Kami tiba di kampung Cibe’o menjelang magrib. Di kampung inilah kami akan menginap. Cibe’o adalah satu dari tiga mapung di Baduy Dalam yang memiliki 97 rumah dengan jumlah Kepala Keluarga kurang lebih 133 orang. Menurut pak Narja, total penghuni kampung Cibe’o ini sekitar 500-an orang.
Cibe’o termasuk kampung yang padat penduduk. Dua kampung lain, yakni Cikartawana dan Cikeusik tidak begitu padat. Jumlah rumah di Cikartawana boleh jadi paling sedikit, yakni sekitar 37 rumah. Sementara Cikeusik mencapai 70-an rumah.
Berbicara tentang rumah di Baduy Dalam, sungguh sangat menarik. Saya kagum dengan tata artistik rumah di Baduy Dalam ini. Sederhana, tetapi penuh nilai seni. Rumah Baduy adalah rumah panggung yang mengikuti kontur tinggi atau rendah tanah. Pada saat membuat rumah, warga Baduy Dalam tidak pernah merusak dasar tanah. Jika tanah memang tidak rata, mereka tidak berusaha merusak tanah tersebut.
Ada 5 tiang yang menyangga atap rumah yang berada di samping kanan dan kiri. Sementara ada 3 tiang yang berada di depan dan belakang. Batu kali yang menopang tiang-tiang bambu tersebut, yang juga menahan agar tanah tidak longsor. Sejumlah bambu yang sudah dipotong menghubungkan masing-masing tiang yang menyangga atap rumah yang terbuat dari daun kepala kering. Atap ini biasa disebut sulah nyanda. Nyanda di sini memiliki filosofi sikap bersandar. Sebab, sandaran atap tidak lurus, tetapi miring ke arah belakang.
Untuk menutup seluruh rumah dipasang bilik dari anyaman bambu atau disebut sase. Teknik pembuatan sase ini dikenal dengan nama sarigsig, dimana pembuatannya berdasarkan feeling si pembuat anyaman, karena tanpa diukur terlebih dahulu.
Luas rumah Baduy Dalam sekitar 8 x 7 m2. Interior rumah cuma ada 2 ruang. Satu ruang besar berbentul “L” dan satu ruang berukuran 2 x 4 m2. Ruang “L” difungsikan untuk ruang tamu dan untuk tidur. Sementara ruang berukuran 2 x 4 m2 itu adalah ruang serba guna, yakni ada dapur, tempat meletakkan peralatan dapur (piring, dandang, wajan, dll), dan juga untuk ruang tidur. Jika ada tamu yang datang, anggota keluarga memang tidur di ruang tersebut, sementara tamu tidur di ruang berbentuk “L” itu.
Ada yang menyebutkan ruang dalam rumah Baduy Dalam dibagi 3. Saya mengerti, barangkali rumah “L” yang saya sebutkan tadi itu mereka bagi lagi menjadi dua. Ruang di depan untuk menerima tamu dan jika tamu bermalam yang disebut sosoro. Lalu ruang berikut -masih di ruang “L” itu- difungsikan sebagai ruang tidur anak-anak sekaligus tempat makan yang lazim disebut tepas. Nah, ruang yang ada dapurnya itu sebetulnya adalah ruang tidur khusus Kepala Keluarga yang disebut Imah.
Pintu rumah harus menghadap ke Utara atau Selatan, kecuali rumah Pu’un. Terdapat kayu berukuran 5 cm yang berfungsi sebagai kunci pintu rumah. Jika ingin menutup pintu, tinggal mendorong pintu dan memalangkan kayu kecil itu ke ujung bambu.
Rumah Baduy Dalam tidak mengenal jendela. Di tiap rumah hanya menyisakan lubang kecil berukuran 5 x 5 cm untuk ‘mengintip’ yang mereka namakan lolongok. Di depan rumah, ada empat sampai enam bambu panjang yang difungsikan untuk teras, yang dalam bahasa Sunda Baduy Dalam disebut papange.
Selain ada papange, di depan rumah Baduy Dalam terdapat sosog atau keranjang sampah yang terbuat dari rajutan bambu yang mirip seperti obor bambu, dimana ujungnya berdiameter 10 cm. Lalu ada pula kele, yakni tempat air dari bambu yang mirip seperti alat musik angklung. Namun, jika angkung itu terbuka dan mengunakan bambu kecil, kele tertutup dan menggunakan bambu besar. Untuk memasukkan dan menggeluarkan air, dibuat lubang kecil.
Saya perhatikan, setiap rumah hanya memiliki kele sebanyak 4 sampai 6 kele. Air yang ada di dalam kele ini diambil dari air sungai. Selain untuk keperluan air minum, air di dalam kele juga berfungsi untuk mencuci tangan, kaki, dan bagi orang Islam seperti saya untuk berwudhu.
Setiap warga yang sudah menikah, tidak dilarang memiliki rumah. Asal punya uang dan mendapat izin Pu’un. Jadi jika ada yang mengatakan di Baduy Dalam hanya boleh berdiri 40 rumah, itu tidak benar.
Setiap ingin membangun rumah, orang Baduy Dalam memang harus minta izin pada Pu’un. Begitu Pu’un mengizinkan, seluruh kampung wajib membantu membangun rumah. Dengan cara gotong royong seperti itu, tak heran rumah orang Baduy Dalam bisa selesai dalam tempo 1 hari.
Menurut pak Narja, rata-rata biaya pembangunan rumah di Baduy Dalam sekitar Rp 3 juta. Harga ini berbeda dengan pembangunan rumah di Baduy Luar yang bisa berlipat-lipat. Bahkan ada yang bisa mencapai Rp 20-an juta per rumah. Perbadaan tersebut, karena rumah di Baduy Luar sudah banyak dimodifikasi, tidak sesederhana rumah di Baduy Dalam.
“Rumah anak saya di Baduy Luar sekitar 25 juta rupiah,” ungkap pak Narja. “Kebetulan saya sempat mendapat dana dari Cikeas sebesar 20 juta”.
Mumpung masih menyisakan sedikit sinar matahari, kami diajak jalan menuju sungai dan pancuran tempat mandi kaum perempuan. Di atas sungai terdapat jembatan yang membentang, dimana mirip dengan jembatan ketika kami memasuki wilayah Baduy atau batas akhir kami boleh mengambil gambar.
Jembatan ini seluruhnya terbuat dari bambu. Oleh karena warga Baduy Dalam pantang menggunakan paku, maka untuk menguatkan jembatan, menggunakan ijuk kelapa yang sudah dibuat seperti tali. Terus terang saya kagum sekali terhadap konstruksi jembatan ini, sebagaimana kekaguman saya pada arsitektur rumah orang Baduy Dalam. Bukan sekadar kekokohan-nya, tetapi keartistikan jembatan ini. Saya bisa membayangkan, meski mereka penduduk pedalaman, namun citra seni mereka begitu sempurna. Jika tak salah, jembatan model ini sempat dipemerkan saat Pasar Seni Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun lalu.
Matahari perlahan-lahan turun. Warna keemasan masih sedikit menyisakan di dedaunan yang ada di sekitar jembatan. Suasana pun berangsur mulai gelap. Kebetulan kami sudah siap membawa senter kecil dan head lamp yang kami beli di pedagang asongan pinggir jalan.
Menjelang gelap gulita, ada empat bocah Baduy Dalam masuk ke dalam sungai. Mereka membuka baju dan kemudian berenang. Saya sempat takjub, keberanian mereka. Yang biasa saya lihat, bocah-bocah justru berenang di sungai pada saat terang benderang, anak-anak Baduy Dalam ini justru berenang saat hari mulai gelap.
Suasana gelap itu jadi penanda kami untuk segera melaksanakan sholat magrib. Saya dan teman kemudian mengambil wudhu di sungai tersebut. Saat mengambil wudhu kami masih mendengar keceriaan anak-anak Baduy Dalam yang asyik berada di dalam sungai. Di tengah kecerian itu, terdengar suara dua gadis yang melangkah dengan cepat di jembatan masuk ke dalam kampung. Sepertinya mereka habis mandi di pancuran.
Kampung sudah gelap gulita. Meski kami menggunakan senter, jalan kami masih tetap meraba-raba, takut terpeleset atau salah jalan. Saya sempat melihat ada dua kunang-kunang bersinar di dekat kami. Mungkin terlihat norak, tetapi saya menikmati sekali kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang itu. Subhanallah, indah sekalil. Saya tak akan mungkin menemukan binatang ciptaan Allah ini di Jakarta, terutama di rumah saya di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Mungkin akan ditemukan jika mata kita berkunang-kunang gara-gara stres dengan kemacetan.
Kelar sholat magrib berjamaah, kami semua keluar rumah dan duduk di papange. Subhanallah, langit begitu bersih dan penuh bintang. Seolah malam itu kampung Baduy Dalam ditaburi oleh aneka bintang yang banyak sekali. Kami beruntung bermalam di Baduy Dalam dalam kondisi cerah, meski suasana kampung gelap gulita. Kata orang, itu menjadi pertanda baik.
“Lihat ada tiga bintang yang berjajar,” ujar pak Narja sambil menunjuk ke arah tiga bintang itu.
“Mana?” ujar salah seorang teman kami.
“Itu-tuh,” tegas pak Narja lagi.
“Kalo tiga bintang itu ada di tengah, itu tanda waktu panen,” jelas pak Narja pada kami.
Malam itu benar-benar indah. Taburan bintang malam itu membuat topik kita sedikit beralih ke masalah atronomi. Terdapat banyak bintang seperti ini dalam ilmu astronomi atau tata surya adalah galaksi. Galaksi adalah tempat berkumpulnya bintang-bintang di alam semesta yang memiliki bentuk dan ukuran yang bermacam-macam, seperti spiral, elips, dan tak beraturan.
Salah seorang teman kami juga sempat berkisah tentang planet baru yang ditemukan oleh observatorium antariksa milik NASA. Planet bernama Kepler ini konon kabarnya bisa didiami oleh manusia, sebagaimana manusia mendiami bumi.
Bahkan Media Indonesia (18 Desember 2011) pernah menulis, astronom asal Indonesia yang kuliah di University of Toronto, DR. Mubdi Rahman, menemukan sekelompok bintang berukuran besar dan berusia muda di sekitar galaksi. Dari kelompok bintang yang belum pernah terlihat itu, sebagian di antaranya (yang jumlahnya ratusan) berukuran lusinan kali lebih besar daripada matahari. Sekelompok bintang yang besar itu dinamakan Dragonfish atau ikan arwana.
“Kita seperti berada di Planetarium ya? Tapi bedanya bintang-bintang di langit ini asli ciptaan Allah,” papar teman saya.
“Kalo lihat taburan bintang kayak gini, rasanya pengen pergi ke tanah lapang dan melihat bintang sambil tiduran,” tambah teman saya yang lain.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar