Minggu, 28 Februari 2010

ATRAKSI POTONG LIDAH DI PAWAI BUDAYA CAP GO MEH 2561

Lelaki tua itu mengiris-iris lidahnya dengan sebuah pedang tajam. Sementara seorang pria menunggu darah yang keluar dari lidah pria tua itu, dimana darah itu sengaja diteteskan ke lembaran kertas berwarna kuning yang terdapat tulisan Mandarin.

"Cing-cong hua-hua," kata pria tua yang lidahnya sudah berlumuran darah itu.

Entahlah apa maksud ucapannya, karena genderang musik yang keras jadi mempengaruhi pengengaran saya. Jadi mohon maaf kalo artikulasi pria tua itu nggak jelas. Yang pasti, pria bertubuh tambur ini sempat mengatakan sesuatu. Barangkali sebuah pesan atau mantra-mantra.



Begitulah salah satu atraksi siang sampai sore hari ini. Sebuah ritual budaya etnis Tionghoa dalam rangka Pawai Budaya Cap Go Meh 2561, yang berlangsung di Kawasan Pecinaan, Kota, Jakarta Barat, Minggu (28/02/10) ini.

Saya beruntung bisa menyaksikan pawai sepanjang kira-kira 2 kilometer ini, dimana pawai ini menjadi salah satu atraksi budaya buat konsumsi turis mancanegara.

Pawai terbuka yang sempat memacetkan jalan di seluruh Kawasan Kota ini merupakan ritual tahunan yang digelar lagi semenjak Abdurrahman Wahid menjabat Presiden. Maklumlah, almarhum yang akrab disapa Gus Dur itu kan pluralis. Nggak heran, ia membebaskan semua kepercayaan, termasuk aliran-aliran agama, untuk melakukan tradisi ritual mereka, dimana di era Orde Baru, tradisi ini sempat vakum. Menurut Jaya Suprana (Kompas, Sabtu 13/02/10, hal 7), Gus Dur yang memaksa bangsa Indonesia kembali ke fitrah falsafah Bhinneka Tunggal Ika sebagai hakikat penjabaran pluralisme. Pencabutan larangan perayaan Tahun Baru Imlek bukan hasil perjuangan warga keturunan China di Indonesia sendiri, tetapi anugerah hadiah kebudayaan dan kemanusiaan dari Gus Dur.



Cap Go Meh merupakan rangkaian dari perayaan Imlek yang sudah dilakukan 15 hari sebelumnya, yakni pada tanggal 14 Februari 2010, bertepatan dengan Hari Valentine. Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar China. Istilah Cap Go Meh sendiri berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama. Intinya masuk ke bulan pertama di Tahun Baru China. Kalo di hari Imlek sebelumnya nggak ada pawai-pawaian, tetapi cukup berdoa di vihara, maka di Cap Go Meh, etnis Tionghoa yang beragama Buddha melakukan pawai. Kalo dalam tradisi Islam barangkali bisa disamakan dengan Idul Fitri lah.

Budaya Cap Go Meh sebenarnya sudah turun temurun dilakukan etnis Tionghoa. Kalo di Indonesia ini terjadi sekitar 200 tahun lalu, tentu saja berawal sejak masuknya budaya China ke negara kita, yakni dengan kedatangan Panglima Cheng Ho ke beberapa wilayah pesisir Indonesia pada abad ke-15.



Jadi tontonan menarik warga sekitar. Nggak heran banyak yang bela-belain nonton di atas balkon rumah mereka.

Cheng Ho bersama sekitar 27 ribu tentara-nya nggak cuma membawa perbekalan buat makan, minum, maupun peralatan perang. Tetapi ia juga membawa kebudayaan, mulai dari pakaian, adat istiadat, termasuk tradisi Cap Go Meh ini.

Ada legenda prihal perayaan Imlek atau Xin Nian ini, yakni dongeng mengenai kemenangan manusia atas monster. Kisahnya, tersebutlah seekor monster yang bertugas membawa kematian dan kehancuran tata kehidupan. Monster ini bernama nian. Meski besar, akhirnya monster ini berhasil dikalahkan oleh manusia.

Tradisi ini kemudian sempat menghilang pada era Soeharto, karena etnis Tionghoa, terutama yang beragama di luar lima agama pokok (Islam, Kristen, Protestan, Hindu, dan Buddha), nggak diakui. Begitu Gus Dur naik jadi Presiden, etnis Tionghoa bebas merdeka. Itulah mengapa di mata para etnis Tionghoa, Gus Dur jadi tokoh idola.

Atraksi potong lidah yang dilakukan oleh pria tua bertubuh tambur itu merupakan salah satu atraksi di Pawai Budaya Cap Go Meh 2561. Ada atraksi lain yang nggak kalah seru, yakni berdiri di atas golok tajam. Atraksi ini dilakukan oleh beberapa pria yang nampak sudah in trance alias kesurupan. Tentu saja ada atraksi yang nggak membuat orang merasa ngeri melihatnya, yakni atraksi barongsai.




Seru! Yap, memang seru Pawai Budaya Cap Go Meh 2561 ini. Saking serunya, pawai ini sempat membuat macet jalan sekitar Kawasan Kota Tua, mulai dari Glodok menuju museum Fattahillah, sampai ke perempatan stasiun kota menuju kawasan Mangga Dua. Mereka yang berada di dalam kendaraan terpaksa mematikan mobil mereka dan melihat pawai yang diikuti oleh ribuan orang dari ratusan vihara yang tersebar di seluruh Jakarta ini.

Selain mobil pribadi atau motor pribadi, para penumpang busway pun nggak ketinggalan melihat pawai ini. Mereka yang kebetulan berada di pinggir jendela berdiri dan memanfaatkan momentum dengan mengabadikan, entah itu dengan menggunakan kamera atau handphone. Sementara warga yang kebetulan tinggal di sepanjang jalan Glodok melihat dari jendela rumah. Di antara mereka ada beberapa orangtua terus menggerak-gerakkan kedua telapak tangan seraya memanjatkan doa agar mendapatkan berkah dari pawai ini. Tentu saja doa pada dewa-dewa yang diarak oleh peserta pawai.

Hampir setiap vihara yang mengikuti pawai budaya ini mengarak dewa dan dewi. Ada vihara yang mengarak Dewa Kwan Kong, yakni Dewa Perang dan Dewi Kwan Im sebagai pembawa cinta kasih. Ada yang mengarak Dewa Cho Sua Kong atau dewa pengobatan. Nggak ketinggalan ada juga yang mengarak Dewi Xian Ma. Gara-gara para Dewa-Dewi itu diangkut pakai tandu, maka banyak penonton yang ingin ikut-ikutan membawa tandu. Katanya kalo ikut menandu, maka akan mendapatkan kesehatan atau rezeki. Ya, tergantung dari Dewa atau Dewi yang ditandukan oleh mereka.

Bagi mereka yang nggak mampu buat memandu, cukup berdoa di hadapan Dewa-Dewi atau sekadar menyentuh tandu yang terbuat dari kayu dan dicat berwarna merah itu. Ada pula orang yang memberikan amplop warna merah berisi uang yang diletakkan di dekat patung Dewa atau Dewi. Konon katanya, orang yang memberikan amplop yang biasa disebut angpaw akan mendapatkan banyak rezeki.

Selama sekitar empat sampai lima jam pawai keliling Kawasan Kota, cuaca berubah-ubah. Awalnya matahari bersinar cukup menyengat. Maklumlah, pawai dimulai tepat pukul 13.00 wib. Tiba-tiba sempat mendung dan turun rintik-rintik hujan. Namun, cuaca kemudian cerah kembali. Saya nggak ngerti apa makna cuaca yang berubah-ubah begitu. Apakah di tahun Macan ini penuh dengan rintangan dan kemudian kita bisa mengatasi rintangan tersebut? I really don't know. Ya, moga-moga aja, kita selalu diberikan kesehatan dan kesuksesan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin!

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

MENYUSURI JEJAK PENGERAN KUNINGAN

Tak banyak yang tahu ada nama pahlawan yang sempat menyebarkan ajaran Islam di tanah air ini, khususnya di wilayah Jakarta ini (dahulu masih menggunakan istilah Sunda Kelapa). Ia bernama Pangeran Awwangga. Pangeran yang bergelar Pangeran Kuningan ini memiliki pasukan yang kuat. Saking kuatnya, ia berhasil mengalahkan Kerajaan Padjajaran yang sempat menduduki Sunda Kelapa.

Sepak terjang Pangeran Kuningan nggak cuma berhasil mengalahkan Kerajaan Padjajaran. Bersama armadanya, ia pun berhasil mengalahkan armada perang Portugis yang mencoba memasukki wilayah Sunda Kelapa. Ketika berperang melawan tentara Portugis, Pangeran dibantu oleh pasukan gabungan dari Demak Cirebon, dimana saat itu dipimpin oleh panglima perang Falatehan (Fadlilah Khan).



Sepintas kayak masjid baru, tetapi sebelum direnovasi masjid ini adalah masjid tua, tempat Pangeran Kuningan melakukan siar agama Islam khususnya di seluruh wilayah Jakarta ini.


Daerah operasional Pangeran Kuningan berada ke arah Selatan. Di lokasi yang dahulu masih hutan belukar, sang Pangeran bersama pegikutnya mendirikan pemukiman. Itulah kenapa wilayah jalan HR. Rasuna Said dikenal sebagai Kuningan. Bahwa sepanjang jalan HR. Rasuna Said sampai Mampang, Tendean, dan Gatot Subroto adalah wilayah kekuasaan kerajaan yang dipimpin oleh Pangeran Kuningan.

Di wilayah yang cukup besar itu, Pangeran Kuningan membuat lokasi sentral pertemuan di lokasi yang sekarang menjadi Museum ABRI Satria Mandala. Bahkan ada yang menyebutnya, museum ini dulu adalah rumah sang Pangeran. Sementara tanah pekarangannya meliputi tanah yang ditempat oleh Menara Jamsostek ke arah Timur dan ke arah Barat sampai ke gedung Telkom, kompleks Menteri, dan LIPI. Nah, di pekarangan rumahnya, dibangun sebuah masjid. Kelak masjid tersebut bernama masjid Al-Mubarok.


Interior masjid Al-Mubarok.

Selain sebagai tempat syiar agama Islam, masjid Al-Mubarok ini dijadikan sebagai ruang diskusi bagi para pengikut Pangeran Kuningan. Baik itu diskusi mengenai agama, maupun diskusi politik.

Saya penasaran dengan sepak terjang Pangeran Kuningan ini. Oleh karena itu, saya mencoba menyusuri jejak Pangeran Kuningan ini. Penyusuran awal, saya lakukan di beberapa masjid tua di wilayah Kuningan dan Gatot Subroto. Di Kuningan, saya mendapatkan dua masjid tua. Masjid pertama bernama masjid Hidayattullah. Masjid ini terletak menyempil di bawah gedung pencakar langit milik Sampoerna, tepatnya di jalan Prof Dr. Satrio, Karet Semanggi, Jakarta Selatan. Masjid kedua bernama masjid Jami Roudhotul Falah di jalan H.R. Rasuna Said, Pendurenan Masjid. Namun kedua masjid ini ternyata tidak ada makam Pangeran Kuningan.

Penyusuran kemudian dilakukan dengan menanyakan warga penduduk Gatot Subroto yang sudah sepuh. Info mereka mengarah pada sebuah masjid yang menyempil di antara museum ABRI Satria Mandala dan Pusat Sejarah TNI (Pusjarah TNI) di jalan Gatot Subroto.

Terus terang saya nggak begitu yakin. Kenapa? Saya memang belum pernah masuk ke masjid yang terhimpit dua tempat itu, tetapi saya sering melihat dan melewati masjid yang temboknya dicat berwarna putih dengan genteng berwarna hijau. Ketidakyakinan saya, karena gedung masjid tersebut nampak masih baru. Saya bahkan menyangka, itu masjid memang kepunyaan museum Satria Mandala. Meski nggak yakin, saya pun tetap mendatangi masjid tersebut.

Buat menuju masjid Al-Mubarok, kita nggak perlu masuk museum Satria Mandala atau Pusjarah TNI. Ada jalan beraspal yang di kiri kanannya diberi pagar kawat. Dari jalan Gatot Subroto, kira-kira 50 meter masuk ke area masjid.



Makam di kompleks masjid Al-Mubarok

Begitu masuk area masjid, sepintas masjid itu nampak baru. Namun begitu melihat sebuah prasasti marmer berwarna hitam dengan tulisan ukiran di atas marmer itu, saya baru yakin bahwa masjid ini memang tempat Pangeran Kuningan dan pasukannya bersiar Islam dan menyusun strategi buat menghancurkan kerajaan Padjajaran dan armada perang Portugis di pelabuhan Sunda Kelapa.

Masjid yang dibangun tahun 1527 ini dilindungi oleh pemerintah daerah sebagai Monumen Ordonansi no 238 tahun 1931. Pada tahun 1972, masjid ini ditetapkan sebagai masjid tua melalui lembaran daerah no 60 tahun 1972.

Mengelilingi masjid terdapat kompleks pemakaman. Saya berpikir, kompleks pemakaman inilah barangkali ada makam keramat tempat beristirahatnya Pangeran Kuningan. Eh, ternyata dugaan saya salah. Ketika saya tanya penjaga masjid di situ, makam Pangeran Kuningan bukan di sini.

"Adanya di dalam gedung Telkom, Pak," ujar penjaga masjid.

"Hah?! Di dalam gedung Telkom?" tanya saya heran.

"Bapak ke situ saja. Tanya satpam, makam Pangeran Kuningan. Nanti pasti satpam akan nganterin."

Saya pun kemudian menuju ke gedung Telkom. Bagi Anda yang belum tahu lokasi gedung Telkom, gedung ini berada persis di seberang hotel Kartika Chandra atau bioskop Hollywood KC 21. Banyak banget kendaraan umum yang melewati gedung Telkom ini. Kalo dari Blok M, Anda bisa naik Kopaja 66 jurusan Blok M-Manggarai. Kalo dari Grogol bisa naik PPD jurusan Grogol-UKI. Atau dari Tanah Abang bisa naik Metromini 604 jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang. Kalo dari arah Pancoran, Anda bisa turun di depan gedung Telkom atau museum Satria Mandala yang ada di samping gedung Telkom.

Buat menuju makam Pangeran Kuningan, Anda kudu lapor dulu ke security, karena mereka yang biasanya akan mengantarkan ke lokasi. Nggak enak dong kalo satu rombongan bus mau nyekar, tapi nggak izin keamanan gedung, ya nggak? Yang pasti, pihak Telkom kayaknya welcome banget ada orang yang mau berziarah atau nyekar, asal lapor.


Nggak ada yang menyangka, di belakang gedung tua Telkom ini ada sebuah batu nisan Pangeran Kuningan.


Ternyata tempat peristirahatan terakhir Pangeran Kuningan nggak seperti bayangan saya. Biasanya makam-makam keramat selalu dibuatkan kotak makam yang disemen dan dikasih keramik. Lalu makam tersebut dbuatkan rumah, at least gubuk lah. Eh, ternyata di lokasi tersebut cuma berupa batu nisan. Di batu tersebut tertulis tempat peristirahatan terakhir Pangeran Kuningan.

"Dari dulu memang begini, Pak," ujar Pak Supri, satpam yang sudah hampir duapuluh tahun kerja di PT. Telkom. "Kalo dikasih prasastinya sih baru. Keluarga ahli waris sudah minta izin Telkom untuk meletakkan prasasti di tempat ini."

Prasasti yang dimaksud berada di belakang gedung Telkom, tepatnya tempat mobil parkir. Di situ ada sebuah trotar dan di atas trotoar ituah ada sebuah prasasti. Bagi Anda yang lokasi parkir Telkom di belakang pasti nggak akan tahu kalo di atas trotoar itu ada makan salah seorang pahlawan bernama Pangeran Kuningan.





Pintu tangga yang ditutup gara-gara di bawah tangga ada batu nisan Pangeran Kuningan (di paling kanan dekat AC). Penutupan tersebut gara-gara menghormati makam tersebut.


Oh iya, prasasti itu adanya di bawah sebuah tangga salah satu pintu masuk gedung Telom dari arah belakang. Namun pintu masuk tersebut sudah lama ditutup. Saya bisa menebak, penutupan tersebut lebih karena menghargai ada makam di bawah tangga tersebut.

"Kalo sebelum puasa, banyak juga yang ziarah ke makam ini, Pak," tambah pak Supri. "Yang pasti tiap Jum'at, ada aja orang yang datang berkunjung."

Lucu juga kalo melihat ada prasasti Pangeran Kuningan di trotoar. Memang sih prasasti tersebut sebagai tanda tempat makan, namun saya nggak melihat adanya kesan sebuah kuburan keramat. Kenapa nggak dibuang saja prasasti tersebut? Toh, ada dan nggak ada prasasti tetap tidak terlihat ada mantan makam? Eit, ternyata setelah saya tanya salah seorang warga yang sudah cukup lama di wilayah Gatot Subroto, makam itu memang sempat mau digusur.


Prasasti Pangeran Kuningan.




"Tapi begitu mau digusur, orang yang mau menggusurnya langsung sakit," ujar ibu Endang Rekno Besane Sutarti yang akrab disapa ibu Iyem, yang sudah tinggal di Kuningan Timur.

Barangkali benar apa yang dikatakan ibu Iyem. Nggak ada orang yang berani memindahkan prasasti Pangeran Kuningan ini, termasuk para direksi PT. Telkom sendiri. Meski kelihatannya cuma prasasti, namun ternyata memiliki kesan 'magis' yang luar biasa. Anyway, bagi keluarga ahli waris yang ingin nyekar atau membacakan doa ke Pangeran Kuningan, lebih enak. Suasananya nggak kayak di kuburan. Mereka bisa membacakan yasin di tanga yang ada dekat prasasti tersebut. Barangkali cuma agak sedikit nggak kyusuk aja kali ya, karena setiap waktu pasti ada mobil yang hendak keluar, masuk, dan parkir di dekat situ. Ya, nama tempat parkir, ya pasti kayak begitu suasananya.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Selasa, 16 Februari 2010

MENGHARGAI PEJALAN KAKI

Belakangan Pemerintah Kota (Pemkot) DKI Jakarta cukup concern dengan masalah jalur khusus buat pejalan kaki. Meski masih banyak jalur khusus ini seringkali dimanfaatkan oleh para pedagang tenda atau motor-motor yang diparkir di trotoar, Pemkot terus membangun, memperbaiki, dan menjadikan hijau trotoar agar pejalan kaki menjadi nyaman.

Saya membayangkan, beberapa tahun lagi, kendaraan sudah tidak memungkinkan lagi buat berjalan, karena stuck, orang-orang akan beralih menjadi pejalan kaki dan penggowes sepeda. Pada saat itu, jalur penjalan kaki sudah ditumbuhi pohon sehingga ketika kita melintas, suasana akan teduh.


Trotoar yang sedang dibangun di jalan MT. Haryono, Jakarta Selatan.





Jalur khusus pejalan kaki yang ada di depan Wisma Indomobil. Keren! Asri!






all photos copyright by Brillianto K. Jaya

MASIH BELUM EFEKTIF

Seorang Polwan memegang sebuah papan berukuran 15 cm. Ada tulisan di papan itu: "Motor gunakan lajur kiri dan menyalahkan lampu". Sesekali papan itu dipergunakan buat menutupi wajahnya agar nggak kena matahari.


Ada polisi aja masih melanggar, apalagi nggak ada polisi. Kapan kita bisa berdisiplin ya? Sampai tahun monyet kali ya?

Begitulah pemandangan setiap pagi yang saya lihat. Ada beberapa polisi di perempatan dan ratusan motor di antara beberapa mobil. Sebuah pemandangan yang miris, tetapi itulah kenyataan. Meski sudah ada Undang-Undang (UU), sudah ada plang tentang aturan buat motor, ditambah lagi Polwan dan polisi-polisi lain yang mengatur, tetap aja motor jauh lebih banyak. Saking banyak, polisi pasti kewalahan. Saking banyak pula, banyak motor yang tetap saja melenggang ke luar dari jalur polisi dan menggeber kendaraannya di jalur busway. Mantabs!

Sampai kapan kondisi perlalu lintasan kita ini bisa relatif baik ya? Kapan ya motor-motor ini semuanya bisa disiplin ya? Kok UU tetap nggak ngaruh...


Udah ada tanda, tetap aja cuek. Dasar!





all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Senin, 15 Februari 2010

YANG DIBENCI, YANG JADI SELEBRITI

Ketika pertama kali muncul di televisi, hampir semua pasang mata menilai, pria kelahiran Palembang ini menyebalkan sekali. Menyebalkan pertama, setiap kali berbicara, wajahnya nggak pernah lurus menghadap lawan bicara. Kepalanya selalu menunduk. Udah begitu, matanya pun lebih banyak tertutup. Cuma sesekali dibuka dan menatap mata lawan bicara.

Menyebalkan kedua, ngomongnya terdengar sombong. Seolah ia adalah orang yang nggak punya salah. Artinya, apa yang dilakukan, adalah benar adanya. Semua merupakan tuntutan jabatan. Padahal semua orang tahu, pasti ada rahasia di balik statement-statement-nya yang keluar dari mulutnya. Ada semacam tanda tanya besar yang ia sembunyikan di balik kesaksiannya.

Begitulah Komjen Susno Duadji. Pria yang akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Bareskrim Mabes Polri ini memang menyebalkan di mata banyak orang. Di atas tadi baru soal gayanya. Belum termasuk tindak tanduknya serta ucapannya.



Sekadar mengingatkan, Susno merupakan pejabat kepolisian yang kali pertama melontarkan istilah cicak versus buaya. Cecak sebagai lambang KPK, sedang buaya sebagai lambang kepolisian. Istilah tersebut merupakan buntut dari kekesalan Susno yang mengaku ponselnya disadap, terkait pemeriksaan kasus dugaan korupsi Bank Century.

“Bukan saya yang menyadap Susno, tetapi teleponnya Susno masuk ke telepon yang kita sadap. Itu saja kok. Jadi bukan kita yang menyadap Susno. Tapi Susnonya yang masuk sendiri ke penyadap kita,” jelas Bibit

Setelah Tim Kuasa hukum Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto melaporkan Susno ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Susno juga dilaporkan ke Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri. Ada tujuh pasal dalam pelaporan saat itu ke Irwasum.

“Di antaranya pada PP 2/2003 tentang peraturan disiplin anggota polri,” jelas Achmad Rifa’i pengacara KPK. Selain itu, Susno juga dilaporkan terkait UU KUHP pasal 421-423 terkait perbuatan yang melawan hukum.

Kini setelah lepas jabatan sebagai Kabareskrim, saya sempat menjumpainya dalam pertemuan di restoran di hotel Dharmawangsa. Wajahnya nampak segar, seolah nggak ada lagi beban yang pikul lagi.

"Sudah banyak orang yang memikirkan negara," kata Susno.

Dalam perjumpaan itu, saya nggak menyinggung soal kebenaran berita miring soal dirinya. Sebab, pertemuan kami sebenarnya buat mengajak dirinya menjadi salah satu bintang tamu di program spesial.

Sambil mengutarakan konsep program, Susno menjelaskan bagaimana dirinya saat ini. Bahwa kini hidupnya "nggak tenang". Bukan nggak tenang gara-gara dikejar polisi atau penagih hutang, tetapi justru karena popularitasnya yang meroket bak selebriti. Orang boleh saja membencinya ketika muncul di televisi, tetapi ternyata dalam kenyataan sehari-hari, ia selalu dikerumini oleh banyak orang yang ingin memintanya foto bersama. Olalah!

"Setelah saya muncul di pansus, saya kan langsung umroh dengan istri," kata Susno membuka kisahnya. "Baru juga turun dari pesawat di airport Jeddah, beberapa orang langsung meminta foto, ya berfotolah kami."

Itu baru di Jeddah. Lanjut Susno, ketika ia berkunjung ke Mekkah buat sholat, ternyata ada sekitar tiga orang sudah menunggu di belakangnya. Bukan buat ikutan sholat, tetapi minta difoto.

"Saya kaget ada tiga orang ada di belakang saya. Mereka bilang, 'Bapak Susno ya?', saya jawab 'iya'. Mereka langsung mohon izin bisa foto bareng dengan saya," ungkapnya.

Belum cukup mendapat pengalaman menjadi seorang "selebritis", para pramugari di pesawat yang ditumpanginya juga minta foto bareng. Tentu ia nggak bisa mengelak. Meski sedikit dicemberuti oleh sang istri, Susno tetap harus meladeni keinginan pramugari-pramugari yang cantik-cantik itu.



Begitulah Susno kini. Ia boleh saja dibenci banyak orang, tetapi kini ia bak "selebriti". Undangan menghadiri event-event yang kebetulan membutuhkan narasumber seperti dirinya pun mengalir. Nggak cuma di Jakarta, tetapi di beberapa kota.

Nggak akan lama lagi, akan keluar buku terbitan Gramedia tentang dirinya. Kalo cuma buku biografi dari seseorang yang dibayar, sehingga tulisan di buku itu jadi nggak objektif mah banyak. Apalagi kalo yang menulis tokoh yang diceritakan dibuku itu atau otobiografi. Namun buku yang akan terbit per tanggal 24 Februari 2010 ini cukup unik, yakni sebuah buku hutang budi seorang wartawan pada diri Susno.

"Wartawan yang menulis buku ini dalam rangka penyesalan terhadap saya," ujar Susno. "Sebelum menulis buku, wartawan ini adalah salah seorang pembenci terberat saya. Apa yang saya katakan di televisi, selalu dipersepsikan negatif olehnya. Sampai kemudian, ia berjumpa dengan saya dan berbalik 360 derajat."

Ia menyesali perbuatannya, karena membenci Susno. Apa yang dahulu si wartawan lihat dengan kenyataan dianggap berbeda. Dari situlah buku tentang Susno ini terbit. Susno mengaku nggak mengintervensi isi buku ini agar isinya baik-baik saja. Ini dilakukan supaya objektif. Jelek dan bagus sepak terjang dan tingkah laku Susno, ditulis di buku ini.

"Saya cuma mengkoreksi keakurasian data," jelas Susno. "Misalnya tempat lahir saya, tanggal lahir, dan beberapa hal lain. Kalo soal content, nggak ada yang saya rubah."

Uniknya, meski buku ini sudah diproduksi oleh penerbit kecil di Yogya, Susno menawarkan ke penerbit Gramedia. Eh, penerbit ini membeli hak ciptanya pada penerbit dari Yogya itu. Kalo sebelumnya cuma dicetak 5.000 eksemplar, di Gramedia buku tentang Susno ini dicetak sekitar 150 ribu eksemplar.

"Dari satu buku, wartawan itu mendapat royalti seribu rupiah. Kalo terjual semua, maka ia akan mendapat uang satu miliar lebih. Rezeki dia."

Begitulah Susno. Di tengah hujatan pada dirinya, ia kini menjadi orang yang sangat populer. Semua orang mengejarnya, entah itu mau foto, menjadi pembicara, atau membuat buku. Kini, saking populernya, ia nggak bisa menghindar dari banyak orang. Apa yang dialami Susno sekarang, mirip dengan pepatah lawas: you can run, but you can't hide!

"Wong di Singapura aja, saat lagi mendorong kereta bayi, ada orang dari Surabaya yang menghentikan saya dan minta difoto," jelasnya. "Kirain di luar negeri bisa bebas, eh ternyata tampang dan kisah saya diketahui mereka yang tinggal di luar negeri juga."

Minggu, 14 Februari 2010

"KITA INI ORANG KAYA SEMUA, BANG!"

Cuaca mendung. Sudah bisa diduga, hujan akan segera turun. Meski begitu, kondisi mendung nggak menyurutkan niat saya dan istri buat menyantap soto ayam Lamongan yang kebetulan terletak di dekat rumah kami. Baru juga si pelayan meletakkan dua mangkuk soto ayam di meja, hujan mengguyur sudut-sudut jalan dengan tetesannya yang cukup deras. Byuuur!!!

Soto ayam Lamongan yang kami cicipi pagi ini ternyata Endang S. Taurina alias enak juga. Berarti, di dekat rumah kami banyak soto enak yang bisa dinikmati. Soto pertama di depan penjara Salemba, samping pos polisi Kayu Awet. Soto nikmat kedua di depan kali Rawasari, samping ARCICI (stadion sepakbola di kompleks Rawasari Country Club). Memang sih harganya beda. Soto di Salemba semangkuk cuma Rp 7.000, sedang di depan kali Rawasari semangkuk soto ayam spesial ati dan telur Rp 10.000. Kalo sudah beda harga begitu, ya tinggal kami yang pilih. Mau yang agak jauhan atau yang dekat?



Di tengah kenikmatan menyantap soto yang Mak Nyoos itu, tiba-tiba dering SMS di handphone saya berbunyi. Rupanya dari bang Kodok. Siapa tuh? Bang Kodok adalah "preman" yang tinggal di kolong jembatan Kampung Melayu. Sudah beberapa bulan ini saya dekat dengan beliau, karena tujuan saya lebih karena ingin mengangkat harkat dan martabat kaum marjinal, kaum terpinggirkan.

"KK tempat aku udah kerendam"

Begitulah tulisan di layar handphone saya tepat pukul 10:16:07 wib. Siapa itu KK? Bang Kodok memanggil saya dengan sebutan KK atau kakak. Membaca pesan singkat itu, naluri sosial saya langsung muncul. Sebenarnya bukan cuma membayangkan bang Kodok semata, tetapi anak-anak yang tinggal di situ. Gimana nasib mereka ya?

"Apa yang bisa kita bantu buat mereka, Pap?" tanya istri.

"Makan aja deh," jawab saya tanpa pikir panjang.

Rasanya nggak enak banget kalo sedang menikmati makan enak, ada orang lain yang sedang kesusahan, apalagi orang itu teman dekat kita. Nggak heran, begitu menghabiskan sisa soto ayam, kami langsung bergegas ke pasar buat membeli kebutuhan buat dimasak di rumah.

Hari libur kemarin menjadi hari sosial seluruh keluarga. Nggak ada mal, nggak ada belanja-belanjaan, nggak ada main di Time Zone, Amazon, atau sebangsanya. Semua kudu sibuk memasak, mengepak makanan, dan men-delivery ke kolong jembatan Kampung Melayu. Anak-anak kami pun diikutsertakan buat merasakan bagaimana kami sibuk buat ngurusin orang-orang yang butuh pertolongan. Alhamdulillah, semua kelar dan mereka pun senang.

"Maaf ya bang, saya nggak bisa ngelihat ke kolong jembatan," kata saya pada bang Kodok sambil menyerahkan beberapa plastik berisi makanan bungkus buat makan malam. "Saya harus shooting di Cawang. Insya Allah besok pagi saya mampir."

Kebetulan Sabtu malam saya punya program live. Jadi saya memang nggak sempat sidak ke kolong buat melihat kondisi lapangan dan ngobrol apa saja yang bisa disiapkan lagi. Tapi saya sempat melihat di kolong, bayangan beberapa orang penuh sesak di situ. Saya nggak sempat melihat anak-anak di situ.

"Anak-anak selamat kan bang?" tanya saya sebelum meninggalkan TKP menuju ke lokasi shooting Cawang.

"Alhamdulillah, anak-anak sudah saya pindahkan semua ke lokasi lain yang aman," jelas bang Kodok.

Keesokan hari, saya kembali meninjau kolong jembatan. Dengan bang Kodok saya diajak ngider-ngider ke lokasi banjir. Saya melihat sungai masih cukup tinggi. Alirannya pun cukup deras. Sementara di bawah kolong jembatan, jalanan masih becek dan berlumpur. Kebetulan saya sudah mengantisipasi kondisi itu dengan tidak memakai sepatu. Kalo pake sepatu, dijamin sepatu bakal penuh lumpur. Saya cuma pake sandal jepit.

"Insya Allah besok kondisi di sini sudah normal," kata bang Kodok.

Pagi itu saya ngobrol dengan beberapa warga kolong jembatan yang sedang membersihkan bekas banjir. Selain tema banjir, saya juga menyinggung soal bagaimana dengan masalah kesehatan, mengingat paska banjir justru rawan kesehatan. Menurut bang Kodok, kalo sakit nggak semua warga akan pergi ke dokter atau ke Puskesmas. Tergantung dari ada atau nggak adanya duit. Kalo ada duit ke dokter, nggak ada ya nggak ke dokter.

"Lho nggak minta surat miskin?"

"Nggak bisa, bang," jawab bang Kodok. "Kami kan nggak punya KTP DKI. Yang dikasih surat miskin cuma mereka yang punya KTP DKI aja."

Oalah! Begitu, toh! Antara kasihan dan enggak mendengar ucapan bang Kodok itu. Kasihannya, mereka kan orang miskin. Harusnya mereka dijamin oleh negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945? Coba deh kita lihat UUD 45 pasal 34 berikut ini:

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Nah, sudah jelas kan? Bahwa siapa pun warga, mau DKI mau warga Kalimantan, berhak mendapatkan fasilitas kesehatan, karena dijamin oleh negara. Ini baru soal kesehatan, belum kita bicara soal pendidikan? Anyway, bang Kodok dan warga kolong jembatan nggak pernah protes. Mereka tetap bekerja keras buat mendapatkan uang, untuk keperluan pendidikan anak-anak mereka plus kesehatan. Tentu saja dengan cara yang halal.

"Makanya kita ini tergolong orang kaya semua, bang," ujar bang Kodok seraya menyindir pemerintah. "Wong kita semua di sini nggak punya surat miskin."

Ah, seandainya kami bisa menolong lebih banyak lagi, buat meringankan beban saudara-saudara kami di kolong jembatan ini, terutama anak-anak. Agar mereka bisa menjadi generasi yang nggak lagi tinggal di kolong jembatan sebagaimana orangtua mereka kini, tetapi memiliki rumah hasil kerja yang halal.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

YANG TERSISA DI HARI IMLEK 2561



Bejana besar yang merupakan tempat sampah dari hio-hio yang sudah penuh di bejana yang ada di pendopo dekat situ.


Paket "sesaji" yang diletakkan di depan rumah salah seorang pedagang yang berada di Petak Sembilan.


Para pengemis yang siap-siap menerima angpao. Lihat pembatas yang terbuat dari tali plastik. Panitia Imlek memang kudu membuat pembatas, karena kalo nggak ada pembatas, para pengemis yang jumlahnya bisa ratusan ini bakal menganggu etnis Tionghoa yang melakukan peribadatan.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

MELANCONG KE VIHARA

Perayaan Imlek tahun 2010 ini memang sudah saya niatkan melihat aktivitas etnis Tionghoa melakukan peribadatan di vihara. Kebetulan istri saya mengajak jalan-jalan ke Petak Sembilan yang ada di Glodok sana. Mumpung ke Petak Sembilan, saya pun mampir ke sebuah vihara yang ada di situ, yang sudah menjadi cagar budaya. Vihara itu bernama vihara Dharma Bhakti.


Jalan menuju Petak Sembilan. Lihat bangunan di sebelah kiri di foto, ada toko obat jadul.

Buat menuju vihara ini, kita memang kudu melewati area Petak Sembilan yang terkenal itu. Buat Anda yang belum mengenal apa itu Petak Sembilan, saya paparkan sedikit sejarahnya ya, yang sebagian saya kutip dari majalah bulanan Kabari (silahkan klik di http://www.kabarinews.com) dan buku Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 karya Johannes Theodorus Vermeulen.

Bahwa sejarah Petak Sembilan terjadi sejak zaman Belanda. Saat itu, jumlah orang Tionghoa pada akhir Desember 1739 mencapai 4.389 orang. Mereka tinggal di wilayah Timur dan Barat Batavia (nama sebelum Jakarta), termasuk pinggiran kota sebelah selatan. Namun manuskrip menyatakan jumlah etnis Tionghoa di kota mencapai 14.000 orang.


Sebelum masuk ke area Petak Sembilan, saya melewati gang yang menurut saya cukup artistik ini. Kebetulan ada sepeda onthel pula. Mantabs

Pada tanggal 9 Oktober 1739, bangsawan terkenal asal Amsterdam Adriaan Valckenier memerintahkan untuk membersihkan seluruh etnis Tionghoa, karena dianggap bersekongkol dengan pemberontak (maksudnya warga Indonesia yang menentang Belanda).

Melihat Belanda yang sewenang-wenang membunuh warga etnis mereka, sejumlah warga Tionghoa kemudian melakukan pemberontakan sekitar November 1740. Namun oleh karena jumlah armada etnis Tionghoa nggak sebanding, maka tentara Belanda tetap sebagai pemenang. Nah, sejak itu banyak etnis Tionghoa yang diungsikan ke beberapa lokasi, baik ke luar kota, misalnya ke Bekasi, maupun ke pinggiran Jakarta. Khusus di Jakarta, mereka diungkiskan ke Glodok dan Petak Sembilan atau ke Tangerang.

“Mungkin nama Petak Sembilan berasal dari bentuk rumahnya yang berpetak-petak," jelas Hao Qin (50), peramal yang sudah tinggal di Petak Sembilan sejak tahun 1960-an. "Soal jumlahnya sembilan atau bukan, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, kakek saya pernah cerita, kawasan Petak Sembilan yang asli ada di jalan Kemenangan itu, di sebelah Kalimati.”


Sebagian jalan Kemenangan dipasang lampion merah dalam rangka menyambut Imlek. Keren banget!

Di sepanjang jalan Kemenangan yang mencapai 500 meter itu dikenal sebagai pasar Petak Sembilan. Bukan cuma di jalan Kemenangan, tetapi di seluruh gang yang menjadi cabang-cabang jalan Kemenangan juga dijadikan lokasi jualan. Jangan heran banyak pemilik rumah di gang situ ikut-ikutan berjualan di depan rumah mereka.

Sejarah pedagang yang berjualan di depan rumah terjadi saat Glodok Building dibongkar tahun 1968. Menurut Ketua RW 02, An Yan, menuturkan, para pedagang Glodok Building ditampung di Petak Sembilan. Kebetulan, pedagang-pedagang di Glodok punya rumah sendiri di Petak Sembilan, sehingga mereka berjualan di depan rumah.

“Sejak itulah pasar Petak Sembilan mulai terkenal. Bahkan lebih terkenal dari pasar Glodok sendiri. Nah, begitu Glodok Building selesai dibangun, para pedagang kembali berjualan di Glodok, tetapi mereka juga tetap berjualan di depan rumah mereka, sampai sekarang,” tambah An Yan.

Di sepanjang jalan Kemenangan berjejer aneka dagangan. Mulai dari makanan sampai barang kebutuhan rumah tangga. Kebetulan pagi itu hujan mengguyur lokasi menuju vihara, jadi saya dan istri saya nggak begitu detail melihat dagangan yang ada. Namun saya tetap melihat aktivitas dagangan di sepanjang jalan Kemenangan. Agak-agaknya semua dagangan, ada di situ. Ada sayur mayur, ikan, daging, dan aneka dagangan lain.



Aneka dagangan ada di Petak Sembilan. Mulai dari sayur mayur, ikan, babi potong, sampai kodok. Ada belut, sampai bunga potong. Pas Imlek harganya naik semua.

Setelah melewati Petak Sembilan, barulah saya masuk ke gerbang vihara Dharma Bhakti. Buat masuk ke vihara ini ada tiga pintu. Ada pintu utama dan dua pintu yang berada di samping vihara. Kalo saja nggak ada petunjuk warna merah dan ukiran khas China, barangkali kita sulit mengenali pintu masuk vihara. Maklum, di pintu masuk ada para pedagang.

Begitu menginjakkan kaki ke area vihara, jam sudah menunjukan pukul 08. Meski dalam kondisi rintik hujan, suasana sudah cukup ramai. Beberapa etnis Tionghoa berpencar menjalankan ibadat mereka. Ada yang menyebah ke sebuah gentong raksasa yang bercat emas metalik. Dengan membawa beberapa dupa yang dikepalkan tangan, mereka melakukan gerakan setengah menunduk dan tegap seraya memohon pada Buddha. Dupa itu kemudian ditancapkan ke pasir yang ada di atas gentong raksasa itu.

Ada sebagian etnis Tionghoa lagi yang berdoa di dalam vihara, dimana terdapat tiga patung sang buddha dan 9 dewa. Patung buddha terletak di tengah vihara. Sedangkan patung 9 dewa diletakkan mengelilingi setengah lingkaran di dalam vihara itu dan berada di balik lemari kaca.

Saya berdiri di antara lilin-lilin raksasa sambil mengabdikan beberapa etnis Tionghoa melakukan peribadatan. Tentu saja nggak lupa mengabadikan moment periadatan itu dengan menggunakan camera digital pocket kesayangan saya.

Menurut apa yang saya baca di Kompas (Minggu, 07/02/2010), buat menyambut Imlek 2561 ini, pabrik lilin dan hio Sumber Karya milik Can Yau Sen di Teluk Naga, Kampung Melayu, Tangerang, Banten, mengolah 5 kuintal lilin dan 3 kuintal hio setiap hari. Lilin-lilin dan hio-hio tersebut dikirim ke Pontianak, Bangka Belitung, dan tentu saja ke Jabodetabek.

Koh Aseng, panggilan akrab Can Yau Sen, memproduksi beragam ukuran lilin. Lilin terkecil berukuran setengah kati hingga lilin raksasa 1.000 kati berdiameter 50 sentimeter dengan tinggi 200 sentimeter.

Kebetulan saya sempat berkenalan dengan salah seorang etnis Tionghoa yang sudah lebih dulu berdoa dan memotret kejadian peribadatan seperti yang saya lakukan. Dengan etnis Tionghoa inilah saya dijelaskan tentang patung Buddha, 9 dewa, serta filosofi yang terkandung dalam peribadatan di situ.

"Sebenarnya apa yang kita lihat ini adalah sebuah bentuk rasa syukur," jelas Pak Chandra, etnis Tionghoa itu. "Hampir 80 persen mengajarkan kita pada moral. Selebihnya adalah peribadatan rutin."

Selama melihat ada etnis Tionghoa melakukan sesuatu, saya langsung tanya Pak Chandra. Misalnya melihat ada seorang Ibu yang menggoyang-goyangkan seplastik kecil air putih di atas tunggu yang panas.

"Air itu dipercaya sebagai obat," ungkap Pak Chandra. "Ibu itu ingin air itu punya khasiat, sehingga begitu air itu diminum maka penyakit akan sembuh."



Macam-macam cara peribadatan. Ada seorang ibu yang mengasapkan plastik beisi air putih (foto kiri), ada pula yang mengangkat tiga kardus tebal (foto kanan).

Sebelum plastik berisi air itu digoyang-goyangkan, Ibu itu menuangkan dua sendok bubuk. Menurut Pak Chandra, bubuk itu adalah bubuk kayu Cendana. Kalo bubuk menyan khusus buat golongan bawah, sedang bubuk kayu Cendana adalah wewangian buat para dewa.

"Kalo itu saya nggak tahu, deh," jawab Pak Chandra sambil tersenyum.

Pak Chandra mengaku nggak tahu, gara-gara saya tanya apa maksud seorang Bapak tua membuka dompet dan dompet itu sengaja dikenai asap kayu Cendana yang ada di tungku itu. Kata Pak Chandra, apa yang Bapak lakukan itu nggak termasuk bagian dari peribadatan dalam Imlek ini.

"Barangkali dia ingin isi dompetnya penuh terus," kata Pak Chandra berguyon.


Saya berada di lilin-lilin raksasa. Kalo ukuran tubuh saya 165 cm, berarti lilin tersebut tingginya mencapai 180 cm.

Menurut penangalan Tahun Baru China, Imlek tahun 2010 ini adalah Tahun Baru 2561. Di belakang tahun 2561, ada tulisan "Cia Gwe 1". Menurut ramalan, di Tahun Baru China ini, waktu terbaik keluar rumah adalah pukul 23:00-01:00 wib dan 03:00-09:00 wib. Saya nggak menyarankan Anda percaya dengan ramalan itu, karena kebetulan saya nggak percaya dengan ramalan dan peramal. Saya masih percaya Allah. Yang pasti, ramalan itu saya baca di sebuah kertas yang terpampang di dinding vihara Dharma Bhakti.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Jumat, 12 Februari 2010

TARGET MINIMAL 50 KANTONG DARAH

Dalam mendonorkan darah, kantor yang membuat event ternyata juga ditargetkan. Target ini tentu beda kayak target marketing, cong. Apa targetnya? Biasanya, event donor darah dilakukan selama 3 jam. Nah, selama tiga jam, pihak Palang Merah Indonesia (PMI) mengatakan pada pihak panitia akan mengumpulkan 100 kantong.

"Minimal 50 kantong, deh," ujar Ibu Lastri, petugas PMI yang siang itu sibuk merekap nama pendonor dan jumlah darah yang berhasil dikumpulkan.



Meski paling benci lihat jarum dan menghindar kalo disuntik oleh dokter, tetapi kalo urusan donor darah, rasa takut kudu dihilangkan.

Kalo kurang dari 40 kantong, maka kantor yang menggelar event akan diberikan peringakatan selama tiga kali. Kalo dalam tiga kali event donor darah tetap di bawah 40 kantong, maka kantor tersebut nggak akan bisa mengundang mobil transfusi darah.

"Maklum, mobil transfusi darah PMI banyak banget diminta datang di beberapa kantor," jelas Bu Lastri lagi yang di PMI menjabat sebagai staf tata usaha.

Kalo minimal 50 kantor darah yang rata-rata 250 cc, maka sehari event donor darah PMI mendapat 12.500 cc. Bayangkan kalo satu kantor bisa mengumpulkan 100 kantong, maka kantor tersebut berhasil menyumbang 25.000 cc. Wow! Luar biasa bukan?!


Darah saya dalam kantong. Alhamdulillah berhasil menyumbangkan kembali 250 cc darah. Semoga darah saya berguna bagi nusa dan bangsa. Amin!

Biasanya, satu pendonor memang menyumbangkan darah sebanyak 250 cc. Itu kalo berat badan si pendonor 65 kg ke bawah. Kalo berat badannya melebihi 65 kg, PMI mengambil darah sebanyak 350 cc. Menurut bu Lastri, jumlah cc di Indonesia ini terlalu sedikit. Kenapa? Di luar negeri, di Singapura dan Malaysia juga, PMI sana mengambil 500 cc ke setiap orang. Mau berat badannya 65 kg ke bawah, mau lebih dari itu, pokoknya semua orang diambil darahnya sebanyak 500 cc.

"Mungkin karena gizi mereka relatif baik kali ya, sehingga pihak PMI sana berani mengambil darah begitu banyak," ungkap bu Lastri.

Alhamdulillah, dari 3 jam durasi event donor darah hari ini, kantor saya berhasil menyumbang 73 kantong buat PMI. Seharusnya angka itu bisa melebihi kalo saja para pendaftar yang jumlahnya mencapai 90 orang itu semuanya mendonor. Begitu pula dengan 20 orang yang tertolak, juga dalam kondisi fit. Namun begitu, jumlah 73 patut disyukuri, karena sudah melebihi target dan masih bisa mengundang mobil transfusi darah ke kantor lagi. Mantabs!

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Kamis, 11 Februari 2010

DONOR DARAH AGAIN...

Sejak pertama kali merasakan, saya langsung ingin melakukan berkali-kali. Soalnya asyik sih! Eit, jangan berpikiran kotor ya. Yang saya maksud adalah mendonorkan darah. Yap! donor darah adalah salah satu aktivitas favorit saya.

Dari catatan di kartu donor saya, terakhir saya mendonorkan darah pada 28 Oktober 2009. Waktu itu saya mendonorkan darah di gedung Menara Jamsostek, jalan Gator Subroto, Jakarta Selatan. Saat itu nggak ada persiapan saya buat menjadi pendonor darah. Saya cuma sedang mengantarkan istri ke kantornya, yang kebetulan berada di Menara Jamsostek. Eh, ketika masuk ke area parkir, ada spanduk donor darah. Tanpa ba-bi-bu lagi, saya langsung ke lokasi tempat mendonor.


Poster syukuran ultah tvOne dan ajakan mendonorkan darah.

Pagi ini, di kantor saya ada acara donor. Selama saya berkantor di kantor saya ini, kayaknya event donor darah baru sekali ini aja. Kalo rutin tiga bulan sekali, saya yakin kartu donor saya bakal full booked. Guna mengikuti acara donor ini, saya benar-benar mempersiapkan secara fisik. Ingat, belum tentu orang yang berminat mendonor bisa menyumbangkan darahnya, lho.

Terakhir saat mendonorkan darah di Menara Jamsostek, banyak orang yang gagal. Padahal logikanya kalo orang mau menyumbang, kenapa ditolak ya? Tapi logika itu nggak bener. Menurut PMI, ada prosedur yang kudu dilewati, yakni tes tekanan darah dan tes darah dulu. Tes tekanan darah ini berfungsi supaya kita nggak pingsan pada saat diambil darahnya sekantong. Gawat banget kan kalo kita yang mau nyumbang, ternyata darahnya sebenarnya kurang. Yang ada bukannya nyumbang malah disumbang.



Penyebab kurang darah, ya barangkali kondisinya kurang fit pada saat diperiksa tekanan darahnya. Kurang fit bisa, karena kita begadang atau kurang tidur, atau sedang kurang sehat. Hal tersebut menyebabkan darah kita jadi rendah, atau darah rendah. Sebaliknya, kita pun nggak bisa menyumbang kalo punya darah tinggi. Oleh karena itu, darah kita kudu stabil.


Nggak semua orang yang berminat menyumbangkan darah, bisa lolos seleksi awal. Berbanggalah mereka yang lolos. Selain bangga, krn dianggap cukup sehat bisa mendonor, juga bangga karena bisa memberikan darah kepada orang yang membutuhkan.

Selain perkara darah rendah, atau darah tinggi, tes darah itu juga dibutuhkan. Makanya begitu duduk di depan meja panitia, kita langsung ditusukkan jarum ke ujung jari kita agar keluar darah. Hal tersebut dilakukan supaya panitia tahu apakah kita ini punya penyakit yang menyebabkan terjadinya penularan, misalnya penyakit hepatitis, dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh darah.

Saya bangga sekali kalo berhasil lolos pemeriksaan awal. Sebab, dengan begitu, saya jadi tahu, saya masih cukup sehat buat mendonor. Lebih dari itu, saya juga bangga bisa menyumbangkan darah buat orang yang membutuhkan, meski yang saya sumbang cuma sekantong darah.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

FROM 30rd FLOOR STANDCHART BUILDING

Terus terang saya paling benci meeting di gedung Standard Chartered (Standchart). Sebab, di gedung yang berada di jalan Satrio, Casablanca, samping gedung Sampoerna Startegic, Jakarta Selatan ini, setiap orang yang nggak berkantor di gadung ini dibuat pusing. Mereka kudu punya kartu yang bisa membuka "gerbang mini otomatis". Gerbang ini baru bisa terbuka kalo kartu itu punya chip.

"Biar sudah dikasih kartunya, saya nggak pernah mau pake," kata Karni Ilyas, Direktur News tvOne, saat meresmikan Newsroom di kantor tvOne di Pologadung, Jakarta Timur.

Pernyataan itu akibat dari keengganannya menggunakan kartu chip yang merepotkan. Padahal Karni Ilyas berkantor di gedung itu. Tapi sekali repot, tetap aja repot. Nggak heran kalo pria yang dikenal sebagai senior di bidang pemberitaan ini membuat joke soal kartu chip ini supaya nggak ribet.

"Kenapa kartunya nggak sekalian ditaro di jidat aja dan kita langsung bisa jalan ya?"

Kekesalan soal kartu chip juga saya alami. Suatu hari, saya pernah menunggu lama office boy turun dari lantai 30 buat membawakan kartu yang ada chip itu. Gara-gara nunggu terlalu lama, saya jadi terlambat meeting. Ternyata soal keribetan menggunakan kartu chip buat masuk dan kemudian naik lift ini juga dirasakan beberapa karyawan yang berkantor di situ.

Biasanya buat melampiaskan emosi gara-gara keribetan yang terjadi di gedung Standchart, saya menikmati pemandangan dari atas gedung di lantai 30. Dari lantai 30, saya bisa melihat gedung-gedung di sebelah Standchart, termasuk Mal Ambasador. Namun selama menikmati pemandangan dari lantai 30, sampai detik ini saya belum pernah melihat kamar mandi tanpa atap. Ah, barangkali memang Tuhan nggak memperbolehkan saya buat mengintip orang mandi kali ya?







all photos copyright by Brillianto K. Jaya

PAGI HARI DI JALAN TOL

Setiap pagi, pasti ada kejadian-kejadian "unik" yang biasa saya lihat. Entah itu ketika saya menggowes sepeda, atau pada saat mengantar istri dengan menggunakan mobil. Kebetulan kalo mengantar istri, saya lebih banyak naik tol. Padahal tol kadang sulit diduga: kadang macet, kadang lancar.

Beberapa waktu lalu, saya sempat merekam security yang bertugas di pos jalan tol yang membantu mendorong mobil mogok. Barangkali kalo mendorongnya di jalan sepi dan dalam posisi jalan yang rata, it'ok. Yang bikin berat, mereka mendorong mobil dalam kondisi macet total dan dalam posisi jalan menanjak.













Bukan saya nggak mau bantu, tetapi suasana di jalan tol saat itu memang nggak kondusif buat menghentikan mobil. Nggak ada ruang buat berhenti. Yang ada begitu mobil menepi, akan semakin membuat kemacetan yang parah. Lebih dari itu, istri saya akan telat ke kantor. Jadi mohon maaf yang buat pemilik mobil Honda Jazz warna biru.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Rabu, 10 Februari 2010

KAMPUNG DI BELAKANG PERUMAHAN KAYA

Selain merasakan fasilitas mewah, hal yang paling mengasyikan saat menginap di hotel mahal adalah menyusuri kampung-kampung yang ada di samping hotel tersebut. Ini selalu saya lakukan dan ini terjadi saat nginep di hotel Novotel, Bogor.

Kebetulan Novotel menyediakan fasilitas sepeda gratis. Saya senang bukan kepalang mengetahui fasilitas tersebut. Ya, maklumlah, saya penggila sepeda. Nggak heran, pada malam hari, saya sudah membayangkan pagi harinya saya menyusuri kampung-kampung di Novotel dan perumahan mewah yang ada di sekitar real estate yang berada kompleks Novotel di Kabupaten Bogor ini.

Berikut ini foto-foto hasil jepretan saya. Sambil menikmati, coba bayangkan suasana ini terjadi di Jakarta tempo doeloe.















all photos copyright by Brillianto K. Jaya

MENYUSURI MENTENG DALAM

Itulah enaknya bersepeda. Mau kemana pun pergi, kita tinggal membelokkan ban sepeda kita ke tempat itu. Beda dengan jalan kaki. Memang bisa juga belok ke mana sesuai keinginan, tapi dengan sepeda bisa lebih cepat, meski jaraknya jauh, dan tetap bisa menembus gang-gang sempit sekalipun. Seperti pagi ini, dimana saya kembali menemukan jalan baru.


Apartemen Kota Casablanca yang masih dalam pembangunan dilihat dari gang Menteng Dalam.

Sekadar info, saya bersepeda dari depan gedung Menara Jamsostek, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, menuju ke Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur. Istri saya kebetulan kerja di Menara Jamsostek. Setelah mengantarkan kedua anak kami di Rawamangun, Jakarta Timur, saya mengantarkan istri dengan mobil. Di belakang bagasi mobil, sudah stand by sebuah sepeda lipat (seli). Begitu sampai di depan gedung Menara Jamsostek, selesai tugas saya sebagai suami di pagi hari. Seli saya turunkan dan saya pun menggowes seli menuju kantor.

Biasanya rute yang saya lalui dari Menara Jamsostek adalah Kuningan melalui kompleks Menteri di jalan Denpasar, lalu Casablanca, dan terus menuju ke Pondok Kelapa. Sebelum Pondok Kelapa, saya belok ke arah Klender dan masuk ke perumahan rakyat yang ada di belakang Kawasan Industri Pulogadung. Rute tersebut bukan harga mati, lho. Tergantung dari keinginan saya aja. Nah, kali ini rute saya melewati Manggarai. Sebelum Manggarai, ada sebuah gang yang berada di Kawasan Menteng Dalam.



Gang yang saya lalui pagi ini menuju ke arah pasar Jembatan Merah, Prof Soepomo, Kelurahan Manggarai. Ketika menyusuri gang, saya melihat beberapa rumah yang barangkali usianya sudah puluhan tahun. Rumah-rumah ini terjepit di antara dua apartemen Casablanca. Ada apartement Kota Casablanca yang sedang dalam tahap pembangunan, yang menggunakan tanah Bank Danamon yang bertahun-tahun sempat terbengkalai. Satu lagi apartemen Casablanca Mansion.

Terus terang saya nggak tahu status tanah di Manteng Dalam ini. Yang pasti, rumah-rumah di sini nampak hidup segan mati tak mau. Beberapa rumah dibiarkan kosong, nggak terawat, bahkan ada yang dibiarkan rusak. Namun ada juga rumah yang dihuni oleh banyak orang. Padahal rumahnya relatif kecil.


Salah satu rumah yang membiarkan pohon merambat tumbuh mengelilingi rumahnya. Asri sekali.

Gang di Menteng Dalam yang saya lewati ini memang nggak terlalu padat pemukimannya, sebagaimana gang-gang MHT di Jakarta. Inilah yang saya agak curiga, jangan-jangan tanah di situ memang tanah sengketa atau tinggal hitungan tahun lagi bakal kena gusur oleh Pemerintah. Atau jangan-jangan memang sudah dibeli oleh Developer. Padahal kalo nggak bermasalah, saya cukup tertarik tinggal di situ. Kenapa?

Pertama lokasinya nggak terlalu dekat dengan jalan Casablanca. Kalo dekat jalan, sudah pasti asap kendaraan dan debu-debu aspal bakal mengotori rumah kita. Kalo nggak rajin membersihkan, sudah pasti fentilasi, kaca, dan benda-benda di rumah kita bakal ditinggali oleh debu. Kalo sudah berdebu, kualitas udara di rumah kita nggak bagus.

Oleh karena jauh dari jalan raya, maka suara bising kendaraan bermotor nggak terdengar. Padahal tahu sendiri jalan Casablanca kalo pagi hari, volume kendaraan banyak bukan kepalang. Volume tersebut mempengaruhi suara yang dihasilkan menjadi bising.


Saat ini jarang banget ada gang yang punya dua lapangan olahraga sekaligus. Pasti kalo sore hari seru banget suasana di lapangan itu. Ada yang main bulutangkis, ada yang main volley. Asal jangan ada yang memanfaatkan jadi sarang peredaran narkoba aja.

Hal kedua yang menarik hati saya dengan salah satu gang di Mentang Dalam ini adalah masih ditumbuhi banyak pohon. Ada salah satu rumah bahkan berkonsep membiarkan pohon tumbuh menjalar sehingga jalan di depan rumahnya menjadi teduh. Rumah ini kebetulan memelihara burung yang disangkarkan. Jadi kalo burung itu berbunyi, seolah kita sedang berada di salah satu hutan, dimana campuran hutan pepohonan plus hutan beton.

Di gang ini pun masih terdapat dua lapangan olahraga. Satu lapangan bulutangkis, satu lagi lapangan volley ball. Saya membayangkan, setiap sore, di gang itu akan banyak warga yang berkumpul sambil berolahraga. Situasi kayak begitu mengingatkan saya pada masa-masa kecil. Ayik banget! Jarang lho, saat ini ada gang yang masih menyediakan lapangan olahraga kayak di gang Menteng Dalam ini. Yang terjadi, ada lapangan kosong nganggur sedikit, langsung dijadikan rumah.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya