Senin, 25 Oktober 2010

ASINAN BETAWI: BIAR DI GANG, TETAP AJA DICARI















Meski di gang, tetap saja orang-orang dari berbagai daerah rela antri. Luar biasa!

MEMECAHKAN REKORD JALAN KAKI

Selain bersepeda, saya juga penggemar jalan kaki, tetapi baru tadi malam, saya jalan dari gedung DPR di Senayan ke Manggarai, Jakarta Selatan. Barangkali buat sebagian besar dari Anda mengatakan, "Ah, jalan segitu mah belum jauh". Ya, Anda yang mengatakan itu pasti sudah pernah jalan lebih jauh dari saya, bahkan sangat jauh. Jalan Jakarta-Bogor, misalnya. Atau Jakarta-Bandung barangkali. Namun yang pasti, malam ini saya merasa telah memecahkan rekor jalan kaki sejauh itu.

Adalah kemacetan yang memaksa saya berjalan kaki. Sebetulnya jika saja tidak macet, saya berencana naik bus. Biasalah, kalo tidak naik mobil, ya naik sepeda. Kalo nggak bawa sepeda, ya naik kendaraan umum. Namun Allah mengariskan takdir lain. Hujan Dia turunkan. Seperti biasa, kalo sudah hujan, kondisi di Jakarta "gak jelas". Begitu turun hujan, kemacetan pun terjadi dimana-mana. Bus yang ditunggu-tunggu, tak muncul-muncul juga. Wahasil, saya memutuskan untuk berjalan kaki.

Selama jalan kaki malam hari, saya menikmati sekali. Saya melihat betapa stres pengendara mobil ketika berada di tengah kemacetan. Ada yang wajahnya sampai jadi bego: mulut mangap dan mata sayu, karena lelah. Mereka pasrah dengan kondisi jalan raya, sebagian lagi ada yang masih berusaha mencari jalan-jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Namun sayang, banjir membuat lalu lintas berhenti. Dengan santai, saya pun melewati mereka.

“Ah, ternyata asyik juga jalan kaki ketika sedang dalam kondisi macet total,” pikir saya. "Bisa melewati ratusan mobil dan kita menjadi pemenang".

Sabtu, 23 Oktober 2010

PANTANG NAIK MOBIL DI DALAM KAMPUS

Begitulah kebiasaan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Sudijono Sastroatmojo. Setiap pagi, begitu mobilnya berada di depan gerbang Unnes di Kecamatan Gunungpati, pria ini langsung turun. Pantang baginya naik mobil di dalam kampus. Ia lebih suka jalan kaki atau bersepeda.


Rektor Unnes Sudijono ketika menggowes sepeda di halaman kampus. Patut dicontoh!

Saya rasa tak banyak rektor yang seperti Sudijono saat ini, bahkan mungkin tidak ada. Meski tumbuh pepohonan di sekitar, suasana masih asri, toh banyak kampus yang tidak menerapkan kebijakan jalan kaki atau naik sepeda selama di kampus. Universitas Indonesia (UI), misalnya. Sebenarnya pihak rektorat sudah menyediakan sarana bus kuning (bus khusus mahasiswa UI-pen) dan sepeda. Dengan kondisi UI yang masih asri, sebetulnya menarik juga jika diterapkan di UI.

Ketika masih ngampus di UI dulu, memang tak banyak mobil masuk sampai ke depan gedung kampus. Mahasiswa-mahasiswi lebih banyak menggunakan naik bus kuning atau jalan kaki menuju ke gedung. Biasanya kalau mahasiswa hukum, psikologi, FISIP, atau sastra, turun dari kendaraan umum di kober, lalu jalan kaki menembus hutan. Tentu hutannya sudah dibikinkan jalan setapak. Sementara kalau mahasiswa MIPA atau poltek, biasanya jalan dari pintu yang ada di sebelah kampus Gunadarma.

Menurut situs UI, kini dari 300 hektar lahan yang UI punya, 170 hektar digunakan untuk fisik gedung, 30 hektar untuk ekosistem perairan, sarana prasarana lain sebanyak 12 hektar, dan sisanya 100 hektar kawasan hutan kota. Mengenai ekosistem perairain, UI memilik 6 danau. Ada danau kenanga, danau aghatis, danau mahoni, danau puspa, danau ulin, dan danau salam. Bayangkan! Jika kampus UI tidak memelihara ekosistem, termasuk danau, wilayah di sekitar Margonda bisa banjir. Maklum, daerah perlintasan antara Jakarta-Depok itu kini padat dan penuh dengan “hutan beton”.

Kembali ke Unnes, bahwa sebelum Sudijono menerapkan kebijakan “jalan kaki atau naik sepeda”, di kampus yang dulu bernama IKIP Semarang ini dibanjiri oleh sepeda motor. Data menyebutkan, setiap hari ada 243 sepeda motor yang melintasi kampus Unnes. Motor-motor tersebut menyemburkan 8,22 kilogram karbon dioksida (CO2) per hari. Jadi kalo ditotal, Unnes dicemari oleh CO2 setiap hari sebanyak 2,001,57 kiogram CO2. Kondisi udara yang buruk itulah yang membuat Sudjono langsung mengambil kebijakan “jalan kaki atau naik sepeda”.








Ini di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Ketika saya berkunjung di sana, Unhas juga cukup asri, lho, hanya saja jalan yang melintas ke kampus ini terbuka untuk kendaraan apa saja, termasuk angkot.

Tentu kebijakan tersebut banyak yang protes, tetapi tak sedikit yang pro. Sebab, semua demi kebaikan para mahasiswa di kampus Unnes itu sendiri, apalagi lokasi baru Unnes yang baru di Kecamatan Gunungpati (dulu berlokasi di jalan Kelud, Semarang) merupakan area resapan air untuk menjaga sirklus hidrologi dan penyedia air untuk wilayah kota Semarang. Kebijakan ini pertama kali diterapkan pada mahasiswa baru, dimana merupakan bagian dari realisasi penetapan Unnes sebagai “Universitas Konservasi”.

Bersamaan dengan program “Universitas Konservasi”, saat ini di lahan seluas 125 hektar, Unnes memiliki lahan tanam konservasi yang dinamakan Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) seluas 60 hektar. Di Kehati ini terdapat 100 species lebih tanaman yang dikembangkan, antara lain mahoni, glodogan, serta akasia daun panjang. Selain itu ada tanaman obat dan tanaman langka seperti pohon bisbol, pohon sapu tangan, wuni, dan kepel.
“Setiap mahasiswa baru Unnes wajib menanam lima pohon,” ujar Sudijono, pria kelahiran Pacitan, 15 Agustus 1952 ini. “Penanaman itu tidak harus di lahan Unnes, melainkan juga di lokasi yang dianggap tepat di lingkungan kampus ini.”

Luar biasa!

Sabtu, 16 Oktober 2010

ARSITEKTUR RAMAH LINGKUNGAN

Tak banyak arsitektur di tanah air ini yang ramah terhadap lingkungan. Pertumbuhan pusat perbelanjaan maupun apartemen jarang sekali yang membiarkan tumbuhan di sekitar tetap hidup. Yang terjadi, tumbuhan harus menyesuaikan arsitektur alias mematikan ekosistem di sekitar pembangunan.

Sabtu lalu, saya berkunjung ke sebuah sekolah elit di kawasan Jakarta Selatan. Cikal, nama sekolah tersebut. Bukan main takjub mata saya melihat arsitektur sekolah ini. Sebelumnya saya berpikir, sekolah yang biaya pendaftaran masuknya sekitar Rp 20-an juta ini, pasti arsitekturnya “modern”. Artinya, pembangunan gedung sekolah tidak bersatu dengan alam, sehingga mematikan pepohonan yang ada di situ. Ternyata saya salah.



Sekolah Cikal menjadi arsitektur favorit saya. Sebab, gedungnya menyatu dengan alam. Pepohonan yang sejak masih tanah kosong, dibiarkan tumbuh di sekitar gedung. Arsitektur gedung justru menyesuaikan pohon yang sudah ada sebelumnya. Ada pohon melinjo, mangga, dan beberapa pohon lain. Luar biasa bukan?

Arsitektur model gedung Cikal inilah yang seharusnya menjadi contoh arsitektur ramah lingkungan. Saya tak tahu, kenapa gagasan sebagian besar arsitek tentang ramah lingkungan lebih banyak pada penggunaan banyak jendela, sehingga memungkinkan untuk penghematan listrik. Sementara gagasan arsitektur bersatu dengan tak banyak yang melakukannya.

Congrats untuk pemilik Cikal yang sudah memberikan contoh arsitektur ramah lingkungan. Bukan sekadar contoh bagi para arsitek, tetapi bagi murid-murid di sekolah itu. Mereka jadi tahu, modernisasi tak harus menghancurkan alam dan lingkungan.





all photos copyright by Brill

PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN: 2 TAHUN BISA TERURAI





Diam-diam saya ini musuh dalam selimut terhadap plastik. Di blog-blog saya dan di Kompasiana ini pun saya seringkali mengkampanyekan gerakan Say No to Plastik. Bukan cuma omong doang, dalam praktek sehari-hari, tiap kali belanja, saya dan istri selalu membawa sejumlah tas terbuat dari bahan agar menghindari plastik. Begitu pula ketika di toko buku, sebisa mungkin, saya keluar tanpa plastik.

Namun, tentu sulit sekali menghindari plastik 100%. Kita sudah “terkepung” dengan plastik. Bahkan manusia sendiri sudah bersatu dengan plastik. Lihat saja mereka yang operasi hidung, dagu, dan anggota badan lain, dimana dibutuhkan plastik. Makanya saya katakan di atas tadi, diam-diam musuh, karena terpaksa menggunakan plastik di kala berbelanja di toko yang menggunakan plastik sebagai shopping bag kala saya tidak membawa tas lain.

Sabtu kemarin (16/10), saya diundang oleh Lucid Communication untuk menghadiri kongkow-kongkow para blogger. Bertempat di Tartine Restaurant, FX Lifestyle X’nter, Jakarta Selatan, saya dan teman-teman sesama blogger mendapat perspektif baru soal plastik.

“Plastik itu termasuk bahan organik,” ujar Sugianto Tandio.


Plastik yang saya foto ini terbuat dari singkong. Sebagai orang awam, ketika melihat secara langsung dan memegang plastik ini, saya tidak tahu kalo plastik ini terbuat dari singkong.Di shopping bag ini tertulis: this bag is 100% degradable. It contains natural and sustainable resources.

Awalnya saya kaget. Plastik dari bahan organik? Artinya, seharusnya plastik itu bisa terurai sebagaimana makanan dong? Tapi kenapa plastik baru bisa terurai dengan sempurna membutuhkan waktu 300-500 tahun? Bahkan, berdasarkan penelitian dosen Kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB), I Made Arcana, zat pewarna hitam yang umumnya ada di kantong plastik, berbahaya bagi kesehatan. Zat ini kalo terkena panas dapat terdegrasi dan mengeluarkan zat yang menjadi salah satu pemicu kanker. Oleh sebab itu, kalo beli gorengan atau makanan yang masih panas, jangan langsung diletakkan di kantong plastik.

Jadi plastik itu berbahaya dong?

Ternyata tidak. Pakar kimia plastik asal Amrik Steven Hetges mengatakan, plastik sesungguhnya tidak membahayakan. Plastik berasal dari jasad renik (mikroorganisme) dari tumbuhan laut yang mati dan mengendap di dasar bumi. Berdasarkan teori organik seperti yang kemukakan oleh Engker (1911), proses pelapukan dan penguraian secara anaerob dalam batuan berpori, akan mentransformasi jasad-jasad renik tersebut menjadi minyak bumi yang menjadi bahan dasar dari plastik.

So, plastik berasal dari bahan material organik. Kecuali plastik yang memiliki kestabilan fisikokimia yang sangat kuat, sehingga membutuhkan waktu ribuan tahun untuk dapat mengurai secara alami. plastik berbahan konvensional dari polimer sintetik, misalnya, yang saya sebut tadi baru bisa terurai dengan sempurna 300-500 tahun. Ibarat kata, kita sudah meninggal, hidup lagi, meninggal lagi, baru terurai plastik berbahan konvensional itu.

Seperti yang saya katakan, kita sulit menghindari plastik. Jadi harus ada solusi agar bisa menjadikan plastik mudah untuk terurai. Banyak orang yang kerap mengkritisi, tapi tidak punya solusi. Sabtu kemarin, saya baru tahu, ada tas plastik yang terbuat dari bahan singkong. Adalah ecoplas (www.eco-plas.com) yang mengeluarkan kantong plastik berbahan singkong. Ada pula Oxium (www.oxium.net), yakni produk dalam negeri yang telah mengeluarkan plastik ramah lingkungan. Produk ini dapat mempercepat proses degradasi plastik dalam waktu kurang lebih 2 tahun melalui mekanisme oksidasi, thermal, dan fotodegradasi (cahaya matahari).

Saat ini Oxium sudah digunakan oleh hampir lebih dari 90% di pasar modern, yakni di Carrefour, Indomaret, Alfamart, Superindo, Hero, Giant, Tip Top, Kemchicks, Guardian, Century, Yogya, Zara, dan Gramedia. “Namun saat ini kita baru fokus di shopping bags-nya saja dan masih di modern market,” ujar Sugianto. “Selanjutnya, kita akan menyisir ka pasar tradisional dan produk-produk lain yang terbuat dari plastik, bukan cuma shopping bag saja.”



Beginilah kalo belanja bulanan. Saya dan istri tak pernah lagi menggunakan shopping bag, tetapi membawa beberapa tas untuk memasukkan barang belanjaan. Demi menghindari sampah plastik di rumah. Tetapi kalo ada penemuan sampah ramah lingkungan, sekali-sekali bolehlah pakai shopping bag dari plastik.


“Penemuan” Sugianto ini sudah mendapatkan green label dari Indonesia Solid Waste Association (INSWA). Selain sertifikat green label, Oxium juga sudah lulus uji dari Sucofindo, Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia, Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, serta R&D Center Indonesia Solid Waste Perisai.

Meski baru shopping bag, namun penemuan Sugianto dengan Oxium-nya merupakan sebuah solusi terhadap plastik yang selama ini “dimusuhi” banyak orang, termasuk saya. Nah, sekarang ini tiap belanja ke tempat-tempat yang sudah disebutkan tadi, saya tak perlu lagi membawa tas-tas untuk menghindari plastik, karena tas plastik yang di tempat-tempat belanja itu sudah dijamin oleh Oxium sebagai plastik ramah lingkungan.

“Saat ini ada 15 pabrik yang menggunakan Oxium. Kita akan mem-black list pabrik yang menjual plastik ke toko-toko tersebut yang tidak sesuai dengan standar Oxium,” ujar Sugianto. “Percuma dong kalau toko-toko tersebut bilang go green tetapi plastiknya tidak ramah lingkungan.”

Minggu, 10 Oktober 2010

BERTEMU 3 MOJANG DI PASAR SENI ITB

Pasar Seni ITB kembali digelar. Dengan mengambil tema “Sesuatu Yang Terlupakan”, pasar seni tahun ini dimeriahkan oleh pertunjukan dari 72 unit kesenian mahasiswa yang terdapat di kampus Ganesha, Bandung ini. Salah satu unit kesenian yang tampil adalah Maha Gotra Ganesha yang didirikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik.

Selain pertunjukan kesenian, Pasar Seni ITB juga diramaikan oleh 350 stand penjual karya seni, 70 stand kuliner, 7 wahana permainan dan pertunjukan, serta dua panggung musik. Kabarnya, perhelatan ini menghabiskan biaya hingga Rp 1 miliar.

Berbagai wahana unik yang meramaikan gelaran Pasar Seni ITB mulai dari zona tanpa sinyal hingga air doa bisa ditemui di 8 titik yang menjadi lokasi pasar seni. Wahana Menara Jamming di zona No Network Coverage. Di sini pengunjung akan kehilangan sinyal telepon seluler mereka. Area ini merupakan karya mahasiswa Seni Rupa dan Teknik Elektro ITB.


Karya Ganjar Gumilar dan Ferdian Sahala Samosir yang menjadi gerbang Pasar Seni ITB yang luar biasa. Terbuat dari perpaduan rating pohon dan bambu.

Mahasiswa Teknik Mesin ITB mewujudkan kreasinya dalam Wahana Tamasamasya. Wahana ini menghasilkan Kamar Vibrator dan Lorong Ilusi Waktu. "Kamar Vibrator itu semacam simulasi gempa. Seperti apa kamar vibrator, datang saja ke pasar seni. Suprise hanya untuk pengunjung," ujar juru bicara panitia Pasar Seni ITB Maharani Mancanegara.

Ada pula Bamboo Beat yang akan menyatukan permainan musik angklung dengan digital komputer buah pikir dari mahasiswa Teknik Informatika ITB. Dalam zona seni tradisi, mahasiswa dan petani serta Dosen Teknik Kimia Mubyar Purwasasmita berupaya menanam padi di dalam pot kantong plastik. Kemudian kreasi bersama mahasiswa berbagai program studi di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB hadir dalam Wahana Neraka dan Museum Masa Depan.

Wahana Air Doa menjadi salah satu hal yang menarik. Wahana ini banyak melibatkan mahasiswa dari jurusan Kimia, Biologi, Mikrobiologi, Teknik Lingkungan, Geodesi, Mesin, dan Teknik Kimia. Air tersebut berasal dari titik-titik air yang ada di Bandung dan telah didoakan oleh warga. Pengunjung bisa menikmatinya langsung di Pasar Seni ITB 2010.


Pawai tarian membuka Pesta Seni ITB.

Berbagai seniman, turut andil dalam Pasar Seni ITB 2010 ini. Mereka memamerkan hasil karya seni mereka. Menurut Tempo Interaktif (Senin/ 11/10), karya seniman ternama dari Bandung seperti Jeihan Sukmantoro dan Sunaryo, laris manis. Percaya tak percaya, sepuluh lukisan Jeihan ludes dalam setengah jam.

Menurut seorang anak Jeihan, Asasi Andi, seluruhnya ada 11 lukisan yang dibuat Jeihan khusus untuk dijual di Pasar Seni ITB ke-10 kali ini. Sepuluh lukisan langsung diborong selama setengah jam.

Adapun satu lukisan terakhir yang rencananya akan disimpan sebagai koleksi Jeihan, akhirnya ikut dijual juga. "Semuanya rata seharga Rp 25 juta," katanya kepada Tempo.

Seluruh lukisan tersebut masih berciri khas Jeihan, yaitu perempuan dengan mata hitam. Ukuran masing-masing kanvas 70 x 70 sentimeter.


Ini dia Patung 3 Mojang yang dirubuhkan. Saya sempat ketemu 3 Mojang yang seksi ini dan mengajak mereka ngobrol. Tapi sayang, mereka nggak diam saja. Sedih kali ya sudah dirubuhkan.

Sedangkan perupa Sunaryo, berhasil melelang gambarnya yang memakai charcoal dan akrilik berukuran 120 x 140 sentimeter itu seharga Rp 330 juta. Karya tentang seorang perempuan penari Bali yang berjudul "Sebelum Pentas" tersebut jatuh ke tangan Trisnachandra.

Kolektor asal Jakarta itu menurut Yus Herdiawan dari Selasar Sunaryo Art Space, mengungguli tawaran 18 peminat lainnya. "Dilelang karena peminatnya banyak," ujarnya di lokasi acara. Selain itu, 180 karya cetak grafis Sunaryo seharga Rp 500 ribu hingga Rp 3 juta pun ludes dalam hitungan jam.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pasar Seni ITB ini memang benar-benar menarik minat banyak pengunjung. Tak cuma dari Bandung, tetapi berbagai kota, bahkan dari luar negeri. Sejak dibuka pukul 08.00 WIB, ribuan pengungjung langsung menyerbu arena. Menurut Ketua Panitia Pelaksana Pasar Seni ITB Indra Audi Priatna, pengunjung Pasar Seni ke-10 kali ini diperkirakan mencapai 200 ribu orang.

Saya bersama istri pergi ke Bandung khusus untuk berkunjung ke Pasar Seni ITB ini. Kalau biasanya ke Bandung jalan-jalan, kali ini sekadar melihat teman-teman seniman memamerkan karya mereka. Tak heran ke Bandung kali ini tidak naik mobil, tetapi naik kereta api dan travel pulang-pergi. Alhamdulillah, tidak nyesel, euy.


Yang jualan ini bukan alumni ITB, lho, tetapi pedagang kaki lima yang memanfaatkan Pasar Seni ITB untuk mengais rezeki di luar kampus ITB. Habis mereka pasti nggak akan kuat bayar stand yang konon harganya mencapai 2 juta per 10 jam.

"Pasar seni ITB ke 10, pada 10-10-10, di ITB jalan Ganesha No. 10 dan hanya berlangsung 10 jam saja,” ungkap Maharani. Tahu dong mengapa menggunakan angka “10”? Sebab tanggal berlangsung Pasar Seni ITB ini bertepatan dengan tanggal, bulan dan tahun yang bernomor “10”, yakni 10 dibulan 10 dan tahun 2010.

Salah satu yang menyedot perhatian adalah potongan Patung 3 Mojang karya I Nyoman Nuarta. Patung ini ditempatkan di depan pintu masuk ITB. Masing-masing mojang terpisah satu sama lain. Bahkan tangan mereka dipisahkan dari badan dan dibiarkan tergolek di aspal.

Di samping Patung 3 Mojang yang terbuat dari logam itu, ada spanduk besar yang berisi surat-surat dari Walikota Bekasi yang meminta perumahan Kota Harapan Indah Bekasi menurunkan Patung 3 Mojang itu pada Juni 2010 lalu, karena diprotes oleh Front Pembela Islam (FPI). Ada pula foto-foto pada saat patung ini didirikan di tengah perumahan itu dan saat pembongkaran.

all photos copyright by Brill

Jumat, 08 Oktober 2010

JANGAN KASIH JALAN PENGENDARA MOTOR SONTOLOYO!

Saya termasuk penggemar jalan kaki. Sebisa mungkin, saya mencapai tujuan dengan jalan kaki. Namun tentu jarak yang sedang lah. Misalnya cuma jarak 300 meter atau 500 meter, pasti saya akan jalan kaki. Kalo tidak salah, jarak terjauh jalan kaki 1,5 km. Barangkali buat Anda jarak segitu masih dekat. Tapi lumayan kan daripada nggak jalan sama sekali?

Dengan jalan kaki, saya mempunyai pilihan pergi ke kantor atau suatu tempat. Saya bisa menggunakan mobil pribadi, menggowes sepeda, naik kendaraan umum, dan jalan kaki. Tentu pilihan-pilihan tersebut tergantung dari situasi. Kalo kebetulan harus bertemu di tiga tempat dengan jarak yang berjauhan, saya lebih memilih naik mobil, apalagi kalo yang ditemui adalah seorang pimpinan perusahaan atau pejabat. Sedang kalo jaraknya tidak terlalu jauh, cuma meluncur dari titik A ke titik B atau satu tempat, dan bisa dilakukan dengan santai, ya tinggal pilih: menggoewes sepeda, jalan kaki, atau naik kendaraan umum.

Dengan memiliki pilihan untuk berpergian, kita tidak lagi tergantung dengan kendaraan pribadi. Buat saya, menyedihkan sekali kalo orang sudah terbiasa duduk di belakang kemudi dengan penyejuk udara sambil mendengar radio tape. Ya, itu memang pilihan mereka, tapi buat saya tetap kasihan sekali.

Nah, berkaitan dengan jalan kaki, di beberapa jalan di Jakarta sudah dibuat lokasi yang asyik buat berjalan kaki. Trotoar-trotoar sudah dipercantik. Ada pohon di tengah-tengah terotar, lantainya bagus, dan terdapat lampu penerangan jalan. Namun sayang, trotoar-trotoar ini seringkali dirampas oleh pengendara motor.

Jika jalan raya sudah penuh, sejumlah pengendara motor tanpa rasa bersalah naik ke trotoar dan melaju di trotoar tersebut. “Atraksi” menyebalkan itu membuat sejumlah pejalan kaki menjadi nggak nyaman berjalan di trotoar. Mereka –pejalan kaki- terpaksa mengalah agar pengendara motor ini lewat.

Beberapa kali pejalan kaki dipaksa untuk mengihindar. Yang paling menyebalkan, justru si pengendara motor yang marah jika pejalan kaki tidak memberikan jalan di trotoar. Kalo saya, setiap mengalami kejadian itu –ada motor melaju di trotoral-, saya tidak akan pernah memberikan jalan. Mau si pengendara membunyikan klakson berkali-kali atau teriak-teriak, saya tidak peduli. Kalo si pengendara menabrak, wah, urusannya bisa panjang. Tinggal pilih: kuburan atau rumah sakit.

Apa pemerintah itu nggak melihat kondisi ini ya? Saya gemes banget! Rasanya saya ingin membuat pagar betis agar motor nggak bisa lewat trotoar. Kalo pagar betis mahal, bisa saja dipasangi rantai di akses motor itu bisa masuk atau keluar trotoar. Kalo sekarang kan tidak.

Tulisan ini bermaksud mengajak Anda pencinta jalan kaki untuk tidak memberi jalan pada pengendara motor yang saya sebut sontoloyo itu. Anda punya hak untuk tidak memberi jalan pada mereka. Sekali lagi, kalo si pengendara membunyikan klakson atau menegur dengan kata “permisi”, biarkan saja. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Pura-pura budeg aja kita.

Saya tidak mengajak perang kepada pengendara motor. Masih banyak kok pengendara motor yang disiplin dan tindak merampas hak pejalan kaki. Mereka saya acungkan jempol. Saya sekadar mengajak pengendara motor sontoloyo ini untuk kembali ke jalan yang benar. Masing-masing punya hak. Pejalan kaki punya hak bejalan tanpa ada gangguan, pengendara motor seperti Anda pun punya hak melintas di jalan.