Senin, 28 Desember 2009

HAPPY SUNDAY MORNING AT KOLONG JEMBATAN

Minggu lalu saya melancong lagi ke kolong jembatan Kampung Melayu, menemui teman-teman cilik di sana. Kalo rute nge-gowes saya biasa ke tempat elit (Sudirman, Thamrin, dan sekitar), di Minggu pagi kali ini, saya membelokkan diri ke arah pemukiman "kumuh".

Menyenangkan sekali ketemu lagi teman-teman cilik. Oleh karena kebetulan saya membawa sepeda lipat (seli), mereka saya pinjamkan. Ternyata hampir semua anak di situ belum bisa naik sepeda. Ya, maklumlah, darimana duit beli sepeda? Wong penghasilan rata-rata Bapak di situ paling besar Rp 300 ribu per bulan. Mending beli makan atau kebutuhan pokok yang lain ketimbang beli sepeda, ya nggak?


Teman-teman cilik saya ini cuma butuh kasih sayang. Lihatlah, mereka begitu manja dengan saya. Padahal belum juga lama kenal. Saya kayak Om yang sudah lama mereka kenal, sehingga tanpa canggung-canggung lagi mereka bergaya ketika saya minta teman saya mengabadikan kami.

Sambil teman-teman cilik main, saya menyempatkan diri ngobrol dengan Bang Kodok. Pria yang saya ajak ngobrol ini termasuk preman di kolong jembatan Kampung Melayu. Dia sih menyebut diri sebagai keamanan, tetapi saya tahu dia adalah penguasa di situ.

"Setiap ada orang yang masuk ke kolong sini, pasti saya harus kenal asal muasalnya," jelas Bang Kodok. "Saya nggak ingin daerah kolong ini jadi tempat pelarian para perampok, pembunuh, atau jadi lokasi judi."

Memang, kata Bang Kodok, dahulu pada saat di bawah kolong jembatan masih difungsikan sebagai pasar, banyak orang yang menempati. Orang-orang itu dari berbagai kelompok. Ada kelompok Padang (maksudnya orang yang berasal dari kota Padang), kelompok Medan, kelompok Ambon, kelompok Surabaya, maupun kelompok lain.

Itu baru kelompok, belum aktivitas masing-masing kelompok itu yang macam-macam. Ada penjudi, pemabuk, perampok bahkan pembunuh. Itulah yang membuat kolong jembatan Kampung Melayu sempat dianggap rawan dan dicap negatif.

"Tapi sejak kolong ini ditutup, nggak ada lagi kelompok-kelompokan," aku Bang Kodok. "Dan saya bertugas menjadi keamanan.

Bang Kodok akui, pernah ada kelompok yang mencoba menguasai kolong, tetapi Alhamdulillah bisa dicegah. Caranya? Kalo ada salah satu kelompok dari daerah tertentu masuk ke kolong, Bang Kodok akan minta bantuan dari preman dari daerah yang sama. Preman itu coba ngasih pengertian kelompok itu, bahwa kolong jembatan bukan tempat buat kabur dari aktivitas negatif. Dengan begitu, kini kolong jembatan memang cukup steril dari para penjahat atau kelompok-kelompok yang berprofesi negatif.

Terus terang ketika saya pantau, apa yang dikatakan Bang Kodok benar. Saya nggak melihat orang-orang yang mencurigakan buat diindentifikasikan sebagai penjahat. Itu pula yang barangkali menyebabkan anak-anak yang tinggal di kolong cukup sopan buat ukuran orang miskin. Beda dengan anak-anak miskin lain yang saya juga biasa temui, ketika lingkungannya keras dan kasar, maka secara psikologi anak-anak terpengaruh dengan karakter jiwanya.


Begitu saya pamit dan langsung naik sepeda buat nge-gowes pulang, teman-teman cilik ini mengantar saya sampai ke jalan. Ada wajah sedih ketika saya ingin tinggal. Saya mencoba membuat mereka tersenyum lagi dengan cara memfoto mereka. Hasilnya? Mereka pun bergaya kayak di foto yang Anda lihat ini.

"Yang sekarang jadi musuh orang-orang kolong sini ya Tramtib," jelas Bang Kodok. "Mereka seringkali mengusir kami tanpa alasan yang jelas. Bilangnya selalu, instruksi dari atas. Kalo kami yang hidup di sini nggak melakukan tindak kriminal dan merugikan orang, masa nggak dibiarkan hidup?"

Memang susah juga menjawab pertanyaan Bang Kodok ini. Susahnya, di satu pihak Tramtib itu memang punya tugas dari atasan buat membasmi orang-orang miskin yang tempat tinggalnya nggak jelas. Di lain pihak, Bang Kodok dan keluarga-keluarga yang ada di kolong jembatan juga punya hak hidup. Barangkali salah satu solusi yang netral, Pemerintah Daerah (Pemda) melokalisasikan mereka di suatu tempat, tetapi secara ekonomi menguntungkan buat mereka juga.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Minggu, 27 Desember 2009

CUCU TUAN TANAH YANG JADI TUKANG PERAHU

Tak pernah terbayangkan oleh Bang Akbar alias Bang Na’ih kondisi Cibinong akan seperti sekarang ini. Padahal dahulu tahun 70-an ketika pertama kali menjajakan kaki di wilayah Cikaret, tempat dirinya saat ini tinggal, Cibinong cuma hutan dan perkebunan kangkung.

“Dulu di situ itu sawah yang semuanya kangkung,” kata Bang Akbar sambil menunjuk salah satu lokasi, dimana sekarang ini merupakan sebuah kompleks semi real estate yang gerbangnya menghadap Situ Cikaret. “Yang itu juga perkebunan milik Kakek saya.”



Kakeknya Bang Akbar memang salah seorang tuan tanah di Cibinong. Tanahnya meliputi sepanjang Situ Cikaret sampai dekat kompleks Pemerintah Kotamadya (Pemkot) Cibinong. Namun sekarang ini semua tanah kakeknya sudah dijual dan ada yang dibagi-bagikan ke anak-anaknya.

“Maklum, istri kakek saya banyak! Duabelas orang!” ungkap Pak Akbar.

Terus terang ketika Pak Akbar menyebutkan angka 12 buat jumlah istri, saya kaget bukan main. Baru kali ini saya mendengar ada orang yang punya banyak banget istri. Memang sih, ada nabi yang istrinya jauh lebih banyak, tetapi itu kan nabi. Saya belum pernah melihat langsung atau mendengar dari anaknya nabi. Nah, kalo sekarang ini, ada seorang cucu yang mengungkapkan kalo kakeknya punya istri duabelas. Bujubuneng!

“Kakek saya mah memang tukang kawin,” tambah pria yang kini mata dan pendengarannya sudah nggak jelas lagi. “Tiap kawin, istrinya dihadiahkan tanah, dibuatkan rumah, dan juga masjid.”

Hebring juga tuh kakek! Meski tukang kawin, ia masih mikir buatin masjid buat para istri masjid. Berarti tukang kawin yang Islami juga nih kakek? Kalo dihitung, berarti ada 12 masjid yang sudah dibangun oleh kakeknya Bang Akbar. Namun sayang kata beliau, masjid-masjid itu sudah kena gusur semua. Walah!



“Saya mah cuma dikasih duit,” kata Bang Akbar ketika saya tanya apakah sebagai cucu tuan tanah, ia juga diberi jatah tanah dan rumah.

Duit itulah yang kemudian dibelikan tanah seluas 1.000 m2 di Kampung Bali, Jakarta Pusat tahun 60-an. Berkat ingin mengadu nasib ke daerah lain, yakni ke Sukabumi buat mendirikan pabrik pemotongan kayu, Pak Akbar menjual tanahnya itu seharga Rp 250 juta.

“Saya ingat, waktu itu menjualnya saat harga emas masih 20 perak,” kata pria yang kini berusia 67 tahun ini.

Baru pada tahun 70-an, ia kembali ke Cibinong ini dan menempati rumah di dekat Situ Cikaret. Bersama istrinya yang dari dulu sampai kini setia menemaninya, ia tinggal bersama 12 anaknya. Namun kini anaknya tinggal 7 orang, karena 5 orang anaknya sudah meninggal dunia.

Bersama salah seorang anaknya, Bang Akbar menjadi tukang perahu di Situ Cikaret. Ia mengaku, meski setiap hari di Situ, namun ia nggak ngoyo bekerja. Kalo ada yang mau naik perahu syukur, nggak ada juga nggak apa-apa. Walau pada kenyataannya, setiap hari ia bisa mendapatkan minimal 10 penumpang, yang masing-masing penumpang membayar Rp 5.000 sekali ngider Situ Cikaret.

“Harta itu nggak dibawa mati, Pak,” katanya seolah sedang memberikan nasihat pada saya. “Buat apa punya uang banyak, tetapi kita nggak bisa menikmati? Yang paling benar, menikmati dari apa yang kita dapat sekarang ini. Kalo kita sudah usaha dan berdoa, masa Allah nggak ngasih rezeki sama kita?”



Mendengar petuah Bang Akbar, jadi mengingatkan saya pada salah satu Asma’ul Husna yang Allah miliki, yakni Ar-razzaq. Maha Pemberi Rezeki. Sebagai Pencipta, Allah itu memberikan hal-hal yang bermanfaat kepada mahkluk-mahkluk-Nya. Allah adalah sumber rezeki. Simak Surah Dzariyat ayat 58 ini:

Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”.

Alhamdulillah, kurang lebih sepuluh menit ngobrol dengan Bang Akbar, banyak sekali nasihat bijak yang saya dapat. Selain rasa syukur yang kudu kita miliki sebagai umat Allah, saya juga belajar bagaimana mencintai keluarga, tertuama anak-anak. Sekadar info, pabrik yang dahulu sempat dimiliki Bang Akbar di Sukabumi, dijual. Uang hasil penjualan pabrik, semua dibagi rata ke anak-anaknya.

“Prinsip saya yang penting anak bisa sekolah dan akur satu sama lain,” ucap Bang Akbar sambil tersenyum.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Kamis, 24 Desember 2009

MENAMBAH JUMLAH JALUR HIJAU DI JAKARTA

Akhirnya stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) yang terletak di jalan Prof. DR. Satrio atau Casablanca itu dibongkar. Padahal banyak orang yang menyangka, SPBU yang konon milik salah seorang yang dahulu berpengaruh di negeri ini nggak bakal dibongkar.



SPBU di Casablanca.

Bayangkan, ketika jalan layang Casablanca -yang menghubungkan Lapangan Ros dan Gudang Peluru agar tidak melewati lintasan rel kereta api stasiun Tebet- dibangun, jalan layang terpaksa harus dibelokkan demi menghindari SPBU yang ada di situ. Sehingga kontruksi jalan terlihat agak aneh, bukan lurus tetapi membelok agak ke kanan. Padahal jalan layang itu bisa saja dibuat lurus dan SPBU berada di bawah jembatan, bukan di samping kiri seperti sekarang. Nah, kalo bukan karena si pemilik punya pengaruh, nggak akan mungkin sebuah jalan bisa dibelokkan.


SPBU di Casablanca sebelum dibongkar. Lihat jalan layang yang berbelok demi SPBU itu tetap eksis. Kalo bukan yang punya SPBU punya pengaruh, nggak akan mungkin SPBU ini mengalahkan jalan layang.

Anyway, pembongkaran demi pembongaran SPBU jelas akan menambah jumlah jalur hijau di Jakarta ini. Bayangkan, rata-rata sebuah SPBU mengambil tanah minimal 500 meter persegi (m2). Luas tanah segitu gede, bisa bikin satu rumah mewah, bo! Menurut data yang saya ambil dari Warta Kota, Sabtu (7/11/09), di 3 SPBU aja, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bisa mengumpulkan 6.972 m2. Ketiga SPBU itu adalah SPBU 31-12102 di jalan Melawai Raya (872 m2); SPBU 31-12103 di jalan Pakubuwono VI (3.600 m2); dan SPBU 31-12801 di jalan Tebet Timur Raya (2.500 m2). Bayangkan kalo yang dibongkar itu lebih dari limabelas SPBU, wah jalur hijau di Jakarta ini bakal semakin banyak!

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Rabu, 23 Desember 2009

DI JAKARTA MASIH BANYAK POHONNYA YA?

Pujian tersebut disampaikan Key. Warga negara United Kingdom yang baru pertama kali ke Indonesia ini takjub melihat kota metropolitan Jakarta ini masih banyak terdapat pohon. Bukan cuma di Jakarta pinggiran, tetapi di pusat bisnis kayak Sudirman atau Thamrin.

Terus terang ketika dipuji begitu oleh Key, wajah saya rada heran. Lho, memangnya di Inggris sana nggak banyak pohon? Setelah pria yang kebetulan menjadi pacar keponakan saya ini menjelaskan, saya baru paham. Di Inggris -apalagi di kota besarnya- memang jarang ada pohon-pohon besar, sebagaimana Jakarta. Ah, rupanya saya masih bisa bersyukur bisa tinggal di Jakarta.

Memang sih, antara jumlah penduduk dengan jumlah pohon yang hidup nggak seimbang. Antara jumlah kendaraan bermotor dengan jumlah jalur hijau masih terjadi ketimpangan. Namun setiap kali ngegowes atau jalan kaki, saya masih bisa menikmati pohon-pohon yang hijau, termasuk di kompleks dekat rumah saya.

Ini sebagian lokasi di Jakarta yang masih ditumbuhi pohon, sehingga suasananya teduh merayu. Bayangkan kalo semua lokasi di Jakarta ini lebih banyak pohon, pasti udara segar akan berhasil mengalahkan polusi.


Jalan Sudirman.











Gereja di Matraman Raya.


Taman Menteng sebelum ada patung Obama kecil yang menghebohkan itu.


Jalan Percetakan Negara, depan Penjara Salemba.









Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan.





Jalan Prof. DR. Satrio atau beken dengan jalan Casablanca.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

ANOTHER "ANAK KOLONG"

Selama ini istilah "anak kolong" itu identik dengan anak tentara. Nggak semua "anak kolong" anak tentara. Ada anak kolong yang benar-benar anak yang hidup sehari-hari di kolong, lebih tepatnya di kolong jembatan. Mereka nggak cuma makan dan tidur, tetapi belajar, berak, ngobrol, dan bermain juga dilakukan di kolong jembatan.

Kalo Anda mau lihat, di Jakarta ini banyak anak-anak yang hidup di kolong, karena orangtua mereka memang nggak punya rumah. Boro-boro beli bahan baku buat bangun rumah, buat beli tanah aja nggak mampu.




Mereka memang serba salah. Tapi kalo mau jujur ya seharusnya mereka juga sadar, hidup di kota besar kayak Jakarta ini kudu tahan banting. Kalo nggak menggusur, ya kegusur. Mereka yang nggak punya duit, udah pasti kegusur. Bagi yang nggak punya duit, kudu cukup sadar diri dan tinggal di kolong-kolong jembatan kayak anak-anak yang saya temui beberapa hari lalu.

Saya bersyukur bisa punya teman baru lagi, yakni anak-anak kolong jembatan, tepatnya di jembatan layang Kampung Melayu. Mereka adalah another anak kolong yang ternyata nggak semuanya badung dan kriminal. Ini setelah saya ngobrol dari hati ke hati dengan mereka. Dari cara bicara dan tingkah laku pun bisa terlihat, kok. Bahkan luar biasanya, satu dari anak-anak kolong ini selalu juara kelas, mengalahkan anak orang mampu.



Tampak dalam (foto atas) dan tampak luar (foto bawah). Sebelum ditutup, di kolong jembatan ini ada pasar yang sudah ada beberapa tahun. Pasar ini gusuran dari samping Kelurahan Pasar Bukit Duri, Manggarai. Setelah ditutup, pasar tetap ada tetapi nggak dikolong, melainkan di pinggir jalan raya Casablanca. Sementara beberapa keluarga tetap tinggal di kolong dengan kondisi gelap gulita. Itu kondisi pada siang hari (foto atas), bagaimana malam hari ya? Sudah pasti tidur sama tikus dan ular.

Meski dengan keterbatasan fasilitas, anak-anak ini tetap ceria. Dengan baju kumal, wajah kusam, masih ada tawa di antara mereka. Padahal mereka nggak tahu kalo ada banyak anak kecil seusia mereka sudah mendapatkan Blackbarry dari orangtua, dimana harga Blackbarry mereka sama dengan setengah tahun pendapatan orangtua anak-anak kolong ini. Padahal anak-anak kolong ini pun nggak pernah tahu kalo ada anak-anak yang saat ini sedang menikmati liburan di sebuah kapal pesiar dan keliling Eropa. Sementara anak-anak kolong ini cukup menikmati sebuah ayunan yang terbuat dari karet ban bekas yang digantung di batang pohon atau petak umpet.



Bolongangan itu bukan jendela (foto atas), tetapi tembok yang dibolongin buat udara dan sinar masuk. Padahal udara yang masuk itu berasal dari sungai kotor Kampung Melayu dan asap kendaraan yang berasal dari terminal. Meski begitu, ada tanah sedikit buat anak-anak main ayunan.

Kalo kita berada di situ, pasti rasa syukur kita pada apa yang kita miliki sekarang ini muncul. Kita nggak terlalu ngotot mengejar harta atau tahta dengan cara salah. Kita pasti akan melakukan cara yang biasa, namun tetap yakin Allah akan melihat aktivitas kita dan memberi yang terbaik. Sayang, kita nggak terlalu nafsu buat berkunjung ke orang-orang kayak begini. Coba kalo Anda turun ke kolong jembatan dan melihat bagaimana mereka hidup, pasti kita akan ucap: Alhamdulillah ya Allah!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sabtu, 19 Desember 2009

MENELUSURI HUTAN UI, DEPOK

Nggak semua kampus punya hutan. Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok merupakan salah satu kampus yang cukup beruntung punya hutan. Meski dahulu kala, ketika saya masih kuliah tahun 90-an, hutan UI masih sangat lebat, namun bersyukurlah UI masih tetap memelihara sebagian hutannya hingga kini. Bahkan di antara hutan-hutan itu, terdapat lintasan khusus sepeda.

Sudah lama saya ingin melintas hutan-hutan UI dengan mengowes sepeda. Cita-cita ini baru kesampaian pagi ini. Padahal setiap kali ke UI -terakhir shooting program Film Pendek di teater daun Fakultas Ilmu Budaya (FIB)-, saya nggak sempat membawa sepeda. Bahkan ketika diadakan reuni dengan teman-teman lama dari Sastra Jerman, saya pun nggak sempat memasukkan sepeda lipat (seli) saya ke dalam bagasi mobil.




Nikmat banget menggowes di tengah-tengah hutan. Entah kenapa kalo Anda menggowes, udara sejuk terasa. Padahal di luar pohon-pohon, matahari sudah memancarkan sinar cukup terik, yang bisa membuat tubuh kita hitam. Saya jadi membayangkan, andai di Jakarta penuh dengan pepohonan, pasti kesejukan akan terasa. Namun sayang, mencari pohon yang rimbun di Jakarta nggak mudah. Pemda lebih suka memberikan izin menancapkan beton-beton ke dalam tanah, ketimbang akar pohon.

Kalo sudah sampai di UI memang enak. Namun kalo membayangkan menggowes sepeda dari rumah saya di Cempaka Putih ke UI, Depok, rasanya males banget. Kata bang Haji Rhoma Irama, butuh pengorbanan dan doa.

Buat yang terbiasa rute jauh, barangkali ngegowes berkilo-kilo meter kayak yang dilakukan saya pagi ini, no problemo. Tapi buat saya yang nggak terbiasa, rasanya perjalanan bersepeda yang saya lakukan, kayak jalan nggak ada ujungnya. Maksudnya, lama banget sampenya.

Anyway, saya berhasil juga mendaratkan kaki dan sepeda di UI. Sebetulnya, kemarin pada saat acara kangen-kangenan, saya udah mempersiapkan diri bersepeda ria. Eh, jodoh belum terjadi dengan sepeda yang kucintai ini. Today, saya puas ngegowes keliling UI. Keluar masuk hutan; keluar masuk gedung; keluar masuk bus kuning; dan keluar masuk lain.




all photos copyright by Brillianto K. Jaya

NYOBAIN TOGE GORENG PLUS KERAK TELOR DI FESTIVAL KEMANG 2009

Bukan norak, bukan sihir, tapi udah lama banget saya nggak merasakan makanan khas Betawi. Terakhir kali, saya makan toge goreng beberapa abad lalu. Sementara kalo makan kerak telor, sekitar bulan Juni, ketika terjadi peristiwa Pekan Raya Jakarta di Kemayoran. Alhamdulillah, saya berhasil mendapatkan apa yang saya idamkan. Dan itu semua saya dapatkan di Festival Kemang 2009 yang berlangsung pada 19-20 Desember 2009 ini.


Jalan ditutup sepanjang 1 kilometer, karena ada 552 tenda yang menjual aneka produk rumah tangga sampai kuliner. Sayang permainan anak kurang. Cuma ada dua tenda yang diisi mancing, melukis, dan main trampolin.

Menurut Suluh Sugiharto, Asisten Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta Selatan -yang penulis kutip dari Republika Newsroom, Minggu (20/12/09)- mengatakan, Festival Kemang ini merupakan kolaborasi antara menggelar seni budaya betawi dan meningkatkan perekonomi dan kesejahteraan para pelaku UKM (Usaha Kecil Masyarakat). Lebih dari itu, yang nggak kalah penting, yakni acara ini diharapkan mampu meningkatkan pariwisata Jakarta, khususnya Jakarta Selatan. Maklumlah, di Kemang kan banyak bule-bule.


Salah satu panggung yang diisi oleh kesenian Melayu. Buat saya lebih asyik ketimbang nonton band-band yang membawakan lagu-lagu bule. Orang-orang bule lebih appriciate pada budaya lokal ketimbang budaya asing.

Sejak awal, Festival Kemang memang memiliki tujuan mulia tersebut: (1) menampilkan budaya Betawi; (2) peningkatan ekonomi UKM; dan (3) pariwisata. Festival Kemang pertama kali dilaksanakan pada 7-8 Juni 2003, yakni dalam rangka menyambut HUT Kota Jakarta ke-476. Saat itu Dinas Pariwisata DKI Jakarta bekerjasama dengan Indo.com, dan Cipta Visualindo menggelar acara ini.

"Kita juga ingin membuktikan pada dunia internasional kalau Jakarta saat ini aman," kata Kepala Dinas Pariwisata DKI Aurora Tambunan saat meresmikan acara itu kala pertama kali Festival Kemang pertama dibuka tahun 2003.


Pernak-pernik kratif kayak begini banyak dijual.

Setelah tahun 2003, Festival Kemang digelar lagi, yakni pada 2008. Pada tahun 2009, Festival Kemang keempat dilaksanakan pada 2-3 Agustus 2009. Jalan sepanjang sekitar 1 kilometer akan ditutup untuk umum. Penutupan di bagian utara, yakni dari perempatan Mc Donald's dan di bagian selatan, yakni pertigaan Amigos.

Pada Festival Kemang keempat ini, tema yang diangkat adalah "Hijau Kemangku". Selain musik dari kesenian lokal Betawi, Ambon, musik etnik dan kontemporer, angklung, tartan anak-anak dari Down Syndrome Indonesia, ada pula musik arumba dari persatuan warga Korea dan Jepang di Indonesia.



Nggak terasa, umur Kemang Festival di tahun 2009 yang berlangsung pada 19-20 Desember 2009 ini sudah lima tahun. Dari tahun ke tahun, Festival ini memang terjadi peningkatan dalam kuantitas pedagang. Tahun 2009 ini aja, tenda penjual hampir sepanjang 1 kilometer, yakni kurang lebih sekitar 552 tenda yang terdiri dari tenda pakaian, makanan, dan aksesoris lain.

Meski sebelumnya sempat ditentang oleh warga sekitar Kemang, toh acara ini tetap digelar. Jalan sepanjang 1 kilometer tetap ditutup, yakni dari perempatan McDonnald ke POM Bensin di Kemang Selatan.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

DIBUTUHKAN SEPANJANG MASA

Nggak ada nama yang formal dari bus ini. Anda bisa menyebutnya sebagai bus kuning, bus UI, maupun bus kampus. Nggak ada yang melarang atau menangkap Anda kalo Anda salah sebut.

Dinamakan bus kuning, karena warnanya kuning. Buat orang yang buta warna, barangkali penyebutan warna buat bus ini bakal problem. Warna kuning merupakan simbol warna kampus pemilik bus ini, yakni Universitas Indonesia (UI). Entahlah mengapa UI mengambil warna kuning sebagai warna almamaternya. Padahal zaman Orde Baru (Orba), kuning identik dengan organisasi partai politik Golongan Karya (Golkar) yang dahulu banyak dikecam. Tapi dalam kisah ini saya nggak mau ngomongin soal warna kuning.


Nggak banyak kampus yang punya bus kampus. Meski kampusnya sangat luas, dimana buat jalan antar fakultas jauh, belum sebuah kampus punya bus. UI termasuk kampus yang luar biasa, mengajak mahasiswa menggunakan transportasi umum. Bahkan sekarang ini UI menyediakan sepeda bagi para mahasiswa.

Penamaan bus UI, ya lebih karena bus ini dimiliki oleh UI, bukan kampus di luar UI. Begitu pula bus kampus. Nama bus kampus barangkali lebih umum, yakni mengacu bus buat anak-anak kampus. Lho, memangnya mahasiswa-mahasiswa non-UI bisa naik bus ini? BISA! Waktu zaman saya masih berstatus mahasiswa, banyak kok mahasiswa kampus lain yang nebeng naik bus ini. Wong, Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) mereka nggak diperiksa, kok. Nggak ada Kondekturnya, bo!

Dahulu, ketika belum banyak mobil pribadi masuk ke kampus, bus kuning ini banyak peminatnya. Terus terang pada saat sekarang, dimana banyak anak-anak kaya berkampus di UI ini dan menggunakan mobil pribadi, saya nggak tahu apakah sama penuhnya kayak dahulu kala.

Dahulu lagi, setiap jenis bus, trayeknya beda-beda. Ya, kayak Metromini atau Kopaja gitu, deh, dimana nomor-nomor yang ada di depan mobil, menandakan trayek yang akan dilalaui. Misal, Kopaja 68 jurusan Kampung Melayu-Pasar Minggu. Mini bus ini pasti akan melawati jalur Tebet Barat, MT. Haryono, Pancoran, Samali, dan Pasar Minggu. Kopaja 68 nggak akan melewati Mampang Perapatan atau Warung Buncit. Kalo mau lewat dua jalan itu, Anda kudu naik Metromini nomor 75 jurusan Blok M-Pasar Minggu.

Bus kuning yang mirip dengan Kopaja atau Metromini, dahulu biasanya nggak lewat jalur Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), tetapi lurus ke arah Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Politeknik, baru melewati Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya). Kalo bus yang besar –kayak bus AKAP (Antarkota Antarpropinsi)-, baru belok ke Fakultas Psikologi, Fisip, Sastra, dan Politeknik. Namun kadang-kadang, trayek bus ini bisa berubah. Entahlah, suka-sukanya sopirnya aja. Yang pasti, semua bus berawal dari halte bus UI yang ada di depan pintu masuk UI, dan gratis!



Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri sowan ke pangkalan bus UI di dekat Rektorat. Saya sempat ngobrol dengan bus-bus kuning, meski mereka semua nggak ada yang bisa jawab dan nggak bisa cerita. Padahal saya ingin sekali berjumpa bus yang pernah membawa saya menuju halte kampus. Maklum, kangen, bo. Ah, daripada nggak ada yang bisa mengaku, saya memberanikan diri memilih satu di antara bus kuning di situ yang kira-kira menurut saya masih tercium aroma keringat saya sewaktu masih mahasiswa dahulu kala.

Alhamdulillah, dari dulu saya sudah merasakan naik-turun bus,” kata saya dalam hati sambil duduk di kursi belakang bus. “Kalo enggak barangkali seumur hidup saya akan tergantung oleh mobil atau motor. Dan saya nggak akan pernah menikmati naik kendaraan umum atau naik sepeda.”

Kamis, 17 Desember 2009

HUTANKU MALANG

Saat ini luas hutan Indonesia mencapai 120 juta hektar. Menurut data Kompas (28/11/09), faktanya kondisi hutan yang masih bertahan diperkirakan cuma tinggal 60 juta hektar. Artinya, 60 juta hektar lagi sudah tidak layak disebut hutan. Kayu-kayunya sudah habis dirampok oleh mereka yang ingin memperkaya diri.

Mari kita bermain logika. Bahwa orang yang memperkaya diri itu pasti bentuk dari sebuah konspirasi, kongkalikong. Saya yakin, bukan cuma pengusaha yang layak disalahkan, tetapi juga pejabat pemerintah daerah (Pemda), dan oknum TNI. Buka kembali kasus-kasus korupsi beberapa tahun lalu, yang melibatkan pejabat-pejabat serta okunum TNI.



“Bila diketahui oknum TNI terlibat saya tak mau kompromi. Saya babat habis oknum TNI yang membekingi cukong penebangan kayu liar,” jelas Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto waktu itu (lihat Surga Para Koruptor, Penerbit Buku Kompas, Desember 2004)

Pernyataan Panglima TNI itu bertujuan buat melakukan koordinasi dengan Menteri Kehutanan M. Prakosa guna memberantas penebangan liar atau ngetop dengan istilah illegal logging. Jenderal Endriartono mengakui sulit sekali memberantas penebangan liar, karena ada okunum TNI maupun pejabat sipil yang terlibat.

Penjarahan hutan memang gila-gilaan. Data Departemen Kehutanan (Dephut), setiap tahun sedikitnya 10 juta meter kubik kayu diselundupkan dari Kalimantan, Papua, Sumatera Utara, Jambi, Riau, dan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dengan tujuan antara lain, Malaysia, China, India, dan Vietnam.

Dari Papua saja, penyelundupan kayu mencapai 600.000 meter kubik dengan kerugian mencapai Rp 600 miliar per bulan atau Rp 7,2 triliun per tahun. Di tahun 2004, harga kayu selundupan ini dinilai terlalu murah, yakni sekitar Rp 1 juta per meter kubik.

Di perbatasan Kalimantan Timur-Malaysia, gara-gara penebangan liar, kerusakan hutan sudah mencapai 150.000 hektar per tahun. Sementara di perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia kerusakan hutan lebih gokil lagi, mencapai 250.000 hektar per tahun.

Data Dephut Dsember 2004, hutan rusak dan nggak bisa berfungsi secara optimal mencapai 43 juta hektar atau kira-kira empat kali luas Pulau Jawa. Terakhir menurut Kompas, Sabtu, 28 November 2009, hutan yang sudah hancur lebur mencapai 60 juta hektar.

“Saya memprediksi luas hutan alam yang masih bertahan lebih kecil lagi,” ungkap Menteri Kehutanan Kabinet Gotong Royong part two, Zulkifli Hasan saat melakukan penanaman pohon pada pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kamboja seluas empat hektar di Banjarmasin, Kalimatan Selatan (26/11).

Menurut Zulkifli, hutan di Sumatera dan Kalimantan yang masih bertahan dengan baik diperkirakan tinggal 10-20 persen dai luas hutan di atas kertas. Mulai tahun 2010, ditargetkan sedikitnya 500.000 hektar lahan kritis setiap tahun dirahabilitasi dengan reboisasi. Khusus Kalimantan Selatan (Kalsel), data Dinas Kehutanan Kalsel, luas hutan provinsi ini di tahun 2007 mencapai 1,6 juta hektar.

Reboisasi memang cara ampuh guna memperbanyak jumlah hutan lagi. Reboisasi akan dilakukan di sekitar hutan. Selain itu, Dephut akan merehabilitasi 108 daerah aliran sungai (DAS) dan merestorasi hutan kritis di kawasan hak pengusahaan hutan (HPH) yang sudah diterlantarkan dengan status telah dicabut.



Targetnya, restorasi hutan bekas HPH akan mencapai 2 juta hektar dalam waktu lima tahun. Saat ini restorasi hutan yang dilakukan bekas HPH di Jambi berhasil baik. Selanjutnya, upaya akan dilaksanakan di HPH Kaltim seluas 87.000 hektar.

Selain roboisasi dan restorasi hutan bekas HPH, pemerintah juga sudah membentuk tim khusus sejak tahun 2004 yang bertugas memberantas penebangan liar. Ada sebelas instansi yang terkait, yakni Menko Polkam, Mabes TNI, TNI AL, Polri, Dephut, Deperindag, Dephub, Ditjen Bea Cukai, Kejaksaan, Pengadilan dan pemerintah provinsi serta kabupaten. Moga-moga kesebelas instansi ini benar-benar bisa menjaga amanat warga bangsa untuk menjaga hutan kita agak jangan sampai hancur.

SANDHY SONDORO: ASING DI TANAH AIR, BERKIBAR DI LUAR NEGERI








Selasa, 15 Desember 2009

HARUSNYA SIH BISA DISIPLIN

Beberapa minggu ini, Polri lagi gencar-gencarnya mensosialisasi Undang-Undang Lalu Lintas, dimana bertujuan mengatur kendaraan bermotor, khususnya motor. Kenapa motor? Sebab, semakin hari jumlah kendaraan motor jumlahnya banyak banget. Saking banyak, motor-motor ini seringkali lupa aturan di jalan raya yang harus dipatuhi.

Berbeda dengan mobil. Jumlah mobil memang juga nggak kalah banyak, tetapi karena body mobil cenderung besar, maka kesempatan buat melanggar aturan di jalan raya. Mohon maaf, saya bukan mobilmaniak, sehingga saya dianggap membela mobil. NO! Saya malah penyuka jalan kaki, naik bus, dan lebih suka menggowes sepeda.




Beberapa kali saya bahas di blog ini, bahwa kesempatan motor buat melanggar lalu lintas lebih besar. Berikut ini daftar yang cuma beberapa pelanggaran. Sisanya silahkan lihat sendiri di jalan raya.

(1) Nggak pakai helm
(2) Menerobos tanda verboden, bahkan di jalan yang ramai sekalipun, pengendara motor nekad menerobos jalan yang berlawanan arah.
(3) Menghentikan kendaraan nggak di belakang zebra cross, sehingga para pejalan kaki terpaksa harus ber-zig-zag melewati motor-motor yang berhenti di lampu merah.
(4) Memanfaatkan trotoar sebagai jalan alternatif agar cepat melewati kendaraan yang terkena macet. Trotoar itu kan dibuat khusus untuk pejalan kaki, bo!
(5) Lihatlah di trotoar-trotoar Jakarta sekarang -salah satunya di Kedubes Arab samping Carefour, MT. Haryono- , para pejalan kaki nggak diberikan lagi ruang buat jalan kaki. Trotoarnya dipergunakan buat parkir motor.
(6) Silahkan Anda tulis sendiri...

Sosialisasi yang dilakukan Polri minggu-minggu ini adalah (1) penggunaan jalur khusus motor dan (2) menghidupkan lampu. Sebenarnya sih soal jalur khusus sudah enggak perlu lagi di-sosialisasikan, karena tanda bahwa motor kudu berada di jalur lambat sudah lama ada. Entah kenapa larangan motor nggak boleh berada di jalur cepat dicuekin, sehingga larangan yang sebetulnya sudah lama itu nggak berlaku. Begitupula dengan menghidupkan lampu saat berkendaaran.




Nah, dalam pantauan saya di lapangan, penggunaan jalur khusus motor dan menghidupkan lampu belum begitu efektif. Beberapa motor yang melaju di jalan tetap cuek bebek dengan sosialisasi yang dilakukan Polri. Padahal jalas-jelas di situ ada polisi. Kasihan banget sih Pak Polisi. Saya yakin, pasti para pengguna motor bisa disiplinkan. Nggak cuma pada saat ada polisi, nggak ada polisi pun saya yakin bisa. Apalagi kalo polisi juga dibantu oleh geng-geng motor yang jumlahnya buanyak, dimana mereka bisa memberikan contoh soal kedisiplinan.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Minggu, 13 Desember 2009

KERJA BAKTI DAN HIDUP BERTETANGGA

Sebuah surat berkop Kecamatan Cempaka Putih hadir di rumah saya. Surat yang bertandatangan Lurah Cempaka Putih Barat berisi mengajak segenap warga RW 06 Cempaka Putih Barat melakukan kerja bakti.

Buat kita, istilah kerja bakti sudah konvensional banget (kalo enggak mau dikatakan sinonim dari primitif). Kenapa konvensional? Sebab, program kerja bakti itu sudah dilakukan zaman dahulu kala, dan di era kapitalis kayak begini sudah nggak cocok lagi.

Ah, masa nggak cocok?



Berhubung saya tinggal di kampung, di antara rumah-rumah dan gang sempit, saya merasa kerja bakti di abad informasi, Blackbarry, dan kapitalisme kayak begini masih cocok-cocok aja.

Bayangkan kalo nggak ada kerja bakti, selokan di rumah mampet. Akibat mampet, air hujan menggenang dan berkibat banjir. Mana ada yang mau rumah kita kebanjiran? Saya sih ogah.

Kebetulan rumah saya dekat dengan selokan -meski rumah saya berada di dataran tinggi dan nggak mungkin banjir-, tetapi saya sadar diri, tetangga merupakan aset. Tanpa hidup bertetangga, kita nggak bakal mendapatkan banyak pertolongan ini dan itu.

So, ketika surat kerja bakti hadir, saat langsung berpikir: ini momentum bersosialisasi atau bertetangga. Kalo sehari-hari nggak ada waktu ngobrol dengan tetangga (baca: cuma sekadar basa-basi ketika berpapasan dengan tetangga), karena pergi pagi dan pulang malam, maka kerja bakti menjadi ajang silaturahmi.

Ah, ternyata mereka baik-baik. Wajah mereka aja yang seram kayak preman (hitam legam) dan suara mereka keras-keras (ngomong biasa seperti berteriak), tetapi hatinya baik. Inilah yang membuat saya dan keluarga menikmati hidup di kampung, berdampingan dengan mereka yang kami yakin hidupnya serba kekurangan. Dengan berada di tengah-tengah mereka, kita selalu dipaksa menjadi orang yang rendah hati. Dan selalu punya prinsip hidup sederhana.

Saya tahu nggak semua tulus. Ada orang yang sirik dengan kita. Tetapi saya yakin, kalo kita konsisiten bersikap humble, mereka pasti respek dengan kita. Apa yang kita butuhkan, mereka pasti membantu.

Beda kalo Anda sok kaya di sebuah kampung kayak di kampung tempat saya berada. Sok memamerkan kekayaan, mobil mulus melewati gang sempit, dimana di situ ada orang-orang yang sedang nongkrong. Pamer harta-harta lain, dan yang menyebalkan nggak aktif dalam kegiatan kampung, wah orang macam ini pasti bakal dibenci oleh warga setempat. Padahal tetangga itu (sekali lagi) adalah aset. Orang yang paling dekat di samping kanan dan kiri kita adalah tetangga. Kalo ada musibah, yang paling membantu ya tetangga. Nah, apa jadinya kalo di kampung sendiri Anda sudah bersombong-sombong ria dan dibenci sebagian besar warga, sudah pasti ketika musibah datang, banyak warga yang ogah membantu. Tentu Anda nggak mau mendapatkan kejadian kayak begitu bukan?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Jumat, 11 Desember 2009

DANA NEGARA KAYA BUAT NEGARA MISKIN

Sejak Senin (7/12) lalu, Konferensi Perubahan Iklim PBB dibuka. Konferensi yang berlangsung di Kopenhagen, Denmark sampai tanggal 18 Desember 2009 ini diikuti oleh 192 negara. Meski diikuti oleh banyak negara, yang paling jadi point of view justru negara-negara miskin dan berkembang, kayak China, India, dan tentu saja Indonesia.

Bagi negara kaya raya nan jaya di udara (Uni Eropa), negara-negara miskin dan berkembang merupakan aset yang berharga buat menyelamatkan bumi. Masalahnya, negara kaya sudah nggak banyak hutan, sementara negara miskin dan berkembang masih punya hutan. Tahu dong kalo hutan itu kini dijadikan paru-paru dunia?

Oleh karena menjadi paru-paru dunia, maka negara kayak China, India, dan Indonesia dielus-elus agar tetap menjaga hutan. Bayangkan kalo hutan habis, maka dunia nggak punya paru-paru lagi. Akibatnya, umat manusia di dunia inipun akan mengembuskan nafas mereka. Nah, mumpung belum telat –meskipun sebenarnya sudah telat-, Konfrensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark ini menjadi pertemuan terpenting dalam membahas perubahan iklim. Presiden Pertemuan Para Pihak ke-15 (COP-15) Konfrensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC) Connie Hedegaard bahkan mengagendakan upaya pendanaan dari pemerintah dan perusahaan swasta dari negara-negara kaya buat disumbangkan ke negara-negara miskin dan berkembang itu tadi.



Kenapa perlu dana? Begini, pada saat Konferensi Perubahan Iklim PBB dua tahun lalu (2007) di Bali, negara-negara maju berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Seperti kita ketahui GRK ini menjadi penyebab perubahan iklim sehingga bumi menjadi semakin panas. Kalo bumi panas, es mencair. Kalo es mencair, maka akan terjadi beberapa bencana, salah satunya naiknya level air laut. Kalo air laut naik, maka pulau bisa tenggelam.

Nyatanya, komitmen negara-negara maju meleset. Mereka malah mendesak negara-negara miskin yang emisinya besar (maksudnya polusinya sudah gila-gilaan), kayak China, India, dan juga Indonesia berkomitmen lebih besar. Apalagi negara-negara berkembang seringkali merusak hutan yang tadi sudah saya katakan sebagai paru-paru dunia.

Sebagaimana ditulis Kompas (Selasa, 8 Desember 2009), pekan lalu Denmark mengeluarkan Danish Proposal yang berisi usulan agar negara berkembang turut menurunkan emisi. Namun kelompok negara berkembang G-77 (baca: 77 negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia) dan China menolak usulan itu.

“Jejak sejarah emisi adalah industri negara maju. Mereka yang wajib menurunkan,” kata Ketua Pokja Pasca-Kyoto 2012 Delegasi Indonesia Tri Tharyat.



Statement Tri Tharyat diperjelas lagi oleh Kim Carstensen dari Global Climate Initiative WWF. Menurutnya, soal agenda upaya pendanaan dari pemerintah dan perusahaan swasta dari negara-negara kaya buat disumbangkan ke negara-negara miskin dan berkembang merupakan persoalan lain. Yang terpenting masing-masing pihak mampu menurunkan ego.

“Jangan hanya bicara uang (materi negoisasi) dan amandemen. Namun, bicaralah tentang kehidupan kita, orang-orang di tempat lain, anak-anak, dan cucu-cucu kita.”

Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB tahun 2009 ini, Indonesia membawa tiga agenda penting. Agenda pertama, yakni target penurunan emisi rata-rata 40% oleh negara-negara maju sesuai Bali Action Plan. Lalu mendorong disepakatinya implementasi mekanisme reducing emission from deforestation and degradation. Agenda terakhir, memasukkan isu kelautan menjadi isu sentral dalam perubahan iklim sebagaimana tertuang dalam Manado Ocean Decleration.

“Salah satu strategi Indonesia adalah pro-aktif dengan menurunkan emisi 26% pada tahun 2020 dari business as usual,” papar Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Rachmat Witoelar (lihat Kompas, Selasa, 8 Desember 2009, hal 14).



Sebagai negara berkembang, Indonesia memang serba salah. Kenapa? Sebab, negara kita yang kaya raya ini masih bergelut dengan masalah korupsi. Orang miskin ingin menjadi kaya, jalan supercepat via korupsi. Orang kaya ingin semakin kaya lagi, jalan yang paling nikmat tapi penuh dosa ya korupsi. Hutan atau tanah-tanah kosong yang seharusnya bisa menjadi daerah resapan air atau ruang terbuka hijau, dialihfungsikan menjadi mal, pertokoan. Itu akibat kongkalikong mereka yang tadi ingin kaya secara instan, tetapi mengorbankan lingkungan.

Baiklah kalo negara-negara kaya ingin mendanai negara-negara miskin, kayak Indonesia ini, namun korupsi masih menjadi budaya kita, maka komitmen menurunkan emisi nggak bakal tercapai. Dana dicuri oleh si penerima dana, sementara pembabatan hutan tetap terjadi dan pemerintah nggak melakukan tindakan, apa gunanya komitmen? It’s only lips service! Barangkali satu hal yang bisa kita lakukan adalah melakukan buat diri kita, keluarga kita, dan akhirnya lingkungan kita. Bagaimana caranya? Green thinking!

Berpikir bagaimana menekan emisi dengan cara nggak selalu menggunakan kendaraan bermotor. Kalo pergi ke suatu tempat yang jaraknya dekat, ya jalan kaki aja. Kalo rada jauhan dikit, naik sepeda. Kalo jauh, pilihannya bisa menggunakan kendaraan umum. Kendaraan bermotor adalah pilihan terakhir.


Terlalu banyak mobil juga merupakan bagian dari pencemaran udara. Selama kita masih berhutang dengan Jepang, selama itu pula penjualan mobil nggak akan pernah dibatasi. Coba berhutang sama negara yang cuma produksi sepeda, pasti yang banyak bukan mobil, tetapi sepeda...

Berpikir menyediakan sedikit lahan di rumah buat menanam pohon. Meski ukuran rumah kita mungil, bukan berarti nggak bisa “menghijaukan” rumah kita. Banyak cara agar rumah kita tetap green.

Last but not least, pergunakan barang-barang yang bisa didaur ulang. Sebaiknya bekerja peperless alias nggak menggunakan kertas terlalu banyak. Ingat! Dengan menggunakan kertas, maka kita membutuhkan pohon-pohon yang ditumbangkan di hutan. Mengerikan bukan?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Kamis, 10 Desember 2009

KENDARAAN RAMAH LINGKUNGAN

Masalah lingkungan saat ini juga menjadi ancaman sekaligus peluang bagi para produsen mobil. Kelak mobil-mobil yang berpolusi tinggi tidak akan diminati oleh konsumen. Oleh karena itu, sejumlah produsen mobil menjadikan masalah lingkungan sebagai peluang buat diversifikasi jenis.

Berbicara diversifikasi kendaraan, beberapa produsen mobil sudah membuat teknologi, dimana teknologi ini ramah lingkungan. Pada Tokyo Motor Show 2009 lalu, beberapa konsumen memamerkan mobil-mobil ramah lingkungan. Ada yang menggunakan teknologi listrik, hybrid (campuran BBM dan listrik), hingga mobil tenaga hidrogen.


Ini kelihatannya sepeda, tetapi bisa juga difungksikan sebagai motor. Jadi kalo cape gowes, ya bisa nge-brum kayak motor. Eit, tapi bukan motor sembarang motor, karena sepeda yang juga motor ini ramah lingkungan. Bahan bakarnya dari listrik yang di-charge ke aki.

Di Jepang, mobil hybrid sangat populer. Ada dua merek yang terkenal terus mengembangkan inovasi di bidang hybrid, yakni Honda dan Toyota. Honda sudah mengeluarkan Honda Insight, sedang Toyota mengeluarkan Toyota Prius.

Kenapa mobil-mobil hybrid populer di Jepang? Sebab kendaraan jenis ini ramah lingkungan. Namun, warga Jepang tetap mengakui mobil hybrid sangat mahal. Maklumlah teknologinya cukup mahal. Meski begitu, Presiden Direktur Honda Motor Corp, Takanobu Ito akan terus mengoptimalkan teknologi mesin, chasis, body, dan aerodinamika mobil hybrid (Republika, Senin, 2 November 2009).

Rabu, 09 Desember 2009

JANGAN NYAMPAH DONG, BOS!

Persoalan sampah memang kompleks. Ketika pemerintah berusaha mengatur pola pembuangan sampah, banyak warga yang kelakuannya masih minus. Maksudnya, mereka seenaknya membuang sampah. Nggak cuma di jalan raya, tetapi di kali. Padahal yang membuat sampah di jalan bukan orang sembarangan, tetapi mereka yang berpendidikan dan bermobil mulus.

Nah, buat mengingatkan kita semua tentang sampah, berikut ini saya hadirkan sekilas info soal sampah. Dan perlu Anda ketahui, sampah itu berpotensi pemanasan global 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida (CO2).

Dengan jumlah penduduk yang setiap tahun meningkat, diperkirakan pada tahun 2020, sampah yang dihasilkan per hari mencapai sekitar 500 juta kg atau sekitar 190 ribu ton per tahun. Jumlah sampah Jakarta kalo nggak diangkut selama 2 hari akan setinggi Candi Borobudur.


Pemandangan sampah di kali kayak begini sudah lazim di kota-kota besar. Maklum, warga masih suka membuang sampah ke kali.

SUMBER SAMPAH DI JAKARTA

(1) Sampah Pasar 10%
(2) Sampah Industri 10%
(3) Sampah Jalan, Taman, dan Sungai 2%
(4) Sampah Rumah Tangga 58%


KOMPOSISI SUMBER SAMPAH DI JAKARTA

(1) Sampah Organik 65%
(2) Non Organik 35%


SAMPAH NON ORGANIK TERBESAR

(1) Plastik 11,09%
(2) Logam 1,9%
(3) Kaca 1,63%


Pohon bambu ternyata menghasilkan oksigen 35% lebih banyak dibanding pohon lain.

ANEKA SAMPAH YANG BISA TERURAI DAN TIDAK BISA TERURAI OLEH ALAM

(1) Organik (1-6 bulan)
(2) Kertas (2-5 bulan)
(3) Plastik (50-80 tahun)
(4) Gelas/ Kaca (ratusan tahun)
(5) Steyrofoam (tak dapat terurai)
(6) Bahan berbahaya beracun (tak dapat terurai)

PERNAK-PERNIK DEMONSTRASI HARI ANTIKORUPSI DUNIA 2009










































all photos copyright by Brillianto K. Jaya