Begitulah kebiasaan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Sudijono Sastroatmojo. Setiap pagi, begitu mobilnya berada di depan gerbang Unnes di Kecamatan Gunungpati, pria ini langsung turun. Pantang baginya naik mobil di dalam kampus. Ia lebih suka jalan kaki atau bersepeda.
Rektor Unnes Sudijono ketika menggowes sepeda di halaman kampus. Patut dicontoh!
Saya rasa tak banyak rektor yang seperti Sudijono saat ini, bahkan mungkin tidak ada. Meski tumbuh pepohonan di sekitar, suasana masih asri, toh banyak kampus yang tidak menerapkan kebijakan jalan kaki atau naik sepeda selama di kampus. Universitas Indonesia (UI), misalnya. Sebenarnya pihak rektorat sudah menyediakan sarana bus kuning (bus khusus mahasiswa UI-pen) dan sepeda. Dengan kondisi UI yang masih asri, sebetulnya menarik juga jika diterapkan di UI.
Ketika masih ngampus di UI dulu, memang tak banyak mobil masuk sampai ke depan gedung kampus. Mahasiswa-mahasiswi lebih banyak menggunakan naik bus kuning atau jalan kaki menuju ke gedung. Biasanya kalau mahasiswa hukum, psikologi, FISIP, atau sastra, turun dari kendaraan umum di kober, lalu jalan kaki menembus hutan. Tentu hutannya sudah dibikinkan jalan setapak. Sementara kalau mahasiswa MIPA atau poltek, biasanya jalan dari pintu yang ada di sebelah kampus Gunadarma.
Menurut situs UI, kini dari 300 hektar lahan yang UI punya, 170 hektar digunakan untuk fisik gedung, 30 hektar untuk ekosistem perairan, sarana prasarana lain sebanyak 12 hektar, dan sisanya 100 hektar kawasan hutan kota. Mengenai ekosistem perairain, UI memilik 6 danau. Ada danau kenanga, danau aghatis, danau mahoni, danau puspa, danau ulin, dan danau salam. Bayangkan! Jika kampus UI tidak memelihara ekosistem, termasuk danau, wilayah di sekitar Margonda bisa banjir. Maklum, daerah perlintasan antara Jakarta-Depok itu kini padat dan penuh dengan “hutan beton”.
Kembali ke Unnes, bahwa sebelum Sudijono menerapkan kebijakan “jalan kaki atau naik sepeda”, di kampus yang dulu bernama IKIP Semarang ini dibanjiri oleh sepeda motor. Data menyebutkan, setiap hari ada 243 sepeda motor yang melintasi kampus Unnes. Motor-motor tersebut menyemburkan 8,22 kilogram karbon dioksida (CO2) per hari. Jadi kalo ditotal, Unnes dicemari oleh CO2 setiap hari sebanyak 2,001,57 kiogram CO2. Kondisi udara yang buruk itulah yang membuat Sudjono langsung mengambil kebijakan “jalan kaki atau naik sepeda”.
Ini di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Ketika saya berkunjung di sana, Unhas juga cukup asri, lho, hanya saja jalan yang melintas ke kampus ini terbuka untuk kendaraan apa saja, termasuk angkot.
Tentu kebijakan tersebut banyak yang protes, tetapi tak sedikit yang pro. Sebab, semua demi kebaikan para mahasiswa di kampus Unnes itu sendiri, apalagi lokasi baru Unnes yang baru di Kecamatan Gunungpati (dulu berlokasi di jalan Kelud, Semarang) merupakan area resapan air untuk menjaga sirklus hidrologi dan penyedia air untuk wilayah kota Semarang. Kebijakan ini pertama kali diterapkan pada mahasiswa baru, dimana merupakan bagian dari realisasi penetapan Unnes sebagai “Universitas Konservasi”.
Bersamaan dengan program “Universitas Konservasi”, saat ini di lahan seluas 125 hektar, Unnes memiliki lahan tanam konservasi yang dinamakan Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) seluas 60 hektar. Di Kehati ini terdapat 100 species lebih tanaman yang dikembangkan, antara lain mahoni, glodogan, serta akasia daun panjang. Selain itu ada tanaman obat dan tanaman langka seperti pohon bisbol, pohon sapu tangan, wuni, dan kepel.
“Setiap mahasiswa baru Unnes wajib menanam lima pohon,” ujar Sudijono, pria kelahiran Pacitan, 15 Agustus 1952 ini. “Penanaman itu tidak harus di lahan Unnes, melainkan juga di lokasi yang dianggap tepat di lingkungan kampus ini.”
Luar biasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar