Sebuah surat berkop Kecamatan Cempaka Putih hadir di rumah saya. Surat yang bertandatangan Lurah Cempaka Putih Barat berisi mengajak segenap warga RW 06 Cempaka Putih Barat melakukan kerja bakti.
Buat kita, istilah kerja bakti sudah konvensional banget (kalo enggak mau dikatakan sinonim dari primitif). Kenapa konvensional? Sebab, program kerja bakti itu sudah dilakukan zaman dahulu kala, dan di era kapitalis kayak begini sudah nggak cocok lagi.
Ah, masa nggak cocok?
Berhubung saya tinggal di kampung, di antara rumah-rumah dan gang sempit, saya merasa kerja bakti di abad informasi, Blackbarry, dan kapitalisme kayak begini masih cocok-cocok aja.
Bayangkan kalo nggak ada kerja bakti, selokan di rumah mampet. Akibat mampet, air hujan menggenang dan berkibat banjir. Mana ada yang mau rumah kita kebanjiran? Saya sih ogah.
Kebetulan rumah saya dekat dengan selokan -meski rumah saya berada di dataran tinggi dan nggak mungkin banjir-, tetapi saya sadar diri, tetangga merupakan aset. Tanpa hidup bertetangga, kita nggak bakal mendapatkan banyak pertolongan ini dan itu.
So, ketika surat kerja bakti hadir, saat langsung berpikir: ini momentum bersosialisasi atau bertetangga. Kalo sehari-hari nggak ada waktu ngobrol dengan tetangga (baca: cuma sekadar basa-basi ketika berpapasan dengan tetangga), karena pergi pagi dan pulang malam, maka kerja bakti menjadi ajang silaturahmi.
Ah, ternyata mereka baik-baik. Wajah mereka aja yang seram kayak preman (hitam legam) dan suara mereka keras-keras (ngomong biasa seperti berteriak), tetapi hatinya baik. Inilah yang membuat saya dan keluarga menikmati hidup di kampung, berdampingan dengan mereka yang kami yakin hidupnya serba kekurangan. Dengan berada di tengah-tengah mereka, kita selalu dipaksa menjadi orang yang rendah hati. Dan selalu punya prinsip hidup sederhana.
Saya tahu nggak semua tulus. Ada orang yang sirik dengan kita. Tetapi saya yakin, kalo kita konsisiten bersikap humble, mereka pasti respek dengan kita. Apa yang kita butuhkan, mereka pasti membantu.
Beda kalo Anda sok kaya di sebuah kampung kayak di kampung tempat saya berada. Sok memamerkan kekayaan, mobil mulus melewati gang sempit, dimana di situ ada orang-orang yang sedang nongkrong. Pamer harta-harta lain, dan yang menyebalkan nggak aktif dalam kegiatan kampung, wah orang macam ini pasti bakal dibenci oleh warga setempat. Padahal tetangga itu (sekali lagi) adalah aset. Orang yang paling dekat di samping kanan dan kiri kita adalah tetangga. Kalo ada musibah, yang paling membantu ya tetangga. Nah, apa jadinya kalo di kampung sendiri Anda sudah bersombong-sombong ria dan dibenci sebagian besar warga, sudah pasti ketika musibah datang, banyak warga yang ogah membantu. Tentu Anda nggak mau mendapatkan kejadian kayak begitu bukan?
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar