satu angkatan saya di SMA Labs School tahun 1988, Bima Subingar, yang dimakamkan di TPU ini.

“Nggak ada apa-apa, kok di sini,” tambah pak Kardi. “Di tiap-tiap sudut dipasang lampu. Kalo ada cerita soal hantu jeruk purut itu mah cuma dibesar-besarkan!”

Duapuluh tahun lalu, ketika pak Kardi datang ke TPU Jeruk Purut, pemakaman ini masih alang-ilalang dan duri. Nggak ada yang merawat. Makamnya pun nggak teratur seperti sekarang.

“Maklumlah ini kan makam wakaf warga asli Jeruk Purut sini,” kata pak Kardi yang siang itu memakai kaos t-shirt warna biru, celana pendek, dan tanpa alas kaki. “Beberapa tahun kemudian, tanah wakaf dikelola oleh pihak Pemda.”


Pak Kardi sudah 20 tahun lebih nongkrong di Jeruk Purut, tetapi belum pernah 'digodain' oleh hantu. "Hantu Jeruk Purut itu cuma dibesar-besarkan aja oleh mereka yang nggak tinggal di Jeruk Purut," kata pak Kardi. "Makanya warga asli Jeruk Purut protes dengan kisah hantu-hantuan itu, termasuk film 'Hantu Jeruk Purut' yang terlalu mendramatisir."

Kini selain pak Kardi, ada sekitar 50-an orang yang mencari makan di situ. Ada yang menjadi penggali kuburan, penjaga makam, atau tukang doa. Pak Kardi mengaku dibayar sekitar Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu per bulan per makam. Angka segitu tergantu juga. Seridhonya keluarga pemilik makam. Saat ini pak Kardi menjaga sekitar 10 makam. Jadi dihitung-hitung kalo satu makam mendapat Rp 40 ribu, maka dalam sebulan pak Kardi mendapat Rp 400 ribu. Itu belum termasuk tips kalo ada keluarga yang berziarah atau orang lain yang minta bantuan.

“Ya, lumayanlah, Pak!”

Buat saya, TPU Jeruk Purut ini bukan TPU asing. Kenapa? Sekitar tahun 1993, teman seangkatan saya di SMA Lab School dimakamkan di TPU ini. Nama teman saya adalah Bima Subingar atau biasa disapa Bimo. Bukan ingin membuka kesedihan, tetapi saya sekadar mengenang almarhum, karena almarhum adalah seorang yang sangat baik dan santun. Ketika beliau meninggal, saya sempat bertanya: kenapa orang baik lebih dulu dipanggil oleh Allah sih?

Bimo meninggal di Rumah Sakit Pertamina pusat, Jakarta Selatan. Sebuah kecelakaan di jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta yang menyebabkan ia kehabisan darah. Saya ingat betul, kecelakaan itu, karena malam itu kami sedang menuju ke Balai Sidang Senayan, Jakarta buat melihat teman kami, Riri Riza manggung. Kami iring-iringan mobil. Saya berada dua mobil di belakang almarhum.

Saya kaget begitu melihat di sebuah tikungan di jalan HR. Rasuna Said, persis di depan Kedutaan Arab saat itu, sebuah mobil menabrak sebuah pohon. Saya nggak sempat menolong, karena beberapa teman yang mobilnya persis di belakang almarhum sudah lebih dulu mengganggat korban. Oleh karena kecelakaan itu, iring-iringan yang tadinya ke Balai Sidang beralih ke RS Pertamina.

Ketika sang dokter mengabarkan Bimo nggak bisa diselamatkan lagi, kami semua nangis sejadi-jadinya. Saya dan beberapa teman bahkan tergeletak di dekat kolam di depan lobi RS Pertamina, karena nggak nyangka Bimo akan mengalami kejadian seperti ini, dipanggil Yang Kuasa lebih cepat.

Keesokan hari, saya bersama teman-teman lain langsung menuju ke TPU Jeruk Purut. Kami ingin melepaskan kepergian almarhum untuk yang terakhir kali. Saya ingat sekali, ketika ke TPU Jeruk Purut, saya memakai t-shirt warna pink. Hah, pink? Iya, pink! Terus terang saat itu saya sudah nggak memikirkan lagi soal warna baju yang dikenakan buat ke kuburan. Yang saya pikirkan bagaimana saya bisa melihat jasat teman kami tercinta dimasukkan perlahan-lahan ke dalam lubang kubur.

