Minggu, 11 Oktober 2015

Senin, 28 September 2015

APA KABAR NASKAH BUKU TRAVELING SAYA?

Terhitung sebulan yang lalu, saya dan sembilan penulis diundang BitRead ke Bandung, Jawa Barat. Kami adalah 10 pemenang naskah traveling dalam rangka #TerbitkanBukumu2. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, naskah saya berjudul Tour of Baduy dinilai pihak BitRead layak menjadi pemenang. Begitu juga naskah ke-9 teman saya.

Kini, terhitung sejak tulisan ini di-posting, sudah sebulan lebih saya dan teman-teman menunggu buku ke-10 pemenang diterbitkan. Barangkali saya bisa jauh lebih bersabar, lantaran saya tidak cuma menunggu penerbitan Tour of Baduy. Ada buku lain saya yang juga siap terbit di Oktober 2015 ini. Judulnya? Nanti Anda akan tahu sendiri.

Saya boleh sabar, tetapi ada salah seorang teman saya yang justru sudah mangkel menunggu buku nggak kunjung diterbitkan. Bahkan, teman saya sudah mengeluarkan kalimat-kalimat yang mempertanyakan eksistensi BitRead dan keprofesionalitasan pegawai BitRead.

 


Saya di antara teman-teman pemenang naskah buku traveling #TerbitkanBukumu#2


Minggu, 27 September 2015

NGGAK AFDOL PLESIRAN KE MAJALENGKA NGGAK MAMPIR KE PEBRIK KECAP TRADISIONAL



Pada Idul Adha kemarin, saya dan keluarga menyempatkan diri berlibur ke Majalengka. Selama ini, Majalengka dijuluki sebagai "kota pensiunan". Julukan ini muncul, lantaran banyak pensiunan yang membeli rumah dan menghabiskan masa pensiun di Majalengka. Harap maklum, nggak seperti kota besar atau kota metropolis kayak Jakarta, Majalengka masih relatif sepi. Padahal, julukan sebagai "kota pensiun" nggak terbukti 100%. Masih banyak warga produktif yang tinggal di kota ini.

Ada hal menarik selama berada di Majalengka, yakni pabrik-pabrik kecap tradisionalnya masih bertahan sampai kini. Mohon jangan membayangkan kata "pabrik" sebagai sebuah gedung raksasa yang memproduksi produk berskala besar. "Pabrik" yang dimaksud di sini sebetulnya masih dikategorikan sebagai home industry. Namun, apapun istilahnya -mau pabrik, mau home industry-, warga yang memproduksi kecap tradisional masih banyak jumlahnya. Oleh karena banyak, maka pabrik kecap akhirnya menjadi tujuan wisata menarik di Majalengka. Jadi, nggak afdol kalo plesiran ke Majalengka nggak mampir ke salah satu pabrik kecap tradisionil. 
 

Inilah salah satu merek kecap tradisional Majalengka. Mereknya anti-mainstreem: "Ban Bersayap"...










Sabtu, 05 September 2015

PIKNIK KLENIK

Halo sobat Backpacker dimana pun Anda berada.

Udah lama sya nggak piknik. Makanya pas liburan kemarin, saya piknik bersama keluarga ke Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Namanya piknik, maka yang dibawa hal-hal yang berhubungan dengan piknik. Apa itu? Makanan, minuman, sendok, garpu, payung, celemek, talenan, gitar, tikar, sekop, palu, dan kampak. Maaf, tiga benda yang terakhir nggak saya bawa, kok.

Kalo piknik memang kudu bawa tikar. Kalo nggak bawa tikar, namanya bukan piknik. Masa bawa kasur? Kalo kasur namanya bukan piknik, tapi tidur. Ya iyalah, kalo ada kasur, ngapain juga kalo nggak tidur. Apalagi kalo kasur ditemenin sama bantal dan guling. Tapi kan bawa makanan? Iya, kalo makan sambil tidur bukan piknik namanya. Lagipula nggak boleh makan sambil tiduran, dimarahin nenek.

Piknik kudu bawa makanan. Kalo nggak bawa makanan, namanya cuma duduk-duduk di atas tikar di bawah pohon yang rindang. Ngapain juga cuma duduk-duduk? Kalo kelaparan siapa yang bertanggung jawab hayo? Meski nggak diomelin sama Polisi atau Petugas Kebun Raya kalo nggak bawa makanan, tapi kita kudu bawa makanan. At least cemilan lah, misalnya batu koral, kerikil-kerikil tajam, atau cakwe.

 Makan boleh nggak pake sendok atau garpu. Kalo kata kepercayaan saya, sendok dan garpu itu makruh: nggak dilakukan juga nggak dosa. Kalo nggak bawa sendok, makanlah pake tangan. Sebaiknya tangan kanan. Kalo tangan kiri katanya nggak sopan. Memang sih nggak sopan. Sya biasa menggunakan tangan kiri sebagai tangan buat nyebok. Tahu kan kata “nyebok”? Yaitu membersihkan lubang pantat dari kotoran setelah kita pup. Kalo kebetulan makan pake tangan, tangannya ya dicuci dulu lah.

Kalo ketahuan udah bawa makanan, ya kudu bawa temennya, apalagi kalo bukan minuman. Percuma juga kalo udah makan nggak minum, pasti dijamin seret tengorokannya. Analoginya itu bisa disamakan, udah mandi nggak handukan atau udah pake celana jins tapi nggak pake celana dalam. Pokoknya bawa minum. Minum itu penting. Lebih penting daripada makan. Konon katanya orang bisa hidup hanya dengan minum. Soalnya kalo kita nggak minum, maka kita bisa dehidrasi. Soalnya 70% dari tubuh kita berisi air dan kudu diisi air.

Dengan modal di atas, saya dan keluarga siap piknik lahir maupun bathin.

Sengaja saya dan keluarga pilih piknik di Kebun Raya Bogor. Pertama, tempatnya startegis di jantung kota Jakarta, eh..maksudnya Bogor. Nggak jauh dari rumah saya yang ada di Kalimantan *busyet! nggak kejauhan yak?*. Kedua, venue ini mengingatkan kembali komitmen kita sebagai warga dunia kelas tiga, agar kembali ke alam. Mengingat saat ini manusia-manusia dunia sedang doyan-doyannya jadi enviromentalist alias lingkungan minded. Yang dulu tukang potong-potong kayu di hutan, sok berteman dengan alam. Semua bisnis saat kudu berbau-bau hijau: green bahasa kerennya.

Semua serba green. Real estate promosi lokasinya green. Padahal waktu ngebangun, membabat habis ratusan kayu, ribuan pohon, dan otomatis mengusir habitat mahkluk lain, yakni binatang. Bukan cuma real estate, dunia perbankan udah lama juga melakukan kampanye green banking. Sebenarnya cocok sih istilah green dangan bank. Bank identik dengan uang. Biasanya kalo orang mata duitan disebut matanya ijo, maksudnya hijau.

“Mata loe green banget sih kalo liat duit,” kata seorang Ibu muda yang wajahnya cukup tua.

Alasan terakhir kenapa saya dan keluarga pilih Kebon Raya Bogor buat piknik, ya karena venue itu memang cocok buat piknik. Nggak mungkin kan piknik di halaman tetangga? Yang ada diusir tetangga, karena halamannya buat jemuran. Nggak mungkin juga kan piknik di tengah lapangan bola? Nanti diomelin para pemain bola yang lagi latihan. Padahal mereka nggak usah latihan juga nggak bakal menang, apalagi latihan. Maklum, sepakbola Indonesia sampai kapan pun nggak akan pernah berjaya, selama pemimpinnya masih dia-dia juga yang nggak memberikan berkah.

Balik lagi ke soal piknik di Kebon Raya Bogor. Saya senang banget bisa back to Kebon Raya. Selama perjalanan dari Cempaka Putih ke Bogor via tol Jagorawi, gw diceritakan banyak soal sejarah Kebon Raya Bogor. Kata Bokap saya, kalo nggak ada yang namanya Prof. Dr. C.G.C. Reinwardt, nggak mungkin ada Kebon Raya. Botanis asal Jerman ini berada di Indonesia pada awal abad ke-19. Ia merasa, eksplorasi tumbuhan dan masalah pertanian, merupakan tugasnya di Hindia Belanda (dulu nama Indonesia belum ada, jadi disebut Hindia Belanda). Merasa sebagai tanggungjawabnya, ia kemudian menulis surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Namanya G.A.G.P. Baron van der Capellen. Dalam surat itu, Reinwardt minta sebidang tanah buat penelitian, dimana akan diteliti manfaat tumbuhan sekaligus mengkoleksi tanaman yang bernilai ekonomi. Nggak cuma tanaman dari seluruh kawasan Indonesia, tapi juga mancanegara.

Persisnya tanggal 18 Mei 1817, Reinwardt melakukan pemancangan pohon pertama di “sebidang tanah” yang diberikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tanggal itu sekaligus diperingati berdirinya Kebun Raya. Awalnya, nama Kebon Raya adalah Islands Plantentuin atau Hortus Botanicus Bogoriensis. Tahu nggak luas Kebon Raya saat itu? Bukan “sebidang tanah”, tapi 47 ha, Bo! Tapi jangan-jangan zaman dahulu, makna
“sebidang tanah” ya segitu-itu. Gimana kalo menyebutkan “tanah yang luas”? Pasti lebih gokil lagi ukuran hektarnya.

Lokasi Hortus Botanicus Bogoriensis berdekatan dengan Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang saat itu tinggal di Bogor. Sekarang Istana itu masih megah berdiri dan dikenal dengan nama Istana Presiden Bogor. Saat ini, kalo dihitung-hitung, luas Kebun Raya Bogor mencapai 87 ha. Bujug! Luas rumah saya nggak ada seperempat-seperempatnya luas Kebon Raya?!

Saat ini nama lengkap Kebun Raya Bogor adalah Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Venue ini di bawah kepengurusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), lebih tepatnya berada di bawah Kedeputian Ilmu Pengetahuan Ilmu Hayati. Kayak outlet franchise, Kebon Raya ternyata punya cabang. Cabangnya ada tiga, yakni Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi dan Kebun Raya “Eka Karya” Bedugul - Bali.

Menurut data, koleksi tumbuhan di Kebun Raya ada 222 famili, 1.266 marga, 3.444 jenis, 13.865 spesimen. Beberapa jenis koleksi tumbuhan di Kebun Raya bahkan ada yang masuk daftar langka. Berdasarkan IUCN Redlist, tumbuhan yang dikategorikan langka jumlahnya mencapai 231 jenis. Jangan-jangan kalo gw jadi pohon, gw masuk kategori langka dan statusnya perlu dimusnahkan segera.

Saya dan keluarga akhirnya sampe juga di Kebon Raya. Kami cari-cari spot yang bagus buat piknik. Kriteria spot yang bagus: nggak banyak orang yang piknik di situ (syukur-syukur nggak ada orang samsek alias sama sekali), dekat dengan bunyi sungai supaya merasakan seolah dekat dengan pengunungan, dan nggak banyak kelelawar (ngeri aja kalo di atas ada kelelawar kotorannya bisa masuk ke sayuran). Akhirnya spot yang kami impikan, dapat juga.

Selagi keluarga saya menggelar sajadah, eh maksudnya tikar, saya jalan-jalan di seputar situ. Ceritanya mau menghirup udara dari pohon-pohon yang segede-gede gajah itu. Apa yang terjadi saudara-saudara? Saya melihat banyak mobil parkir di depan sebuah venue mirip makam. Eh, bener venue itu adalah makam. Makan siapakah gerangan? Katanya makam Ratu. Bukan Ratu Pantai Selatan, bukan pula Ratu Ngebor alias si Inul. Bukan pula Ratu Elizabeth, maupun Ratu Plaza. Dengan keluguan dan penuh penasaran, saya menyelidiki orang-orang yang masuk ke Makam?

“Orang-orang ini pada ngapain sih Pak?” tanya saya sok meyelidik pada seorang yang berwajah tua yang katanya Kuncen makam itu.

“Nyekar, Dik,” kata si Kuncen itu. “Adik mau nyekar?”

“Saya sih maunya makan di Ayam Goreng Mas Mono. Tapi karena penasaran, saya jadi ke makam ini. Bapak suka Ayam Goreng Mas Mono?”

“Ah, enggak, Dik. Nggak level. Bapak biasa hang out di MacD,” papar si Kuncen.

“Mac Donnald maksudnya, Pak?”

“Bukan! Megong Dikit! Jadi di pojokan dekat Kebon Raya, adik megong dikit ada tempat makan eunak tenan...”

“Maaf Pak, ngomong-ngomong ini makam siapa sih?” tanya saya penasaran.


“Makan Ratu Bogor...”

“Ratu Bogor itu masih saudaraan sama Tales Bogor dan Asinan Bogor ya, Pak?”

“Mungkin juga sih, Dik...”

Kalimat demi kalimat terus meluncur dari juru Kuncen makam ini. Menurut saya, di ramah dan memang harus begitu. Kenapa? Kalo nggak ramah, di nggak akan bakal dapat tips dari para peziarah. Lumayan kan kalo satu perziarah ngasih doi 50 ribu, at least 20 ribu. Kalo saya hitung-hitung yang datang lebih dari 50 peziarah. Ini baru satu hari, belum hari-hari lain. Bisa-bisa gaji Pegawai Negeri lewat!

Terus terang saya nggak mudeng, kenapa sih orang-orang ini menziarahi makan? Kalo makan keluarganya masuk akal lah. Ini saya yakin-seyakin yakinnya mereka datang ke situ bukan, lantaran makan keluarga mereka. Mereka ini berdoa di depan makam berjam-jam sambil mulut mereka komat-kamit. Kayak-kayanya sih membaca ayat suci Al-Qur’an. Ini dibuktikan dengan si komat-kamit memegang tasbih di tangan kanannya.

Di ujung makan, saya melihat ada dua cerutu yang ujungnya ada nyala api. Nggak tahu cerutu-cerutu itu buat siapa. Buat si Peziarah, kayaknya nggak mungkin. Masa berziarah sambil merokok cerutu? Memangnya Bandit kayak di film-film Al-Capone? Kalo cerutu-cerutu itu diberikan ke hantunya si Ratu, berarti si Ratu dulu perokok berat. Selain cerutu, ada juga susu. Saya yakin, si Ratu suka susu. Nggak tahu mereknya susu cap nona atau susu cap kuda liar. Kalo gw mah sukanya susu murni, bukan susu sapi. Ngerti dong maksudnya? Di sekitar makam, tercium bau dupa. Suasananya mirip kayak di kuil-kuil Hindu maupun Buddha. Saya bingung lagi, si Ratu ini orang Islam atau orang non-Islam sih? Kok pake dupa-dupaan?

“Kenapa sih mereka berziarah di sini, Pak?” tanya saya mengobati kebigungan.

“Mereka mendoakan Ratu dan mendoakan diri mereka, Dik...”

“Ngapian mendoakan Ratu, Pak? Bukankah lebih baik mendoakan orangtua?” kata saya mencoba mempertanyakan statement si Kuncen itu.

“Iya sih Dik. Tapi katanya kalo berdoa di makam Ratu, kita bisa minta apa aja. Kita bisa dapat rezeki!”

Hah?! Rezeki?! Ini Kuncen jago banget promosinya. Rezeki kok mintanya sama makam? Sama Ratu? Aneh?! Tapi antara percaya dan nggak percaya, yang datang ke makam itu mobil-mobil mewah. Nggak ada bajaj atau bemo. Orang-orangnya pun tampangnya well educated alias berpendidikan lah.

Bukan cuma pendidikan. Dari yang saya perhatikan, orang-orang yang datang memang orang mampu, orang yang punya agama. Wong ada Ibu-Ibu yang pake jilbab, kok yang datang ke makam. 

“Siapa yang menjamin mereka akan bisa dapat rezeki, Pak?” tanya saya sambil melihat seorang Ibu berjilbab menguyurkan air dari sebuah botol ke mobilnya. Saya yakin, botol itu tadi ada di makam yang katanya udah baca-bacain mantra. Mungkin dengan mengguyurkan air, si mobil bisa mengantarkan rezeki ke Ibu jilbab tadi.

“Udah terbukti, kok, Dik. Masa adik nggak percaya? Lihat sendiri kan yang datang mobil keren-keren?” ungkapnya seperti mo membanggakan diri.

“Bapak udah berapa lama jaga makam?”
“Udah sejak kecil,” jawabnya.

“Bapak udah punya rumah dan mobil berapa?”

“Belum punya. Rumah masih ngontrak, Dik. Memangnya adik mau ngasih rumah sama mobil?
Kalo ada, boleh tuh bagi-bagi, Dik...”

Kasihan benar si Kuncen itu. Berpuluh-puluh tahun di makam itu, tapi nggak kaya-kaya. Kalo memang berziarah di makam Ratu Tales Bogor itu bikin kaya, kenapa si Kuncen aja dijadikan orang kaya? Nggak cuma si Kuncen, hidup orang-orang yang ke berziarah ke makam itu juga kasihan.


TELAGA WARNA: AKANKAH DIKELOLA PIHAK SWASTA?

Tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kuatanggeuhan. Kerajaan yang disebut juga Kemuning Kewangi ini diperintahkan oleh Raja. Nama Raja itu Prabu Swamalaya. Raja ini memiliki seorang Putri bernama Gilang Rukmini.

Sebagaimana manusia yang punya keinginan, Putri Rukmini pun punya. Keinginannya, di setiap helai rambutnya harus dihiasi oleh emas permata. Keinginan itu jelas non-sense atau kalo kata orang Sunda: aya-aya wae! Nggak heran Raja Kuatanggeuhan menolak keinginan sang Putri. Bukan karena Raja pelit, lho! Bukan pula Raja nggak punya uang buat membelikan Putri emas permata, lho. Raja punya banyak duit bukan? Penolakan sang Raja lebih kepada masalah make sense (masuk akal atau nggak masuk akal permintaan itu). Penolakan itulah yang kemudian membuat sang Putri marah. Dalam amarahnya, Putri membuang seluruh perhiasan yang pernah diberikan oleh Ayahnya.

Rupanya Tuhan murka melihat seorang anak yang marah kepada orangtuanya. Nggak heran, ketika perhiasan-perhiasan itu dibuang, tiba-tiba bumi gonjang-ganjing. Keadaan itu membuat Raja, Putri, dan seluruh warga panik tujuh keliling. Permukaan tanah seketika mengeluarkan air. Dari air mancur yang kecil, semakin lama semakin besar, sampai akhirnya menenggelamkan kerajaan Kuatanggeuhan. Tentu Raja Prabu Swamalaya dan Putri Rukmini ikut tenggelam.

Nggak lama kemudian, dari dalam dasar danau terpancar cahaya. Indah sekali. Cahayanya nggak cuma air butek atau warna hijau, tapi cahaya yang berwarna-warni. Nah, cahaya di danau yang berwarna-warni itulah yang kemudian menjadikan danau yang terletak di kawasan puncak Bogor ini dinamakan Telaga Warna.

Ternyata bukan cuma legenda soal kemarahan Putri Rukmini terhadap Raja Prabu Swamalaya aja yang ada di Telaga Warna. Pak Tatang, salah seorang Petugas di Taman Wisata Alam Telaga Warna, menceritakan legenda lain. Bahwa di dalam telaga ini ada sebuah kerajaan Padjajaran. Seperti kita ketahui, Padjajaran pernah menguasai seluruh wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. Kerajaan yang didirikan oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak pada tahun 923 ini di daerah Pakuan, Bogor. Artinya nggak jauh dari Puncak. Alkisah, Ratu kerajaan ini punya keinginan. Kali ini bukan keinginan yang aneh sebagaimana Putri Rukmini. Keinginan Ratu adalah memiliki keturunan alias anak, agar tahta kerajaan bisa diwariskan kelak.

Sayang seribu kali sayang, sampai beberapa tahun married, sang Ratu belum juga dikaruniai anak. Sebenarnya Tuhan sedang menguji kesabaran Ratu. Namanya manusia, pasti tetap punya rasa sedih. Gara-gara kesedihan Ratu yang berkepanjangan, air matanya membentuk sebuah telaga dan kemudian menenggelamkan kerajaan Padjajaran.

“Makanya ada yang pernah meneliti, di tengah-tengah telaga ini ada segitiga semacam pucuk sebuah candi,” kata Pak Tatang, yang sudah 18 tahun bertugas di Telaga Warna ini.

Beberapa Peneliti, baik dari Arkeolog maupun Peneliti lain, memang pernah melakukan penelitian terhadap Telaga Warna ini. Terus terang nggak ada satu pun hasil penelitian yang menyebutkan soal eksistensi candi atau situs purbakala yang terendam di dalam telega ini. Yang ada cuma bukti kedalaman telaga ini, yakni 30 meter untuk telaga yang terdalam. Sementara yang paling dangkal kurang lebih 1,5 meter. Namun, tahun lalu sempat diukur lagi, kedalaman telaga ini sempat menyusut, menjadi 25 meter. Nah, oleh karena nggak ada bukti soal situs-situs purbakala atau peninggalan Kerajaan Padjajaran, maka cerita Pak Tatang tadi menjadi tambahan legenda seputar keberadaan Telaga Warna ini.

Masih soal legenda, ada pula kisah dua ekor ikan purba yang konon ada di dalam telaga sampai kini. Ikan purba tersebut bernama Layung dan Tihul. Cukup aneh buat nama seekor ikan. Layung berwarna merah, sedang Tuhul berwarna hitam. Namun, masyarakat sekitar situ percaya kedua ikan purba itu benar-benar ada atau hidup di Telaga Warna ini. Saking percaya, masyarakat di sekitar Puncak percaya, orang yang mampu melihat ikan purba itu berenang atau meloncot dari permukaan air akan memperoleh rezeki. Cita-cita orang tersebut akan tercapai.

Begitulah Telaga Warna. Penuh misteri. Menurut Pak Tatang, orang-orang memang masih banyak percaya soal legenda dan ikan purba ini. Hal itulah yang kemudian menjadikan Telaga Warna ini sebagai tempat persugihan, dimana setiap Jumat kliwon atau malam 1 Suro, beberapa orang seringkali melakukan ziarah.

“Sebenarnya di luar dari malam-malam itu, banyak pula orang yang berziarah ke sini,” tambah Pak Tatang yang mengaku sering melakukan meditasi dalam rangka meningkatkan ilmu getaran jiwa di Telaga Warna ini.

Oleh karena banyak peziarah, pihak Departemen Kehutanan, dalam hal ini Perhutani yang bertanggungjawab mengelola Wisata Alam Telaga Warna ini, membuatkan sebuah ruang buat berziarah yang dibangun mirip sebuah pos penjaga atau loket yang menjual tiket. Di ruang sempit berukuran kurang lebih 1,5 meter kali 2,5 meter itu terdapat sebuah bangunan mirip makam. Padahal bangunan yang diplester dengan menggunakan keramik warna putih itu sebelumnya nggak ada makam atau prasasti apapun. Aneh? Begitulah kenyataannya.

Ketika saya masuk ke ruang itu, masih ada sisa beberapa batang hio di sebuah pot. Sepertinya sebelumnya ada yang sempat melakukan ziarah. Di luar bagunan pun saya sempat menemukan bungkus hio yang bergambar sebuah patung Budha dengan tulisan Mandarin di kardusnya. Selain bangunan berbentuk makam kecil, tiga pot tempat mengisi hio, ada pula dua figura kaligrafi bertuliskan Allah dan Nabi Muhammad dalam bahasa Arab. Figura itu menempel di dinding di atas “makam-makaman” itu.

Selain ruang ziarah, tentu saja banyak fasilitas lain yang terdapat di Telaga Warna. Menurut Pak Tatang, kurang lebih baru dua tahun ini terdapat fasilitas outbond. Ada pula flying fox, dimana tingginya mencapai 15 meter dengan rute sepanjang 100 meter. Pada saat kita menggantung, kita akan melewati telaga. Lumayanlah buat ngetes nyali. Selain fasilitas itu, bahkan banyak pula kelompok yang memanfaatkan lokasi ini sebagai lokasi camping.

Bagi Anda yang cuma ingin berkeliling di telaga sambil menikmati bukit yang ditumbuhi pepohonan dan mengitari telaga, Anda bisa menyewa perahu atau rakit. Harga perahunya Rp 7.500 per orang. Kebetulan saya sempat berkeliling danau bersama Pak Tatang dan merasakan berada di tengah-tengah telaga. Selain kesejukan udara, saya seperti merasakan hawa mistis yang ada di telaga ini, apalagi setelah mendengar soal legenda-legenda soal kerajaan Kuatanggeuhan dan kerajaan Padjajaran.

“Tenang aja. Nggak ada mahkluk halus yang akan mengganggu kita, asal kita nggak rusuh,” kata Pak Tatang yang mengaku sempat melihat beberapa kali sosok mahluk halus ketika melakukan meditasi.

Saya semakin merinding ketika Pak Tatang menunjuk dua orang yang sempat meninggal di telaga ini beberapa tahun lalu. Apalagi saya sedang berada di titik tengah telaga dan nggak jauh dari TKP atau Tempat Kejadian Perkara. Menurut cerita beliau, ada lima orang yang naik rakit kayu. Mereka ribut sekali ketika berada di tengah danau. Bukan cuma tertawa, tapi becanda. Entah kenapa tiba-tiba rakit tengguling. Semua orang tercebur ke telaga. Tiga orang berhasil diselamatkan, sedang dua orang lagi tewas. Barangkali berita ini nggak sempat diekspos ke media. Namun, sebetulnya menurut Pak Tatang nggak apa-apa, agar orang lebih berhati-hati. Sejak kejadian itu, nggak pernah ada kejadian lagi. Setiap kali ada orang yang naik perahu atau rakit, Pak Tatang selalu mengingatkan agar jangan rusuh.

Di Wisata Alam ini kita juga bisa melihat langsung monyet-monyet liar jenis kera (macaca fascularis) dan lutung (trachypitechus auratus). Mereka berkeliaran bebas di sekitar telaga. Suasana ini mengingatkan saya pada sebuah lokasi di Bali, dimana terdapat banyak monyet liar. Sebenarnya, ada tulisan yang melarang Pengunjung agar jangan memberikan makanan. Namun, ketika saya di berada di situ, ada saja Pengunjung yang memberikan makan monyet-monyet itu. Nggak heran, berkumpulnya monyet-monyet liar buat mengambil makanan, menjadi atraksi tersendiri di telaga ini.

“Pimpinan yang bertanggungjawab di Telaga Warna ini memang jeli mengeksplorasi wisata alam ini,” papar Pak Tatang yang seperti membandingkan Telaga Warna dahulu dengan sekarang ini, dimana fasilitasnya sudah banyak. “Modal membangun fasilitas ini cuma 25 juta, eh nggak sampai enam bulan sudah bisa balik modal dan per bulan bisa mendapat income 30 juta per bulan”.

Telaga Warna menerapkan dua tarif. Kalo WNI harganya cuma dua ribu perak, sedang non-WNI dipunggut biaya Rp 15 ribu. Kalo ingin menggunakan fasilitas flying fox, kita cukup membayar Rp 10 ribu rupiah. Itu tarif WNI. Kalo WNA, harganya dipatok Rp 30 ribu. Sengaja harga WNI dan WNA dibedakan. Sebab, ternyata banyak WNA yang mampir ke sini, terutama mereka yang berasal dari Arab Saudi. Ketika saya berkunjung, beberapa warga Arab nampak di situ.

Belakangan ada rumor yang mengungkapkan pengelolaan Telaga Warna ini akan diserahkan pada pihak swasta. Ada sebuah perusahaan swasta yang sudah tertarik mengelola potensi yang ada di Wisata Alam Telaga Warna ini. Menurut Pak Tatang, perusahaan besar ini sudah punya rencana besar menambah beberapa fasilitas yang sekarang sudah ada, salah satunya membuat rumah-rumah pohon yang akan menjadi penginapan umum. Menarik? Tergantung. Kalo penambahan fasilitas tersebut tidak merusak kondisi alam, barangkali nggak masalah. Tapi kalo justru malah merusak, barangkali Pemerintah harus menanguhkan kerjasama tersebut.

“Tapi barangkali pihak swasta tersebut masih butuh waktu merealisasikan kerjasama dengan pihak Departemen Kehutanan,” kata Pak Tatang. “Soalnya pengelola Telaga Warna yang justri sehari-hari mengoperasikan wisata ini belum tahu-menahu asal-muasal kerjasama ini. Mereka justru tahu belakangan. Namun hebatnya, perusahaan swasta ini justru sudah mendapatkan lampu hijau dari Menteri,” lanjut Pak Tatang lagi. Ah, bukannya sudah biasa pusat dan daerah nggak kompak ya?

MENYUSURI JEJAK PANGERAN KUNINGAN

Tak banyak yang tahu ada nama pahlawan yang sempat menyebarkan ajaran Islam di tanah air ini, khususnya di wilayah Jakarta ini (dahulu masih menggunakan istilah Sunda Kelapa). Ia bernama Pangeran Awwangga. Pangeran yang bergelar Pangeran Kuningan ini memiliki pasukan yang kuat. Saking kuatnya, ia berhasil mengalahkan Kerajaan Padjajaran yang sempat menduduki Sunda Kelapa.

Sepak terjang Pangeran Kuningan nggak cuma berhasil mengalahkan Kerajaan Padjajaran. Bersama armadanya, ia pun berhasil mengalahkan armada perang Portugis yang mencoba memasukki wilayah Sunda Kelapa. Ketika berperang melawan tentara Portugis, Pangeran dibantu oleh pasukan gabungan dari Demak Cirebon, dimana saat itu dipimpin oleh panglima perang Falatehan (Fadlilah Khan).

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3XkGhf91WxCHrB2l24SgtSbci3pR5IeVQBWdAbl7yRDOLGH36bbwLYW-4hNirfiigDVUL8nxHF9BeuJj3EsvZgmSn8F1B9ERuPrGWzomFIxNPcKBB4wMs-SAKgRy_DRKvvPg43oEdHu0/s320/P1010278.JPG
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYV5oZ6mQmbMNQgNcG5blUGwgXo6IOVxzUPAUyD7fcrSLh0uPGzCDkZwJQGeofvghL66ZT-M9DcBALYqltkDafzQe4ouRrHo5mD-cCbZgknOmzagtYV6k55WkKTCMLyUZ2e3rqLMslq-s/s320/P4060281.JPG
Sepintas kayak masjid baru, tetapi sebelum direnovasi masjid ini adalah masjid tua, tempat Pangeran Kuningan melakukan siar agama Islam khususnya di seluruh wilayah Jakarta ini.

Daerah operasional Pangeran Kuningan berada ke arah Selatan. Di lokasi yang dahulu masih hutan belukar, sang Pangeran bersama pegikutnya mendirikan pemukiman. Itulah kenapa wilayah jalan HR. Rasuna Said dikenal sebagai Kuningan. Bahwa sepanjang jalan HR. Rasuna Said sampai Mampang, Tendean, dan Gatot Subroto adalah wilayah kekuasaan kerajaan yang dipimpin oleh Pangeran Kuningan.

Di wilayah yang cukup besar itu, Pangeran Kuningan membuat lokasi sentral pertemuan di lokasi yang sekarang menjadi Museum ABRI Satria Mandala. Bahkan ada yang menyebutnya, museum ini dulu adalah rumah sang Pangeran. Sementara tanah pekarangannya meliputi tanah yang ditempat oleh Menara Jamsostek ke arah Timur dan ke arah Barat sampai ke gedung Telkom, kompleks Menteri, dan LIPI. Nah, di pekarangan rumahnya, dibangun sebuah masjid. Kelak masjid tersebut bernama masjid Al-Mubarok.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhT-bqIzHOZe36NZNNCkJXembi8Dqkn3uVfw1GYcB0Xs9RAX3ZtwY0UHutBNxfgVCNhJoALHzji5Tppyq7fsdAlzN9BAG8theIpukmQlimqcxO2rQ8RXvqciw8ZctbDSNYmMY320nKsD14/s320/P1010272.JPG
Interior masjid Al-Mubarok.

Selain sebagai tempat syiar agama Islam, masjid Al-Mubarok ini dijadikan sebagai ruang diskusi bagi para pengikut Pangeran Kuningan. Baik itu diskusi mengenai agama, maupun diskusi politik.

Saya penasaran dengan sepak terjang Pangeran Kuningan ini. Oleh karena itu, saya mencoba menyusuri jejak Pangeran Kuningan ini. Penyusuran awal, saya lakukan di beberapa masjid tua di wilayah Kuningan dan Gatot Subroto. Di Kuningan, saya mendapatkan dua masjid tua. Masjid pertama bernama masjid Hidayattullah. Masjid ini terletak menyempil di bawah gedung pencakar langit milik Sampoerna, tepatnya di jalan Prof Dr. Satrio, Karet Semanggi, Jakarta Selatan. Masjid kedua bernama masjid Jami Roudhotul Falah di jalan H.R. Rasuna Said, Pendurenan Masjid. Namun kedua masjid ini ternyata tidak ada makam Pangeran Kuningan.

Penyusuran kemudian dilakukan dengan menanyakan warga penduduk Gatot Subroto yang sudah sepuh. Info mereka mengarah pada sebuah masjid yang menyempil di antara museum ABRI Satria Mandala dan Pusat Sejarah TNI (Pusjarah TNI) di jalan Gatot Subroto.

Terus terang saya nggak begitu yakin. Kenapa? Saya memang belum pernah masuk ke masjid yang terhimpit dua tempat itu, tetapi saya sering melihat dan melewati masjid yang temboknya dicat berwarna putih dengan genteng berwarna hijau. Ketidakyakinan saya, karena gedung masjid tersebut nampak masih baru. Saya bahkan menyangka, itu masjid memang kepunyaan museum Satria Mandala. Meski nggak yakin, saya pun tetap mendatangi masjid tersebut.

Buat menuju masjid Al-Mubarok, kita nggak perlu masuk museum Satria Mandala atau Pusjarah TNI. Ada jalan beraspal yang di kiri kanannya diberi pagar kawat. Dari jalan Gatot Subroto, kira-kira 50 meter masuk ke area masjid.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgg7Z8j7YFk2uNdm32d4pXmWTYgyuqa5sbEm-NQYOL6LTNWIp-0Ux3KH4JmOvFwL6K8l5xA6M-sXUXIchsEiFHlav6fQgfCVMnDz4yEDbD_jSOROk_jSzdEq9t4UZ250lf9YHywF7pgii0/s200/P1010275.JPG
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjL3ev7-q8e88r9vaSigvnY9LH5IUwuKZQkwmq9hiGLze5hPMk-HJ1FVjPLb_OUCNe99K4d7DcQ37Ux8OP1eXoa2fxThx6ZDCYxgmXF-GwzKrrUVyO84ltCbau39A84IvS-zSySHUxhdbA/s200/P1010271.JPG
Makam di kompleks masjid Al-Mubarok

Begitu masuk area masjid, sepintas masjid itu nampak baru. Namun begitu melihat sebuah prasasti marmer berwarna hitam dengan tulisan ukiran di atas marmer itu, saya baru yakin bahwa masjid ini memang tempat Pangeran Kuningan dan pasukannya bersiar Islam dan menyusun strategi buat menghancurkan kerajaan Padjajaran dan armada perang Portugis di pelabuhan Sunda Kelapa.

Masjid yang dibangun tahun 1527 ini dilindungi oleh pemerintah daerah sebagai Monumen Ordonansi no 238 tahun 1931. Pada tahun 1972, masjid ini ditetapkan sebagai masjid tua melalui lembaran daerah no 60 tahun 1972.

Mengelilingi masjid terdapat kompleks pemakaman. Saya berpikir, kompleks pemakaman inilah barangkali ada makam keramat tempat beristirahatnya Pangeran Kuningan. Eh, ternyata dugaan saya salah. Ketika saya tanya penjaga masjid di situ, makam Pangeran Kuningan bukan di sini.

"Adanya di dalam gedung Telkom, Pak," ujar penjaga masjid.

"Hah?! Di dalam gedung Telkom?" tanya saya heran.

"Bapak ke situ saja. Tanya satpam, makam Pangeran Kuningan. Nanti pasti satpam akan nganterin."

Saya pun kemudian menuju ke gedung Telkom. Bagi Anda yang belum tahu lokasi gedung Telkom, gedung ini berada persis di seberang hotel Kartika Chandra atau bioskop Hollywood KC 21. Banyak banget kendaraan umum yang melewati gedung Telkom ini. Kalo dari Blok M, Anda bisa naik Kopaja 66 jurusan Blok M-Manggarai. Kalo dari Grogol bisa naik PPD jurusan Grogol-UKI. Atau dari Tanah Abang bisa naik Metromini 604 jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang. Kalo dari arah Pancoran, Anda bisa turun di depan gedung Telkom atau museum Satria Mandala yang ada di samping gedung Telkom.

Buat menuju makam Pangeran Kuningan, Anda kudu lapor dulu ke security, karena mereka yang biasanya akan mengantarkan ke lokasi. Nggak enak dong kalo satu rombongan bus mau nyekar, tapi nggak izin keamanan gedung, ya nggak? Yang pasti, pihak Telkom kayaknya welcome banget ada orang yang mau berziarah atau nyekar, asal lapor.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8t4cWKYkP2EmWV369BTgHqEtwN8dcE4nzVPZDh-wBPU_VtPJyYpXtu4I-FNq3DUPpRkEMjJu_GsY5GbvAxFfGU6jMRxOkb_a4cTVWxHqNziOBChQMjxckJ08az0K5DfmcZNb8LrB0VEg/s320/P4060292.JPG
Nggak ada yang menyangka, di belakang gedung tua Telkom ini ada sebuah batu nisan Pangeran Kuningan.


Ternyata tempat peristirahatan terakhir Pangeran Kuningan nggak seperti bayangan saya. Biasanya makam-makam keramat selalu dibuatkan kotak makam yang disemen dan dikasih keramik. Lalu makam tersebut dbuatkan rumah, at least gubuk lah. Eh, ternyata di lokasi tersebut cuma berupa batu nisan. Di batu tersebut tertulis tempat peristirahatan terakhir Pangeran Kuningan.

"Dari dulu memang begini, Pak," ujar Pak Supri, satpam yang sudah hampir duapuluh tahun kerja di PT. Telkom. "Kalo dikasih prasastinya sih baru. Keluarga ahli waris sudah minta izin Telkom untuk meletakkan prasasti di tempat ini."

Prasasti yang dimaksud berada di belakang gedung Telkom, tepatnya tempat mobil parkir. Di situ ada sebuah trotar dan di atas trotoar ituah ada sebuah prasasti. Bagi Anda yang lokasi parkir Telkom di belakang pasti nggak akan tahu kalo di atas trotoar itu ada makan salah seorang pahlawan bernama Pangeran Kuningan.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1vLOAqVPAkuP53Ma_Im7nsPqcOCQuipnnJvQCwPXMHp9stfIktCONtYsXjzEH46uRwx9kki0KBo5cutDqpTwDqn_MNN_h-aWZEEJ4iaNyIUWbrEQUirB5hc45BSvD71mPfB4_tIJ71Xc/s320/P4060290.JPG



Pintu tangga yang ditutup gara-gara di bawah tangga ada batu nisan Pangeran Kuningan (di paling kanan dekat AC). Penutupan tersebut gara-gara menghormati makam tersebut.


Oh iya, prasasti itu adanya di bawah sebuah tangga salah satu pintu masuk gedung Telom dari arah belakang. Namun pintu masuk tersebut sudah lama ditutup. Saya bisa menebak, penutupan tersebut lebih karena menghargai ada makam di bawah tangga tersebut.

"Kalo sebelum puasa, banyak juga yang ziarah ke makam ini, Pak," tambah pak Supri. "Yang pasti tiap Jum'at, ada aja orang yang datang berkunjung."

Lucu juga kalo melihat ada prasasti Pangeran Kuningan di trotoar. Memang sih prasasti tersebut sebagai tanda tempat makan, namun saya nggak melihat adanya kesan sebuah kuburan keramat. Kenapa nggak dibuang saja prasasti tersebut? Toh, ada dan nggak ada prasasti tetap tidak terlihat ada mantan makam? Eit, ternyata setelah saya tanya salah seorang warga yang sudah cukup lama di wilayah Gatot Subroto, makam itu memang sempat mau digusur.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiV0yp9Nbwr_hrzZCO8ArXsgPulhMDOEwsph3Aakp96WBANOGrKwYjCEiat8KlDAKogyKwJXn2jQGDeQZ3wJjoOSSYZlzJYBQs4YUHfJaYLlLJcQOBY_8o4I33lIrpLy4jDrrQPNamLPpI/s320/P4060289.JPG
Prasasti Pangeran Kuningan.




"Tapi begitu mau digusur, orang yang mau menggusurnya langsung sakit," ujar ibu Endang Rekno Besane Sutarti yang akrab disapa ibu Iyem, yang sudah tinggal di Kuningan Timur.

Barangkali benar apa yang dikatakan ibu Iyem. Nggak ada orang yang berani memindahkan prasasti Pangeran Kuningan ini, termasuk para direksi PT. Telkom sendiri. Meski kelihatannya cuma prasasti, namun ternyata memiliki kesan 'magis' yang luar biasa. Anyway, bagi keluarga ahli waris yang ingin nyekar atau membacakan doa ke Pangeran Kuningan, lebih enak. Suasananya nggak kayak di kuburan. Mereka bisa membacakan yasin di tanga yang ada dekat prasasti tersebut. Barangkali cuma agak sedikit nggak kyusuk aja kali ya, karena setiap waktu pasti ada mobil yang hendak keluar, masuk, dan parkir di dekat situ. Ya, nama tempat parkir, ya pasti kayak begitu suasananya.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

PANTAI SERANG, MBAH MOEDJAIR, DAN IKAN IKAN MUJAIR



Hi sobat backpacker! Apa kabar? Saya ucapkan kabar Anda sebuah luar biasa ya. Seperti biasa, saya sebagai anggota Backpacker KW 2 ingin menginfokan hal-hal yang berhubungan dengan objek wisata, keindahan alam, gaya hidup hijau, dan sebangsanya. Kali ini Pantai Serang dan ikan mujair.

Anda pasti bingung dengan dongeng saya kali ini ya? Apa hubungannya ikan Pantai dengan ikan mujair? Bukankah pantai itu airnya asin, sementara ikan mujair hidupnya di air tawar? Trus dimana pula Pantai Serang itu?

Sobat backpacker, Pantai Serang itu letaknya bukan di Serang, Banten. Mentang-mentang di Banten ada Seran, Anda menuduh pantai ini letaknya di Banten. Salah! Pantai Serang itu terletak di desa Serang, kecamatan Panggungrejo. Jaraknya kurang lebih 45 km arah barat daya kota Blitar.

Pantai Serang yang terletak di pesisir Samudra Hindia ini biasa dipakai untuk ritual tradisional Larung Saji. Upacara ini dilakukan pada tanggal 1 Suro. Sebenarnya yang dipakai untuk Larung Saji bukan cuma Pantai Serang aja, tetapi ada dua pantai lain. Tapi sengaja dongeng saya kali ini mengenai Pantai Serang yang punya hamparan pasir putih yang landai dengan ombak yang tidak begitu deras.

Kenapa sih Pantai Serang begitu spesial buat saya sebagai Backpacker KW#2?

Jadi, di Pantai Serang inilah ditemukan pertama kali ikan yang kelak bernama ikan mujair. Adalah Mbah Moedjair yang menemukan sekelompok ikan yang menarik perhatiannya di pantai tersebut. Peristiwa itu terjadi kala pria yang punya nama asli Iwan Muluk melakukan tirakat di Pantai Serang setiap tanggal 1 Suro penanggalan Jawa.



Ikan yang ditemukan si Mbah kelahiran desa Kuningan pada 1890 ini sangat unik. Betapa tidak menarik perhatian si Mbak dan dikatakan unik, ikan ini menyembunyikan anak-anaknya di mulut pada saat terancam bahaya. Ayah 7 anak yang dikenal sebagai pemilik warung sate ini membawa beberapa ekor ikan baru tersebut untuk dipelihara di rumahnya.

Saat di rumah, Mbak Moedjair melakukan riset kecil-kecilan. Ia akhirnya berhasil pada percobaan ke-11 dengan 4 ekor ikan. Berita soal spesies ikan air tawar yang dilakukan si Mbah menarik perhatian penguasa wilayah Jawa Timur pada masa penjajahan Belanda yang berkedudukan di Kediri. Sebagai bentuk penghargaan atas usaha si Mbak, sang penguasa Hindia Belanda ini memberikan nama ikan spesies baru ini sesuai dengan nama penemunya, yaitu Moedjair atau diindonesiakan menjadi Mujair.

Nah, sobat backpacker, kalo Anda kebetulan traveling ke Blitar, silahkan mampir ke Pantai Serang, tempat ditemukan ikan Mujair itu. Dan sempatkan melihat makam Mbak Moedjair yang ada di Blitar juga. Di makam si Mbak ini, selain tertulis tanggal wafat pada 7 September 1957, ada tulisan “MOEDJAIR, PENEMU IKAN MOEDJAIR” lengkap dengan ukiran ikan mujair.



OBJEK WISATA PARAKANSALAK, SUKABUMI, JAWA BARAT

Halo Sobat Backpacker! Kembali lagi dengan saya, sang Backpacker KW #2...

Bulan ini saya belum punya rencana traveling. Tugas menumpuk membuat saya harus tahu diri nggak nekad ngambil cuti. Namun, di antara pekerjaan tersebut, saya masih diberikan kesempatan oleh Tuhan Yang Maha Esa buat jalan-jalan keluar Jakarta. Meski nggak backpacker-an, tetapi saya menikmati pekerjaan yang kebetulan "mamaksa" saya ke luar kota.

Sukabumi. Yup! Salah satu kota di Jawa Barat ini menjadi lokasi saya buat jalan-jalan, eh, salah...bekerja maksudnya. Kebetulan ada pekerjaan yang mengharuskan saya pergi ke Sukabumi, tepatnya di Kecamatan Parakansalak. Saya yakin di antara Anda banyak yang sudah mengenal Parakansalak. Bagi yang sudah kenal, kayaknya nggak perlu baca dongeng saya di bawah ini deh. Tapi kalo memang tetap ngotot mau baca, ya terserah aja sih. Sebaliknya, khusus bagi Anda yang belum tahu Parakansalak, Anda wajib baca dongeng saya sampai tuntas tas...



Parakansalak sebetulnya sebuah daerah yang sudah ngetop sejak zaman Hindia Belanda. Betapa tidak, di lokasi ini, terbentang perkebunan teh peninggalan Belanda. Bahkan sebelum merek-merek teh yang beredar sekarang ini, ada teh bermerek Parakansalak yang sangat kondang. Kini, perkebunan teh dikelola oleh PTPN.

Parakansalak adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Di lokasi ini, terdapat objek wisata yang cukup terkenal, yakni Situ Sukarame. Seperti juga perkebunan teh, Situ Sukarame ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah masa Hindia Belanda.

Menurut sejarah, kecamatan Parakansalak ini terbentuk setelah adanya perpindahan pusat pemerintahan dan ibu kota kabupaten Sukabumi ke Pelabuhan Ratu. Luas wilayah Parakansalak sendiri kurang lebih 5.669,68 hektar. Dengan luas segitu, terdapat 6 desar, yakni Desa Parakansalak yang memiliki jumlah penduduk 7.488 jiwa; Desa Lebaksari (6.134 jiwa); Desa Sukakersa (6.666 jiwa); Desa Sukatani (5.909 jiwa); Desa Bojongasih (6.106 jiwa); dan Desa Bojonglogok (6.913 jiwa).

Untuk menuju ke Kecamatan Parakansalak, Anda harus pergi ke arah Sukabumi kota dulu. Begitu ada papan petunjuk Parung Kuda, Anda belok kanan dan melintasi stasiun kereta api Parung Kuda. Dari stasiuin tersebut, tinggal lurus terus mengikuti jalan. Selama jalan, pesan saya JANGAN TIDUR! Sebab, Anda akan menyesal tidak melihat pemandangan yang asri di kiri dan kanan jalan. Selain persawahan, Anda juga akan menjumpai perkebunan teh dan aneka tanaman yang tumbuh di ladang. Tak ketinggalan panorama perbukitan yang menakjubkan. Dari stasiun Parung Kuda sampai ke Kecamatan Parakansalak kurang lebih 15 sampai 20 menit.

Selain panorama alam yang masih asri, di Parakansalak Anda bisa mengunjungi sebuah danau yang disebut Situ Sukarame. Bagi orang Sunda, Situ berarti 'Danau'. Pada 1980-an, Pemda setempat menjadikan situ ini sebagai taman wisata air. Para pelancong bisa memanfaatkan fasilitas sepeda air atau perahu yang ada di pinggir danau. Namun, pelancong dilarang keras untuk berenang di danau tersebut. Setidaknya larangan ini dikeluarkan paska terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa dua korban di Situ Sukarame ini pada Agustus 2013 lalu.




Sejarah Situ Sukarame

Menurut Wikepedia, Situ Sukarame adalah tempat bertemunya 7 sungai, yakni sungai Cikahuripan, sungai Cisalada, sungai Citaman, sungai Cisarandi, sungai Cimaci, sungai Cipangelah, dan sungai Cisela. Kala itu  Belanda punya ambisi untuk membendung ke-7 sungai tersebut untuk dijadikan telaga untuk berlayar. Sukarame sendiri merupakan nama sebuah kampung yang ada di dekat danau tersebut.

Pada awalnya wilayah di sekitar danau hanya berupa hutan belantara tanpa penduduk. Adalah Ama Sadarina, orang pertama yang menempati daerah ini. Ia tak lain adalah seorang pimpinan tentara Kerajaan Mataram. Kehadiran Ama di Sukarame ini, lantaran ingin bersembunyi dari kejaran tentara Belanda. Sejak kedatangan Amma Sadarina, tempat tersebut mulai ramai. Sebab, Ama membuka perguruan ilmu Kadigjayaan. Oleh karena ramai, maka kampung tersebut diberinama Sukarame.

(bersambung)

+SUKABUMI NEWS +Sukabumi Pos



 

    

Menjadi Finalis Naskah Traveling Terbaik 2015 Penerbit BitRead

Bangga! Barangkali kata itu yang tepat saya ungkapkan begitu tahu, bahwa karya saya terpilih menjadi salah satu dari 10 finalis naskah traveling #TerbitkanBukumu. Menurut pihak penyelenggara, yakni penerbit BitRead, sebelum dipilih 10 naskah terbaik, ada ratusan naskah yang masuk. Alhamdulillah, naskah saya berjudul Tour of Baduy Dalam terpilih.




Selain saya, sembilan teman saya lain yang berhasil masuk sebagai finalis naskah #TerbitkanBukumu adalah:

1. Wilda Hikmalia - Aku, Mereka, dan Ranah Jawa
2. Arini Tathagati - 10 Wisata Pusaka Nusantara
3. Rahmi Gustiah Putri - First Vacation
4. Galuh Diajeng Wulandari - Love Traveler
5. Rani Rahmawati - Cia-Cia sebuah kampung berbahasa unik
6. Christian Evan chandra - Ayo Jelajah Indonesia
7. Arif Rahman Nugraha - Cerita Dari Pelosok Negeri
8. Florentina Woro - Indonesia A-Z
9. Nur Baiti - Catatan Perjalanan Bolang Amatir



Jumat, 04 September 2015

Lumayanlah Dapat Bintang Tiga dari Goodreads

Buku saya, Surga di Timur yang diluncurkan pada Mei 2015 ternyata sempat diresensi oleh tim +Goodreads Indonesia. Alhamdulillah dapat tiga bintang.Lumayanlah!

Anda belum baca? Wah, sebaiknya Anda baca. Buku ini berisi catatan perjalanan saya keliling dari satu pulau ke pulau lain di Maluku Tengah. Selain info perjalanan, juga mengungkap sejarah yang ada di Pulau +banda naira, Pulau Saparua, dan pulau-pulau lain.




Bagi yang belum tahu, Goodreads adalah situs terbesar di dunia untuk pembaca dan rekomendasi buku. Misi Goodreads adalah membantu orang menemukan dan berbagi buku yang mereka minati. Situs yang memiliki 40 juta anggota ini sendiri diluncurkan pada Januari 2007.



Mengunjungi "Surga" di Timur


 

Sobat Backpacker! Sungguh saya beruntung bisa melawat ke kepulauan Maluku Tengah. Betapa tidak, di wilayah Timur Indonesia ini, saya menemukan "surga". Ada Banda Neira, Pulau Seram, maupun Pulau Saparua. Catatan perjalanan saya ke lokasi tersebut saya bukukan dalam sebuah buku berjudul "Surga di Timur". Selain membaca buku, tentu Anda pergi ke biro perjalanan semacam +Maluku Travel.

Selamat traveling!

cc +maluku post

Jumat, 28 Agustus 2015

Tulisan Karlsruhe-Jerman di Republika

Kala melancong ke Jerman, salah satu kota yang saya jelajahi adalah Karlsruhe. Nah, tulisan saya mengenai Karlsruhe ini saya kirimkan harian Republika beberapa waktu lalu. Berikut tulisan utuh yang dimuat di Republika Online (ROL), dimana diambil dari tulisan yang sudah diterbitkan di koran.

Selamat membaca!