Berawal ketika majalah Playboy pertama kali terbit. Kontroversi merebak. Organisasi Islam protes, karena pemerintah mengizinkan majalah yang di negara asalnya Amerika Serikat itu berisi wanita-wanita telanjang ini terbit.
Protes tinggal protes, Playboy tetap terbit underground. Nggak semua agen atau distributor berani menjual majalah ini. Namun di jalan raya, para pedagang koran di perempatan lampu merah memanfaatkan momentum ini. Sambil berjualan koran, para pedangan menjual Playboy. Majalah itu dimasukkan ke dalam plastik bersama koran-koran yang dijual.
Pedangan koran di perempatan lampu merah. Lebih untung gede jualan buku atau DVD kontroversial ketimbang jualan koran.
Jauh setelah itu, ada kontroversi lagi yang muncul, yakni film 2012. Sejumlah ulama, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten Malang dan Jawa Timur melarang umat Islam menonton film 2012. Kenapa? Film tersebut dianggap sebagai mendahulukan kekuasaan Allah dalam menentukan hari kiamat, sehingga merusak akidah keimanan.
Lagi-lagi, kontroversi tinggal kontroversi. Larangan MUI tetap nggak digubris. Banyak orang Indonesia tetap saja memenuhi gedung bioskop. Mereka pasti penasaran dengan film yang disutradarai oleh Roland Emmerich, apalagi tema mengenai kiamat lagi happening. Meski banyak penonton yang antre di bioskop, tetapi momentum film 2012 dimanfaatkan oleh para pedangan asongan. Mereka tahu ada banyak calon penonton bioskop yang malas antre. Nah, yang malas antre dan penasaran dengan film berbiaya produksi 260 juta US$ ini, biasanya mereka beli DVD bajakan yang dijajakan di lampu merah.
Buku Gurita Cikeas yang dibajak dan dijual bebas di perempatan lampu merah. Selama pembajakan buku dibiarkan, penarikan buku oleh pemerintah sia-sia. Lagipula penarikan buku melanggar hak azasi mereka yang ingin mendapatkan informasi.
Terakhir adalah buku Gurita Cikeas karya George T. Aditjondro. Sampai tulisan ini dimuat, buku kontroversi ini masih beredar di lampu merah. Pedagang koran rupanya lebih tertarik menjual buku daripada koran. Maklum keuntungan dari satu buku bisa mencapai Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu sendiri.
Ketika saya berada di lampu merah, iseng-iseng tanya harga per eksemplar. Menurut salah seorang pedagang yang saya tanya, harganya Rp 125 ribu-Rp 135 ribu. Tetapi harga segitu cuma buat pejalan kaki alias mereka yang tanpa mobil.
"Kalo dijual ke penggendara mobil, harganya 150 ribu," jelas pedagang asongan itu.
Begitulah pedagang. Ya namanya juga pedagang. Pasti selalu memanfaatkan momentum, ya nggak? Maklumlah, lebih gede keuntungan menjual barang-barang yang jadi kontroversi ketimbang menjual koran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar