Minggu, 18 Juli 2010

BELAJAR DARI SD NEGERI KOMPLEKS IKIP MAKASSAR

Terus terang saya belum sempat inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa sekolah negeri, apalagi swasta di Makassar. Ketika berkunjung ke Makassar saat ini, saya cuma mampu berkunjung ke salah satu sekolah, yakni SD Negeri Kompleks IKIP yang berada di jalan AP. Pattarani, Makassar, Sulawesi Selatan.

Entah saya beruntung atau memang dituntun Tuhan untuk dipertemukan dengan sekolah ini. Kenapa begitu? Sebab, sekolah ini mengingatkan saya pada SDN RSBI 12 Rawamangun, Jakarta Timur yang selalu saja “bermasalah”. Terakhir, masalah yang digulirkan oleh Kepala Seksi (Kassie) Dinas Pendidikan Dasar Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur, H Usman. Ia meminta Gubernur DKI Fawzi Bowo mencabut KTP DKI dari empat orangtua murid yang bersekolah SDN RSBI 12 Rawamangun, Jakarta Timur. Sebelumnya, sang Kepala Sekolah (Kepsek) melalui suratnya melarang Aria Bismark Adhe (saat itu masih tercatat sebagai siswa kelas VI di sekolah itu) mengikuti ujian akhir sekolah (UAS).


Pintu masuk SD Negeri Kompleks IKIP, Makassar.




Dulu saya ingat sekali, sekolah yang bermarkas di kompleks Universitas Negeri Jakarta (UNJ, dulu IKIP Jakarta) ini cuma memiliki status sekolah percontohan. Namun, entah siapa yang kemudian “menaikkan derajat” menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) tanpa melewati Sekolah Standar Nasional (SSN). Nah, SD Negeri Kompleks IKIP ini sama-sama berada di kompleks IKIP, namun hebatnya SD Negeri Kompleks IKIP ini benar-benar gratis-tis!

Bu Erna, orangtua murid, mengatakan, anaknya tinggal masuk ke SD Negeri Kompleks IKIP ini. Tidak ada dana sepersen pun yang ditarik dari pihak sekolah atau Komite Sekolah. Padahal menurutnya, sekolah ini termasuk salah satu sekolah dasar terbaik di Makassar.


Halaman dalam SD Negeri Kompleks IKIP. Untuk sekolah gratis nggak malu-maluin, kan? Beda banget dengan SD-SD di Jakarta yang menaikkan status jadi RSBI agar fasilitasnya ok. Tapi kalo fasilitasnya sudah ok, tetapi nggak punya prestasi, sama juga bohong.

Beda banget dengan apa yang terjadi di SDN RSBI 12 Rawamangun yang dahulu dikenal sebagai SD Negeri Percontohan ini. Cuma gara-gara banyak yang terkesima dengan nama besar Lab School, sehingga orangtua murid dari luar berbondong-bondong mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah ini, eh SD Negeri Percontohan ini pasang strategi, yakni mengganti menjadi status RSBI. Dengan begitu, Komite Sekolah bisa menarik dana dari para orangtua murid baru.

“Murid-murid di sini tidak membayar apa-apa. Tinggal masuk ke kelas,” jelas bu Erna lagi. “Murid-murid juga tidak perlu membeli buku. Pihak sekolah telah membuat sistem, dimana murid-murid bisa pinjam buku ke perpustakaan. Jika sudah naik kelas, buku dikembalikan ke perpustakaan. Begitu seterusnya,” tambah bu Erna panjang lebar.










Ini salah satu fasilitas di SMP Negeri Jembrana, Bali. Meski ada kolam renang, SMP ini tetap tidak memungut biaya dari orangtua murid. Kabupaten Jembrana yang kecil aja bisa, masa kota-kota besar nggak bisa?

Saya beruntung sekali bisa berkenalan dengan SD Negeri Kompleks IKIP dan bu Erna. Kenapa? Saya jadi bertemu lagi dengan sekolah negeri yang benar-benar gratis. Sebelumnya, saya sempat berkunjung ke salah satu SMA Negeri 2 Negara, Kabupaten Jembrana, Bali. Meski menjadi sekolah favorit, SMA 2 ini tidak memungut biaya sepersen pun dari orangtua murid. Menurut sang Bupati Prof. DR.drg. I Gede Winarsa, hal tersebut berkat pengelolaan dana Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dikelola dengan baik dan minus korupsi. Luar biasa bukan?


all photos copyright by Brill

Jumat, 16 Juli 2010

WISATA KULINER PURWAKARTA: TAPE BUNGKUS DAUN KEMIRI

Merasakan tape yang dibungkus daun ternyata nikmat sekali. Daun yang membungkus tape ini bukan daun sembarangan, lho, tetapi daun kemiri. Lho kok daun kemiri? Bukan daun kayu jati atau daun pisang?

Wah, jangan tanya saya, deh. Better Anda tanya penduduk di Purwakarta, Jawa Barat sana. Sebab, kebetulan saya tidak menemukan orang yang bisa diajak tukar pendapat soal kuliner tape berdaun kemiri. Saya pun tidak menemukan ahli sejarah yang bisa mengungkap sejarah kuliner ini.


Inilah tape bungkus kemiri

Yang pasti, daun kemiri ini nggak bisa didapat di sekitar rumah, bo! Saat ini pohon kemiri di daerah Purwakarta memang langka. Kalo mau cari pohon beserta daunnya, kita kudu mencari di hutan yang kebetulan cukup jauh dari perkampungan situ.

Busyet! susah amat ya? Membungkus tape aja pake daun kemiri yang asalnya dari hutan? Pikir Anda pasti begitu sederhana, sama sederhananya kayak pikiran saya sebelum makan tape ini.














Sekali makan, bikin ketagihan, bo! Bukan karena lapar kalo saya habis tiga bungkus.

Namun begitu saya menikmati tape ini, wow, rasanya: endang s taurina, bo! Saking Endang S Taurina-nya ini tape, saya ngembat 4 bungkus tape dan minta dibawakan pulang oleh si pembuat tape.

"Hah?! kamu makan 4 bungkus tape?" tanya istri saya. "Laper?"

"Bukan! Tapi ketagihan!"

Kamis, 15 Juli 2010

BAJAJ NO, BENTOR YES!

Bagi anda penggemar bajaj, jangan berharap menemukan bajaj di Makassar. Kecintaan anda pada bajaj akan kandas dan anda akan menangis tersedu-sedu, bagai pacar yang kehilangan pasangannya. Hiks!

Namun nggak perlu kecewa. bajaj nggak ada, bentor pun jadi. Memang antara bajaj dengan bentor beda. Bajaj itu bunyinya berisik dan bikin kuping budeg kalo naik, bentor enggak. Penumpang bajaj duduk di belakang sopir, sementara penumpang bentor duduknya di depan.

Bentor itu memang lebih mirip becak. Namun kenapa saya bandingan bentor dengan bajaj, ya pertama karena baik bajaj dan bentor sama-sama menggunakan bahan bakar. Kalo becak kan bahan bakarnya adalah nasi. Soalnya si penggowes becak kudu makan nasi supaya becaknya bisa digowes.


Daeng, mantan driver hotel yang terpaksa jadi tukang bentor.

Persamaan lain bentor dengan bajaj adalah roda bentor ada tiga. Kecuali kalo ban bentor-nya copot, nah itu lain perkara, bannya jadi dua. Persamaan terakhir, baik naik bentor maupun bajaj nggak boleh ngutang. Bayar harus cash.

Entah kenapa Makassar tidak ada bajaj. Apakah orang-orang Makassar nggak suka kendaraan umum berisik model bajaj? Atau nggak suka melihat body bajaj yang mulutnya monyong begitu. I don't know for sure baby.

Yang pasti, selama jalan-jalan ke Makassar ini, saya menikmati bentor. Ya, begitulah kalo jalan-jalan nggak pake mobil rental, saya pasti lebih menikmati naik kendaraan umum ketimbang naik taksi.



Nggak semua tempat di Makassar ada bentor-nya, lho. Yang paling banyak di jalan Adhyaksa sampai mal Panakukang.

Menurut Daeng yang bentornya saya naiki, harga bentor ini bervariasi. Ada yang cuma Rp 11 juta, ada yang sampai 18 juta perak.

"Ya tergantung motornya, pak," kata Daeng. "Kalo motornya baru, ya tentu mahal harga bentornya. Kalo motornya bekas, ya murah."

Betor milik Daeng yang saya naiki harganya 15 juta perak. Itu pun menurutnya masih dicicil pembayarannya.

"Habis duitnya nggak ada Pak kalo beli cash," ujar mantan driver hotel Aryaduta, Makssar ini.

Yang pasti, harga kursi bentor sama, yakni 4,6 juta perak. Dengan harga segitu, anda akan mendapatkan kursi kulit berwarna ngejreng yang dibalut dengan kain plastik supaya tidak cepat rusak.

Untuk ukuran kursi cukup murah ya kalo dibandingkan dengan kalo kita mau "beli" kursi di DPR? Kalo harga kursi di DPR rata-rata minimal Rp 1,5 miliar. Itu pun belum tentu bisa "terbeli".

Saya yakin, meski kelak akan mendapatkan gaji minimal Rp 50 juta per bulan dengan aneka fasilitas, Daeng tetap lebih memilih beli kursi bentor ketimbang kursi di DPR. Habis harganya belinya mahal, bo!

all photos copyright by Brill

BERBURU KULINER DI MAKASSAR eps # 1

Orang bilang nggak afdol, ke Makassar nggak makan coto Makassar. Ah, siapa bilang? Kalo ada orang yang ngomong kayak begitu, mohon maaf, nggak saya anggap. Why? Because, memangnya di Makassar makanan cuma coto doang? Kalo mau cari coto mah di Jakarta juga banyak, bo! Di Casablanca aja ada bejibun.

Nah, mumpung lagi jalan ke Makassar, tujuan wisata kuliner kali ini nggak fokus ke coto atau sop konro. Bukan saya nggak suka coto atau sop konro, lho. Tetapi kebetulan saya mulai menghindar dengan apa yang namanya "dunia daging".

Segala hal yang berbau daging, menurut rencana nggak saya embat, termasuk daging babi dan anjing. Ups! Kalo dua daging itu mah sejak dari bayi mah nggak saya konsumsi. Soalnya gengsi. Masa anjing yang lucu kita makann? Begitu juga babi. Tampang yang jelek kan nggak mak nyos buat dinikmati.


Model baksonya "unik". Ada yang isi cokelat, ada yang isi stroberi. Ada yang bentuknya hati seperti terlihat di foto. Ini cocok buat pasangan yang lagi jatuh cinta.

Hari ini wisata kuliner saya adalah bakso gila. Nggak usah ditanya rasanya, wah enak tenan, bo! Selain baksonya, kuahnya itu nyumi dan sueger banget! Kalo anda lagi panas dingin, menyeruput kuah bakso gila ini boleh jadi panas anda bakal gila...eh, maksudnya turun. Sebab, kuahnya bikin anda berkeringat dan mulut anda ngap-ngapan kayak ikan mas koki.










Kuahnya kudu disiram dulu dengan kuah kaldu ayam atau sop buntut (foto atas). Bakso gila yang rasanya benar-benar gila (foto bawah)

Kenapa sih disebut bakso gila?

Terus terang sejarah tahun ditemukan bakso gila ini nggak jelas. Apakah bakso gila ini mengikuti jejak kesuksesan nasi gila yang banyak beredar di Jakarta, I don't know.

Menurut penjual bakso gila, kata "gila" yang berpacaran dengan kata "bakso" itu gara-gara beberapa hal. Pertama bakso-nya. Kalo di Jakarta atau kota-kota lain isi baksonya cuma telur, daging, atau urat, nah bakso gila lebih gila lagi isinya, yakni isi cokelat dan stroberi.


Rasanya pingin nambah, tapi perut udah nggak kuat.

Hah? di dalam bakso ada cokelat dan stroberi? Gila apa?! Nah, itulah kenapa jadi gila nama baksonya. Eit, tunggu dulu! Ada lagi yang bikin gila, yakni kuahnya. Bahwa kuah bakso gila ini ada beberapa, tapi yang paling disukai adalah kuah kaldu ayam dan kuah sop buntut.

Nah, dengan komposisi yang "gila" itu, anda bisa menambah kegilaan lagi dengan menambah sambal. Kalo itu anda lakukan, mulut anda bakal mengap-megap, karena pedasnya "gila", ya nggak?

all photos copyright by Brill

Rabu, 07 Juli 2010

KATA BONDAN, THE BEST SOP BUNTUT IN THE WORLD...

Pujian tersebut diucapkan dari mulut seorang pria bernama Bondan. Bukan Bondan Prakoso, pemusik yang berhasil me-remix lagi lagu keroncong itu, lho. Tetapi Bondan yang dimaksud tidak lain adalah Bondan Winarno. Pria yang belakangan lebih ngetop sebagai pengila kuliner ketimbang menjadi penulis ini.

Menurut Bondan yang saya kutip dari DetikFood (Senin, 07/06/2010 10:38 WIB), sop butut lokal yang berkualitas itu cuma ada di empat tempat. Pertama di Jakarta Pusat, lalu di Bogor, dan di Mojokerto. Nah, yang keempat menurutnya istimewa, yakni sop butut di Dahapati, Bandung, Jawa Barat. Kata Bondan, sop buntut Dahapati adalah sop buntut yang paling baik di dunia.

“Ah, macaa ciiiiiiihhhh!” komentar saya.


Kedai sop buntut ini ada di dalam rumah jadul.

Tulisan mengenai Bondan yang di-copy dari DetikFood itu dipajang di hampir seluruh tembok di kedai sop buntut Dahapati ini. Komentar saya tersebut saya ucapkan dalam hati, sebelum mencicipi sop butut yang katanya enak itu.

Saya biasanya memang cenderung apriori atau skeptis atau apalah namanya, kalo melihat ada sebuah kedai atau warung yang mengantungkan tulisan-tulisan atau artikel-artikel kayak begitu, apalagi yang dipajang baru satu tulisan doang. Bukan media cetak pula. Tahu sendirilah, terkadang para penulis di media cetak (maaf!) bisa dibayar, kok. Dengan beberapa ratus ribu rupiah, mereka diminta untuk menulis yang bagus-bagus tentang kedai, resto, atau warung tempat mereka mencicipi masakan. Istilahnya, wartawan amplop gitu, bo! Memang sih nggak semua wartawan kayak begitu sih.


Ini dia sop buntut yang dipuji habis-habisan oleh Bondan.

Rasa apriori akhirnya hilang. Sop buntut Dahapati ini memang enak. Buat saya, harga semangkuknya pun nggak terlalu mahal, yakni 35 ribu perak. Namun kalo sop buntut bakar harganya beda duaribu limaratus perak, yakni Rp 37.500. Harga segini jelas beda jauh dengan sop buntut di Jakarta, apalagi di Hotel Borobudur atau JW Marriot (ya, jelas muahal!) yang ternyata nggak masuk dalam daftar sop buntut enak versi Bondan. Padahal kita tahu bersama, sop butut di Hotel Borobudur itu legend banget. Nggak cuma public figure yang merasakan kelezatannya, tetapi pejabat, petinggi negara, maupun kalangan asing kayak diplomat dan duta besar mengangguk setuju kalo sop buntut Hotel Borobudur yang sudah ngetop sejak tahun 1973 itu mak nyos. Tapi kenapa nggak masuk hitungan Bondan ya?

Anyway, harga sop buntut Dahapati ini masih mirip dengan sop buntut di depan bioskop Viva Tebet, samping Jakarta Design Center, di jalan Menteng, sebelah hotel Regent, atau di jalan Sabang. Jadi kalo kebetulan Anda pengemar sop buntut dan kangen makan sop buntut yang banyak beredar di Jakarta yang sudah saya sebutkan tadi, nggak ada salahnya mampir ke Dahapti.

“Memang benar enak seperti yang dikatakan Bondan,” komentar saya yang lagi-lagi dalam hati. “Tapi kalo sampai dibilang the best in the world mah kayaknya terlalu berlebihan deh si Bondan ini...”


all photos copyright by Brill

Selasa, 06 Juli 2010

VIEW IN THE MORNING AT CIUMBULEUIT, BANDUNG

Ah, nikmatnya menghirup udara yang masih sejuk dan segar. Rasanya oksigen yang kita kumpulkan mulai banyak lagi. Tahu sendiri, di Jakarta, untuk mengumpulkan oksigen rasanya sedikit banget. Maklum, udara sudah kotor, terpolusi.



Pemandangan persis di depan penginapan (atas). Nampak beberapa pemukiman dan juga kos-kosan yang banyak terdapat di lokasi ini. Suasana ranjang di pagi hari (bawah). Akibat udara dingin, tidur pun berdesak-desakan supaya hangat.

Pagi ini, di atas lantai 3 di Ciumbuleuit, Bandung, Jawa Barat, oksigen-oksigen itu berhasil saya kumpulkan di dalam tubuh ini. Alhamdulillah, saya masih diberikan oleh Allah kebebasan menghirup udara di pagi ini sebanyak-banyaknya. Thx God!