Mengenang Tebet seperti mengingat masa saya pacaran dahulu. Kalo saja tidak punya pacar orang Tebet, barangkali saya tidak begitu mengenal Tebet. Memang sih pengetahuan saya tetang wilayah yang berada di Jakarta Selatan ini masih seujung kuku alias cetek. Masih kalah dengan mereka yang sudah lebih dulu lahir dan besar di Tebet. Meski begitu, kurang lebih tujuh tahun tinggal di Tebet, cukup buat saya tahu tempat-tempat di Tebet.
Saya menginjakkan kaki pertama kali di Tebet sejak awal tahun 1997. Saat itu, saya sering bolak-balik Tebet-Cempaka Putih. Tidak dalam rangka bisnis, tetapi PDKT alias pendekatan pada seorang gadis yang tinggal di Tebet Timur Dalam. Gadis berdarah Magelang, Jawa Tengah ini lahir dan dibesarkan di Tebet.
Gadis yang kelak bersuamikan saya ini bernama Sindhi. Kebetulan orangtuanya adalah salah satu keluarga yang sempat tinggal di Senayan. Oleh karena pada tahun 1963 akan didakan penyelenggaraan Games of New Emerging Forces (Ganefo), maka warga penduduk di Senayan dan sekitarnya terpaksa dibebaskan.
PERHELATAN PERTAMA DAN TERAKHIR
Kisah Tebet menjadi sebuah pemukiman yang berkembang, memang tidak bisa lepas dari kisah Ganefo pada tahun 1963 itu. Adalah Presiden Republik Indonesia ke-1, Ir. Sukarno berhasil mengguncang dunia dengan membuat tandingan dari Olimpiade Tokyo dengan menyelenggarakan Ganefo ini.
Penyelenggaraan Ganefo ini dipicu oleh kemarahan Soekarno marah gara-gara Komite Olimpiade Internasional (KOI) menskorsing Indonesia buat ikutan Olimpiade Tokyo. Pasalnya, Soekarno melarang Israel dan Taiwan ikut Asian Games tahun 1962 di Jakarta. Larangan tersebut merupakan bentuk dukungan Indonesia pada Republik Rakyat China (RRC) dan negara-negara Arab yang sedang konflik dengan Taiwan dan Israel, padahal Taiwan dan Israel adalah anggota resmi PBB.
Foto ini saya ambil dari dalam Hutan Kota Tebet. Bayangkan Tebet di tahun 60-an, ketika belum ada warga gusuran Senayan, asri dan rimbunnya hampir mirip kayak begini. Ada pepohonan yang rimbun dan anak sungai Ciliwung yang mengalir membelah hutan, meski sungainya masih alami alias tidak ditembok kayak begini.
Meski ada larangan dari KOI, Ganefo berlangsung dengan sukses. Penyelenggaraan olahraga ini dihadiri oleh 2.200 atlet dari 48 negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa. Sementara itu, nggak kurang dari 450 wartawan dari berbagai belahan dunia, datang ke Senayan. Ganefo ternyata menjadi perhelatan pertama dan terakhir, karena penyelenggaraan berikutnya gagal akibat persoalan politik.
Saya memang tidak mengalami Ganefo. Maklumlah, saat itu saya belum lahir. Namun saya bisa membayangkan berapa jumlah kampung yang dibebaskan pada tahun 1960-an. Data statistik menunjukkan, luas wilayah Tebet sekitar 3.00-an km2, dimana terdapat Tebet Barat, Tebet Timur, dan Tebet Utara. Kalo ditambah wilayah lain, yakni Kebon Baru, Bukit Duri, Manggarai, Manggarai Selatan dan Menteng Dalam, dimana wilayah tersebut masuk ke dalam Kecamatan Tebet, maka luas Tebet mencapai 9.53 km2.
BEKAS RAWA DAN EMPANG
Gara-gara proyek pembangunan kompleks olahraga Gelora Bung Karno dan perkampungan atlet, memang terjadi eksodus besar-besaran warga kampung Betawi ke wilayah ‘baru’ di Tebet. Sementara di Tebet sudah bermukim beberapa etnis lain. Tidak heran setelah tahun 1963, Tebet dihuni oleh multietnis. Selain etnis Tionghoa dan Arab, ada pula orang Belanda maupun Portugis yang masih bermukim di Tebet pada tahun 1960-an.
“Setidaknya ada dua kampung Betawi asal Semanggi yang pindah ke Tebet. Nama kampung itu adalah kampung Tunduan,” jelas pak Soetono, warga asli Tebet yang sekrang bermukim di Cipondoh, Tanggerang, Banten. “Kayaknya warga kampung Tunduan sudah nggak ada, deh. Yang pasti dulu, kampung ini mendiami wilayah yang sekarang dikenal dengan Semanggi sampai Parkir Timur Senayan.”
Belakangan ketika ada perluasan di sekitar Senayan, ada kampung lain yang juga dibebaskan. Kampung yang kena gusur ini dikenal dengan kampung Kemandoran yang sebelum tahun 1970-an mendiami wilayah sekitar stasiun kereta api Palmerah.
“Warga yang di Semanggi punya tanah ribuan meter persegi, begitu di Tebet diganti jadi beberapa kavling,” jelas pak Soetono.
Kalo menggali sejarahnya, sebelum terjadi eksodus besar-besaran warga Betawi dari Senayan, wilayah Tebet sebenarnya memang sudah ada. Namun Tebet belum menjadi pemukiman yang ‘asyik’. Maklumlah, Tebet masih dianggap sebagai ‘jin buang anak’, karena mayoritas lokasi masih berupa rawa, semak belukar, pepohonan yang besar-besar, serta anak-anak sungai yang mengalir di beberapa wilayah itu.
Kata ‘Tebet’ sendiri berasal dari kata ‘Tebat’. Arti ‘Tebat’ adalah sebuah tambak di tengah rawa-rawa, dimana air yang ada di tambak itu berasal dari aliran sungai. Tambak di sini bisa difungsikan sebagai tempat menampung air hujan agar tidak menggenangi daerah sekeliling. Kalo bahasa Betawi, dikenal dengan sebutan ‘Empang’. Arti kedua, adalah tambak yang dibuat di sungai dan juga di rawa, dimana tempat itu dijadikan tambak ikan.
Kalo melihat arti kata pertama, bahwa ketika zaman Belanda, Tebet dijadikan salah satu wilayah resapan air, karena terdapat banyak rawa dan dilewati oleh aliran anak sungai cabang dari sungai Ciliwung yang memang dekat dari wilayah Tebet. Kebetulan pula Tebet dianggap sebagai dataran rendah. Idenya, ketika Hindia Belanda mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Batavia kemudian berkembang, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menjadikan Kota sebagai pusat pemerintahan. Sementara itu, wilayah di luar itu dijadikan sebagai daerah pemukiman serta dearah resapan air.
Dengan mencontoh negara asalnya, tata ruang di Batavia dibentuk sedemikain rupa sehingga mirip seperti di Belanda. Ada kanal yang dibangun untuk menanggulangi masalah banjir atau genangan air, salah satunya pendirian Banjir Kanal Barat pada tahun 1930-an, dimana pintu kanalnya berada di Manggarai. Sementara itu, daerah-daerah yang memang secara alamiah telah berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air, tetap dibiarkan begitu saja. Artinya, pihak Belanda tidak mengizinkan orang bermukim di lokasi tersebut. Kisah yang beredar, agar penduduk tidak berani mendirikan rumah di daerah resapan air, dibuatlah legenda untuk menakut-nakuti warga, bahwa lokasi yang rawa-rawa sebagai tempat jin buang anak.
“Wah kalo dulu setiap sore mancing di sungai dekat rumah,” kata pak Soetono, mengingat kenangan masa kanak dengan orangtuanya yang sejak tahun 1962 mendiami Tebet Timur Dalam ini.
Seiring dengan waktu, dimana sudah tidak banyak lagi rawa maupun tambak, nama ‘Tebat’ berubah menjadi Tebet. Maklumlah, Tebet kemudian menjadi salah satu wilayah pemukiman kelas menengah ke atas. Belakangan malah berdiri apartemen, perkantoran, dan pusat jajan.
Sebenarnya bukan cuma Tebet yang dahulu bekas rawa-rawa. Banyak daerah yang jelas-jelas menggunakan kata ‘rawa’. Sebut saja Rawa Badak, Rawa Jati, Rawasari, dan sebagainya. Sudah pasti, penamaan itu ada kaitannya dengan fungsi daerah tersebut pada masa silam, yakni daerah rawa-rawa juga. Sekarang, rawa-rawa itu sudah lenyap, tinggal namanya saja.
Begitu pula dengan Empang. Di Jakarta ini dahulu banyak sekali Empang. Emang-Empang di Jakarta kini sudah ‘almarhum’. Sekarang kita mengenal Empang sekadar kata yang dijadikan nama jalan. Salah satunya jalan Empang Tiga di daerah Kalibata, Jakarta Selatan.
TANAH LAPAN TEMPAT MAIN BOLA
Tiap kali ngapel ke rumah calon istri, saya selalu naik Metromini S-60. Rute S-60 adalah Manggarai-Kampung Melayu. Baik dari Manggarai menuju Kampung Melayu atau sebaliknya, S-60 pasti akan melewati Tebet. Kalo dari Manggarai, S-60 akan melewati Tebet Barat Dalam. Metromini ini pasti akan ngetem di samping Kecamatan Tebet, tepatnya di samping McDonnald, jalan Prof. Dr. Soepomo. Setelah mendapatkan ‘sewa’ yang biasanya mereka yang habis mengurus sesuatu di Kecamatan atau mengirim surat di kantor pos yang ada di situ. Saya sendiri pada saat mengurus surat menikah, di Kantor Urusan Agama (KUA) yang ada di kompleks Kecamaten Tebet situ.
Metromini kemudian bergerak ke Pasar Tebet Barat. Nah, di Pasar Tebet Barat ini Metromini ngetem lagi untuk yang kedua kali. Tentang Pasar Tebet Barat, Anda harus sedikit mengetahuinya, karena pasar ini cukup bersejarah. Kenapa? Sebab, sebelum eksodus besar-besaran warga kampung Betawi asal Semanggi tahun 1960-an, pasar Tebet Barat sudah ada.
Sebelum menjadi gedung dan dikelola oleh PD Pasar Jaya, pasar Tebet Barat hanya sebuah tanah lapang yang luas. Bayangkan sebuah lapangan sepakbola yang ada di tengah-tengah rawa maupun persawahan. Dahulu belum banyak perumahan yang bermukim di sekitar Tebet Barat. Meski begitu, lapangan yang luas ini menjadi tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai daerah, termasuk dari Manggarai, Cililitan, maupun Pasar Minggu. Yang paling banyak berdagang pada saat itu adalah etnis Tionghoa. Literatur menyebutkan, etnis Tionghoa menguasai perdagangan di beberapa wilayah Batavia sejak abad 19.
Rawa yang tumbuh di sekitar mulai ditebang. Munculah beberapa rumah di sekitar pasar. Penghuni rumah tidak hanya dari etnis Tionghoa, tetapi juga dari etnis lain. Begitu eksodus, banyak warga Betawi asal Senayan yang memilih tinggal di dekat Tebet Barat.
Mereka yang memilih Tebet Barat sebagai pemukiman ini lumrah. Setidaknya ada dua alasan. Alasan pertama, lokasi perumahan mereka dekat dengan jalan utama. Kalo mereka ingin ke Pasar Minggu cukup jalan kaki ke Pancoran lalu naik oplet atau delman dari Pancoran. Alasan kedua, biasanya warga Betawi yang memilih Tebet Barat adalah ingin ikut berdagang. Orang-orang Betawi yang terakhir ini biasanya bukan sebagai pegawai, tetapi memang wiraswasta, entah itu menjadi pedagang ayam potong atau pedagang makanan seperti gado-gado, soto Betawi, nasi uduk, dan makanan lain khas Betawi.
Lapangan sepakbola PSPT di Tebet Timur. Dahulu Pasar Tebet Barat cuma tanah lapang kayak lapangan sepakbola ini. Di tanah lapang ini berdiri gubuk-gubuk para pedagang. Lambat lain dibuatkan bedeng semi permanen, permanen, dan akhirnya dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta di jaman Ali Sadikin.
Ketika menjelang sore, tanah lapang itu difungsikan untuk main sepakbola. Di tahun 1960-an memang belum ada lapangan sepakbola PSPT seperti sekarang ini. Warga Tebet masih main sepakbola di Tebet Barat. Namun ketika jumlah pedagang semakin banyak, apalagi ketika terjadinya eksodus, lapangan bola terpaksa digusur, dialihkan ke lapangan sepakbola di Tebet Timur.
Agar supaya lokasi dagang aman, teduh, dan tidak terkena hujan, maka lapangan tersebut ‘disulap’ menjadi kios-kios permanen. Kios-kios tersebut dibuat dari kayu. Baru pada zaman Gubernur Ali Sadikin, Pasar Tebet Barat dikomersilkan dengan dikelola langsung oleh Pemda DKI Jakarta.
CIKAL BAKAL WARTEG DI JAKARTA
Rawa-rawa dan persawahan masih banyak sampai dengan tahun 1962. Kalo Anda pernah melancong ke Tebet dan mengetahui ada hutan kota Tebet yang terletak di Tebet Timur, dahulu lokasi itu adalah persawahan. Dari hutan kota Tebet sampai dengan pasar darurat yang menuju ke arah Tebet Utara, semuanya masih sawah.
Di ujung pasar darurat, persis di pojok perlintasan antara Tebet Utara, Tebet Barat, dan Tebet Timur, ada sebuah warung yang sampai sekarang masih ngetop, yakni warung makan bernama Warmo. Kata ‘Warmo’ sebenarnya kependekatan dari Warung Mojok. Seperti yang saya sudah jelaskan, maksud ‘warung mojok’ ya karena warungnya memang lokasinya di pojok jalan.
Seperti juga warung-warung makan lain, Warmo juga menjual makanan rumahan ala warung Tegal biasa. Barangkali yang membedakan, kalo kebetulan makan di situ dan beruntung, Anda bisa bertemu dengan sejumlah artis ibukota. Maklumlah, dahulu warung ini seringkali menjadi tempat gaul para artis ibukota, yang sebagaian besar berdomisili di kawasan Tebet dan sekitarnya. Hingga sekarang, sekelompok artis itu sesekali masih sering mangkal di Warung ini. Yang istimewa lagi, warung berukuran 10x7 m2 ini buka 24 jam non-stop.
Warmo (kanan), tempat nongkrong para artis yang kebetulan sempat tinggal di Tebet. Jalan di sebelah kiri itu merupakan jalan menuju ke Tebet Timur Dalam, dimana di lokasi itu terdapat Hutan Kota Tebet. Jalan ini bisa nembus sampai ke jalan MT Haryono.
Warmo termasuk salah satu pelopor warung tegal di Jakarta. Warteg ini didirikan Darsyid dan adiknya, Tumuh. Kedua pria ini berasal kota pesisir, Tegal, Jawa Tengah. Mereka merantau ke Jakarta pada tahun 1955. Di Jakarta, Darsyid berganti-ganti pekerjaan. Awalnya ia menjadi jadi pembantu rumah tangga. Lalu ia pernah berjualan es podeng. Setelah menikah dengan wanita sekampungnya, Tarina, pada tahun 1970, Darsyid nekad membuka warung nasi.
“Waktu ada uang saya mikir, daripada dibeliin radio lebih baik buka warung nasi,” kata Darsyid.
Di tahun 1970-an belum ada nama brand bernama ‘warteg’ atau warung tegal di Jakarta. Dulu namanya masih warung nasi saja. Suatu ketika masih di tahun 1970-an, Darsyid mengajak rekan anggota arisan pengusaha warung nasi asal Tegal untuk mengubah nama warung-warung mereka menjadi warung Tegal. Usulan tersebut kemudian disepakati. Inilah cikal bakal kata ‘warteg’.
Sebelum menetap di Tebet, Darsyid dan Tumuh membuka warteg di pinggir gang Kober, Jatinegara, Jakarta Timur. Namun wartegnya digusur, karena pelebaran gang menjadi jalan besar. Ia kemudian pindah ke Tebet. Ia mendirikan warteg dengan bilik bambu di atas tanah negara di tempat yang bertahan hingga kini.
Awalnya Darsyid menamai warungnya dengan warteg. Namun Raja Dangdut Rhoma Irama, yang kebetulan sempat tinggal di jalan Gudang Peluru yang tidak jauh dari Tebet, memberi nama Warmo. Warmo singkatan dari warung mojok. Nama itu dipilih karena lokasinya di pojokan. Kebetulan juga salah seorang karyawan Darsyid bernama Warmo. Karena Darsyid sering memanggilnya, nama Warmo menjadi akrab di telinga pelanggan. Bahkan nama itu lebih terkenal daripada namanya pemiliknya, Darsyid dan Tumuh.
Anak muda seperti Rhoma Irama tadi lebih suka menyebutnya Warmo daripada warteg. Darsyid pun terpaksa mengubah nama warungnya menjadi Warmo. Kini namanya Warteg Warmo Jadi Mulya.
Oh iya, entah benar atau tidak, ada yang bilang kalo makan di Warmo jangan dibawa pulang. Kalo dibawa pulang, makanannya jadi tidak sedap lagi. Mending makan di tempat. Kenapa? Konon menurut kabar, ada 'jimat' yang diletakkan di salah satu sudut warung itu, dimana 'jimat' itu mensyaratkan makanan cuma enak kalo makan di situ. Biasalah, di warteg mana pun pasti ada hal-hal yang dimiliki oleh si pemilik. Kalo bukan centong nasinya yang harus centong tertentu yang sudah dibacakan oleh 'dukun' atau yang paling banyak huruf Arab yang biasanya diambil dari petikan dari Al-Qur'an yang diletakkan di atas pintu masuk warteg. Kutipan Al-Qur'an itu membungkus beberapa butir biji padi.
SEKOLAH DARI ATAP RUMBIA
Kalo sedang tidak naik kendaraan pribadi, biasanya kalo ngapel ke rumah calon istri saya naik Metromini S-60 dan turun di daerah yang ngetop dengan sebutan ‘bedeng’. Kata ‘bedeng’ sebenarnya merujuk pada sebuah sekolah yang dikenal dengan nama SD Bedeng yang berdiri sekitar tahun 1962. Padahal nama SD-nya sendiri bukan SD Bedeng.
Asal muasal dinamakan SD Bedeng, karena dahulu bangunan sekolah ini menggunakan bahan dari tripleks, mirip bedeng tempat para kuli biasa tinggal untuk sementara waktu selama bekerja di sebuah proyek. Kalo seluruh bangunannya menggunakan tripleks, atapnya menggunakan rumbia. Tahu kan rumbia? Yakni dari daun kelapa yang sudah kering.
Foto ini bukan foto siswa-siswi SD Bedeng, tetapi salah satu SD di Tebet, yakni SDN Tebet Timur Pagi 3, angkatan 1977. Mohon maaf saya belum menemukan foto kayak begini dari alumni SD Bedeng.
SD Bedeng ternyata berhubungan erat dengan SD BO yang ada di Pisangan Baru I, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Huruf BO di depan kata SD, kependekan dari Boedi Oetomo. Sejak tahun 80-an, SD BO diganti namanya menjadi SD Pisangan Timur.
Ketika SD BO direnovasi, sisa bahan bangunannya dikirim ke SD Bedeng. Namun sayang, bahan bangunan yang dikririm, dikorupsi oleh warga sekitar SD Bedeng. Bukan hanya pasir, tetapi bata maupun ubin diambil. Kebetulan pada saat pembangunan SD Bedeng dari tripleks menjadi tembok dan dari atap rumbiah menjadi genteng, warga sekitar yang melaksanakan. Tahun itu belum banyak kuli bangunan atau kontraktor yang dibayar untuk membangun gedung.
“Target sepuluh kelas, eh jadi cuma tiga kelas,” ujar pak Soetono, warga Tebet Timur Dalam, dimana rumanya dekat sekali dengan SD Bedeng. “Habis bahan bangunannya dikorupsi. Sebagian dari mereka yang ikut membangun SD Bedeng membawa bahan bakunya ke rumah masing-masing.”
Di samping SD BO sebenarnya ada SD lain yang kini sudah almarhum, yakni SD Gotong Royong. SD swasta ini didirikan oleh Sitti Rohaya sekitar tahun 1972. Wanita ini pula yang menjadi Kepala Sekolah.
Sitti Rohaya (duduk) bersama sang suami, Raden Saleh Sastrawinata, dan putra pertama mereka.
Nama Sitti Rohaya memang nggak bisa dilepaskan dari SD Gotong Royong. Sebelum mendirikan sekolah swasta ini, Sitti adalah seorang guru di SD Kemajuan Istri pada tahun 1962. Murid sekolah ini khusus wanita.
Suatu hari, seorang pengusaha ingin menjual tanahnya yang berhektar-hektar di jalan Pisangan. Nama pengusaha ini adalah Mr. Hadi. Beliau pengusaha dari Yogya. Untuk mewujudkan cita-cita memiliki sekolah, akhirnya Sitti Rohaya membeli sedikit tanah, yakni sekitar 250 m2 di samping SD BO. Inilah cikal bakal berdirinya SD Gotong Royong.
Menurut ibu Sitti Saudari, Sitti Rohaya adalah salah seorang wanita pintar di Indonesia. Kenapa? Wanita asal Sindang Laut, Jawa Barat ini berhasil disekolahkan oleh orang Belanda gara-gara jago matematika.
“Setelah ibu Dewi Sartika, ya ibu Sitti Rohaya ini yang disekolahkan oleh orang Belanda,” kata ibu Sitti Saundari, yang merupakan menantu ibu Sitti Rohaya ini dari anak kedua.
Sitti Rohaya menikah dengan Raden Saleh Sastrawinata. Pria keturunan ningkrat ini asli Cianjur lalu pindah ke Bandung. Di kota Bandung inilah Sitti Rohaya dan Raden Saleh berjumpa. Mereka dikarunai dua orang putra. Yang pertama bernama Raden Didi Sunardi. Anak kedua bernama Raden Dundi Djunaedi. Ibu Sitti Saundari adalah istri Raden Dundi Djunaedi.
Raden Saleh juga orang pintar. Menurut ibu Raden Saundari, Raden Saleh adalah salah seorang yang membangun stasiun kereta api Pasar Minggu. Ia pun sempat menjadi Kepala Stasiun di zaman Belanda yang dikenal dengan istilah ‘OO’ atau offsetter.
Sepeninggal Raden Saleh, Sitti Rohaya membangun sekolah di atas tanah yang dahulu adalah rawa-rawa di Pisangan Baru. Selain siswa yang mampu bayar, wanita ini juga menampung anak-anak yang nggak mampu. SD Gotong Royong ini memang punya misi sosial, padahal sekolah ini adalah sekolah swasta. Beda dengan SD sebelahnya, yakni SD BO.
“Ibu Sitti Rohaya sendiri pindah ke Jakarta dari Bandung sebelum Gestapo,” ujar ibu Sitti Saundari.
Begitu Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta, wilayah DKI berubah, termasuk di daerah Pisangan. Bersamaan dengan perubahan ini, tumbuh beberapa SD Inpres. Nggak cuma SD BO dan SD Gotong Royong lagi. Ada SD 01 di Bypass atau jalan Ahmad Yani, Jakarta Pusat. Lalu SD 03 Gang Skip, Jakarta Timur. Ada pula SD Domis yang didirikan oleh orang Belanda bernama Domispar.
SD BO yang sekarang masih gagah berdiri.
Munculnya SD-SD baru membuat SD Gotong Royong kekurangan murid. Sejumlah orangtua murid memasukkan anak-anak ke SD-SD baru itu. Padahal SD swasta ini nggak terlalu cari untung. Seperti yang sudah dijelaskan ibu Sitti Saundari, bahwa SD Gotong Royong juga menampung murid-murid yang orangtuanya nggak mampu.
“Bahkan ibu Sitti Rohaya senang banget kalo mendapatkan murid pintar tapi miskin dan nggak mampu bayar,” jelas ibu Sitti Saundari yang kini hidup menjanda, karena suaminya sudah meninggal.
Meski sudah dibuka sekolah SMP dan SMA, SD Gotong Royong tetap nggak mampu bertahan. Bahkan operasional sekolah SMA cuma bertahan sampai 5 tahun. Walhasil, sekolah Gotong Royong ditutup, karena mengalami kebangkrutan. Ini terjadi sekitar tahun 80-an.
“Bekas bangunan sekolah Gotong Royong kemudian kami jadikan kos-kosan,” ujar ibu Sitti Saundari. “Habis darimana kami bisa mendapatkan uang kalo nggak membuat kos-kosan?”
Menurut ibu Sitti, kos-kosan di rumah bekas sekolah Gotong Royong ini menjadi cikal bakal tumbuhnya kos-kosan di wilayah Pisangan. Seperti juga sekolah yang dikelola almarhum Sitti Rohaya yang sangat peduli pada orang miskin, kos-kosan ibu Sitti ini juga menampung para pedagang dan orang-orang kelas bawah. Gara-gara menampung orang miskin, harga kos-kosan pun jauh lebih murah.
“Kalo di kos-kosan lain harganya sudah 500 ribuan, di kos-kosan kami cuma 200 ribuan,” ujar ibu Sitti Saundari. “Bahkan dengan harga segitu, masih ada yang ngicil bayar 50 ribuan segala.”
Ada bahkan penghuni kos seorang janda yang profesinya pencuci pakaian. Saking kasihan, ibu Sitti Saundari memberikan keringanan sampai dengan harga kos-kosan per bulannya Rp 100 ribu. Padahal penghuni yang lain bayar Rp 200 ribu.
Saat ini jumlah kamar kos-kosan di rumah ibu Sitti berjumlah 15 kamar. Sepuluh kamar di bawah, 5 kamar di atas. Kalo melihat jumlah kamar, beberapa orang sekitar situ menganggap ibu Sitti banyak duitnya. Padahal, ya itu tadi, bahwa penghuni kos-kosannya banyak yang nyicil. Bahkan sering ada penghuni kos yang melupakan cicilan bulan lalu yang kurang.
“Saya sih nggak cerewet, paling-paling anak saya yang marah-marah,” ungkap ibu Sitti. “Biasanya kalo ada penghuni yang nakal, anak saya mengunci pintu kos atau mengusir mereka yang nggak bayar-bayar. Kasihan juga sih. Habis gimana lagi?”
SEMPAT DIRAWAT DUA MINGGU
Pada Desember 2003, saya sempat dirawat di Tebet. Rumah Sakit (RS) Tebet ini merupakan salah satu RS swasta di DKI Jakarta yang dikelola oleh Yayasan Bina Sehat Internal. Lokasi RS Tebet di jalan Letnan Jenderal MT Haryono No. 8, Tebet, Jakarta Selatan.
Sejarah Rumah Sakit Tebet Rumah Sakit Tebet berdiri pada 2 April 1982. Setelah setahun berdiri, RS Tebet masih merupakan klinik praktek bersama Dokter Spesialis. Dengan alat penunjang yang minim (Radiologi dan USG), jumlah karyawan yang minim, dan pengembangan sumber daya manusia belum ada, RS Tebet tetap melayani pasien. Maklumlah, selain nggak banyak RS yang dekat di Tebet, RS Tebet ini relatif murah dibanding dengan RS-RS yang ada pada tahun itu.
Saya sempat dua minggu bermalam di RS ini.
Berberapa tahun kemudian, RS Tebet maju pesat. Pada tahun 2003 akreditasi RS ini meningkatkan, yakni dari 12 pelayanan menjadi 16 akreditasi pelayanan. Jadi beruntung banget saat saya sakit, RS ini sudah memiliki akreditasi 16 pelayanan. Kebetulan pula saya dilayani oleh suster yang nggak ngebetein. Tahu sendiri dong, banyak RS yang memelihara suster-suster ngesot, eh salah, maksudnya suster yang prilakunya kayak ibu Tiri. Niatnya sih bagus, supaya pasien disiplin, tetapi kebanyakan mereka berlebihan dalam menerapkan disiplin. But saat dirawat di RS Tebet, Alhamdulillah saya dilayani dengan penuh perasaan.
MEMIMPIKAN PUNYA RUMAH DI TEBET
Peristiwa saya dirawat di RS Tebet sampai sekitar dua minggu lebih itu terjadi ketika saya sudah married. Saat itu saya sudah tinggal di sebuah rumah kontrakan di jalan Tebet Timur VK no 3. Tepatnya di belakang pasar PSPT.
Sengaja saya ngontrak di Tebet, meski rumah mertua saya tidak jauh dari situ, karena sedikitnya tiga alasan. Pertama, karena kami ingin mandiri. Sebagai pasangan yang sudah married, malu banget kalo masih tinggal di PIM alias pondok mertua indah. Dengan ngontrak, kita sebagai pasangan bisa 'bebas' memiliki kebijakan di rumah kita sendiri. Bayangkan kalo nebeng di PIM, wah sudah pasti mertua akan punya 'kebijakan' atau peraturan tersendiri.
Rumah mertua saya di Tebet Timur Dalam, dimana merupakan rumah tertua. Ketika rumah-rumah lain belum ada, rumah mertua kami ini sudah lebih dulu eksis. Maklum, salah seorang warga gusuran Senayan.
Alasan kedua, supaya kami lebih dekat dengan orangtua kami alias orangtua istri saya alias mertua. Lho kenapa mau dekat-dekat? sebab, orangtua kami tinggal sendirian di rumahnya di Tebet Timur Dalam. Beliau sudah sepuh. Nah, agar kita tetap mandiri, tetapi tetap bisa mengawasi, ya cari kontrakan tidak jauh dari Tebet Timur, deh.
Alasan terakhir, karena saya suka Tebet. Selain Cempaka Putih, daerah di Jakarta yang paling saya sukai, ya di Tebet. Kenapa Tebet? Sebab, tata kota wilayah Tebet tidak begitu berdesak-desakan, sebagaimana kebanyakan wilayah lain di Jakarta ini. Tebet seolah sudah dibuat sedemikian asri, dimana setiap wilayah memiliki sebuah taman bermain. Kecuali di belakang Warmo, pemukiman di Tebet tidak banyak yang menggunakan tata ruang MHT yang tidak bisa dilewati mobil. Biasanya kalo sebuah pemukiman dilewati MHT, pasti antarrumah berdesakan. Kalo sudah berdesakan pasti akan terlihat kumuh. Nah, di Tebet tidak seperti itu.
Di rumah kontrakan, selain mandiri, kami juga membangun rumah tangga kami di awal-awal married. Saya masih ingat, guna mengoptimalkan roda sehari-hari, orangtua saya meminjamkan mobil Corolla DX tahun 1981 warna biru metalik. Dengan mobil itu saya bisa mengantarkan anak ke sekolah di Ar-Rahman di Kuningan, samping hotel Four Season dan mengantar istri di DHL Pancoran, Jakarta Selatan. Sementara saya kerja di gedung Sentra Mulia yang kebetulan juga masih di wilayah Jakarta Selatan, tepatnya di jalan HR Rasuna Said.
Mobil itu membantu sekali kehidupan kami. Meski AC-nya tidak berfungsi dengan baik, seringkali meski di-on-kan, kami tetap kepanasan, Corolla DX ini berhasil mengantarkan kami memiliki mobil pertama hasil jerih payah, yakni Toyota Avanza. Mobil Avanza manual seri G ini merupakan Avanza keluaran pertama di tahun 2004, dimana saat itu kami beli seharga Rp 92 juta.
Lambat laun kami sadar, ngontrak sangat merugikan keuangan kami. Bayangkan, ngontrak di Tebet dengan kondisi rumah tiga kamar pada tahun 2000-an minimal 15 juta/ tahun. Ketika pasaran di Tebet sudah melambung di atas Rp 20 juta, kami mendapat rumah tiga kamar masih Rp 15 juta. Tetapi ketika tahun kedua, pemilik kontrakan kami ingin menaikkan harga sampai Rp 20 juta, kami berpikir keras dan bertanya-tanya: gokil juga kalo setahun mengeluarkan Rp 20 juta cuma buat diberikan ke orang lain, mending mencicil rumah tetapi nantinya menjadi sendiri, ya tidak? Alhamdulillah, singkat cerita kami berhasil mencicil rumah mungil di Cempaka Putih Barat sejak tahun 2005-an dan kini sudah lunas. Allah memang baik pada kami, bersamaan dengan rumah lunas, mobil Avanza pun kami ganti dengan mobil lain yang lebih baru lagi tahun pembuatannya.
SENAYAN SEKARANG
Wilayah Tebet sekarang ini sudah berubah wujud menjadi pemukiman. Meski jadi pemukiman, namun Tebet masih tetap banyak jalur-jalur hijaunya. Maklumlah, di tiap RW, masih ada taman bermain. Yang paling asyik kalo sempat berkunjung ke Tebet Timur Dalam, Anda akan menjumpai Hutan Kota Tebet.
Kalo Tebet masih menjaga keasrian wilayah, gimana dengan Senayan? Seperti kita tahu, Senayan kan mantan daerah warga Tebet yang tergusur? Senayan adalah daerah yang parah! Pemerintah Kota (Pemkot) DKI Jakarta dan juga pemerintah nggak bisa menjaga wilayah Senayan sebagai salah satu jantung Jakarta.
Sebagaimana saya kutip dari buku Alam Jakarta karya Ady Kristanto dan Frank Momberg (penerbit PT. Rajagrafindo Persada, 2008, hal 124), menurut Rencana Induk Jakarta tahun 1965-1985, areal seluas 279 hektar di Senayan itu, 80%-nya akan dibuat Ruang Terbuka Hijau (RTH). Namun apa yang terjadi? Senayan dialihfungsikan menjadi Gedung DPR, Mal Senayan, hotel, dan JCC.
Meski separuh wilayah Senayan sudah jadi 'hutan beton', Senayan tetap menjadi andalan buat paru-paru kota. Maklumlah, masih ada beberapa pohon tumbuh di sekitar situ. Kalo beruntung, di pohon-pohon yang tumbuh di Senayan itu ada beberapa satwa liar, antara lain cecak terbang (Draco volans), cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), burung kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), betet biasa (Psittacula alexandri), walet linchi, dan kapinis. Bayangkan kalo dahulu Senayan nggak dialihfungsikan, saya yakin banyak satwa liar lain yang 'bergentayangan' di situ.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
izin share ke facebook.com/tebet ya, makasih
BalasHapustop bang,,,jadi kangen ma tebet,,,
BalasHapusnih die yg aye cari sbg ref sejarah, krn ortu aye dulu pernah tinggal di kampung tunduan klapa senayan & kena gusur ganefo, pindah ketebet kemudian dijual lagi& pindah dikemandoran ampe skrg..,numpang share juga yaa.,thxs. Arif
BalasHapusAlhamdulillah kalo berguna utk referensi sejarah. Kalo ada tambahan data soal Kampung Tunduan boleh di share ya mas Arif. Untuk di-update tulisan ini.
HapusSalam!
wah sama bapa saya orang petunduanm digusur pndah ketebet terus pndah lagi ke kemandoran pulo kenangan
BalasHapusnenek saya pernah tinggal di tebet dan saya pun lahir di tebet nenek saya asli magelang dulu punya rumah di tanah gusuran namanya mbah tini.
BalasHapus