BENTENG BELANDA

Sebelum menjadi tanah salah seorang warga Jeruk Purut, menurut pak Kardi, wilayah yang menjadi TPU Jeruk Purut ini adalah bekas benteng Belanda. Entah apa nama bentengnya. Yang pasti ketika Belanda masih menduduki Indonesia, kuburan ini sempat dijadikan markas Belanda.

Begitu mendapat cerita soal bekas benteng Belanda di TPU Jeruk Purut, saya langsung mencari-cari literatur yang menguatkan info itu. Seperti biasa, yang saya lihat pertama adalah di mesin pencari data Google. Di Google, saya nggak menemukan info soal benteng Belanda itu. Memang sih, seharusnya kalo mau in depth saya mencari literatur ke library, pusat Kebudayaan Belanda, atau bahkan ke Belanda sana. Tetapi


Sebuah patok ini cuma satu-satunya bukti bahwa dahulu di TPU Jeruk Purut ini adalah bekas benteng Belanda.

Meski belum mendapatkan literatur yang menjelaskan benteng di wilayah Jeruk Purut, namun ada sebuah tanda yang bisa menguatkan kalo TPU Jeruk Purut memang bekas benteng. Ketika di TPU, saya berhasil diantarkan pak Kardi buat melihat satu-satunya tanda peninggalan Belanda. Tanda itu berupa patok.

“Sebetulnya dulu ada tiga patok, tetapi yang nggak bisa dihancurkan ya patut itu,” ujar pak Kardi.

Jadi ketika TPU Jeruk Purut diperlebar tahun 80-an, developer menemukan tiga buah patok yang dianggap sebagai peninggalan zaman Belanda. Selain menguruk makam-makam tua yang ada di sekitar makam Syeik Salim, sebuah buldozer juga mencoba merubuhkan tiga patok yang masih kokok berdiri.

“Beberapa kali buldozer itu mencoba merubuhkan, eh ternyata yang bisa rubuh cuma dua patok. Patok yang satu nggak bisa rubuh. Bahkan waktu itu mesin buldozernya sempat mati dan yang mengendarai buldozer sempat sakit.”


MAKAM KRAMAT

Ketika datang pertama kali, yang pak Kardi ingat sudah ada dua makam jadul yang sampai saat ini masih ada. Satu makam nggak ada namanya, satu lagi makam seorang Kiai asal Banten. Namanya Syaik Salim.

Syeik Salim sangat dihormati sampai sekarang. Berbeda dengan makan jadul satunya, makam Syeik Salim dibuatkan rumah. Pak Kardi nggak tahu siapa yang membuatkan rumah. Yang pasti rumah itu bertujuan agar kalo ada yang datang dan membaca yasin nggak akan kepanasan atau kehujanan.

Setiap hari memang ada orang yang berkunjung ke makam Syeik Salim. Nggak cuma hari-hari tertentu kayak Maulid Nabi atau Idul Fitri, tetapi pada hari-hari biasa juga banyak yang datang dan berdoa di depan makamnya. Yang paling rame kalo malam Jum’at.

Pas saya datang ke TPU Kebun Jeruk dan mendekat ke makam Syeik Salim, dua sepeda motor parkir di depan rumah makam itu. Saya lihat ada empat pasang sandal jepit di depan pintu makam. Artinya ada empat orang yang berada di dalam. Saya cuma bisa mendengar suara keempat orang itu mengumandangkan surat yasin dan beberapa doa-doa dari Al-qura’an. Terus terang saya penasaran dan ingin memfoto mereka, tetapi rasanya kok nggak etis banget sih. Padahal saya ingin memperlihatkan orang-orang musyrik ini, yakni orang yang mendurhakai Allah.

Ternyata yang datang ke makam bukan cuma dari warga sekitar Jeruk Purut, maupun warga Jakarta. Namun peziarah datang dari daerah Jawa Timur atau Jawa Tengah juga banyak yang mampir ke sini. Menurut pak Kardi, mereka yang sudah membaca yasin dan dikabulkan permintaan, mereka akan mendapat batu cincin atau bahkan keris.

“Banyak sekali cerita-cerita dari peziarah kubur yang pernah masuk ke dalam rumah makam Syeik Salim ini. Ada yang mengatakan sempat menjumpai Syeik dalam kondisi sedang berceramah di hadapan banyak orang dengan mengenakan jubah putih dan jenggotnya panjang,” papar pak Kardi. “Si peziarah seperti berada di tengah-tengah murid Syeik. Menurut peziarah ini, kalo seluruh isi ruangan baunya harum semerbak, itu tandanya apa yang kita minta dikabulkan.”

“Bapak percaya?” tanya saya.

Pak Kardi tersenyum.

“Sebetulnya mereka yang datang ke makan itu sebagian besar orang berpendidikan. Punya gelar. Saya mah nggak sekolah tinggi. Tapi saya pikir tindakan mereka itu salah. Masa berdoa pada orang yang sudah mati? Minta harusnya langsung sama Allah, ya nggak?”

Saya tersenyum. Ternyata pak Kardi luar biasa. Meski statusnya cuma jadi penjaga makam -sebelumnya tukang gali kubur-, pak Kardi ngerti kalo berziarah model begitu salah. Maksudnya, datang ke kuburan Syeik atau Kiai atau Sunan, berdoa di atas kuburan mereka, minta ini dan itu, adalah perbuatan musyrik. Nggak benar!

Pak Kardi mengerti, Syeik Salim adalah orang besar. Orang yang dihormati. Wong dahulu kala kuburannya itu bukan sembarang kuburan, kok. Konon katanya cuma sebuah lubang kecil sebesar lubang kepiting. Namun karena Syeik Salim memiliki kesaktian, lubang kecil itu bisa menembus ke Serang Banten. Hah?! Bayangkan! Lubang di Jeruk Purut bisa menembus ke Serang Banten! Itu jauh banget, bo!


KISAH BUAYA BUNTUNG DAN POHON BENDA

Meski nggak percaya orang meninggal bisa mengabulkan doa manusia, yakni kehadiran peziarah yang berdoa di makam Syeik Salim, namun pak Kardi percaya kisah-kisah mistis yang ada di seputar Jeruk Purut ini. Kisah buaya berbuntut buntung misalnya. Ia percaya kalo buaya buntung itu ada dan selalu menelan korban tiap 2 tahun sekali. Buaya ini biasa mendekam di kali krukut yang ada persis di jalan yang menanjak di antara jalan Cilandak dengan Antasari.

Selain buaya buntung, pak Kardi pun sempat diceritakan soal ular berkepala manusia yang ada di pohon benda. Menurutnya, dulu sempat ada shooting program televisi. Pada saat lampu diarahkan ke pohon benda, beberapa orang melihat ada ular berkepala manusia turun dari pucuk pohon ke tanah.

“Sayang, peristiwa itu nggak sempat direkam oleh kamera,” sesal pak Kardi. “Yang pasti ular berkepala manusia itu memang penunggu pohon benda.”

By the way apa sih pohon benda itu? Pohon benda adalah sejenis pohon yang tinggi besar, sebesar pohon beringin. Pohon ini sampai sekarang berdiri kokoh di pojok TPU Jeruk Purut. Sebenarnya pohon benda yang sekarang cuma ‘anaknya’. Menurut pak Kardi, pohon benda yang asli ada persis di depan makam Syeik Salim.

“Namun karena sudah tua dan keropos, pohon benda itu kini sudah ditebang.”


PEMEKARAN WILAYAH TPU

Beberapa tahun ini, TPU Jeruk Purut melakukan pemekaran dengan menambah tanah makam baru. Saat ini di TPU Jeruk Purut yang lama, sudah penuh. Nggak ada tanah tersisa. Makam-makam jadul masih diperpanjang oleh keluarga mereka, apalagi kalo yang dikubur di situ adalah pejuang 45.

Lho memang ada pejuang dimakamkan di situ?

Ada! Salah satunya adalah Ibu Yani, istri almarhum Jenderal anumerta Ahamad Yani. Tahu dong siapa Ahmad Yani itu? Beliau adalah Panglima TNI AD yang merupakan 1 dari 8 korban pembunuhan yang dilakukan oleh PKI pada 30 Sepetember 1965. Jendral Yani ditembak di rumahnya.

Memang nggak semua pejuang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Ketika saya berada di tengah-tengah kuburan, saya sempat melihat memang banyak pejuang-pejuang 45 dimakamkan di situ. Sebenarnya sih nggak cuma di TPU Jeruk Purut aja, di TPU lain pun banyak, misalnya kayak di TPU Karet.

Sangat mudah mengenali pejuang 45 yang dimakamkan di TPU, yakni dengan melihat patok yang ada di samping makam. Kalo ada patot berbentuk bambu runcing dengan bendera merah putih yang terbuat dari besi, maka di makam itu bersemayam pejuang 45. Apalagi selain cici-ciri patok, juga ada tulisan ‘pejuang 45’ yang ditulis di bawah bendera merah putih.

“Saya pernah tanya ke keluarga pejuang ‘kenapa nggak dimakamkan di Kalibata’,” kata pak Kardi. “Apa jawab mereka? Rata-rata menjawab: ‘ingin dimakamkan bersama rakyat’. Mereka bilang, ‘apa sih artinya pangkat? Mengapa sudah meninggal masih dibeda-bedakan dengan rakyat biasa?’”

Buat saya, apa yang dikatakan keluarga pejuang seperti itu luar biasa. Entah itu pejuang atau bukan pejuang adalah manusia biasa. Kebetulan pada saat revolusi fisik, ia adalah pejuang, tetapi ia adalah manusia biasa. Ketika meninggal, semua manusia di hadapan Allah adalah sama, ya nggak?

Mendengar kisah pak Kardi yang sempat ngobrol dengan para keluarga pejuang saya jadi tersenyum sendiri. Saya kembali flashback pada masalah pemberian gelar pahlawan pada Abdurrahman Wahid dan Soeharto yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Ada yang pro, ada yang kontra. Memang sih kedua tokoh bangsa Indonesia itu nggak dimakamkan di TMP Kalibata, tetapi di kompleks pemakaman Imogiri (Soeharto) dan kompleks Tebu Ireng Jombang (Gus Dur).

Back to subjudul soal pemekaran TPU. Bahwa beberapa tahun ini ada TPU Jeruk Purut yang baru. Adanya di bawah makam lama. Wilayah pemakamannya sempat membebaskan pemukiman penduduk. Sebagian lagi mengambil bekas rawa-rawa.


JAWARA JERUK PURUT

Di antara rumah-rumah yang dibebaskan menjadi the new TPU Jeruk Purut, ada rumah jawara. Nama jawara itu adalah H. Rimin. Warga di sekitar situ memberi cap pada pria ini sebagai ‘Macan Jeruk Purut’.

Menurut kisah yang turun temurun yang kemudian dikisahkan lagi oleh pak Kardi ke saya, bahwa H. Rimin adalah teman satu perguruan silat dengan si Pitung. Buat warga asli Jakarta, nama si Pitung nggak mungkin nggak dikenal. Kalo nggak kenal, jangan ngaku anak Betawi!

Nah, seperti juga si Pitung, H. Rimin berjuang melawan penjajahan Belanda di negara kita yang tercinta ini. Saya membayangkan, ketika TPU Jeruk Purut ini masih menjadi benteng Belanda, sementara rumah H. Rimin di seberang benteng Belanda, pasti warga penduduk di situ sempat diobrak-abrik oleh Belanda. Yaiyalah! Tentara-tentara Belanda berhidung mancung itu mencari H. Rimin yang dianggap sebagai pembelot. Bagi warga yang nggak memberitahu, nyawa taruhannya.

Kisah H. Rimin ini nggak banyak diceritakan oleh pak Kardi. Satu hal yang pasti, ternyata ‘Macam Jeruk Purut’ ini bersahabatan dengan Syeik Salim. Saking dekat, sebelum meninggal, H. Rimin mohon makannya nanti dekat dengan makam Syeik. Nah, nggak heran kalo di dalam rumah makam tua yang ada di TPU Jeruk Purut itu terdapat dua makam. Makan pertama adalah makam Syeik Salim, yang kedua makam H. Rimin si ‘Macan Jeruk Purut’. Pantaslah kenapa makam tua itu dikramatkan oleh banyak orang, nggak cuma dari warga sekitar Jeruk Purut, atau Jakarta, tetapi di luar Jakarta pun mengkramatkan makam itu.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya