Senin, 26 Maret 2012

TOUR OF BADUY DALAM # 7: “KALO BAHASA INGGRIS-NYA SAYA SUKA KAMU APA?”

Ini hari terakhir kami di kampung Cibe’o, Baduy Dalam. Waktu dua hari rasanya begitu cepat berlalu. Sebetulnya kami ingin berlama-lama lagi tinggal di sini. Selain hubungan yang sudah begitu akrab dengan Sarip, Syapri, Sarja, Sarta, Sarid, dan tentu saja dengan pak Narja, kami merasa nyaman tinggal di lingkungan yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Saat di Baduy Dalam, kami seperti hidup di alam kedamaian. Tidak dikejar-kejar oleh kesibukan, deadline, dan aneka godaan duniawi. Kami tak terkontaminasi oleh berita-berita negatif, bebas dari kasak-kusuk dunia perpolitikan yang penuh kemunafikan, dan tentu bebas polusi.

Selama dua hari, kami belajar banyak dari orang-orang Baduy Dalam. Belajar tentang kepemimpinan, loyalitas, kesederhanaan, dan tentu saja kejujuran. Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa seluruh warga kampung Baduy Dalam patuh pada jabatan yang bernama Pu’un. Bagi mereka yang melanggar, akan diberikan sanksi oleh Pu’un. Sanksi yang paling keras adalah dikelarkan dari kampung.

Kepemimpinan Pu’un jelas sangat terhormat. Pu’un adalah sistem dan semua warga Baduy Dalam harus tunduk pada sistem. Loyalitas dan konsekuen pada sistem inilah yang tak ditemukan di luar Baduy Dalam. Saya berani katakan, Indonesia saat ini tidak punya pemimpin yang dihormati. Ketakutan orang pada Presiden saat ini lebih bukan karena tunduk pada sistem, tetapi mereka takut pada jabatan atau posisi. Mereka takut juga, karena ingin cari muka. Sungguh munafik.

Begitu banyak contoh, dimana Presiden tidak lagi mendapat respek dari sebagian besar warga. Tentang ketidakkonsistenan pemberantasan korupsi dan ‘tebang pilih’ pada mereka yang sudah jelas korup. Berbeda dengan apa yang kami lihat di Baduy Dalam ini. Tanpa politik pencitraan, namun dengan kesederhanaan mereka konsisiten dan loyal pada pemimpin dan hukum adat.

Harus sepagi ini, pak?” tanya Imung pada pak Narji.

Iya,” jawab pak Narji.

Sebagaimana pembicaraan tadi malam, tour leader kami, Imung, diminta pak Narji untuk menghadap ke Pu’un. Hal ini dilakukan, karena kami dianggap telah melanggar aturan. Di masa Kawalu, seharusnya kami dilarang berkunjung ke Baduy Dalam. Kalau pun boleh, seharusnya tidak lebih dari 3 orang. Sementara tim kami yang datang dan menginap di Baduy Dalam berjumlah 11orang.

Saat diperintahkan pak Narji itu, Imung sedang bercakap-cakap dengan teman kami di papange. Kebetulan suasana masih gelap, karena baru saja kami selesai melaksanakan sholat subuh berjamaah. Jam di tangan saya menunjukan pukul 04:45 wib.

Menurut pak Narji, kenapa Imung harus menghadap sepagi itu, karena para Pu’un akan melaksanakan meeting. Ada masalah mendesak yang harus dibicarakan. “Meeting para Presiden,” ujar pak Narji, yang mengistilahkan Pu’un sebagai seorang Presiden.

Sambil menunggu kabar pertemuan pak Narji dan Imung dengan Pu’un, kami bercakap-cakap dengan Syapri dan teman-temannya. Rupanya saat ini Syapri sedang senang belajar bahasa Inggris. Kesempatan berjumpa dengan kami, dimanfaatkan olehnya untuk bertanya tentang kata-kata atau percakapan sederhana dalam bahasa Inggris.

Kalau saya suka itu apa bahasa Inggrisnya?” tanya Syapri.

I like it,” jawab teman kami.

Kalo saya suka kamu, I like you,” tambah teman saya lagi.

Oh, bukan I love you ya?” protes Syapri.

Itu saya cinta atau sayang kamu…”

Keinginan belajar bahasa Inggris Syapri begitu keras. Ini terlihat dari antusiasmenya bertanya dan mengulang kata atau kalimat-kalimat yang diberikan teman saya. Melihat hal itu, salah seorang teman saya langsung mengeluarkan buku catatan kecil berwarna kuning dari tasnya dan menuliskan beberapa kata. Begitu selesai ditulis beberapa kata, langsung diberikan ke Syapri.

Syapri memegang kertas kecil sambil membaca. Beberapa teman-temannya, Sarip dan Sarid mengerumuni Syapri. Berharap bisa ikut belajar bahasa Inggris. Suasana paska Subuh itu mirip seperti kursus singkat bahasa Inggris.

Sementara teman-teman kami melakukan short course, saya ngobrol dengan teman Syapri lain, Agus. Dengannya saya baru tahu, tiga warga Baduy Dalam yang semalam pergi ke Ciboleger itu adalah mereka yang ingin membeli keperluan untuk seorang warga Baduy Dalam yang meninggal.

Ada nenek-nenek yang umurnya sudah seratus tahun meninggal,” ujar Agus.

Kita nggak boleh berkunjung ke rumah yang meninggal ya?” tanya saya penasaran.

Tidak boleh”.

Rasa penasaran itu muncul, karena biasanya dalam kematian di sebuah dearah terdapat upacara adat, sebagaimana di Batak misalnya. Ada seorang Mauli Bulung, yakni sebutan orang yang meninggal, dimana jazadnya diletakkan di peti mayat, dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan.

Kematian seseorang dengan status Mauli Bulung, menurut adat Batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Oleh karena itu, tidak ada lagi isak tangis. Bahkan pihak keluarga boleh bersyukur dan bersuka cita, berpesta tetapi bukan hura-hura, yakni dengan cara memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi Penyayang.

Begitu pula upacara kematian dalam Adat Bugis Makassar yang biasa disebut Ammateang. Dimana saat ada seseorang dalam suatu kampung meninggal, mereka yang melayat biasanya membawa sidekka (semacam sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan), yakni berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat.

Sementara di luar rumah orang yang meninggal, anggota keluarganya membuat usungan (ulureng) untuk golongan to sama’ (bacanya tau samara yang artinya warga biasa) atau walasuji (golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Berbarengan dengan pembuatan ulureng, dibuat pula cekko - cekko, semacam tudungan berbentuk lengkungan panjang, sepanjang liang lahat. Cekko-cekko itu akan diletakan di atas timbunan liang lahat, saat jenazah telah dikuburkan.

Nah, saya yakin banget Baduy Dalam juga punya upacara kematian. Namun, begitu Agus mengatakan saya tidak boleh mengunjungi orang yang meninggal, pun tidak boleh mendekat ke rumah yang meninggal, saya tidak ingin melanggar perintah itu. Sebab, jika nekad, bisa jadi saya barangkali tidak bisa pulang hari ini, ‘dipaksa’ untuk berputar-putar di bukit sebagaimana pernah terjadi pada Imung, atau disihir jadi batu seperti Malin Kundang.

Lewat Agus saya juga mendapatkan info, bahwa pernah ada warga Bandung yang meninggal di sungai yang dalamnya 6 meter. Menurutnya, tewasnya warga Bandung itu bukan, karena kesalahan sungai, tetapi kesalahan si korban. Sebetulnya almarhum sudah diingatkan agar jangan berenang di sungai itu oleh Jaro, tetapi ia nekad dan kemudian tewas.

Ternyata bukan cuma seorang warga Bandung yang tewas di sungai itu, tetapi ada tiga orang lain, yang semuanya warga Baduy Dalam. “Mereka semuanya bunuh diri,” ujar Agus tanpe merinci penyebab mereka bunuh diri. “Satu orang bunuh diri sambil membawa anaknya yang masih bayi.”

Waktu sudah pukul 08:30 wib. Kami siap-siap untuk pamit, kebetulan pula Imung sudah kembali dari Pu’un. Setelah berkisah sedikit tentang pertemuannya dengan Pu’un, kami pamit dengan anggota keluarga, dimana tempat kami menginap. Saat pamit, kami mengucap banyak terima kasih pada mereka yang dengan tulus dan ikhlas telah menerima kami.

Terima kasih bapak-ibu, Insya Allah nanti kalo Syapri menikah, kami bisa berkunjung ke sini lagi,” janji salah seorang teman kami.

Kami pun meninggalkan Baduy Dalam, kampung yang selama dua hari ini kami tinggali. Kampung dengan penuh kesederhanaan, yang masih berkomitmen untuk tidak ikut godaan duniawi. Kampung yang memiliki pemimpin yang dihormati seluruh warga dan patuh pada hukum. Ah, seandainya pelajaran tentang loyalitas pada pemimpin dan hukum, kesederhanan, dan kejujuran itu ada pada diri kita yang hidup di luar Baduy Dalam ini, Indonesia pasti menjadi bangsa yang luar biasa. Namun sayang, perampok-perampok negeri ini adalah saudara-saudara kita sendiri. Jadi butuh pemimpin bertangan besi dan tidak berjiwa korup yang berani menghabisi perampok-perampok itu.

(tamat)

TOUR OF BADUY DALAM # 6: PAK NARJI DAN GOLOK BERUSIA 100 TAHUN ITU...

Ketika kami ngobrol, terdengar suara batuk anak-anak Baduy Dalam yang persis di sebelah kanan dan kiri rumah pak Narji. Bahkan keponakan pak Narji sendiri, yang malam itu tidur di ruang depan, batuk cukup parah.

Saya mendengar kabar, beberapa minggu ini, petugas kesehatan sering bolak-balik ke Baduy Dalam. Mereka mencurigai, anak-anak Baduy Dalam terserang infeksi paru-paru atau bronkitis akut, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Pneumonia.

Mengutip Wikipedia, bahwa Pneumonia adalah sebuah penyakit pada paru-paru, dimana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer, meradang dan terisi oleh cairan. Pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh bakteria, virus, jamur, atau pasilan (parasite). Radang paru-paru dapat juga disebabkan oleh kepedihan zat-zat kimia atau cedera jasmani pada paru-paru, atau sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau berlebihan minum alkohol.

Tentang berlebihan minum alkohol, saya sangat tidak yakin jika anak-anak Baduy Dalam melakukan itu. Pun orang dewasa dan orangtua di Baduy Dalam minum alkohol. Sebab, mereka anti-alkohol. Merokok saja tidak.


Selama di kampung Cibe’o, saya tidak pernah melihat orang Baduy Dalam mengisah rokok. Kabaranya di dua kampung Baduy Dalam lain pun begitu, yakni Cikertawana dan Cikeusik. Biasanya, meski di kampung-kampung pedalaman, saya seringkali menjumpai penduduk setempat merokok. Sebagian dari mereka awalnya sekadar iseng, karena untuk menghangatkan badan, karena suhu sekitar yang relatif dingin, juga sebagai ‘teman’ saat menyeruput kopi. Namun, rata-rata kebiasaan buruk itu jadi berlanjut menjadi ketergantungan. Nah, Alhamdulillah di Baduy Dalam tidak seperti kampung-kampung lain. Kampung Baduy Dalam adalah kampung bebas perokok. Padahal kalo dipikir-pikir udara di Baduy Dalam pun relatif dingin.

Ya, memang nggak ada yang mau merokok aja,” jawab pak Narja, ketika saya tanya mengapa tak ada seorang pun penduduk yang merokok.

Saya pikir, tak ada yang merokok itu, karena ada aturan adat yang melarang. Ternyata tidak. Nampaknya seluruh penduduk mengerti bahaya merokok dan sangat sayang jika alam yang asri, dinodai oleh asap nikotin, sehingga terjadi polusi. Mereka yang sangat sederhana, ternyata memiliki pola pikir modern dan sehat.

Lalu mengapa terjadi Pneumonia? Selidik punya selidik, saya menyimpulkan ada dua sebab. Yang pertama tentang rumah Baduy Dalam. Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, rumah Baduy Dalam itu tidak memiliki jendela. Baik di depan maupun samping rumah tertutup rapat oleh bilik yang disebut sase. Udara hanya masuk melalui pintu yang cuma satu-satunya, yang terletak di depan rumah. Itu pun tak semua pemilik rumah selalu membuka pintu setiap pagi.

Selain pintu, sebenarnya ada satu ventilasi tempat udara masuk. Namanya lolongok. Namun lolongok ini tidak sebesar jendela sebagaimana rumah-rumah umumnya, yang berukuran 1,5 x 3 meter atau paling kecil ½ x ½ meter. Ukuran lolongok cuma sebesar biskuit. Dari namanya saja kita tahu fungsinya bukan sebagai ventilasi, tetapi sebagai tempat mengintip.

Sebab yang kedua adalah faktor makanan. Saya sedih melihat anak-anak Baduy Dalam sudah terpengaruh snack berkadar garam dan vetsin tinggi. Barangkali Anda heran, bagaimana pola makanan tak sehat ini bisa masuk, padahal di Baduy Dalam tak ada warung. Pun anak-anak juga tidak pernah termakan bujuk rayu iklan makanan ringan tersebut, karena mereka tidak menonton televisi. Spanduk, poster, atau flyer pun tidak diizinkan muncul di kampung ini.

Kebetulan ada orang dari Ciboleger yang membuka dagangan di kampung ini,” jelas pak Narji, ketika saya tanya darimana anak-anak mengkonsumsi makanan ringan itu.

Benar saja. Ketika saya jalan menyusuri kampung, saya melihat langsung bapak berusia 50-an tahun, membuka lapak di depan sebuah rumah di Baduy Dalam ini. Di lapak tersebut, terdapat aneka snack yang biasa dikonsumsi anak-anak kota.

Saya melihat sendiri anak-anak itu mengunyah makanan ringan itu. Mereka jelas tak mengerti betapa buruk makanan itu bagi kesehatan mereka. Kebetulan orangtua mereka pun tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kandungan pada makanan tersebut. Bagi Pedagang asal Ciboleger itu juga tak peduli dengan kesehatan anak-anak. Baginya, yang penting dagangannya laku keras.

Menurut pak Narji, Pedagang asal Ciboleger itu sudah 4 tahun berdagang. Entah dari mana ia mendapatkan izin berdagang. Yang pasti baik Pu’un maupun Jero sepertinya tidak melarang, apalagi mengusir.

Habis dia juga berdagang kebutuhan pokok yang kebetulan dibutuhkan oleh masayarakat sini, seperti minyak, gula, kopi, dan kebutuhan pokok lain,” jelas pak Narji, yang sepertinya pasrah dengan kondisi tersebut.

Sambil terus berkisah, bunyi batuk anak-anak yang ada di rumah sebelah kanan dan kiri pak Narji belum juga berakhir. Saya pikir, batuk yang diderita anak-anak itu sudah lama terjadi. Mendengar suara batuk mereka, saya sedih sekali. Rasanya, mereka letih sekali dengan penyakit yang mereka derita.

Batang liling tinggal setengah. Lelehan lilin menggumpal di tepi batang itu. Ada yang menetes dan jatuh ke kayu. Mata saya sudah mulai kantuk. Saya juga melihat mata pak Narji juga mulai kriyep-kriyep. Namun, ia masih terus meladeni Imung untuk bercakap-cakap. Topik berikutnya yang dibahas tentang golok.

Jika masih punya waktu, keesokan pagi, kami akan diajak ke kampung Batu Beulah, tempat pembuatan golok.Seperti kisah saya sebelumnya, bahwa peralatan berkebun yang dilakukan Baduy Dalam hanya golok. Oleh karena itu, golok merupakan alat yang vital dan setiap orang harus memiliki golok yang terbaik.

Ini golok kepunyaan saya yang merupakan warisan kakek saya turun temurun,” papar pak Narji sambil memperlihatkan golok berukuran sekitar 30 cm itu pada saya dan Imung.

Golok itu kelihatannya biasa saja. Warna dasar besi sudah terlihat agak kusam, namun bekas tempaan besinya masih terlihat jelas. Ada kerut-kerut yang menjadi tanda bagus-tidaknya sebuah golok. Kerut-kerut pada dasar besi tersebut adalah tanda si Pengrajin golok membakar dan memlintir golok tersebut berkali-kali. Soal ketajaman golok pak Narji ini, tak perlu diragukan lagi.

Umur golok ini sudah 100 tahunan,” tambah pak Narji, seperti membuka rahasia. “Berapa pun biaya yang ditawarkan, saya tidak akan melepas golok ini”.

Sambil didekatkan ke lilin, Imung mencoba mengamati golok itu. Dari cahaya yang dipantulkan pada lilin, memang nampak golok itu ‘berbeda’ dari golok umumnya. Ada kesan magis yang nampak pada golok tersebut.

Pak Narji masuk ke ruang dalam dan kembali lagi sambil membawa gula aren yang masih dibungkus oleh kulit pisang kering. Ia mengambil golok dan memecahkan gula aren dengan golok itu. Prokk!! Dengan sekali pukul gula aren itu pecah dan kemudian diletakkan ke sebuah piring.

Besok kita lihat pembuatan golok di Batu Beulah ya. Mudah-mudahan ada Pengrajin yang sedang buat,” kata pak Narji sambil meletakkan piring berisi gula aren yang sudah terpecah-pecah itu, dan mempersilahkan kami mencicipi.

(bersambung)

TOUR OF BADUY DALAM # 5: “OH, DEKAT INDOSIAR DAN RCTI YA?”

Orang Baduy biasa menyebut sebagai orang Kanekes atau Urang Kenekes. Khusus orang Baduy Dalam biasa dikenal dengan sebutan Urang Tangtu. Bagi saya, orang Baduy Dalam menggunakan penglihatan dengan rasa dan hati. Kesimpulan ini saya ambil saat memperhatikan mereka jalan tanpa menggunakan alat penerangan, baik senter maupun obor.

Ketika saya dan teman-teman berada di papange, seorang berjalan dengan cepat menyusuri jalan. Padahal kondisi gelap gulita. Lebih dari itu, jalan di antara rumah-rumah berbatu. Jika orang biasa seperti kita, yang terjadi akan menabrak rumah atau tersandung batu.

Mereka sudah khatam dengan jalan di sini,” ujar salah seorang teman saya.

Selain seorang Baduy Dalam tadi, ada tiga orang Baduy Dalam lain yang sempat melewati kami. Mereka tampak terburu-buru. Salah seorang yang berada di depan hanya menggunakan sebatang kayu panjang.

Mau kemana pak malam-malam?” tanya pak Narja dalam bahasa Sunda.

Mau ke Ciboleger,” jawab salah seorang.

Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, Ciboleger adalah tempat perhentian terakhir kendaraan yang ingin berkunjung ke Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Jarak dari kampung Cibe’o, tempat kami menginap, ke Ciboleger kurang lebih 12 km, dan memakan waktu perjalanan sekitar 5-6 jam. Sementara dari Cibe’o ke Cijahe kurang lebih 2 km dan ditempuh dalam waktu 1-2 jam perjalanan.

Jadi, Anda bisa bayangkan, tiga orang Baduy Dalam yang hendak pergi ke Ciboleger itu, berjalan turun-naik bukit di malam hari tanpa menggunakan lampu penerangan. Luar biasa bukan?




Tepat pukul 21:10 WIB, saya pamit untuk masuk ke rumah pak Narja. Selain ngantuk, kaki sudah pegal, dan berdoa keesokan pagi segar kembali dan bisa sholat subuh. Sementara teman-teman lain sepertinya masih menikmati udara malam dan taburan bintang di langit.

Aneh bin ajaib. Sesampai di dalam rumah pak Narji, saya tidak bisa tidak, apalagi mendengar percakapan Imung, tour guide kami. Padahal saya sudah berusaha memejamkan mata, memasukkan badan ke dalam sleeping bag. Namun, saya ternyata tak kuasa untuk bangun dan ikut nimbrung mereka bercakap-cakap.

Sebetulnya di saat sekarang ini tidak boleh ada yang berkunjung ke Baduy Dalam, apalagi lebih dari 3 orang,” papar pak Narji. “Makanya besok pagi harus menghadap ke Pu’un.”

Baik, pak. Besok pagi kalo saya belum bangun, dibangunkan saja, pak,” ujar Imung.

Setiap 1 Februari atau yang bertepatan dengan bulan Karo, itu merupakan bulan Kawalu. Bulan Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy, terhitung hingga tiga bulan ke depan. Menurut pak Narji, saat kami datang ini, bertepatan dengan tanggal 1 di bulan Sapar atau 1 April di bulan Masehi atau akhir bulan Kawalu.

Di akhir bulan Kawalu ini, para tetua dan tokoh adat melakukan upacara besar, yakni perjalanan ziarah ke Arca Domas, yakni sebuah tempat yang mereka sucikan dan letakkan sangat dirahasiakan. Tak cuma dirahasiakan pada sebagian warga Baduy sendiri, apalagi bagi para penggunjung dari luar kampung.

Baduy, khususnya Baduy Dalam, memang memiliki bulan tersendiri. Sambil menghitung dengan jari, pak Narji menggungkapkan ke-12 bulan itu, mulai dari Kasa, Karo, Katilu, Sapar, Kalima, Kaanam, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapid Lemah, dan Hapid Kayu. Dan bulan Kawalu yang dijelaskan di atas tadi berada di bulan Karo, Katilu, dan Sapar.

Jika bulan Karo, Katilu, dan Sapar adalah bulan Kawalu, bulan Harpid Kayu adalah bulan yang baik untuk menikah dan mengobatin padi. Khusus mengobati padi, dilakukan dengan cara menyemprotkan daun dan buah mengkudu, yang sudah ditumbuk dan dicampur air cuka, dengan mulut.

Sambil ditemani sebatang lilin yang menyala di atas sebongkah kayu, pak Narji berkisah tentang banyak hal, mulai dari para Jenderal yang sempat berkunjung ke rumahnya itu dan tentang Hercules. Kata beliau, salah seorang Jenderal berbintang akrab dengannya. Saking akrab, ia pernah menginap di rumah sang Jenderal di Cikeas.

Tentang Herculues, kata pak Narja, belum sempat ke Baduy Dalam, karena takut capek. Mendengar itu, saya sempat tersenyum. Orang sekaliber Hercules yang sangat ditakuti itu ternyata masih takut capek. Meski begitu, antara Hercules dengan orang Baduy, terutama Baduy Dalam sangat akrab. Jika berkunjung ke Ciboleger, Hercules menanyakan tentang situasi di Baduy. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan oleh penduduk Baduy, Hercules dan kelompoknya siap mengamankan.

Pak Narja kemudian memperlihatkan sebuah buku alamat kecil, yang disimpan di dalam plastik kresek warna putih. Di buku alamat itu terdapat beberapa nama orang yang sudah berkunjung ke rumahnya, termasuk juga nama seorang anak pejabat Orde Baru (Orba).

Saya sudah dua kali ke Bandung,” ujar pak Narja. “Kalo ke Jakarta sudah sering sekali.”

Pak Narja ke Bandung sekitar 1990-an, dalam rangka diundang oleh Gubernur Jawa Barat yang pada masa itu dijabat oleh Yogie S. Memet. Setahun berikut, ia diundang kembali ke Bandung oleh salah seorang Pejabat di Gedung Sate.

Di Jakarta, pak Narja sudah keliling di hampir semua Jakarta. Ia sering menginap di belakang pusat kursus Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) di Pancoran, Jakarta Selatan. Ia juga hafal daerah di Pondok Gede, Jatiwaringin, maupun Grogol, Jakarta Barat.

Bapak kerjanya dimana?” tanya pak Narja ke saya.

Di Kedoya, pak.”

Oh, dekat Indosiar dan RCTI ya?

Saya takjub. Pak Narja ternyata tahu sekali lokasi tempat kerja saya. Ia pun kenal dengan lokasi tempat tinggal saya di Cempaka Putih.

Dekat Rawasari ya?” tanya pak Narja. “Saya sering nginap di kompleks Pengadilan.”

Saya tepuk jidat. Makin tepuk jidat begitu tahu, bahwa untuk mencapai Jakarta menghabiskan waktu perjalanan selama 2 hari. Harap maklum, orang Baduy, baik Luar maupun Dalam pantang naik kendaraan umum. Mereka selalu jalan kaki. Anda tahu berapa hari pak Narja harus ke Bandung? Lima hari!

Sebelum masuk ke Baduy Dalam, Imung sempat berpesan pada anggota tim, bahwa jangan pernah memberikan alamat atau nomor telepon jika tidak berkenan untuk didatangi orang Baduy. Saya mengerti mengapa Imung berpesan seperti itu. Sebab, banyak orang kota Metropolitan tidak berkenan menerima tamu sembarangan, terlebih lagi orang Baduy Dalam yang tidak menggunakan sendal setiap hari, tidak pernah gosok gigi dengan pasta gigi, tidak pernah mandi menggunakan sabun, tidak pernah keramas menggunakan shampo, dan tidak pernah menggunakan minyak wangi sebagai pengharum tubuh.

Dewasa ini orang kota banyak yang tidak tulus menerima orang dusun, seperti orang Baduy Dalam ini. Mereka dekat dengan orang miskin jika ada maksud tertentu, jika tidak memanfaatkan kemiskinan (baca: menjual kemiskinan agar bisa memperoleh dana dari funding) atau sebagai pencitraan yang lazim dilakukan di dunia politik. Namun saya bukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kebanyakan menjual kemiskinan, atau politikus. Saya adalah Warga Negara Indonesia yang ingin memiliki banyak teman dan sahabat. Tak heran saya tidak bisa menyembunyikan alamat saya dan terpaksa melanggar pesan Imung.

Boleh minta alamat rumah dan telepon?” tanya pak Narji.

Boleh pak,” ujar saya.

Pak Narji kemudian menyerahkan buku alamat kecil ke saya. Dengan mengandalkan cahaya lilin seadaannya, saya pun menulis alamat lengkap saya beserta no telepon rumah. Bagi saya, permohonan pak Narji meminta alamat dan nomor telepon saya adalah sebuah bentuk awal silaturahim. Dan saya pun sangat senang mendapatkan teman baru.

(bersambung)

TOUR OF BADUY DALAM #4: TABURAN BINTANG DI KAMPUNG NAN GELAP GULITA

Kami tiba di kampung Cibe’o menjelang magrib. Di kampung inilah kami akan menginap. Cibe’o adalah satu dari tiga mapung di Baduy Dalam yang memiliki 97 rumah dengan jumlah Kepala Keluarga kurang lebih 133 orang. Menurut pak Narja, total penghuni kampung Cibe’o ini sekitar 500-an orang.

Cibe’o termasuk kampung yang padat penduduk. Dua kampung lain, yakni Cikartawana dan Cikeusik tidak begitu padat. Jumlah rumah di Cikartawana boleh jadi paling sedikit, yakni sekitar 37 rumah. Sementara Cikeusik mencapai 70-an rumah.

Berbicara tentang rumah di Baduy Dalam, sungguh sangat menarik. Saya kagum dengan tata artistik rumah di Baduy Dalam ini. Sederhana, tetapi penuh nilai seni. Rumah Baduy adalah rumah panggung yang mengikuti kontur tinggi atau rendah tanah. Pada saat membuat rumah, warga Baduy Dalam tidak pernah merusak dasar tanah. Jika tanah memang tidak rata, mereka tidak berusaha merusak tanah tersebut.

Ada 5 tiang yang menyangga atap rumah yang berada di samping kanan dan kiri. Sementara ada 3 tiang yang berada di depan dan belakang. Batu kali yang menopang tiang-tiang bambu tersebut, yang juga menahan agar tanah tidak longsor. Sejumlah bambu yang sudah dipotong menghubungkan masing-masing tiang yang menyangga atap rumah yang terbuat dari daun kepala kering. Atap ini biasa disebut sulah nyanda. Nyanda di sini memiliki filosofi sikap bersandar. Sebab, sandaran atap tidak lurus, tetapi miring ke arah belakang.

Untuk menutup seluruh rumah dipasang bilik dari anyaman bambu atau disebut sase. Teknik pembuatan sase ini dikenal dengan nama sarigsig, dimana pembuatannya berdasarkan feeling si pembuat anyaman, karena tanpa diukur terlebih dahulu.




Luas rumah Baduy Dalam sekitar 8 x 7 m2. Interior rumah cuma ada 2 ruang. Satu ruang besar berbentul “L” dan satu ruang berukuran 2 x 4 m2. Ruang “L” difungsikan untuk ruang tamu dan untuk tidur. Sementara ruang berukuran 2 x 4 m2 itu adalah ruang serba guna, yakni ada dapur, tempat meletakkan peralatan dapur (piring, dandang, wajan, dll), dan juga untuk ruang tidur. Jika ada tamu yang datang, anggota keluarga memang tidur di ruang tersebut, sementara tamu tidur di ruang berbentuk “L” itu.

Ada yang menyebutkan ruang dalam rumah Baduy Dalam dibagi 3. Saya mengerti, barangkali rumah “L” yang saya sebutkan tadi itu mereka bagi lagi menjadi dua. Ruang di depan untuk menerima tamu dan jika tamu bermalam yang disebut sosoro. Lalu ruang berikut -masih di ruang “L” itu- difungsikan sebagai ruang tidur anak-anak sekaligus tempat makan yang lazim disebut tepas. Nah, ruang yang ada dapurnya itu sebetulnya adalah ruang tidur khusus Kepala Keluarga yang disebut Imah.

Pintu rumah harus menghadap ke Utara atau Selatan, kecuali rumah Pu’un. Terdapat kayu berukuran 5 cm yang berfungsi sebagai kunci pintu rumah. Jika ingin menutup pintu, tinggal mendorong pintu dan memalangkan kayu kecil itu ke ujung bambu.

Rumah Baduy Dalam tidak mengenal jendela. Di tiap rumah hanya menyisakan lubang kecil berukuran 5 x 5 cm untuk ‘mengintip’ yang mereka namakan lolongok. Di depan rumah, ada empat sampai enam bambu panjang yang difungsikan untuk teras, yang dalam bahasa Sunda Baduy Dalam disebut papange.

Selain ada papange, di depan rumah Baduy Dalam terdapat sosog atau keranjang sampah yang terbuat dari rajutan bambu yang mirip seperti obor bambu, dimana ujungnya berdiameter 10 cm. Lalu ada pula kele, yakni tempat air dari bambu yang mirip seperti alat musik angklung. Namun, jika angkung itu terbuka dan mengunakan bambu kecil, kele tertutup dan menggunakan bambu besar. Untuk memasukkan dan menggeluarkan air, dibuat lubang kecil.

Saya perhatikan, setiap rumah hanya memiliki kele sebanyak 4 sampai 6 kele. Air yang ada di dalam kele ini diambil dari air sungai. Selain untuk keperluan air minum, air di dalam kele juga berfungsi untuk mencuci tangan, kaki, dan bagi orang Islam seperti saya untuk berwudhu.

Setiap warga yang sudah menikah, tidak dilarang memiliki rumah. Asal punya uang dan mendapat izin Pu’un. Jadi jika ada yang mengatakan di Baduy Dalam hanya boleh berdiri 40 rumah, itu tidak benar.

Setiap ingin membangun rumah, orang Baduy Dalam memang harus minta izin pada Pu’un. Begitu Pu’un mengizinkan, seluruh kampung wajib membantu membangun rumah. Dengan cara gotong royong seperti itu, tak heran rumah orang Baduy Dalam bisa selesai dalam tempo 1 hari.

Menurut pak Narja, rata-rata biaya pembangunan rumah di Baduy Dalam sekitar Rp 3 juta. Harga ini berbeda dengan pembangunan rumah di Baduy Luar yang bisa berlipat-lipat. Bahkan ada yang bisa mencapai Rp 20-an juta per rumah. Perbadaan tersebut, karena rumah di Baduy Luar sudah banyak dimodifikasi, tidak sesederhana rumah di Baduy Dalam.

Rumah anak saya di Baduy Luar sekitar 25 juta rupiah,” ungkap pak Narja. “Kebetulan saya sempat mendapat dana dari Cikeas sebesar 20 juta”.

Mumpung masih menyisakan sedikit sinar matahari, kami diajak jalan menuju sungai dan pancuran tempat mandi kaum perempuan. Di atas sungai terdapat jembatan yang membentang, dimana mirip dengan jembatan ketika kami memasuki wilayah Baduy atau batas akhir kami boleh mengambil gambar.

Jembatan ini seluruhnya terbuat dari bambu. Oleh karena warga Baduy Dalam pantang menggunakan paku, maka untuk menguatkan jembatan, menggunakan ijuk kelapa yang sudah dibuat seperti tali. Terus terang saya kagum sekali terhadap konstruksi jembatan ini, sebagaimana kekaguman saya pada arsitektur rumah orang Baduy Dalam. Bukan sekadar kekokohan-nya, tetapi keartistikan jembatan ini. Saya bisa membayangkan, meski mereka penduduk pedalaman, namun citra seni mereka begitu sempurna. Jika tak salah, jembatan model ini sempat dipemerkan saat Pasar Seni Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun lalu.

Matahari perlahan-lahan turun. Warna keemasan masih sedikit menyisakan di dedaunan yang ada di sekitar jembatan. Suasana pun berangsur mulai gelap. Kebetulan kami sudah siap membawa senter kecil dan head lamp yang kami beli di pedagang asongan pinggir jalan.

Menjelang gelap gulita, ada empat bocah Baduy Dalam masuk ke dalam sungai. Mereka membuka baju dan kemudian berenang. Saya sempat takjub, keberanian mereka. Yang biasa saya lihat, bocah-bocah justru berenang di sungai pada saat terang benderang, anak-anak Baduy Dalam ini justru berenang saat hari mulai gelap.

Suasana gelap itu jadi penanda kami untuk segera melaksanakan sholat magrib. Saya dan teman kemudian mengambil wudhu di sungai tersebut. Saat mengambil wudhu kami masih mendengar keceriaan anak-anak Baduy Dalam yang asyik berada di dalam sungai. Di tengah kecerian itu, terdengar suara dua gadis yang melangkah dengan cepat di jembatan masuk ke dalam kampung. Sepertinya mereka habis mandi di pancuran.

Kampung sudah gelap gulita. Meski kami menggunakan senter, jalan kami masih tetap meraba-raba, takut terpeleset atau salah jalan. Saya sempat melihat ada dua kunang-kunang bersinar di dekat kami. Mungkin terlihat norak, tetapi saya menikmati sekali kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang itu. Subhanallah, indah sekalil. Saya tak akan mungkin menemukan binatang ciptaan Allah ini di Jakarta, terutama di rumah saya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Mungkin akan ditemukan jika mata kita berkunang-kunang gara-gara stres dengan kemacetan.

Kelar sholat magrib berjamaah, kami semua keluar rumah dan duduk di papange. Subhanallah, langit begitu bersih dan penuh bintang. Seolah malam itu kampung Baduy Dalam ditaburi oleh aneka bintang yang banyak sekali. Kami beruntung bermalam di Baduy Dalam dalam kondisi cerah, meski suasana kampung gelap gulita. Kata orang, itu menjadi pertanda baik.

Lihat ada tiga bintang yang berjajar,” ujar pak Narja sambil menunjuk ke arah tiga bintang itu.

Mana?” ujar salah seorang teman kami.

Itu-tuh,” tegas pak Narja lagi.

Kalo tiga bintang itu ada di tengah, itu tanda waktu panen,” jelas pak Narja pada kami.

Malam itu benar-benar indah. Taburan bintang malam itu membuat topik kita sedikit beralih ke masalah atronomi. Terdapat banyak bintang seperti ini dalam ilmu astronomi atau tata surya adalah galaksi. Galaksi adalah tempat berkumpulnya bintang-bintang di alam semesta yang memiliki bentuk dan ukuran yang bermacam-macam, seperti spiral, elips, dan tak beraturan.

Salah seorang teman kami juga sempat berkisah tentang planet baru yang ditemukan oleh observatorium antariksa milik NASA. Planet bernama Kepler ini konon kabarnya bisa didiami oleh manusia, sebagaimana manusia mendiami bumi.

Bahkan Media Indonesia (18 Desember 2011) pernah menulis, astronom asal Indonesia yang kuliah di University of Toronto, DR. Mubdi Rahman, menemukan sekelompok bintang berukuran besar dan berusia muda di sekitar galaksi. Dari kelompok bintang yang belum pernah terlihat itu, sebagian di antaranya (yang jumlahnya ratusan) berukuran lusinan kali lebih besar daripada matahari. Sekelompok bintang yang besar itu dinamakan Dragonfish atau ikan arwana.

Kita seperti berada di Planetarium ya? Tapi bedanya bintang-bintang di langit ini asli ciptaan Allah,” papar teman saya.

Kalo lihat taburan bintang kayak gini, rasanya pengen pergi ke tanah lapang dan melihat bintang sambil tiduran,” tambah teman saya yang lain.

(bersambung)

TOUR OF BADUY DALAM # 3: PRIA TAMPAN BADUY DALAM YANG MEMBUAT HISTERIS

Mobil Elf memasuki sebuah rumah di kampung Cijahe, desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak, Banten. Di rumah tersebut sudah menunggu 6 orang dari Baduy Dalam. Sebelum keenam orang tersebut muncul, salah seorang melambaikan tangan kepada sopir kami, memberi tanda agar berhenti di depan rumah tersebut.

Ya, Allah, ganteng pisan,” komentar salah seorang rekan kami dari dalam mobil begitu melihat pria muda yang melambaikan tangan tadi.

Selama ini, kami sering mendengar bahwa penduduk Baduy Dalam itu tampan dan cantik. Ketampanan dan kecantikan mereka bukan polesan kosmetik, tetapi benar-benar alami. Kulit mereka juga terkenal halus. Mereka pun tidak bau badan, meski konon kabar mereka tidak setiap hari mandi. Saat mandi pun tidak menggunakan sabun atau pembersih kimia lain.

Syapri, begitulah nama pria muda tampan yang membuat histeris seluruh wanita di tim Tour of Badui Dalam ini. Saat ini Syapri berusia 18 tahun dan jika tidak ada rintangan pada bulan September 2012 nanti, ia akan melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis yang sudah ditunjuk oleh Pu’un sebagai pendamping hidupnya.

Selain Syapri, orang Baduy Dalam yang menjemput kami adalah Sarip, Sarja, Sarta, dan Sarid. Sementara pimpinan kelompok penjemput kami adalah pak Narja. Barangkali Anda heran, kenapa nama pria yang menjemput kami huruf depan “S”. Bahwa nama tersebut adalah pemberian Pu’un.


Ini dia Syapri, pria Baduy Dalam. Tampan bukan?

Dalam kampung Baduy Dalam, kedudukan Pu’un sangatlah dihormati, bahkan disucikan. Menurut warga setempat, kedudukan Pu’un seperti seorang Presiden dalam sebuah negara. Sebab, selain sebagai pemimpin kampung, ia adalah pengatur hukum adat dan pengambil keputusan. Baik penentuan masa tanam, masa panen, sanksi adat, mengobati orang sakit, jodoh, nama anak, dan letak rumah, dikonsultasikan ke Pu’un.

Oleh karena Pu’un sangat dihormati dan disucikan, tak semua orang bisa berjumpa dengan Pu’un. Ia pun jarang keluar rumah. Segala operasional sehari-hari dilakukan oleh seorang yang menjabat sebagai Jaro. Pu’un memiliki rumah khusus, sebagaimana Presiden memiliki Istana Negara. Rumah ini akan ditempatkan ke Pu’un berikut. Tempat mandi Pu’un pun khusus, tidak di sungai sebagaimana penduduk biasa.

Perkataan Pu’un sangat ditaati warga Baduy Dalam. Sebab, menurut kabar, seorang Pu’un bisa membaca pikiran seseorang, baik itu pikiran baik maupun buruk. Tak heran jika seorang Pu’un pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi. Saking tinggi, Pu’un seringkali didatangi oleh sejumlah pejabat, pengusaha, dan orang-orang ambisius lain untuk berkonsultasi meminta kekayaan, jabatan, dan kesuksesan duniawi. Biasanya, setelah dibacakan mantra, para tamu kota ini akan diberikan jimat. Alhamdulillah, kami tidak melakukan aktivitas yang mengarah pada kesyirikan itu. Tujuan kami ke Baduy Dalam lebih ingin belajar hal tetang kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan, dan juga kerendahan hati.

Kembali ke nama “S” pemberian Pu’un. Bahwa huruf depan pada pria Baduy Dalam harus berdasarkan nama depan sang ibu. Jika nama depan si ibu “S”, maka huruf depan pada nama anak laki-laki tersebut harus “S”. Sebaliknya, huruf depan pada nama anak perempuan itu berdasarkan huruf depan sang bapak.

Tepat pukul 15:55 WIB, kami berangkat menuju ke Baduy Dalam. Seperti sudah diduga, keenam warga Baduy Dalam tersebut selain membantu menjadi penunjuk jalan, mereka juga bertugas membantu kami mengangkut ransel. Awalnya saya sok kuat membawa ransel besar yang cukup berat, tetapi begitu mereka menawarkan untuk membawakan, saya curiga, pasti medan yang akan kami tempuh akan berat.


Kalo fisik Anda nggak OK, mending jangan berani-berani pergi ke Baduy Dalam, deh. Sebab, bakal menyusahkan banyak orang.


Benar, dugaan saya. Medan yang kami lalui berat. Kami harus naik dan turun bukit. Makin berat, ketika melewati tanah yang benar-benar becek dan licin, akibat tersiram hujan. Tak heran sebagian teman saya ada yang sempat terpeleset jatuh atau sekadar sepatu sandalnya sulit untuk digerakkan, karena lengket dengan tanah.

Bagi Anda yang tidak terbiasa berjalan kaki, olahraga, atau smoker, pasti akan mengalami kelelahan menghadapi medan ini. Bukan cuma pegal kaki, tetapi juga nafas yang ngos-ngosan. Anda jangan membayangkan jalan sehat di kebon teh di Puncak, karena medan itu belum apa-apa.

Teman-teman dari Baduy Dalam ini luar biasa. Ketika hampir semua anggota tim ngos-ngosan dan beristirahat beberapa detik untuk menghilangkan keletihan, mereka tetap lincah bergerak. Padahal mereka membawa ransel-ransel kami yang cukup berat. Bahkan sesekali dengan gesit mereka mendahului anggota tim untuk membantu agar tidak terpeleset.

Apa sih rahasianya, Pak?” tanya saya, menyelidik pola mengatur nafas di medan sebarat itu.

Ya jalan dan nafas seperti biasa aja,” ujar pak Narja merendah sambil tersenyum.

Pasti bisa, karena biasa. Teman-teman dari Baduy Dalam ini sudah terlatih jalan di medan ini, naik dan turun di bukit yang curam, licin, dan becek. Mereka juga pasti terbiasa cepat berjalan, menyusuri perlintasan di bukit ini. Tidak seperti kami yang buat mereka cukup lambat. Tak heran, jarak 7 KM yang seharusnya oleh orang Baduy Dalam bisa ditempuh dalam tempo 45-60 menit, jadi 145 menit.

(bersambung)

TOUR OF BADUY DALAM # 2: PERANG PROMOSI SINYAL KUAT 3 OPERATOR SELULAR

Sejak keluar dari pintu tol di Rangkasbitung, saya sempat menghitung jumlah pasar yang kami lewati. Seperti biasa, setiap lewat pasar, semua kendaraan memperlambat laju. Tak heran terjadi kemacetan, karena antrean kendaraan tersebut. Yang menyebalkan, di tengah kemacetan seperti ini, ada saja kendaraan yang kurang disiplin, menyalip dari kanan atau kiri.

Saat kemacetan terjadi, tepatnya ketika kami melewati Pasar Jayanti Serang, seorang Petugas DLLAJR tiba-tiba mengentikan mobil Elf kami. Polisi bertubuh tambun dan berkaca mata hitam itu bertanya pada sopir kami.

Kok KIR-nya belum diperpanjang?” ujar sang petugas pada sopir kami.

Sudah kok pak?” jawab sopir kami.

Coba menepi dulu. Saya lihat surat-suratnya.”

Saya dan penumpang mulai menggerutu dengan kejadian tiba-tiba ini. Tour guide kami, Imung, bahkan mengecap, Petugas ini cuma mau cari uang, apalagi setelah sang sopir menjelaskan, bahwa KIR beres. Petugas DLLAJR ini rupanya tidak melihat ada stiker di sisi kiri kendaraan yang tertulis masa berlaku 23 Agustus 2012. Ia hanya melihat sisi kanan, dimana tertulis masa berlaku KIR 25 Februari 2012.

Papan petunjuk yang ada di sisi kanan menunjukan 25 KM lagi ke arah Rangkasbitung. Tepat di KM 17, perut saya sudah terasa minta diisi makan. Kebetulan selesai sholat Jum’at, kami tidak langsung makan. Tour guide kami sudah menyiapkan tempat makan yang sudah menjadi langganannya. Sebagai ‘prajurit’ kami ikut, meski perut bunyi krucuk-krucuk gara-gara menagih makan.

Alhamdulillah, kami akhirnya sampai di sebuah restoran yang arsitekturnya memperlihatkan relatif sepuh. Memang bukan arsitektur kolonial, tetapi nampak tua. Baik pintu, jendela, maupun kusen, terlihat khas bangunan tahun 70-an. Melihat kondisi bangunan seperti itu, saya dan barangkali teman-teman yang lain saat itu menduga, makanan yang disajikan adalah makanan jadul yang khas Rangkasbitung.

Ternyata saya salah. Makanan yang disajikan bukan makanan tradisional, tetapi nasi rames, sop daging, dan ayam bakar kampung. Minumannya pun juga standar atau tidak ada minuman khusus, misal jus Rangkasbitung misalnya. Tak heran, supaya beda dari teman-teman lain yang memesan es teh manis, saya pesan es cendol.

Es cendolnya dahsyat!” komentar saya begitu selesai menyeruput.

Saya dan teman-teman baru tahu, kenapa Imung mengajak kami makan di restoran bernama Ramayana ini. Menurutnya, sejak mengantarkan tamu-tamu ke Baduy, ia selalu mengajak makan ke restoran yang sudah berdiri sejak 1975 ini.

Gue nggak pernah ngajak ke restoran lain, selalu ke sini,” promosi Imung. “Lidah gue sudah cocok dengan masakan di restoran ini”.

Bukan cuma Imung, kami semua juga setuju, bahwa masakan di restoran Ramayana yang berlokasi di jalan Multatuli no 71, Rangkasbitung ini memang mantap. Tak cuma nasi rames, cendol, tetapi juga sopnya, termasuk sambalnya. Bahkan ada salah satu teman kami berniat banget membawa sambal restoran ini ke Baduy Dalam. Namun menurut pelayan, restoran ini tidak melayani pembelian cuma sambal. Mendengar hal tersebut, pupuslah harapan makan sambal Ramayana di Baduy Dalam.

Kelar makan, kami melanjutkan perjalanan melalui jalan di daerah Lewimidamar, Sudamanik, Lebak. Jalan daerah ini terkenal rusak. Maklum, banyak truk hilir mudik melewati jalan ini. Truk-truk ini adalah truk pengangkut pasir yang membawa pasir-pasir menuju ke kota.

Saat melewati wilayah Sudamanik, saya sedih sekali melihat kondisi sekitar. Bukan jalan yang rusak, tetapi bukit-bukit yang ada di sebelah kanan dan kiri nampak rusak, karena dieksplorasi. Rasa nikmat sehabis makan di restoran Ramayana sudah hilang ketika melihat pemandangan itu. Entah sampai kapan eksplorasi ini akan segera berakhir, tapi sepertinya masih akan terus berlangsung dan akhirnya akan menghabiskan seluruh bukit yang ada di sekitar wilayah itu.

Seperti juga di Jakarta, jalan rusak parah itu dimanfaatkan oleh sejumlah penduduk untuk meminta sumbangan pada kendaraan yang melewati jalan. Padahal saya yakin banget, sebanyak apapun recehan yang dikumpulkan penduduk-penduduk ini, tidak berpengaruh banyak pada kondisi jalan yang memang banyak rusak. Bukan mau seudzon, beberapa kali saya amati aktivitas seperti mereka ini menambal jalan sekadarnya, sementara sisa uang untuk rokok atau jajan.

Kami akhirnya memasuki wilayah Ciboleger. Artinya, sebentar lagi sampai di ujung perjalanan kami menuju Baduy. Saat masuk ke Ciboleger, hujan rintik-rintik menyambut kedatangan kami. Padahal saat itu matahari masih bersinar cerah. Langit tak terlihat mendung. Tetes hujan itu menyebabkan jalan beraspal yang semula panas, karena terkena terik matahari, mengeluarkan asap.

Beberapa menit sebelum berhenti di perhentian mobil terakhir di Ciboleger, nampak sebuah BTS atau tower tegak berdiri. Kami serentak langsung melihat sinyal dari masing-masing alat komunikasi yang kami bawa. Maklumlah, hampir sepanjang perjalanan menuju ke Ciboleger sinyal semua operator selular lemah, bahkan ada yang tidak mendapatkan sinyal sama sekali.

Nampak dua spanduk operator yang berperang. “Di sini sinyal paling kuat Telkomsel”, begitu spanduk pertama berpromosi. Begitu teman kami pengguna operator itu mengecek, ternyata tidak terbukti. Begitu pula dengan spanduk operator lain: “Hanya sinyal Indosat yang kuat di sini”, yang ternyata juga tidak terbukti. Satu spanduk yang bergambar Tukul Arwana pun juga tidak terbukti mengalahkan dua operator selular yang mengaku paling kuat itu.

Untung kami tak peduli perang operator selular tersebut, apalagi kami pun curiga dengan BTS yang tegak berdiri di Ciboleger ini belum berfungsi. Yang kami peduli, cepat sampai ke pos terakhir dan langsung menuju ke Baduy Dalam. Toh, di Baduy Dalam kami juga tidak akan menggunakan gadget secanggih apapun. Sebab, sejak awal tim Tour of Baduy Dalam ini memang sepakat untuk menjalani hidup tanpa tergantung dengan teknologi apapun, baik itu radio, televisi, listrik, maupun gadget.

(bersambung)

Sabtu, 24 Maret 2012

TOUR OF BADUY DALAM # 1: JANGAN BERANI-BERANI MELANGGAR ATURAN....

Ketika tawaran itu datang, saya langsung mendaftar. Bagi saya, tak semua orang bisa dengan mudah masuk ke dalam kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (selanjutnya disebut Baduy Dalam). Selama ini, kebanyakan pelancong hanya mampu berkunjung sampai ke Baduy Luar. Terlebih lagi, tidak semua orang bisa masuk ke Baduy Dalam di masa perayaan Kawalu.

Perayaan Kawalu adalah salah satu tradisi ritual warga Baduy Dalam. Selama melaksanakan Kawalu, seluruh warga Baduy Dalam berpuasa dan tinggal di rumah masing-masing. Tak heran, sebetulnya selama perayaan Kawalu, perkampungan Baduy Dalam, yang meliputi Cikawartana, Cikeusik, dan Cibeo tertutup bagi penggunjung. Meski pejabat daerah atau pejabat negera, mereka tidak diperkenankan masuk ke Baduy Dalam. Namun Alhamdulillah, sobat kami, Imung, yang juga menjadi tour guide dan penyelenggara, diizinkan memasukki Baduy Dalam.



Harap maklum, Imung sudah akrab dengan warga Baduy Dalam. Bahkan ia sudah dianggap sebagai keluarga di tempat itu. Interaksinya dengan orang Baduy sudah terjadi sejak tahun 90-an. Ia masih ingat, salah satu anggota keluarga di Baduy Dalam yang menjadi tour guide bernama Sapri, usianya baru 1,5 tahun.

Sekarang usianya sudah 18 tahun dan sebentar lagi menikah,” ingat Imung.

Ia pun mengingat, ketika pertama kali datang, jalan menuju ke pemberhentian terakhir mobil di Ciboleger, masih belum beraspal mulus seperti sekarang. Lebih dari itu, tahun 1990-an, wanita-wanita Baduy Dalam masih topless.

Mereka baru memakai pakaian sekitar tahun 1995-an,” ujar Imung lagi.

Perjalanan menuju Baduy Dalam ini dimulai dari Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta selatan. Di tempat ini, tim Tour of Baduy Dalam ini berkumpul. Selain saya, ada istri saya dan sembilan rekan lain. Total tim terdiri empat pria dan tujuh wanita. Tepat pukul 8, kami berangkat menggunakan mobil Isuzu Elf bernomor B 7934 AB.

Sepanjang perjalanan Imung mengisahkan sejarah Baduy dan aturan-aturan yang berlaku selama berada di Baduy Dalam. Jika tidak mentaati aturan yang berlaku, Anda akan mendapat konsekuensi yang menyulitkan Anda sendiri. Imung sendiri pernah punya pengalaman berputar-putar di bukit selama 2 kali untuk menuju ke pos terdekat di Ciboleger, padahal seharusnya jarak yang ditempuh cuma 20 meter.

Saya introspeksi kenapa bisa muter-meter, ternyata sebelumnya saya punya salah,” ujar Imung. “Setelah minta maaf ke orang Badui, perjalanan saya lancar.



Saya bersama tim Tour of Baduy Dalam, dan teman-teman baru dari Baduy Dalam yang menjemput kami.

Pengalaman sobat kami itu tentu menjadi bekal yang sangat berharga ketika kami berada di Baduy Dalam. Sebetulnya bukan cuma di Baduy Dalam, di tempat lain dan dengan siapa pun, ketika kita memiliki kesalahan, pasti akan ada balasan atas kesalahan kita.

Imung berkisah lagi tentang pengalaman sorang Pendaki gunung terkenal di tanah air yang sempat mencuri Arca Domas yang sangat disucikan oleh warga Baduy Dalam. Percaya tak percata, belum juga masuk ke dalam rumah, Pendaki ini kaget ketika seorang Baduy Dalam berada di depan rumahnya dan meminta agar Arca itu segera dikembalikan. Padahal, pada saat membawa Arca, Pendaki ini naik kendaraan umum, sementara orang Baduy pantang naik kendaraan, melainkan jalan kaki.

Sekadar info, Arca Domas adalah objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Baduy Dalam, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Baduy Dalam mengunjungi lokasi tersebut jika mereka ingin melakukan pemujaan, dimana dilakukan setahun sekali pada bulan Kalima (salah satu bulan dalam hitungan warga Kanekas). Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang bisa melakukan pemujaan.

Di kompleks Arca Domas terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Jika saat pemujaan batu lumpang terdapat penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Baduy Dalam itu tanda hujan pada tahun tersebut akan banyak turun dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, jika batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (sumber: Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net). Nah, bisa terbayang jika Arca Domas tersebut dicuri oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

Sebagai anggota Wanadri, alumni Sastra Jawa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI, sekarang Fakultas Ilmu Budaya) ini juga punya pengalaman lain tentang ‘keanehan-keanehan’ dari orang Baduy Dalam. Ada kisah lagi, dimana terjadi di sungai Ciboleger. Di tempat itu, ada sebuah jembatan yang sangat eksotik terbuat dari bambu. Suatu ketika, salah seorang rekan Imung melihat orang Baduy Dalam berjalan di atas air.

Tadi saya lihat Bapak jalan di air?” tanya rekan Imung pada seorang Bapak.

Itu kan jalan saya juga,” ujar sang Bapak enteng.

Itulah tanda, bahwa orang Baduy, khususnya Baduy Dalam, sudah menyatu dengan alam. Mereka tidak pernah menyakiti alam. Bagi mereka, tumbuhan maupun air harus dijaga dengan baik. Tak heran, mereka tidak pernah mandi atau mencuci dengan menggunakan sabun atau diterjen yang mengandung zat kimia. Mereka pun tidak pernah menggosok gigi dengan menggunakan pasta gigi. Sebab, baik sabun mandi, diterjen, maupun pasta gigi akan merusak kesucian air.

Begitu pun dengan tumbuhan dan ladang. Warga Baduy Dalam tidak memelihara binatang ternak berkaki empat, seperti kerbau maupun kambing. Menurut mereka, binatang-binatang tersebut akan merusak tumbuhan. Jangan heran, ketika ada peristiwa Pengembala menternakkan hewan berkaki empat di area tanah ulayat warga Baduy Dalam, mereka protes. Mereka juga memprotes jika ada orang luar memapas tumbuhan yang ada dalam kawasan mereka. Ini terjadi di era Soeharto.

Protesnya bukan ke Lurah, DPRD, atau Gubernur, tetapi langsung ke Bapak Gede,” ujar Imung. “Bapak Gede adalah sebutan mereka untuk Presiden”.

Bagi orang Baduy Dalam, setiap meninggalkan kawasan, mereka harus bertanggung jawab terhadap kawasan itu. Begitu mereka ingin membuka rumah baru, maka lahan yang mereka tinggalkan itu harus dikembalikan seperti sediakala. Itulah bentuk penghargaan orang Baduy Dalam terhadap alam.

Mereka itu sebetulnya orang yang berilmu, tetapi sikap mereka selalu rendah hati,” tambah Imung.

(Bersambung)