Senin, 07 Mei 2012

Kedatangan Teman Baduy Dalam # 2: “Loe Tau Darimane Nomer Gue?”

Pada saat ke Baduy Dalam beberapa waktu lalu, saya dan istri belum pernah berjumpa dengan Yardi dan Jali. Makanya saat hadir ke rumah kami, wajah mereka asing buat kami. Katanya, saat kami ke Baduy Dalam, tepatnya ke kampung Cibeo, mereka sedang berladang. Kami hanya menjumpai Safri dan Sarta, dua teman Baduy Dalam yang berkunjung ke rumah kami.

Pekerjaan wajib masyarakat Baduy adalah ngahuma (bertanam padi lahan kering). Pekerjaan ini bukan hanya sekedar mata pencaharian, tetapi juga merupakan ibadah yang merupakan kegiatan suci. Sebab, dalam berladang aktivitas yang dilakukan adalah mengawinkan dewi padi atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri

Kegiatan berladangnya akan selalu diikuti dengan upacara-upacara keagamaan yang dipimpin oleh ketua adat.  Beberapa larangan dalam proses kegiatan berladang bagi masyarakat Baduy antara lain:  (1) tanah tidak boleh dibalik, maksudnya dalam kegiatan penanaman dilarang mencangkul, tetapi cukup dinunggal; (2) dilarang menggunakan pupuk dan oabat-obat kimia;  (3) Dilarang membuka ladang di leuweng titipan (hutan tua) atau leuweng lindungan lembur (hutan kampung); (4) waktu pengerjaan harus sesuai ketentuan, tidak saling mendahului. 

Ke-4 ketentuan dan tata cara berladang tersebut, sifatnya mutlak. Semua ditentukan secara musyawarah oleh ketua adat di Baduy-Dalam berdasarkan pikukuh karuhun serta berlaku untuk semua warga Baduy. 

Back to kisah Yardi. Sore menjelang malam, Yardi sempat mendapat telepon dari seorang wanita. Kebetulan saya belum pulang dari kantor. Istri pun tidak mencoba untuk menggali wanita yang menghubungi Yardi ini. Selain mengganggu privacy, juga tidak terlalu penting untuk dijadikan pembicaraan. 

Namun yang menarik, pada saat menerima telepon, Yardi berbicara dengan bahasa Betawi ‘medok’ sekali. Istri yang kebetulan mendengar, karena memang suara Yardi keras, jadi tersenyum sendiri.

Ini sapa, nih?!” tanya Yardi. “Loe tau darimane nomor gue?!

Oleh karena saya tidak ada, jadi saya membayangkan, Yardi bukan lagi orang Baduy Dalam yang menggunakan bahasa lokalnya. Saya membayangkan, ia seperti sosok Mandra yang sedang menerima telepon dari wanita, sebagaimana pernah muncul dalam beberapa scene di sinetron Si Doel Anak sekolahan.

Seperti sebagian dari Anda ketahui, orang Baduy Dalam menggunakan bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Meski tidak mendapat pendidikan formal, sehingga tidak bisa membaca dan menulis, sebagian besar warga Baduy Dalam apalagi Baduy Luar, mampu berbahasa Indonesia. Oleh karena sering ke Jakarta, logat Betawi Yardi ternyata lebih kental. Kata ‘elo’ dan ‘gue’ sudah dikuasai dengan lancar.
  
(bersambung)

Kedatangan Teman Baduy Dalam #1: “Kalo Bapak Nggak Ada, Kami Nggak Jadi Nginep”

Siap-siap kedatangan tamu agung dari Baduy Dalam ya…”

Pesan dari istri saya via Blackbarry Message (BBM) cukup menggagetkan. Pasalnya, kami belum membuat janji pada teman-teman dari Baduy Dalam. Bukan kami tidak mau menerima tamu, tetapi justru kami ingin menjadikan tamu terhormat, yakni dengan cara mempersiapkan segala sesuatu di rumah.

Mereka sudah sampai Cawang, Pap,” ujar istri saya lagi.

Saya yang masih berada di kantor, tentu saja tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempersiapkan diri berjumpa dengan mereka. Begitu pula istri, yang kebetulan masih on the way menuju ke rumah. Walhasil, terpaksa kami menerima mereka apa adanya.

Maaf merepotkan,” ujar Syafri, salah seorang dari empat warga Baduy Dalam, saat memasuki rumah kami.

Tidak kok. Malah senang banget bisa kedatangan tamu jauh,” sambut istri. “Tapi maaf ya rumahnya kecil dan kita nggak sempat beres-beres“.

Ah, nggak apa-apa. Ini sudah lebih dari cukup,” kata Syafri lagi.

Saya dan istri senang sekali bisa dikunjungi teman-teman Baduy Dalam ini. Selain Syafri, ada Yardi, Sarta, dan Jali. Sebab, tak semua orang Jakarta yang pernah ke Baduy, akan dikunjungi oleh mereka, bahkan dijadikan rumah tempat mereka menginap.

Suami ibu pulang jam berapa?” tanya Syafri pada istri saya.

Malam itu, kebetulan saya memang belum pulang dari kantor. Ada shooting program televisi yang harus saya kontrol. Meski sebetulnya bisa dilakukan oleh Produser, namun salah satu tugas dan tanggungjawab saya di kantor, memastikan sebuah shooting berjalan dengan lancar. Nah, kebetulan kemarin saya harus pulang malam.

Memangnya kenapa, Syafri?” tanya istri.

Kalo suaminya nggak ada, kami nggak jadi nginep.”

Luar biasa! Buat saya, pernyataan itu sebuah bentuk kesopansantunan dari seorang tamu. Meski teman-teman dari Baduy Dalam ini tidak ‘berpendidikan’, ternyata mereka memiliki prilaku yang beradab. Mereka tahu, betapa tidak sopan menginap di rumah orang, tetapi kepala rumah tangga tidak ada. Satu contoh lagi yang saya belajar dari mereka.

Dalam agama saya, Islam, juga mengajarkan tentang hal ini. Meski sang tuan rumah tetap mengizinkan menginap, namun jika ada kepala rumah tangga tidak ada, maka pamali untuk bermalam. Berbeda sekali dengan beberapa orang tamu yang biasa kita jumpai. Mereka seringkali tidak peduli ada atau tidak ada pemilik rumah atau kepala rumah tangga, tetap ngotot menginap.

Ada kok, tapi nanti pulangnya malam,” jelas istri saya, menenangkan hati Syafri dan kawan-kawan.

“Suami saya juga meminta kalian bermalam di sini“.

Mereka pun akhirnya menginap di rumah kami.

(bersambung)