Kamis, 28 Januari 2010

DEMO 100 HARI PEMERINTAHAN SBY: ADA YANG BAWA KERBAU, BO!

Sepanjang demonstrasi, ada-ada saja ide yang digulirkan para demonstran. Saya sangat tertarik dengan ide-ide gila ketimbang bakar-bakaran ban mobil atau motor, mencorat-coret tembok, merubuhkan pagar kantor atau merusak milik umum, bahkan sampai timpuk-timpukan. Aksi-aski anarkis kayak begitu biasanya dilakukan oleh para demonstran atau mahasiswa-mahasiswa yang nggak kreatif.



Saya lebih suka melihat mahasiswa-mahasiswa kreatif, ketimbang mahasiswa yang cara demonstrasinya mirip kaum buruh atau orang-orang kelas bawah lain, yang merusak dan menjatuhkan citra sebagai kaum intelektual. Mohon maaf, saya sempat lihat liputan televisi, di salah satu daerah, segerombolan mahasiswa mencorat-coret mobil yang lewat dengan pilox. Ada pula yang menurunkan penumpang yang menggendarai mobil milik pemerintahan. Walah! Nggak simpatik banget sih! Norak! Nggak kreatif!

Anyway, berikut ini beberapa foto features hasil jepretan saya pada saat berlangsung demo 100 hari pemerintahan SBY di Jakarta kemarin. Memang saya nggak sempat merekam demonstran yang unik, karena kebetulan saya nggak seharian mengikuti demo, cuma setengah hari. Maklum, saya harus pergi ke kantor, soalnya lagi nggak cuti.

POSTER SBY DI PANTAT KERBAU

Seekor kerbau tiba-tiba dilepas di kolam bunderan Hotel Indonesia (HI). Ukuran tubuh kerbau itu cukup besar. Nggak heran seluruh pasang mata langsung tertuju pada aksi gokil ini, tak terkecuali satuan Brimop.



Bukan sekadar kerbau, tetapi yang menarik ada tulisan dan poster SBY di pantat kerbau itu. Tulisan di poster itu adalah: KAMI LAPAR! PEMUDA CINTA TANAH AIR. Ada dua pria yang sekujur tubuhnya ditaburi bahan warna putih yang menjadi "pengawal" kerbau. Seperti juga kerbau, di pantat mereka pun dipasangkan poster yang sama.

DEMO YA DEMO, JUALAN JALAN TERUS

"Alhamdulillah, ada aja yang beli, mas," kata salah seorang penjual handuk kecil mengomentari hasil jualannya selama demonstrasi.

Pedagang handuk kecil cuma satu di antara beberapa pedagang yang ada di seputar bunderan HI dan jalan-jalan yang dilalui oleh para demonstran. Mereka yang tergolong rakyat kecil ternyata lebih suka kalo ada demo, karena dagangan laku keras.



Pagi-pagi saja -sekitar pukul 09.00 wib-, beberapa gerobak dagangan sudah stand by di dekat bunderan HI, tepatnya di samping hotel Kempinski atau depan hotel Hyatt, Thamrin, Jakarta Pusat. Mau makanan apa saja, ada di situ. Mau ketoprak, mie ayam, sate padang, termasuk kacang rebus segala. Kalo Anda suka rambutan, ada juga gerobak penjual rambutan di situ.

Selain pedagang minuman dan makanan, yang juga laku didagangkan di sepanjang aksi demo adalah pedagang kaca mata dan topi. Hebat memang pedagang kaca mata ini. Dia punya intuisi bisnis yang gokil. Dia tahu kalo cuaca saat demo panas banget. Kalo panas, tentu mata akan silau. Jalan satu-satunya, ya pakai kaca mata. Di saat demo, harga kacama yang biasanya cuma 10 ribuan, dijual 15 ribu sampai 20 ribu perak.



Selain kacamata, topi juga afdol buat para demonstran yang merasa kepanasan. Daripada bawa payung, mending pakai topi. Si pedagang ngerti kalo topi buat demo modelnya kayak topi ekspedisi. Harga topi selama demo Rp 5.000.

Yang lucu, di antara pedagang itu ada yang menjual balon-balonan plastik warna merah putih. Setahu saya, balon model begitu biasa dipergunakan kalo ada pertunjukan musik, dimana dibawa oleh para penggemar band yang lagi manggung. Kalo mereka histeris, balon dari plastik itu ditepuk-tepukkan. Prok! Prok! Prok!

PATUNG TIKUS SEHARGA 500 RIBU PERAK

Gara-gara nggak puas dengan pemerintahan SBY, Pak Sugiyanto membuat sebuah patung, dimana di patung tersebut terdapat beberapa ekor tikus dan seekor raja tikus. Seperti kita tahu, tikus adalah sebuah simbol ketamakan, pencuri, dan mahkluk gesit tetapi culas.



Patung ini dijual seharga Rp 500 ribu. Pak Sugiyanto yakin, ukuran karya seni sebetulnya nggak layak dihargai dengan harga segitu. Tetapi patung para tikus dan raja tikus ini pasti bakal terjual dengan harga tinggi kalo bisa dijual ke Komisi Pembrantasan Korupsi yang disimbolkan sebagai "cecak". Lah, sebenarnya mau protes soal 100 hari SBY atau jualan patung sih, Pak?


HOBI NONTON DEMO

Namanya Ibu Ida. Usianya kira-kira sudah 60 tahunan. Saat saya ngobrol dengannya, ia sedang melihat barisan para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di samping hotel Kempinski. Wajahnya nggak menunjukan ketakutan, tetapi biasa saja.

"Saya mah tiap kali ada demo nonton," akunya. "Habis hobi sih!"



Sebagai seorang wanita tua, ia nampak cuek berada di tengah aksi demonstrasi. Ia mengaku tiap kali menonton demo selalu sendirian. Nggak ada tetangganya, termasuk keluarganya.

"Suami saya sudah meninggal. Anak satu-satunya pun sudah meninggal. Saya tinggal sendirian," jelasnya.

Ternyata hobi nonton demo ini sudah dilakukannya lama, yakni sejak demonstrasi Peristiwa Malari yang berlangsung di jalan Salemba. Peristiwa itu dikenal sebagai angkatan 66. Lalu pada saat Tragedi Semanggi tahun 1998, Ibu Ida juga sempat menjadi salah satu saksi mata.

Nggak apa-apa deh bu punya hobi nonton demo, daripada punya hobi korupsi? Makan duit rakyat triliuan rupiah. Atau punya hobi jadi maling, lalu berteriak ada maling...

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Rabu, 27 Januari 2010

POKOKNYA HARUS TERSEDIA SAMBAL GANDARIA

Begitulah permintaan Guruh Soekarnoputra pada pembantunya, bu Marmi setiap kali makan. Kalo enggak tersedia di meja makan, jangan harap Guruh mau makan.

Sudah sejak lama, Guruh tergila-gila sama sambal gandaria. Kira-kira sejak bu Fatmawati masih hidup. Ia bahkan tahu mana sambal yang di-blender (dibuat dengan alat blender) atau asli hasil ulekan pembantunya itu.

"Bahkan kalo pergi ke luar negeri, denmas selalu minta dibawakan sambel buatan saya," jelas Marmi. Yang dimaksud denmas nggak lain ya Guruh.


Tiga orang ini sudah puluhan tahun mengabdi di rumah Guruh. Ada yang dari bujangan, lalu saling pandang-pandangan dan kemudian jadi suami istri. "Selama denmas masih membutuhkan dan badan saya masih sanggup, saya akan terus mengabdi," kata bu Marmi.


Terus terang pada saat diceritakan soal sambal gandaria tersebut, saya penasaran. Apa sih yang membuat seorang anggota DPR periode 2009-2014 dan calon Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini tergila-gila dengan sambal gandaria itu? Beruntung banget saya ditawarkan bu Marmi ketika berkunjung ke markas Guruh di jalan Sriwijaya Raya no 26.

"Cobain ayam gorengnya juga, mas," tawar Marmi.

Ternyata sambal gandarianya memang Endang S. Taurina, bo! Ayam gorengnya pun mantabs punya. Entah gara-gara suka, saya sempat dibungkusin ayam goreng dan tentu saja sambal gandaria yang pedas-pedas merayu itu.

Selain sambal, Marmi membocorkan makanan kesukaan Guruh. Terus terang saya kaget mendengarnya, karena saya nggak menyangka. Anda tahu apa? jengkol dan pete. Meski nggak menjadi kewajiban sebagaimana sambal gandaria yang setiap hari harus tersedia, namun Guruh sangat suka makan jengkol atau pete.

"Apalagi jengkolnya dicolek sambal gandaria, enak banget!" aku Guruh.


Dari dulu sampai tahun 2010 ini, dapur di rumah jalan Sriwijaya Raya tetap sama. Di dapur ini bu Fatmawati Soekarno mengajari bu Marmi memasak. Dari dapur ini pula, lahir sambal gandaria.

Kegilaan Guruh pada sambal dan "makanan rumahan" memang nggak lepas dari nama Marmi. Wanita ini adalah pembantu yang sudah 35 tahun mengabdi pada Guruh. Luar biasa bukan? Ia mengaku sudah mengenal Guruh sejak masih remaja -saat ini Guruh berusia 57 tahun. Jadi kalo Marmi sudah bekerja 35 tahun, maka ia pertama kali berjumpa dengan anak bungsu Presiden RI ke-1 ini saat berusia 22 tahun atau tahun 1979.

"Saat itu saya sedang nyapu di halaman rumah ini," kata Marmi membuka kisah masa lalu. "Dahulu waktu belum jadi rumah tinggal, rumah ini sempat dijadikan kantor. Nah, bu Fat sempat bertanya apakah saya mau tetap bekerja? Ya saya jawab mau. Tugas saya katanya menjaga denmas Guruh."

Sejak itulah bu Marmi mulai bekerja menjaga Guruh. Ia menilai, sebagai Ibu Negara, bu Fat begitu telaten menjaga anak-anaknya. Ia bahkan mau menyuapi (memberi makan-pen) pada anak-anak mereka sendiri. Tugas bu Marmi hanya mendampingi bu Fat kalo kebetulan butuh sesuatu saat menyuapi.

"Menyuapinya pake tangan, lho," aku Guruh. "Padahal saat itu usia saya sudah 20-an tahun. Tapi saya masih disuapi, karena saya suka. Tangan Ibu itu, lho yang kayaknya makanan jadi terasa enak banget."


Ini yang namanya sambal gandaria yang digila-gilai oleh Guruh Soekarnoputra. Tanpa sambal buatan bu Marmi ini, Guruh ogah makan.

Ketika ditanya pendapat soal Guruh, mata bu Marmi berkaca-kaca. Ia bilang, Guruh itu baik sekali. Ia sangat peduli sekali dengan orang-orang kecil seperti dirinya. Padahal kalo dipikir, dengan statusnya sebagai mantan Presiden RI yang tersohor di dunia dan orang berada, Guruh nggak akan mungkin mau bergaul dengan orang selevel Marmi.

"Saya ini siapa sih mas?" ungkap Marmi. "Tapi gara-gara denmas baik sekali pada kami, maka kami betah kerja di sini. Rata-rata orang yang kerja di rumah denmas lebih dari sepuluh tahun. Saya sendiri sudah kerja 35 tahun."


Sekarang ini jarang banget ada pembantu yang mengabdi kayak bu Marmi ini, puluhan tahun kerja di satu majikan. Yang ada paling mentok tiga tahun kerja sudah nggak betah. Maklum, yang dipikirkan sekarang bukan kerja, tetapi gaji. Wajar sih...

Kalo dengar lamanya bekerja, saya jadi ingat para abdi dalam yang bekerja di keraton. Mereka nggak peduli digaji berapa, sing penting bisa mengabdi pada raja. Nah, tipikal Marmi juga begitu. Ia kayak mengabdi pada Guruh. Kebetulan pula, masakan yang dibuat Marmi semua disukai oleh majikannya itu. Salah satunya sambal gandaria yang mak nyos!

"Selama denmas masih membutuhkan saya, saya pasti akan siap kerja," akunya. "Kecuali badan saya sudah nggak sanggup lagi, barangkali saya akan pensiun."

Saat ini, bu Marmi tinggal di sebuah paviliun di belakang rumah Guruh. Rumah tinggal sebenarnya di Ciputat. Di Sriwijaya ini ia tinggal bersama suaminya yang pensiunan itu. Sementara anak-anaknya yang sudah besar-besar tinggal di Ciputat.

Saya sempat diperlihatkan ruang tidur bu Marmi yang dari dahulu, sejak bu Fat masih hidup, nggak berubah. Meski terlihat tua dan "kumuh", namun Bu Marmi bilang, hampir semua selebriti lulusan Swara Mahardhika atau GSP sempat mampir ke paviliunnya.

"Kalo mas Erot (maksudnya Erot Djatot-pen) datang, dia pasti langsung ke kamar ini dan manggil-manggil saya. Masak apa, Mi?"

Paviliun bu Marmi persis di sebelah dapur. Menurut bu Marmi dan karyawan lain, sejak dulu dapurnya nggak pernah berubah. Paling-paling ditambah sedikit kipas angin kecil dan exhaust. Menurut bu Marmi, di dapur itu, ia diajarkan beberapa masakan Sumatera oleh Bu Fat yang asli Bengkulu itu.

"Salah satunya daging dan jengkol balado kesukaan denmas," ungkap bu Marmi.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

BERKUNJUNG KE MARKAS CALON KETUA UMUM PDIP

Rumah bercat putih itu tak berubah sejak 40-an tahun lalu, ketika beralih fungsi dari kantor menjadi rumah tinggal Fatmawati. Baik jendela, maupun struktur bangunannya tetap sama. Meski di sekeliling rumah yang berada di jalan Sriwijaya Raya no 26, Kebayoran Baru ini sudah banyak rumah, namun tetap saja asri, karena di sekelilingnya masih tumbuh pepohonan yang meneduhkan.

Di teras rumah, dimana terdapat bangku dan meja klasik, terdapat beberapa orang. Mereka adalah tamu calon Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang akan "bertarung" di Kongres Bali pada April nanti. Siapa lagi kalo bukan Guruh Soekarnoputra. Alhamdulillah, di tengah kesibukannya menghimpung kekuatan di pengurus cabang di daerah-daerah, saya dan teman-teman tvOne berhasil menjumpai pria yang akrab disapa mas Guruh ini.











Struktur bangunan dari dulu sampai sekarang masih belum diubah.

Bagi Guruh, fokus utama saat ini memang pencalonan dirinya menjadi Ketua Umum PDIP periode 2010-2015. Meski sebelumnya sempat meramaikan pencalonan sebagai Ketua Umum PDIP dan kalah dengan kakak kandungnya, Megawati Soekarnoputri, namun tekadnya buat menjadi Ketua Umum belum padam. apalagi Mega sendiri sudah merestui keinginan Guruh jadi Ketua Umum PDIP. Maklum, menurut info, mantan Presiden RI ke-5 itu ingin istirahat. Ia sudah 17 tahun memimpin partai berlambang moncong putih. Usianya pun nggak muda lagi, yakni 63 tahun.

"Ini panggilan hati," kata Guruh yang saat ini tercatat masih menjabat Ketua DPP PDIP. "Saya sedih melihat kondisi bangsa ini yang masih jauh dari apa yang kita harapkan. Bahkan yang memilukan budaya kita sudah jauh ditinggalkan oleh bangsa kita sendiri. Oleh karena itu, saya ingin berjuang lewat kebudayaan. Salah satu alat perjuangan saya ya lewat partai politik."

Terlahir dengan nama Muhammad Guruh Irianto Soekarnoputra di Jakarta, 13 Januari 1953. Ia adalah anak bungsu dari pasangan Presiden pertama RI, Soekarno dan Fatmawati. Sebelum terjun ke dunia politik, Guruh dikenal sebagai pendiri Gencar Semarak Perkasa atau dikenal dengan nama GSP Production, yang sebelumnya mendirikan Swara Mahardhika.


Guruh dan kedua orangtuanya: bung Karno dan bu Fatmawati.

Anggota DPR periode 2004-2009 dan 2009-2014 ini juga sempat mendirikan grup musik bernama Guruh Gypsy dan Gang Pegangsaan bersama Keenan Nasution, Abadi Soeman, dan Chrisye. Ia sempat menikah dengan wanita asal Uzbekistan, Gusyenova Sabina Padmavati atau yang akrab disapa Sabina.

Selain membahas soal politik dan pencalonan dirinya, saya juga membahas masalah seputar rumah dan pribadinya. Maklumlah, saya baru pertama kali ke rumah yang sempat ditinggali oleh Ibu Fatmawati. Bahkan konon rumah di Sriwijaya ini merupakan hadiah Soekarno pada istri keduanya itu.

Di antara istri-istrinya, Fatmawati memang istri Soekarno yang konon paling "spesial". Kenapa "spesial"? Pertama, ketika ingin meminang Fatmawati, ada satu syarat yang harus dilakukan Soekarno, yakni Fatmawati nggak ingin dimadu. Ia akan menerima Soekarno kalo sudah menceraikan Inggit secara baik-baik.


Bu Fatmawati sempat mensyaratkan Presiden Soekarno kalo mau mengawini dirinya, yakni menceraikan secara baik-baik bu Inggrit.

Soekarno kemudian minta pendapat dari rekan seperjuangannya, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansyur. Awalnya bingung juga. Tetapi salah satu keinginan Soekarno ingin meminang Fatmawati adalah, karena keturunan. Setelah 18 tahun menikah, belum mendapatkan putra. Akhirnya pada 1943, Soekarno menikahi Fatmawati. Saat itu, usia Fatmawati 19 tahun, dan Soekarno 41 tahun. Dari pernikahan tersebut, terlahir lima anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.



Ruang para penari GSP di rumah jalan Sriwijaya kalo yang di jalan Wijaya penuh (foto kiri). Kotak sumbangan yang ada di pojok ruang penari (foto kanan).

Sudah beberapa puluh tahun ini, rumah di Sriwijaya ditempati oleh Guruh. Beberapa anggota Swara Mahardika atau GSP seringkali ke rumah ini. Bahkan kalo tempat latihan tari di jalan Wijaya, Jakarta Selatan penuh, para penari GSP latihan di rumah ini. Kebetulan di rumah ini ada sebuah ruang berukuran 10x10 m.

Ruang tempat latihan tari ini berada di sayap kiri rumah. Para penari bisa langsung masuk tanpa harus melewati teras maupun ruang tamu utama rumah ini. Kalo lewat "dalam" rumah, kita akan melewati beberapa ruang yang di hampir seluruh ruang itu terdapat barang-barang antik. Di ruang tamu, misalnya. Selain seperangkat sofa, ada sebuah meja, dimana di atas meja terdapat dua buah patung dan dua buah foto, yakni foto Guruh semasa muda dan Soekarno yang sedang memegang tangan pengemis. Di atas meja terdapat sebuah lukisan Guruh saat bersama kedua orangtuanya.

Yang paling sakral adalah sebuah ruang yang berada setelah ruang tunggu. Sebenarnya nggak tepat juga disebut ruang, karena lokasinya terbuka. Begitu masuk ke dalam rumah, setelah pintu masuk, maka kita akan melihat sebuah gebyok berukiran kayu berwarna dominasi hijau yang menempel ke tembok. Uniknya, di tengah-tengah ukiran tersebut terdapat sebuah tempat yang disekat oleh kaca. Di dalam tempat itu ada beberapa bantal dan guling bertumpuk. Ada dua patung sepasang pengantin dan dua buah guci berwarna putih dengan ukiran biru. Menurut asisten Guruh, tempat itu ada "penunggu"-nya, yakni titisan Nyi Roro Kidul.



Grand piano yang ada di ruang tengah (foto kiri). Konon di tempat ini Dorce sempat kemasukan roh Bung Karno.

"Tolong jangan diambil gambarnya di area ini ya mas," pesan asisten Guruh menasehati kami agar jangan mengambil gambar yang terdapat gebyok. "Karena pernah ada kejadian yang nggak kita inginkan kalo melanggar".

Namun begitu ditanyakan ke Guruh lagi, yang dilarang adalah memfoto atau shooting secara frontal di depan gebyok kayu itu. Karena menurut Guruh, di dalam kaca terdapat benda-benda pusaka peninggalan Soekarno dan bu Fatmawati.

"Cuma saya yang bisa merasakannya," kata Guruh.

Terus terang saya penasaran dengan cerita asisten Guruh soal Nyi Roro Kidul. Bukan bermaksud menantang, saya mencoba mengabadikan tempat itu sebagai kenang-kenangan. Dengan membaca bismillah dan ayat kursi, saya pun difoto dengan background tempat yang dikatakan terdapat pusaka-pusaka peninggalan Soekarno dan Fatmawati. Tetapi maaf saya nggak bisa publikasikan foto saya ini.


Batik-batik koleksi Guruh yang dipajang di dekat ruang makan.

Setelah ruang gebyok kayu, terdapat ruang makan. Kedua ruang ini dipisah oleh sebuah partisi kayu yang masih asli. Di samping ruang makan, terdapat sebuah grand piano. Di atas grand piano ada dua buah piala dan sebuah foto, yakni foto Soekarno dan Fatmawati. Konon pada saat Dorce berada di dekat piano, ia kesurupan. Suara dan kelakuannya ala Soekarno. Ada-ada aja! Pasti pada saat masuk rumah nggak Assala mu'alaikum, ya "penunggu"-nya jelas marah. Apalagi jenis kelamin Dorce nggak jelas.

Di antara ruang makan dan piano, ada ruang khusus memperlihatkan batik-batik nusantara. Ada batik yang masih berupa selendang dan dilipat. Ada batik yang sudah dibuat kemeja.


Mejang dulu bareng Guruh.

Setelah dikasih unjuk ruang-ruang di dalam rumah jalan Sriwijaya ini, barulah kita bisa melihat para penari GSP berlatih menari. Di pojok tempat menari, ada sebuah kotak besar, yakni kotak sumbangan uang dari siapa saja, dimana di depan kotak itu terdapat tulisan DANA GOTONG ROYONG PANCASILA.

"Uang ini akan dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan," kata Guruh.

Tur saya bersama Guruh sampai di ruang tempat menari. Menurut Guruh, mereka sedang latihan buat sebuah pergelaran. Sebenarnya saya ingin sekali menari, tetapi beruntunglah keinginan saya nggak sempat direalisasikan. Sebab, kalo saya menari, formasi yang dibuat oleh koreografer bakal rusak. Kalo rusak, saya bisa-bisa dicubitin oleh semua penari. Ah, masa tahan?!


all photo copyright by Brillianto K. Jaya

Minggu, 24 Januari 2010

HUKUM RIMBA DI JALAN RAYA

Sebuah billboard gede terpampang di pojok jalan antara jalan HR. Rasuna Said dengan jalan Satrio Casablanca. Selama ngider-ngider di Jakarta, setahu saya billboard yang berisi himbauan pada para penggendara bermotor cuma satu-satunya.



Billboard himbauan menghormati pejalan kaki dan penggowes sepeda kayak begini cuma satu. Saya jadi berpikir negatif, yang menghimbau kayaknya nggak terlalu niat menggangkat derajat pejalan kaki dan penggowes agar dihormati. Kalo niat, bukan cuma satu billboard, tapi banyak. Kalo dirasa kemahalan, ya bikin poster, pin, atau spanduk, ya nggak?

Dalam billboard itu tertulis: JANGAN RAMPAS HAK PEJALAN KAKI DAN PESEPEDA. Himbauan tersebut berdasarkan undang-undang lalu-lintas angkutan jalan raya (UU LLAJ) 284 no 22/2009 yang dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan(Dephub).

Selama ini memang para penggendara bermotor kuran banget menghargai pejalan kaki dan penggowes sepeda. Cobalah tengok di jalan raya. Penggendara bermotor seenaknya mengendarai motor di trotoar. Entah si penggendara motor itu goblok atau tolol, nggak tahu kalo yang namanya trotoar khusus buat pejalan kaki. Udah menggunakan hak pejalan kaki, eh masih klakson-klakson orang yang lagi jalan di trotar itu pula, berharap pejalan kaki mau minggir. Gokil nggak tuh?


Kalo semua jalan kayak begini, sudah dipastikan pejalan kaki akan berjalan di jalan raya, dan sudah dipastikan pula kemacetan akan terjadi. Kenapa Pemda nggak mencari solusi kayak relokasi yang dilakukan di jalan Sabang, Jakarta Pusat ya?

Kelakuan penggendara mobil lain lagi. Merasa nanggung, mereka yang mau menyeberang jalan nggak dikasih jalan. Padahal si penyebrang jalan sudah menyeberang dengan baik, yakni di zebra cross. Nggak heran di negara kita tercinta ini, kalo mau menyebarang kudu berani menerobos laju kendaraan. Ya, risikonya memang vatal, tetapi seringkali butuh kenekatan kayak begitu.

Kalo di luar negeri, saking menghormati pejalan kaki dan penggowes sepeda, mereka yang menggunakan kendaraan bermotor kudu berhenti beberapa meter dari mereka. Ini bertujuan agar memberikan kesempatan mereka jalan. Nggak usah jauh-jauh di Eropa deh, di Malaysia aja. Beda banget dengan di Indonesia. Sebisa mungkin kalo ada celah buat ngebut, ya ngebut lah, apalagi penggendara motor, wah nggak usah ditanya deh kelakuannya.


Pemandangan kayak foto di atas ini sudah lazim di Indonesia. Hebatnya nggak ada satu aparat pun yang menegur mengenai hal ini.

Memang, banyak pejalan kaki yang nakal juga. Sudah dibuatkan jembatan penyeberangan, eh masih aja meloloskan diri lewat pagar. Alasannya, lebih efisien, efektif, dan nggak cape. Nggak heran, banyak pagar-pagar di bawah jembatan penyebarangan yang besi-nya "ompong". Itu ulah mereka yang pengen membuat jalan mulus tanpa harus lewat jembatan penyeberangan.

Back to trotar's problem yang dirampas oleh kendaraan bermotor. Bahwa belakangan, trotar digunakan buat parkir motor maupun mobil. Alasan si pemilik kendaraan bermotor, terlalu jauh parkirnya. Mending parkir di trotar dekat kantor. Toh, di jalan tersebut nggak ada tanda "P CORET" alias dilarang parkir.


Lokalisasi warung kaki lima di Sabang, Jakarta Pusat. Lihatlah trotoar di depan lokalisasi tersebut, bersih! Coba semua tempat melakukan hal ini sebagaimana jalan Sabang.

Kalo trotar sudah dipakai parkir, lain lagi dengan para pedangan warung tenda. Mereka ini sudah dari dulu mendirikan tenda di atas trotar. Nggak di kota-kota besar, di kota kecil pun sudah ikut-ikutan tren berdagang di trotoar. Seperti juga pemilik kendaraan bermotor, para pedagang ini punya alasan: (1) nggak disediakan tempat buat berjualan oleh pemerintah daerah; (2) kalo pun ada, lokasinya nggak strategis; atau (3) lokasi strategis yang disediakan terlalu mahal. Walah!

Pemerintah daerah (Pemda) setempat sebenarnya yang bertanggungjawab dengan eksistensi para pedagang yang menggunakan trotoar sebagai tempat jualan. Memang sih saya merasa perlu keberadaan para pedagang tenda itu, tetapi bukan berarti harus menggunakan trotar dong!



Ini lokalisasi yang dilakukan Bank Syariat Mandiri cabang Thamrin, Jakarta Pusat. Para pedangan baru maupun lama disatukan di satu lokasi seolah mejadi satu lokasi kuliner.

Di kawasan Menteng, Jakarta Pusat contoh. Dalam hal ini pihak Walikota Jakarta Pusat berhasil mendapatkan solusi dengan memindahkan seluruh pedagang-pedagang tenda di sebuah lokasi tanpa menggunakan trotoar. Ada tanah kosong yang disewa oleh Pemda yang cukup merelokasi para pedagang. Jadi, tanpa meninggalkan lokasi strategis di Sabang, para pedagang tetap meraih keuntungan.

Bahkan di sekitar situ, Bank Syariah Mandiri cabang Thamrin, Jakarta Pusat pun punya ide cemerlang, dengan memanfaatkan jalan samping gedung buat menghimpun para pedagang kaki lima di sekitar jalan Sabang. Walhasil, selain jalan Sabang nggak kumuh, enak dipandang, juga sedikit mengurangi kemacetan. Maklumlah, saat masih banyak pedagang di pinggir trotoar, space parkir buat kendaraan bermotor jadi terpakai. Akibatnya, pada saat mereka ingin parkir harus melambatkan kendaraannya saat menyusuri jalan dan itu berimbas pada kendaraan di belakangnya.

Solusi soal "perampasan" jalan bagi pejalan kaki dan penggowes sepeda belum dilakukan di semua tempat. Padahal ada yang menarik pada himbauan di billboard itu. Di akhir copywriting di billboard itu tertulis dengan indah: KESADARAN KITA, KESELAMATAN SEMUA. Maksud dari Dephub dengan tagline itu sebenarnya baik. Tetapi selama ini yang terjadi di lapangan jarang sekali kita nggak sadar-sadar. Pejalan kaki maupun penggowes sepeda nggak dianggap. Walhasil, sampai detik ini hukum yang ada di jalan raya bukan undang-undang, tetapi hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang menang.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

NASIB RUMAH-RUMAH TUA DI JALAN SALEMBA

Jumlah rumah tua peninggalan zaman Belanda di Salemba ternyata masih banyak. Meski nggak begitu akurat, namun kalo saya hitung pakai jari, setidaknya ada sekitar 10 rumah tua masih kokoh berdiri. Di jalan Salemba Raya saja ada sekitar lima rumah yang masih ditempati. Tentu saja bukan ditempati oleh pemilik asli, tetapi kebanyakan oleh keturunannya.

Sebut saja rumah yang ditempati oleh Pak Soeseno yang berada di Salemba Tengah no 15, Jakarta Pusat ini. Sebelum ayahnya meninggal tahun 60-an, ada warga Tionghoa yang sempat menempati rumah rumah ini. Padahal, akunya, setelah Belanda diusir dari Indonesia tahun 1943, ayahnya yang mantan Direktur Jendral Departemen Penerangan zaman Soekarno yang berhak menempati rumah ini.

"Nggak heran kalo rumah ini sekarang jadi rumah sengketa antara keluarga kami dan etnis Tionghoa itu," jelas Pak Soeseno yang kini berusia sekitar 62 tahun ini.



Sambil menunggu pembeli, rumah tua di Salemba Tengah ini dipergunakan sebagai tempat aerobik dan body language.

Gara-gara sengketa, rumah itu dikuasai oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta bidang perumahan. Nggak heran setiap bulan, Pak Seno kudu menyetor uang sekitar Rp 500 ribu ke kas Pemda yang ada di sekitar Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebagai uang sewa tinggal. Itu baru uang sewa, sementara Pak Seno kudu membayar uang NJOP sebesar Rp 5 juta.

Sebagai pensiunan Departemen Keuangan tahun 2000, Pak Seno merasa berat. Nggak cuma uang buat bayar NJOP, tetapi buat sewa bulanan saja sudah dirasa nggak mampu. "Berapa sih uang pensiunan pegawai negeri?"

Pak Seno memang nggak berkutik dengan kasus sengketa ini. Awalnya saya heran, kalo memang rumah ini seharusnya menjadi hak keluarganya, karena dahulu dimiliki oleh sang ayah, mengapa jadi sengketa? Apalagi ketika saya lihat di tembok depan rumah terdapat tulisan almarhum ayahnya Pak Seno yang bernama Pak Mohammad Soeleman. Ternyata sejak dahulu, ayahnya nggak membuatkan rumah ini sertifkat hak milik.

"Yang punya sertifikat justru orang Tionghoa yang saya bilang tadi," jelas Pak Seno, yang memutuskan nggak menikah sampai sekarang ini. Oalah! Itu ternyata masalahnya!



Rumah Pak Seno tampak depan. Gara-gara rumah ini berstatus sengketa, Pak Seno yang lahir dan dibesarkan di sini masih menyewa rumah ini sampai sekarang dan membayar NJOP.

Ketika saya selidiki, pemilik sertifikat itu atas nama Marjono Lingga, yakni pemilik NV Tjitajam (maksudnya Citayem, Bogor). Di surat keterangan bertanggal 5 Agustus 1976 itu tertulis, Pak Marjono tinggal di jalan Pecenogan no 31, Jakarta Pusat. Status kepemilikan rumah itu pun bukan hak milik Pak Marjono sepenuhnya. Tetapi ia cuma punya sertifikat hak guna bangunan (HGB) bernomor 102/ Salemba no 255 tahun 1907. Sementara Pak Soeleman, ayah Pak Seno, cuma diberikan wewenang buat tinggal dengan cara menyewa rumah yang lokasinya dekat dengan rumah sakit MH. Thamrin, Salemba ini.

Ketika pertama keli ditempati, luas rumah ini 1.280 m2. Namun berkat pelebaran jalan buat jalan pinggir kali, yang persis di samping sayap kanan rumah, tanahnya kini tinggal 727,70 m2. Sementara luas bangunannya adalah 253 M2.

"Beberapa waktu lalu saya dapat kabar, Pemda akan memperluas kali di samping rumah, sehingga bisa jadi tanah rumah ini akan diambil lagi," jelas Pak Seno yang tinggal di rumah itu bersama ketiga kakaknya yang sudah sepuh-sepuh itu.



Rumah Pak Seno tampak dari dalam. Semua masih asli, termasuk ubinnya.

Kini Pak Seno tinggal tunggu nasib aja. Maksudnya, kalo pihak Pemda masih berbaik budi, dia masih diizinkan buat tinggal di rumah sengketa itu. Namun, ia mengaku, sebenarnya sudah cukup berat harus membayar Rp 500 ribu per bulan dan membayar Rp 5.172.776.

Nasib yang sama juga terjadi pada rumah-rumah tua di jalan Salemba lain. Ada satu rumah tua persis di pinggir jalan Salemba Tengah Baru yang sudah berberapa kali ditawar oleh pengusaha kos agar dijual. Hebatnya si pemilik rumah tua ogah melepas rumah peninggalan Belanda itu. Rupanya ia nggak tergiur dengan uang.

"Desakan agar menjual rumah nggak sekali dua kali, tetapi berkali-kali," ujar pria yang nggak mau disebutkan namanya, yang kini menjadi tukang kebun sekaligus penjaga rumah di Salemba Tengah Baru itu.

Pernah kejadian, pengusaha kos-kosan di belakang rumah menabrak pagar rumah tua tersebut. Si pemilik rumah tua nggak terima, si pengusaha kos pun nggak terima. Ia langsung memperkarakan ke polisi. Saat memperkarakan masalahnya, lagi-lagi ia mendesak pemilik rumah tua agar menjual rumahnya. Untunglah, pemilik rumah tua ini juga banyak kenal polisi. Masalah pun kelar.






Rumah tua persis di ujung jalan Salemba Tengah Baru (foto kanan). Sudah berkali-kali ditawar agar sudi dijual. Untunglah si pemilik nggak tergiur oleh uang. Pemilik kos mewah ini (foto kiri) yang berada di belakang rumah tua, yang masih tetap penasaran buat membeli rumah tua di depan kos-kosan itu.

Saat ini di jalan Salemba memang terdapat kampus, yakni Bina Sarana Informatika (BSI). Biasalah, dimana ada kampus, biasanya banyak kos-kosan. Nah, rupanya banyak pengusaha yang ingin mengambil celah bisnis kos-kosan ini. Ada juga sih pemilik kos yang memang asli rumahnya di sekitar Salemba. Namun biasanya kaum pendatang yang menjadi "pengacau", yakni dengan menyulap perumahan sebagai tempat tinggal menjadi kos-kosan.

Tentu kalo tidak merubah peruntukan pemukiman atau struktur bangunan, ya no problemo. Tetapi kalo sampai membongkar bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda yang memiliki nilai historis, barangkali kaum pendatang model begini kudu dilenyapkan dari muka bumi ini. Yaiyalah! Mereka pasti cuma memikirkan uang, ketimbang konservasi bangunan tua. Buat mereka, nggak ada manfaatnya mempertahankan nilai historis. Lebih baik berbisnis, lupakan masa lalu. Begitulah kapitalis.

Anyway, sifat kapitalis mereka yang nggak peduli dengan nasib bangunan-bangunan tua nggak 100% salah juga. Sebab, bukan tanggung jawab mereka juga menjaga bangunan-bangunan tua agar tetap lestari. Di sini ada juga tanggung jawab moral dari pihak Pemda. Kalo Pemda pikir, kita tetap butuh sejarah, maka bangunan-bangunan yang memiliki nilai historis nggak akan dipugar atau diberikan pada pengusaha yang nggak peduli dengan yang namanya konservasi.

Pemda justru seharusnya melindungi para pemilik bangunan. Caranya? dengan memberikan keringanan pajak atau bahkan kalo perlu mensubsidi renovasi. Itu kalo Pemda pikir sejarah itu penting, lho. Kalo enggak, ya bangunan-bangunan di Salemba memang tinggal tunggu nasib aja, deh.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Sabtu, 23 Januari 2010

GIMANA NGGAK MO KENA AIDS?

Kalo bukan karena sebuah headline, saya nggak mungkin beli koran Bali Post. Mohon maaf, bukan karena saya nggak suka pada harian yang sudah diterbitkan di Bali sejak 16 Agustus 1948, juga bukan karena saya nggak suka baca Koran. Tetapi kebetulan saya nggak pernah berjumpa dengan Bali Post. Nah, mumpung lagi jalan-jalan ke Bali dan kebetulan di sebuah mini market saya melihat sebuah headline yang bikin saya geleng kepala, ya saya belilah koran Bali Post.

Di Tabanan, Siswi SMP dan Pejabat Positif HIV

Begitulah headline di Bali Post terbitan Rabu Wage, 6 Januari 2010. Barangkali buat Anda, headline itu biasa aja. Nggak penting! Tapi buat saya, ini sangat mengawatirkan. Betapa tidak, dalam liputannya, dilaporkan kasus HIV/ AIDS di Tabanan setiap tahun terus mengalami peningkatan. Bahkan di tahun 2009 lalu, peningkatannya cukup tajam.


Monumen bom Bali. Ternyata belum kapok dan menjadikan bule dan warga setempat insyaf untuk tidak melakukan kemasiyatan.

Menurut Sekretaris Komisi Penganggulangan AIDS (KPA) Tabanan, I Ketut Ramdom, total penderita HIV/ AIDS di Tabanan sampai dengan Agustus 2009 lalu mencapai 141 kasus. Rinciannya, mereka terinfeksi virus HIV sebanyak 50 orang, sedangkan yang positif terkena AIDS sebanyak 91 orang. Sementara itu yang meninggal tercatat 21 orang.

Anda tahu apa penyebab utama kasus HIV/ AIDS ini? Nggak lain nggak bukan akibat hubungan seks. Di koran Bali Post tercatat seorang ibu rumah tangga yang nggak pernah berganti-ganti pasangan sebelum married menjadi korban suami, gara-gara sang suami dahulu sering berhubungan dengan banyak wanita, dan diduga ada wanita yang menularkan HIV pada sang suami.

Selain ibu rumah tangga, yang membuat kepala saya pusing adalah seorang siswi SMP kelas II salah satu sekolah di Tabanan juga terinfeksi virus HIV. Kabarnya, siswi SMP ini telah melakukan hubungan seks berkali-kali dengan sejumlah pria dewasa maupun teman sekolahnya. Luar biasa bukan?

Ada lagi seorang Satpam dari salah satu desa di Tabanan yang tertular, karena pernah berhubungan dengan bule. Lho, berhubungan dengan bule kok tertular? Yaiyalah kalo bulenya memang sudah terinfeksi HIV gimana? Apalagi menurut Satpam itu, bule yang pernah berhubungan badan dengannya itu kini sudah meninggal dunia gara-gara HIV/ AIDS. Edannya, bule yang meninggal ini punya pacar dan belakangan diketahui sudah meninggal pula. Halah! Mampus nggak, tuh?! Kini, tinggal si Satpam menunggu beberapa waktu lagi buat meninggal. Astagfirullah!


Mencari Pekerja Seks Komersial (PSK) mudah. Tinggal siapkan uang, "barang" datang. Yang menawarkan di pinggiran jalan banyak, kok.

Mengerikan sekali kalo kita meninggal dunia cuma gara-gara HIV/ AIDS, bukan?
Yang paling menyedihkan, di koran Bali Post juga dikabarkan, ada seorang Pemangku dari kecamatan Penebel, tertular virus HIV. Menurut warga setempat, Pemangku ini seringkali berhubungan badan dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) atau para wanita pekerja di kafe. Gokil abis!


Gara-gara terbiasa melihat bule hidup bebas, warga sekitar pun mencontoh. Ujung-ujungnya uang. Peningkatan wisata, ya buat devisa negara. Soal moralitas, masa bodoh!

Sebenarnya peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS sudah bisa diduga. Artinya nggak mengherankanlah. Wong kehidupan sehari-hari sudah bebas merdeka begitu, kok, ya wajar aja. Itu baru di daerah Tabanan, bagaimana di Kuta.

Ketika bom Bali meletus. saya pikir orang-orang bule atau warga sekitar Kuta insyaf alias kapok melakukan kemaksiatan: mabuk-mabukan sampai kemudian melakukan hubungan seks, menjual diri dengan bergonta-ganti pasangan, merajah tubuh mereka dengan tato, dan lain-lain. Eh, ternyata sampai detik ini, mereka tetap aja asyik ber-party. Lupa kalo tempat itu pernah di-bom dan menewaskan ratusan orang. Dan kebetulan pemerintah daerah (Pemda)sendiri tetap meng-"halal"-kan aroma kemasiyatan dengan dalih peningkatan pariwisata. Kalo mind set-nya udah begitu, ya gimana nggak mo kena AIDS?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

PARA PENGGOWES DARI COPENHAGEN, DENMARK

Orang Indonesia itu udah terlanjur nyaman. Bahasa Jawa-nya, comfort zone. Begitu sudah terbiasa duduk di kursi empuk di dalam mobil yang berpendingin udara, udah ogah lagi berkeringat-keringat ria dengan bersepeda.




Ada yang beralasan, Indonesia itu terlalu panas buat naik sepeda. Nggak kayak di luar negeri, udaranya dingin. Kalo di Indonesia udaranya dingin, baru mau naik sepeda. Ada juga yang beralasan, nggak praktis. Alasan-alasan itu sebenarnya cuma dibuat-buat aja. Kenapa? Niat dasarnya memang udah mendapatkan comfort zone, sehingga malas buat merubah kebiasaan yang sebetulnya baik.

Padahal di mana pun di dunia ini, pasti ada orang yang punya seribu alasan buat menolak naik sepeda. Mau di negaranya dingin kek, panas kek, pasti ada orang-orang yang memang masuk ke kategori confort zone.



Barusan saya menggunjungi website www.copenhagencyclechic.com. Saya kembali ngiri melihat bagaimana warga negara sana menggowes sepeda. Saking terbiasa menggowes, mereka tetap gaya dengan mode pakaian atau sepatu bermerek sambil bersepeda. Kalo di Indonesia, mana ada wanita mengenakan sepatu atau tas Louis Vuitton naik sepeda?

Jumat, 22 Januari 2010

MASUK HOLLYWOOD BUKAN MIMPI LAGI!

Perawakannya nggak menampakkan dirinya adalah seorang Sutradara profesional. Gaya bertuturnya pun menurut saya nggak cukup mencerminkan ia termasuk satu dari sekian sutradara non-Amrik yang berhasil menembus Hollywood. Namun ukuran fisik tersebut langsung sirna begitu tahu kalo wanita berdarah Ambon ini berhasil menembus Hollywood. Bukan karena anak konglomerat, tetapi hasil kerja keras.


Nyong Ambon yang membanggakan bagi bangsa Indonesia. Bukan karena anak konglomerat, tetapi semua hasil dari kerja keras, ia mampu menembus Hollywood

Dia bernama Jane Lawalata. Buatnya, menembus "jantung" perfilman dunia yang bernama Hollywood bukan lagi sebuah mimpi. But it's real. Oleh karena itulah pada 6-7 Februari 2010 nanti, ia ingin memberikan pengalaman pada para film maker di Indonesia. Bahwa semua film maker punya kesempatan yang sama buat menembus Hollywood, termasuk orang Indonesia seperti Jane ini. Pengalamannya tersebut akan di-share melalui sebuah workshop berjudul plus kompetisi membuat film berjudul Masuk Hollywood Bukan Mimpi.

Jane adalah lulusan jurusan sinema Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Editor. Kelar dari IKJ, ia bekerja di bagian produksi televisi RCTI dan TransTV. Ternyata bekerja di dua stasiun televisi hiburan terbesar di Indonesia ini nggak membuat dirinya nyaman. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus bergejolak. Ia harus bisa menembus jantung perfilman Hollywood, Amrik.

Berbekal tekad yang kuat serta tabungannya selama nge-job dan uang pemberian keluarga dari penjualan rumahnya, sekitar 25 ribu US$, Jane memberanikan diri merantau ke Amrik. Di sana ia ingin memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai dunia film di New York Film Academy (NYFA). Kalo di IKJ mengambil jurusan editing, maka di NYFA ini ia mengambil jurusan produksi secara menyeluruh.

Di NYFA, ia kuliah selama setahun, dimana biaya kuliahnya sekitar 18 ribu dolar. Tadinya ia berpikir akan nyambi alias mencari pekerjaan sambil kuliah guna mengisi kantongnya. Maklumlah, Jane bukan orang kaya. Kebayang, uang tabungan yang 25 ribu dolar langsung sisa 7000 US$.

"Tapi saya memutuskan buat fokus kuliah," kata Jane. "Ngeri kalo kuliah nyambi sambil kerja jadi keteteran dan nggak fokus."

Kelar setahun kuliah produksi, Jane mengambil workshop mengenai scriprtwritting, dimana tuition-nya kurang lebih 2500 US$. Jane sengaja mengambil scriptwriting, bukan editing atau directing.

"Ngapain juga ngambil jurusan yang sama," aku Jane memberi alasan mengapa mengambil jurusan scriptwriting (penulisan skenario) ketimbang editing atau directing (penyutradaraan). "Menurut saya sebagai Editor sedikit banyak sudah menguasai teknik penyutradaraan, makanya saya memilih jurusan penulisan skenario."


Poster workshop, dimana Jane menjadi keynote speaker. Bahwa menembus Hollywood bukan cuma mimpi. Semua film maker di Indonesia bisa seerti Jane dan punya kesempatan yang sama.

Menurut Jane, skenario sangatlah penting. Sudah jelas, tanpa skenario, nggak akan mungkin film bisa diproduksi. Lebih dari itu, dasar dari semua film yang bagus adalah skenario yang bagus.

"Mau pakai teknologi secanggih apapun, kalo ceritanya nggak kuat, ya sebuah film nggak akan menarik," jelas Jane.

Jane mengakui, belum ada lagi film Indonesia yang ditonton. Padahal saya ingin sekali mendengar contoh film nasional yang ceritanya bagus dan sebenarnya layak menembus Hollywood. Ia cuma berkomentar soal film yang terakhir ditontonya, yakni Denias, Senandung di Atas Awan karya sutradara John de Rantau dan diproduseri oleh Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale.

"Sebenarnya filmnya bagus, namun ceritanya sangat membosankan ya," ucapnya. "Banyak elemen yang belum tergarap, termasuk daerah Irian Jaya yang kurang dieksplorasi, sehingga terlihat sebagai tempelan semata."

Sebelum film Chatterbox, Jane memproduksi film layar lebar berjudul Through The Glass yang luncur Oktober 2008 bareng sineas Amrik. Namun di film ini, Jane tercantum sebagai co-produser dan penyunting. Kalo di Chatterbox, ia menjadi Scriptwriter, Director, dan Editor.


Mejeng bersama Jane dan My Bos.

Film Chatterbox bercerita tentang seorang gadis berusia 13 tahun bernama Chelsea ingin sekali menjadi orang terkenal, sebagaimana kedua saudara kandungnya. Kakaknya Bryan dikenal sebagai seorang pemain bola terpopuler di sekolahnya. Sedang kakak-perempuannya Angel terkenal gara-gara menjadi siswa teladan dan berhasil meraih beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke sekolah tinggi.

Chelsea melihat kesempatan dengan ikut serta via kompetisi, yakni Chatterbox, sebuah kompetisi yang melombakan kecerdasan, kelugasan dan kepedulian yang terbuka bagi seluruh SMU di Amrik.

Cerita ini mengambil latar SMU Gulf Breeze, sebuah kota kecil di negara bagian Florida. Produksinya memakan waktu sekitar setahun buat proses produksi. Film ber-budget 400 ribu US$ ini sendiri sudah diluncurkan bulan Nopember 2008.

Terus terang, ketika menonton film Chatterbox saya kaget bukan main. Saya nggak nyangka kalo pembuat film ini adalah Jane. Orang Indonesia! Bukan karena filmnya menggunakan teknologi canggih atau visual efex yang gila-gilaan sebagaimana film 2012 yang dianggap fenomenal itu. Tetapi saya seperti melihat film High School Musical yang disutradari oleh Kenny Ortega. Kita tahu Kenny Ortega adalah sutradara Hollywood yang cukup berhasil. Saking berhasilnya, Michael Jackson memilihnya sebagai sutradara film This is It. Dan Jane membuat film sebagaimana Kenny. Luar biasa bukan?

"Di sekuel Chatterbox, kisahnya memang mirip dengan High School Musical," aku Jane.

Barangkali ada yang berpendapat, Jane terlalu Hollywood banget. Kurang membawa Indonesia dalam content local di filmnya. Buat saya pribadi, nggak masalah. Saya yakin itu strategi Jane. Dia berjuang dulu agar menjadi Sutradara kepercayaan perusahaan film besar di Hollywood sana. Sampai suatu ketika, kisah-kisah Indonesia akan dibawa dalam kisah di film-filmnya. Dan mimpi menjadi Sutradara Hollywood pun benar-benar bukan mimpi lagi.

Berikut ini thriler film Chatterbox garapan Jane. Selamat menikmati...

Kamis, 21 Januari 2010

PERPADUAN ARSITEKTUR TUA DAN MODERN

Seperti itulah kesan saya terhadap gedung Bank Indonesia. Bahwa selain memiliki beberapa gedung baru yang tinggi menjulang, Bank Indonesia tetap mempertahankan bagunan tua. Nggak heran kalo Bank Indonesia mendapatkan penghargaan, karena berhasil mengkonservasi bangunan tua, sehingga bangunan muda bersatu padu dengan bangunan tua.


Gedung Bank Indonesia di jalan Thamrin tahun 60-an. Perhatikan! Belum ada gedung bertingkat di sekitar gedung (foto dok.).

Gedung Bank Indonesia Thamrin dibangun selama 4 tahun, yakni sejak tahun 1958 sampai 1962. Arsitek gedung ini bernama F. Silaban. Meski dalam pengerjaan di lapangan dilakukan langsung oleh Silaban, Presiden RI Ir. Soekarno banyak memberikan arahan. Yakni tentang arsitektur bangunan yang harus mencerminkan wajah baru Indonesia, dimana gaya arsitekturnya dikenal dengan nama neo-tradisional.


Gedung Bank Indonesia baru (foto bawah). Saya beruntung bisa hilir mudik berada di dalam Bank Indonesia, melihat ruang-ruang di gadung ini, plus salah satu lantai gedung Bank Indonesia lama yang dianggap angker.











Ketika mendirikan gedung baru pada tahun 1994, Bank Indonesia tetap mempertahankan gedung bank yang menghadap ke jalan Thamrin, yang oleh para karyawan disebut sebagai gedung Thamrin. Arsitektur kali ini lebih modern dan unik, karena berdiri sebagai menara kembar (twin tower), dimana towernya bernama Sjafruddin Prawiranegara Radius Prawira.

Gedung Bank Indonesia ini, sempat dipilih sebagai satu dari 23 gedung lain yang mempertahankan konservasi gedung tuanya. Saking mempertahankan eksistensi gedung tua, ada salah satu lantai yang konon dianggap angker. Maklum, selain struktur bangunan di gedung itu tetap dipertahankan dari sejak dibangun, yakni tahun 1958 atau sudah lebih dari setengah abad, juga terdapat beberapa patung yang ada di ruang tersebut.


Gedung Bank Indonesia jadul yang penulis foto pada pertengahan tahun 2009 lalu. Bank Indonesia berhasil mengkonservasi gedung tuanya.

Selain soal konservasi, ada yang menarik yang berhubungan dengan kompleks perkantoran Bank Indonesia atau yang disingkat Koperbi ini. Belum lama ini ada pengakuan salah satu kontraktor yang biasa menangani pembangunan gedung-gedung milik pemeritahan. Kontraktor ini lebih suka bekerjasama dengan Bank Indonesia. Sebab, nggak ada mark up dalam hal anggaran.

"Kalo budget marmer seharga 1 juta, ya oleh pihak Bank Indonesia kita benar-benar dikasih 1 juta," jelas konraktor yang nggak mau disebutkan nama perusahaannya. "Kalo instansi pemerintahan lain, budget 1 juta dikasihkan ke kotraktor paling-paling 600 ribu."


Neon sign Bank Indonesia di waktu malam, sementara terlihat bangunan Bank Indonesia lama yang dianggap angker.

Oleh karena budget gedung nggak sesuai dengan kenyataan, karena dikorupsi oleh oknum, maka banyak kontraktor nggak tahan dengan pungli-pungli yang masih merajalela. Padahal orang-orang Bank Indonesia berani menantang, dengan dana sama, pasti hasil akhirnya akan berbeda. Jadi jangan heran kalo gedung Bank Indonesia menggunakan marmer, gedung-gedung pemerintahan lain cukup pakai keramik murah meriah.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya