Ketika kami ngobrol, terdengar suara batuk anak-anak Baduy Dalam yang persis di sebelah kanan dan kiri rumah pak Narji. Bahkan keponakan pak Narji sendiri, yang malam itu tidur di ruang depan, batuk cukup parah.
Saya mendengar kabar, beberapa minggu ini, petugas kesehatan sering bolak-balik ke Baduy Dalam. Mereka mencurigai, anak-anak Baduy Dalam terserang infeksi paru-paru atau bronkitis akut, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Pneumonia.
Mengutip Wikipedia, bahwa Pneumonia adalah sebuah penyakit pada paru-paru, dimana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer, meradang dan terisi oleh cairan. Pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk infeksi oleh bakteria, virus, jamur, atau pasilan (parasite). Radang paru-paru dapat juga disebabkan oleh kepedihan zat-zat kimia atau cedera jasmani pada paru-paru, atau sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau berlebihan minum alkohol.
Tentang berlebihan minum alkohol, saya sangat tidak yakin jika anak-anak Baduy Dalam melakukan itu. Pun orang dewasa dan orangtua di Baduy Dalam minum alkohol. Sebab, mereka anti-alkohol. Merokok saja tidak.
Selama di kampung Cibe’o, saya tidak pernah melihat orang Baduy Dalam mengisah rokok. Kabaranya di dua kampung Baduy Dalam lain pun begitu, yakni Cikertawana dan Cikeusik. Biasanya, meski di kampung-kampung pedalaman, saya seringkali menjumpai penduduk setempat merokok. Sebagian dari mereka awalnya sekadar iseng, karena untuk menghangatkan badan, karena suhu sekitar yang relatif dingin, juga sebagai ‘teman’ saat menyeruput kopi. Namun, rata-rata kebiasaan buruk itu jadi berlanjut menjadi ketergantungan. Nah, Alhamdulillah di Baduy Dalam tidak seperti kampung-kampung lain. Kampung Baduy Dalam adalah kampung bebas perokok. Padahal kalo dipikir-pikir udara di Baduy Dalam pun relatif dingin.
“Ya, memang nggak ada yang mau merokok aja,” jawab pak Narja, ketika saya tanya mengapa tak ada seorang pun penduduk yang merokok.
Saya pikir, tak ada yang merokok itu, karena ada aturan adat yang melarang. Ternyata tidak. Nampaknya seluruh penduduk mengerti bahaya merokok dan sangat sayang jika alam yang asri, dinodai oleh asap nikotin, sehingga terjadi polusi. Mereka yang sangat sederhana, ternyata memiliki pola pikir modern dan sehat.
Lalu mengapa terjadi Pneumonia? Selidik punya selidik, saya menyimpulkan ada dua sebab. Yang pertama tentang rumah Baduy Dalam. Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, rumah Baduy Dalam itu tidak memiliki jendela. Baik di depan maupun samping rumah tertutup rapat oleh bilik yang disebut sase. Udara hanya masuk melalui pintu yang cuma satu-satunya, yang terletak di depan rumah. Itu pun tak semua pemilik rumah selalu membuka pintu setiap pagi.
Selain pintu, sebenarnya ada satu ventilasi tempat udara masuk. Namanya lolongok. Namun lolongok ini tidak sebesar jendela sebagaimana rumah-rumah umumnya, yang berukuran 1,5 x 3 meter atau paling kecil ½ x ½ meter. Ukuran lolongok cuma sebesar biskuit. Dari namanya saja kita tahu fungsinya bukan sebagai ventilasi, tetapi sebagai tempat mengintip.
Sebab yang kedua adalah faktor makanan. Saya sedih melihat anak-anak Baduy Dalam sudah terpengaruh snack berkadar garam dan vetsin tinggi. Barangkali Anda heran, bagaimana pola makanan tak sehat ini bisa masuk, padahal di Baduy Dalam tak ada warung. Pun anak-anak juga tidak pernah termakan bujuk rayu iklan makanan ringan tersebut, karena mereka tidak menonton televisi. Spanduk, poster, atau flyer pun tidak diizinkan muncul di kampung ini.
“Kebetulan ada orang dari Ciboleger yang membuka dagangan di kampung ini,” jelas pak Narji, ketika saya tanya darimana anak-anak mengkonsumsi makanan ringan itu.
Benar saja. Ketika saya jalan menyusuri kampung, saya melihat langsung bapak berusia 50-an tahun, membuka lapak di depan sebuah rumah di Baduy Dalam ini. Di lapak tersebut, terdapat aneka snack yang biasa dikonsumsi anak-anak kota.
Saya melihat sendiri anak-anak itu mengunyah makanan ringan itu. Mereka jelas tak mengerti betapa buruk makanan itu bagi kesehatan mereka. Kebetulan orangtua mereka pun tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kandungan pada makanan tersebut. Bagi Pedagang asal Ciboleger itu juga tak peduli dengan kesehatan anak-anak. Baginya, yang penting dagangannya laku keras.
Menurut pak Narji, Pedagang asal Ciboleger itu sudah 4 tahun berdagang. Entah dari mana ia mendapatkan izin berdagang. Yang pasti baik Pu’un maupun Jero sepertinya tidak melarang, apalagi mengusir.
“Habis dia juga berdagang kebutuhan pokok yang kebetulan dibutuhkan oleh masayarakat sini, seperti minyak, gula, kopi, dan kebutuhan pokok lain,” jelas pak Narji, yang sepertinya pasrah dengan kondisi tersebut.
Sambil terus berkisah, bunyi batuk anak-anak yang ada di rumah sebelah kanan dan kiri pak Narji belum juga berakhir. Saya pikir, batuk yang diderita anak-anak itu sudah lama terjadi. Mendengar suara batuk mereka, saya sedih sekali. Rasanya, mereka letih sekali dengan penyakit yang mereka derita.
Batang liling tinggal setengah. Lelehan lilin menggumpal di tepi batang itu. Ada yang menetes dan jatuh ke kayu. Mata saya sudah mulai kantuk. Saya juga melihat mata pak Narji juga mulai kriyep-kriyep. Namun, ia masih terus meladeni Imung untuk bercakap-cakap. Topik berikutnya yang dibahas tentang golok.
Jika masih punya waktu, keesokan pagi, kami akan diajak ke kampung Batu Beulah, tempat pembuatan golok.Seperti kisah saya sebelumnya, bahwa peralatan berkebun yang dilakukan Baduy Dalam hanya golok. Oleh karena itu, golok merupakan alat yang vital dan setiap orang harus memiliki golok yang terbaik.
“Ini golok kepunyaan saya yang merupakan warisan kakek saya turun temurun,” papar pak Narji sambil memperlihatkan golok berukuran sekitar 30 cm itu pada saya dan Imung.
Golok itu kelihatannya biasa saja. Warna dasar besi sudah terlihat agak kusam, namun bekas tempaan besinya masih terlihat jelas. Ada kerut-kerut yang menjadi tanda bagus-tidaknya sebuah golok. Kerut-kerut pada dasar besi tersebut adalah tanda si Pengrajin golok membakar dan memlintir golok tersebut berkali-kali. Soal ketajaman golok pak Narji ini, tak perlu diragukan lagi.
“Umur golok ini sudah 100 tahunan,” tambah pak Narji, seperti membuka rahasia. “Berapa pun biaya yang ditawarkan, saya tidak akan melepas golok ini”.
Sambil didekatkan ke lilin, Imung mencoba mengamati golok itu. Dari cahaya yang dipantulkan pada lilin, memang nampak golok itu ‘berbeda’ dari golok umumnya. Ada kesan magis yang nampak pada golok tersebut.
Pak Narji masuk ke ruang dalam dan kembali lagi sambil membawa gula aren yang masih dibungkus oleh kulit pisang kering. Ia mengambil golok dan memecahkan gula aren dengan golok itu. Prokk!! Dengan sekali pukul gula aren itu pecah dan kemudian diletakkan ke sebuah piring.
“Besok kita lihat pembuatan golok di Batu Beulah ya. Mudah-mudahan ada Pengrajin yang sedang buat,” kata pak Narji sambil meletakkan piring berisi gula aren yang sudah terpecah-pecah itu, dan mempersilahkan kami mencicipi.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar