Orang Baduy biasa menyebut sebagai orang Kanekes atau Urang Kenekes. Khusus orang Baduy Dalam biasa dikenal dengan sebutan Urang Tangtu. Bagi saya, orang Baduy Dalam menggunakan penglihatan dengan rasa dan hati. Kesimpulan ini saya ambil saat memperhatikan mereka jalan tanpa menggunakan alat penerangan, baik senter maupun obor.
Ketika saya dan teman-teman berada di papange, seorang berjalan dengan cepat menyusuri jalan. Padahal kondisi gelap gulita. Lebih dari itu, jalan di antara rumah-rumah berbatu. Jika orang biasa seperti kita, yang terjadi akan menabrak rumah atau tersandung batu.
“Mereka sudah khatam dengan jalan di sini,” ujar salah seorang teman saya.
Selain seorang Baduy Dalam tadi, ada tiga orang Baduy Dalam lain yang sempat melewati kami. Mereka tampak terburu-buru. Salah seorang yang berada di depan hanya menggunakan sebatang kayu panjang.
“Mau kemana pak malam-malam?” tanya pak Narja dalam bahasa Sunda.
“Mau ke Ciboleger,” jawab salah seorang.
Seperti yang sudah saya kisahkan sebelumnya, Ciboleger adalah tempat perhentian terakhir kendaraan yang ingin berkunjung ke Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Jarak dari kampung Cibe’o, tempat kami menginap, ke Ciboleger kurang lebih 12 km, dan memakan waktu perjalanan sekitar 5-6 jam. Sementara dari Cibe’o ke Cijahe kurang lebih 2 km dan ditempuh dalam waktu 1-2 jam perjalanan.
Jadi, Anda bisa bayangkan, tiga orang Baduy Dalam yang hendak pergi ke Ciboleger itu, berjalan turun-naik bukit di malam hari tanpa menggunakan lampu penerangan. Luar biasa bukan?
Tepat pukul 21:10 WIB, saya pamit untuk masuk ke rumah pak Narja. Selain ngantuk, kaki sudah pegal, dan berdoa keesokan pagi segar kembali dan bisa sholat subuh. Sementara teman-teman lain sepertinya masih menikmati udara malam dan taburan bintang di langit.
Aneh bin ajaib. Sesampai di dalam rumah pak Narji, saya tidak bisa tidak, apalagi mendengar percakapan Imung, tour guide kami. Padahal saya sudah berusaha memejamkan mata, memasukkan badan ke dalam sleeping bag. Namun, saya ternyata tak kuasa untuk bangun dan ikut nimbrung mereka bercakap-cakap.
“Sebetulnya di saat sekarang ini tidak boleh ada yang berkunjung ke Baduy Dalam, apalagi lebih dari 3 orang,” papar pak Narji. “Makanya besok pagi harus menghadap ke Pu’un.”
“Baik, pak. Besok pagi kalo saya belum bangun, dibangunkan saja, pak,” ujar Imung.
Setiap 1 Februari atau yang bertepatan dengan bulan Karo, itu merupakan bulan Kawalu. Bulan Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy, terhitung hingga tiga bulan ke depan. Menurut pak Narji, saat kami datang ini, bertepatan dengan tanggal 1 di bulan Sapar atau 1 April di bulan Masehi atau akhir bulan Kawalu.
Di akhir bulan Kawalu ini, para tetua dan tokoh adat melakukan upacara besar, yakni perjalanan ziarah ke Arca Domas, yakni sebuah tempat yang mereka sucikan dan letakkan sangat dirahasiakan. Tak cuma dirahasiakan pada sebagian warga Baduy sendiri, apalagi bagi para penggunjung dari luar kampung.
Baduy, khususnya Baduy Dalam, memang memiliki bulan tersendiri. Sambil menghitung dengan jari, pak Narji menggungkapkan ke-12 bulan itu, mulai dari Kasa, Karo, Katilu, Sapar, Kalima, Kaanam, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapid Lemah, dan Hapid Kayu. Dan bulan Kawalu yang dijelaskan di atas tadi berada di bulan Karo, Katilu, dan Sapar.
Jika bulan Karo, Katilu, dan Sapar adalah bulan Kawalu, bulan Harpid Kayu adalah bulan yang baik untuk menikah dan mengobatin padi. Khusus mengobati padi, dilakukan dengan cara menyemprotkan daun dan buah mengkudu, yang sudah ditumbuk dan dicampur air cuka, dengan mulut.
Sambil ditemani sebatang lilin yang menyala di atas sebongkah kayu, pak Narji berkisah tentang banyak hal, mulai dari para Jenderal yang sempat berkunjung ke rumahnya itu dan tentang Hercules. Kata beliau, salah seorang Jenderal berbintang akrab dengannya. Saking akrab, ia pernah menginap di rumah sang Jenderal di Cikeas.
Tentang Herculues, kata pak Narja, belum sempat ke Baduy Dalam, karena takut capek. Mendengar itu, saya sempat tersenyum. Orang sekaliber Hercules yang sangat ditakuti itu ternyata masih takut capek. Meski begitu, antara Hercules dengan orang Baduy, terutama Baduy Dalam sangat akrab. Jika berkunjung ke Ciboleger, Hercules menanyakan tentang situasi di Baduy. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan oleh penduduk Baduy, Hercules dan kelompoknya siap mengamankan.
Pak Narja kemudian memperlihatkan sebuah buku alamat kecil, yang disimpan di dalam plastik kresek warna putih. Di buku alamat itu terdapat beberapa nama orang yang sudah berkunjung ke rumahnya, termasuk juga nama seorang anak pejabat Orde Baru (Orba).
“Saya sudah dua kali ke Bandung,” ujar pak Narja. “Kalo ke Jakarta sudah sering sekali.”
Pak Narja ke Bandung sekitar 1990-an, dalam rangka diundang oleh Gubernur Jawa Barat yang pada masa itu dijabat oleh Yogie S. Memet. Setahun berikut, ia diundang kembali ke Bandung oleh salah seorang Pejabat di Gedung Sate.
Di Jakarta, pak Narja sudah keliling di hampir semua Jakarta. Ia sering menginap di belakang pusat kursus Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) di Pancoran, Jakarta Selatan. Ia juga hafal daerah di Pondok Gede, Jatiwaringin, maupun Grogol, Jakarta Barat.
“Bapak kerjanya dimana?” tanya pak Narja ke saya.
“Di Kedoya, pak.”
“Oh, dekat Indosiar dan RCTI ya?”
Saya takjub. Pak Narja ternyata tahu sekali lokasi tempat kerja saya. Ia pun kenal dengan lokasi tempat tinggal saya di Cempaka Putih.
“Dekat Rawasari ya?” tanya pak Narja. “Saya sering nginap di kompleks Pengadilan.”
Saya tepuk jidat. Makin tepuk jidat begitu tahu, bahwa untuk mencapai Jakarta menghabiskan waktu perjalanan selama 2 hari. Harap maklum, orang Baduy, baik Luar maupun Dalam pantang naik kendaraan umum. Mereka selalu jalan kaki. Anda tahu berapa hari pak Narja harus ke Bandung? Lima hari!
Sebelum masuk ke Baduy Dalam, Imung sempat berpesan pada anggota tim, bahwa jangan pernah memberikan alamat atau nomor telepon jika tidak berkenan untuk didatangi orang Baduy. Saya mengerti mengapa Imung berpesan seperti itu. Sebab, banyak orang kota Metropolitan tidak berkenan menerima tamu sembarangan, terlebih lagi orang Baduy Dalam yang tidak menggunakan sendal setiap hari, tidak pernah gosok gigi dengan pasta gigi, tidak pernah mandi menggunakan sabun, tidak pernah keramas menggunakan shampo, dan tidak pernah menggunakan minyak wangi sebagai pengharum tubuh.
Dewasa ini orang kota banyak yang tidak tulus menerima orang dusun, seperti orang Baduy Dalam ini. Mereka dekat dengan orang miskin jika ada maksud tertentu, jika tidak memanfaatkan kemiskinan (baca: menjual kemiskinan agar bisa memperoleh dana dari funding) atau sebagai pencitraan yang lazim dilakukan di dunia politik. Namun saya bukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kebanyakan menjual kemiskinan, atau politikus. Saya adalah Warga Negara Indonesia yang ingin memiliki banyak teman dan sahabat. Tak heran saya tidak bisa menyembunyikan alamat saya dan terpaksa melanggar pesan Imung.
“Boleh minta alamat rumah dan telepon?” tanya pak Narji.
“Boleh pak,” ujar saya.
Pak Narji kemudian menyerahkan buku alamat kecil ke saya. Dengan mengandalkan cahaya lilin seadaannya, saya pun menulis alamat lengkap saya beserta no telepon rumah. Bagi saya, permohonan pak Narji meminta alamat dan nomor telepon saya adalah sebuah bentuk awal silaturahim. Dan saya pun sangat senang mendapatkan teman baru.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar