Selasa, 08 Juni 2010

EKSPEDISI JAWA TIMUR part III: NUMPANG WUDHU DI CANDI JOLOTUNDO

Ekspedisi selanjutnya di Jawa Timur adalah mengunjungi sebuah pemandian atau petirtaan yang dikenal dengan nama Jolotundo. Memang sih Jolotundo ini tempat mandi, tetapi bentuk pemandiannya dibuat seperti sebuah candi. Jadi Jolotundo juga dikenal dengan nama Candi Jolotundo.

Candi Jolotundo merupakan candi yang paling besar dan memiliki sumber air yang besar dibandingkan candi-candi yang lain.

Candi Jolotundo ditemukan ahli purbakala Wardenar pada tahun 1815. Ia melakukan penggalian dan menemukan pertapaan di tengah kolam yang ada tulisan Dewi Sana dan Agni.














Pintu masuk candi Jolotundo.

Buat menuju candi ini sangat mudah. Kalo naik angkutan umum, dari Surabaya, Anda naik bis jurusan Surabaya menuju Malang. Anda berhenti di daerah yang bernama Japanan. Nah, dari Japanan, naik bis lagi tapi yang lebih kecil berwarna kuning menuju Mojokerto. Dengan bis kecil ini, Anda minta berhenti di Ngoro Industri. Dari Ngoro Industri Anda tinggal naik ojek ke Candi Jolotundo.

Kalo bawa mobil, kendaraan Anda ini bisa sampai dipelataran parkir candi ini. Biasanya banyak orang berkunjung kesini untuk mengambil air atau mandi yang mengalir dari batu-batu candi. Menurut mereka bisa membuat awet muda.


Ini dia Candi Jolotundo.

Candi ini memiliki 2 tingkatan kolam. 2 kolam kecil untuk mandi ditingkatan atas. Satu kolam disebelah kiri untuk tempat mandi wanita dan satu kolam lagi dikanan untuk mandi pria. Selain kolam-kolam kecil, ada kolam besar, dimana di kolam ini terdapat ikan-ikan dari ikan kecil hingga besar.

Ikan-ikan di kolam besar ini nggak boleh diambil. Menurut cerita, ikan-ikan tersebut adalah para dayang-dayang.








Biasanya di malam Jum’at legi, banyak para pengunjung datang ke candi ini buat mandi. Oleh karena lampu di sekitar candi nggak begitu terang, jadi suasananya agak gelap gulita. Setelah mandi ada yang melanjutkan ritual bersemedi di sekitar situ, ada pula yang tidur di pendopo di sana.

Nah, karena saya nggak mau bertapa, maka saya pengen memanfaatkan air mancur candi ini sebagai air minum. Kabarnya, air yang mengalir di Candi ini sudah diteliti dan menjadi air alami terbersih ke-5 di dunia.

Selain numpang minum air, saya pun coba berwudhu dengan menggunakan air pancuran ini. Rasanya seger banget airnya, bo!


all photos copyright by Brill

YANG KECIL ASYIK BERMAIN, YANG MELACUR ASYIK DIPEJENG

Selama melancong ke Surabaya, saya nggak pernah menginjakkan kaki ke gang Dolly. Saya yakin, pasti Anda berkomentar: "Ah, bohong, loe!" Terserah apa kata mulut atau jogong Anda. Yang pasti, saya benar-benar belum pernah menyusuri jalan Dolly street yang dikenal legend itu. Kalo Kramat Tunggak di Jakarta yang kini tinggal memori itu, saya kebetulan sudah pernah.

Malam itu, saya dan teman-teman minta diantar ke kawasan "bisnis lendir"yang paling terkenal di Surabaya, Jawa Timur bahkan di seluruh Indonesia ini. Rasa penasaran bercampur rasa ingin melampiaskan hasrat seksual itulah yang mengantarkan hati saya ke gang dolly. Oh, salah ding! Tentang melampiaskan hasrat seksual mah NO WAY! Becanda lagi! Apalagi kebetulan dalam mobil yang kami tumpangi ada seorang wanita, jadi malu-maluin image saya. Lebih dari itu, "jajan" model begini mah nggak masuk dalam kamus saya lah yau! Makanya jangan heran, karena nggak pernah "jajan" dan begitu buat SMS iseng saya dianggap melakukan pelecehan seksual...hehehe


Salah seorang pelacur yang asyik memejengkan diri, sementara di samping "aquarium" ada banyak anak kecil yang asyik bermain. Bener-bener ironis!

Saya dibuat geleng-geleng kepala begitu sang sopir memberitahu lokasi yang disebut Gang Dolly itu. Bahwa kawasan "bisnis lendir" ini bukanlah lokalisasi, tetapi perkampungan padat penduduk, yang kebetulan tempat lokasi para pelacur. Oleh karena perkampungan penduduk, maka di tempat itu banyak anggota keluarga yang punya anak. Nggak cuma anak yang berusia di atas 17 tahun, tetapi anak-anak kecil ingusan ada di situ.

Sambil menyusuri jalan yang penuh dengan lalu lalang kendaraan dan manusia, saya melihat anak-anak kecil yang sedang asyik bermain. Ironisnya, di samping anak-anak bermain, ada sebuah rumah dimana di situ terdapat wanita-wanita menor yang seksi sedang dipajang. Yap! Wanita-wanita itu adalah para pelacur. Mereka duduk di sebuah sofa panjang yang biasanya berbentuk huruf "L", dimana sofa tersebut ada di ruang depan rumah. Lampu menerangi ruang tersebut, sehingga orang-orang yang ada di jalan bisa melihat dengan jelas para pelacur itu.

Saya dan teman-teman melihat para pelacur itu dari balik kaca jendela mobil. Mereka mirip kayak ikan-ikan yang ada di aquarium. Dengan warna-warna pakaian mereka (ada yang berwarna merah, orange, hitam, dll), mengingatkan pada ikan-ikan mas yang berwarna-warni. Sayangnya kalo ikan nggak bikin nafsu birahi kita muncul. Kalo para pelacur itu, dengan pakaian yang superseksi, kita yang di mobil pasti akan dibuat ngiler.

Kawasan "bisnis lendir" Dolly ini mengingatkan saya di Prumpung, Klender Jakarta Timur. Memang sih para pelacur di Prumpung nggak pake dipejeng kayak ikan di aquarium. Tetapi kawasan Pumpung bukan sebuah lokalisasi, tetapi kawasan pemukiman penduduk padat.

Terus terang saya herman, eh heran. Kenapa sih Gubernur atau Walikota membiarkan "bisnis lendir" di sebuah kawasan padat penduduk? Mereka ngerti nggak ya kalo anak-anak yang ada di situ bakal rusak? Saya ngerti, omset "bisnis lendir" ini gede minta amplop. Pemerintah Daerah (Pemda) Surabaya, khususnya Walikota yang ngurusin gang Dolly ini pasti dapat setoran yang barangkali sampai miliaran rupiah per bulan. Namun saya heran apa otak mereka memang nggak ada kali ya? Sehingga membiarkan ada anak-anak kecil asyik bermain, sementara di samping tempat mereka main ada pelacur-pelacur yang siap diajak ML.

Memang luar biasa Indonesia ini ya...

all photos copyright by Brill

MASIH MAK NYOS SEPERTI LIMA TAHUN LALU...

Sejak dibuka April 2005, praktis orang yang ingin melancong ke Bandung, khususnya warga DKI Jakarta, lebih suka memanfaatkan tol Cipularang. Maklumlah, kalo nggak macet-cet, jarak 121 km dari gerbang tol Cikampek menuju Padalarang bisa dilakukan dalam waktu 1,5 jam. Padahal zaman dulu sebelum ada tol Cipularang (kepanjangan dari Cikampek Purwakarta dan Padalarang), orang-orang yang mau ke Bandung, kudu lewat Purwakarta.

Hari ini, saya mengkhususkan diri melewati jalan yang pernah menjadi legenda, sebelum dioperasikan tol Cipularang. Iseng-iseng saya menyusuri jalan Purwakarta menuju Cikampek dan kembali ke Jakarta.



Jalan raya Cikampek yang sempat jadi jalan yang legend sebelum dibuka tol Cipularang. Pintu masuk sate Maranggi yang menjadi salah satu tempat makan yang masih eksis. Yang lain, sudah ke laut!

Menyedihkan sekali kalo melihat jalan legend sepanjang Purwakarta. Gara-gara tol Cipularang, banyak warung, toko, tempat makan yang dulu berjaya, tutup alias bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. Di antara tempat makan yang masih berjaya adalah sate maranggi Cibungur yang ada di jalan raya Cikampek.

Terakhir kali saya makan di tempat makan di tempat ini sekitar 2005. Saya ingat sekali, saat itu saya sedang menuju ke Jakarta dari melancong ke Majalengka. Kebetulan tol Cipularang belum dioperasikan.



Menikmati kembali sate Maranggi setelah 5 tahun. Rasanya masih sama. Yang paling nikmat, menikmati sate Maranggi pas weekdays, karena sepi sepoi, bo! Nggak ada yang gangguin makan atau ditunggui oleh orang yang mau makan.

Setelah lima tahun nggak berjumpa, akhirnya saya ketemu lagi dengan sepuluh tusuk sate daging sapi plus es kelapa. Rasanya masih mak nyos!

Yang paling asyik selain menyantap sate sapi yang empuk adalah menikmati pemandangan alam yang masih asri, yakni jajaran pepohonan jati. Barangkali kalo saya berkunjung ke sate maranggi Sabtu atau Minggu, nggak akan mungkin bisa menikmati sampai berjam-jam. Ada banyak orang yang antre tempat duduk buat makan. Nah, karena kebetulan saya mampir di hari orang yang lagi asyik-asyiknya kerja di kantor, jadi bisa menikmati tusuk demi tusuk sate maranggi yang mak nyos itu.


all photos copyright by Brill

Selasa, 01 Juni 2010

EKSPEDISI JAWA TIMUR part II: ARCA KERTANEGARA DI TENGAH KOTA

Barangkali perjalanan kali ini nggak layak disebut ekspedisi. Sebab, medan yang dilalui tidaklah berat. Medannya cuma di tengah-tengah kota, tepatnya di jalan Taman Apsari, Surabaya. Di lokasi ini, saya menemukan peninggalan kuno, yakni sebuah arca Budha Mahasobya yang lebih dikenal dengan nama Joko Dolog.













Arca Budha Mahasobya ini berasal dari Kandang Gajak. Pada 1817 dipindahkan ke Surabaya oleh Residen de Salis. Daerah kandang Gajak dulu merupakan wilayah Kedoeng Wulan, yaitu daerah dibawah kekuasaan Majapahit. Pada masa penjajahan Belanda termasuk dalam Karesidenan Surabaya, sedangkan masa sekarang termasuk wilayah desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.



Arca Budha Mahasobya, yang terkenal dengan nama Joko Dolog ini memuat data sejarah masa lampau pada lapiknya. Lapiknya itu disebut prasati Wurare. Ada angka di prasasti, dimana angka tersebut menunjukkan 1211 Saka dan ditulis oleh seorang abdi raja Kertajaya bernama Nada.



Saat ini Joko Dolog banyak dikunjungi orang-orang yang ingin minta berkah. Jangan heran kalo hampir tiap malam ada saja orang yang memanjatkan doa di depan patung Joko Dolog. Apalagi ketika hari Waisak pada Jumat (28/05) lalu, wah lokasi di situ ramai bukan main. Jangan-jangan Anda juga sempat ada di situ?

all photos copyright by Brill