Lelaki tua itu mengiris-iris lidahnya dengan sebuah pedang tajam. Sementara seorang pria menunggu darah yang keluar dari lidah pria tua itu, dimana darah itu sengaja diteteskan ke lembaran kertas berwarna kuning yang terdapat tulisan Mandarin.
"Cing-cong hua-hua," kata pria tua yang lidahnya sudah berlumuran darah itu.
Entahlah apa maksud ucapannya, karena genderang musik yang keras jadi mempengaruhi pengengaran saya. Jadi mohon maaf kalo artikulasi pria tua itu nggak jelas. Yang pasti, pria bertubuh tambur ini sempat mengatakan sesuatu. Barangkali sebuah pesan atau mantra-mantra.
Begitulah salah satu atraksi siang sampai sore hari ini. Sebuah ritual budaya etnis Tionghoa dalam rangka Pawai Budaya Cap Go Meh 2561, yang berlangsung di Kawasan Pecinaan, Kota, Jakarta Barat, Minggu (28/02/10) ini.
Saya beruntung bisa menyaksikan pawai sepanjang kira-kira 2 kilometer ini, dimana pawai ini menjadi salah satu atraksi budaya buat konsumsi turis mancanegara.
Pawai terbuka yang sempat memacetkan jalan di seluruh Kawasan Kota ini merupakan ritual tahunan yang digelar lagi semenjak Abdurrahman Wahid menjabat Presiden. Maklumlah, almarhum yang akrab disapa Gus Dur itu kan pluralis. Nggak heran, ia membebaskan semua kepercayaan, termasuk aliran-aliran agama, untuk melakukan tradisi ritual mereka, dimana di era Orde Baru, tradisi ini sempat vakum. Menurut Jaya Suprana (Kompas, Sabtu 13/02/10, hal 7), Gus Dur yang memaksa bangsa Indonesia kembali ke fitrah falsafah Bhinneka Tunggal Ika sebagai hakikat penjabaran pluralisme. Pencabutan larangan perayaan Tahun Baru Imlek bukan hasil perjuangan warga keturunan China di Indonesia sendiri, tetapi anugerah hadiah kebudayaan dan kemanusiaan dari Gus Dur.
Cap Go Meh merupakan rangkaian dari perayaan Imlek yang sudah dilakukan 15 hari sebelumnya, yakni pada tanggal 14 Februari 2010, bertepatan dengan Hari Valentine. Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar China. Istilah Cap Go Meh sendiri berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama. Intinya masuk ke bulan pertama di Tahun Baru China. Kalo di hari Imlek sebelumnya nggak ada pawai-pawaian, tetapi cukup berdoa di vihara, maka di Cap Go Meh, etnis Tionghoa yang beragama Buddha melakukan pawai. Kalo dalam tradisi Islam barangkali bisa disamakan dengan Idul Fitri lah.
Budaya Cap Go Meh sebenarnya sudah turun temurun dilakukan etnis Tionghoa. Kalo di Indonesia ini terjadi sekitar 200 tahun lalu, tentu saja berawal sejak masuknya budaya China ke negara kita, yakni dengan kedatangan Panglima Cheng Ho ke beberapa wilayah pesisir Indonesia pada abad ke-15.
Jadi tontonan menarik warga sekitar. Nggak heran banyak yang bela-belain nonton di atas balkon rumah mereka.
Cheng Ho bersama sekitar 27 ribu tentara-nya nggak cuma membawa perbekalan buat makan, minum, maupun peralatan perang. Tetapi ia juga membawa kebudayaan, mulai dari pakaian, adat istiadat, termasuk tradisi Cap Go Meh ini.
Ada legenda prihal perayaan Imlek atau Xin Nian ini, yakni dongeng mengenai kemenangan manusia atas monster. Kisahnya, tersebutlah seekor monster yang bertugas membawa kematian dan kehancuran tata kehidupan. Monster ini bernama nian. Meski besar, akhirnya monster ini berhasil dikalahkan oleh manusia.
Tradisi ini kemudian sempat menghilang pada era Soeharto, karena etnis Tionghoa, terutama yang beragama di luar lima agama pokok (Islam, Kristen, Protestan, Hindu, dan Buddha), nggak diakui. Begitu Gus Dur naik jadi Presiden, etnis Tionghoa bebas merdeka. Itulah mengapa di mata para etnis Tionghoa, Gus Dur jadi tokoh idola.
Atraksi potong lidah yang dilakukan oleh pria tua bertubuh tambur itu merupakan salah satu atraksi di Pawai Budaya Cap Go Meh 2561. Ada atraksi lain yang nggak kalah seru, yakni berdiri di atas golok tajam. Atraksi ini dilakukan oleh beberapa pria yang nampak sudah in trance alias kesurupan. Tentu saja ada atraksi yang nggak membuat orang merasa ngeri melihatnya, yakni atraksi barongsai.
Seru! Yap, memang seru Pawai Budaya Cap Go Meh 2561 ini. Saking serunya, pawai ini sempat membuat macet jalan sekitar Kawasan Kota Tua, mulai dari Glodok menuju museum Fattahillah, sampai ke perempatan stasiun kota menuju kawasan Mangga Dua. Mereka yang berada di dalam kendaraan terpaksa mematikan mobil mereka dan melihat pawai yang diikuti oleh ribuan orang dari ratusan vihara yang tersebar di seluruh Jakarta ini.
Selain mobil pribadi atau motor pribadi, para penumpang busway pun nggak ketinggalan melihat pawai ini. Mereka yang kebetulan berada di pinggir jendela berdiri dan memanfaatkan momentum dengan mengabadikan, entah itu dengan menggunakan kamera atau handphone. Sementara warga yang kebetulan tinggal di sepanjang jalan Glodok melihat dari jendela rumah. Di antara mereka ada beberapa orangtua terus menggerak-gerakkan kedua telapak tangan seraya memanjatkan doa agar mendapatkan berkah dari pawai ini. Tentu saja doa pada dewa-dewa yang diarak oleh peserta pawai.
Hampir setiap vihara yang mengikuti pawai budaya ini mengarak dewa dan dewi. Ada vihara yang mengarak Dewa Kwan Kong, yakni Dewa Perang dan Dewi Kwan Im sebagai pembawa cinta kasih. Ada yang mengarak Dewa Cho Sua Kong atau dewa pengobatan. Nggak ketinggalan ada juga yang mengarak Dewi Xian Ma. Gara-gara para Dewa-Dewi itu diangkut pakai tandu, maka banyak penonton yang ingin ikut-ikutan membawa tandu. Katanya kalo ikut menandu, maka akan mendapatkan kesehatan atau rezeki. Ya, tergantung dari Dewa atau Dewi yang ditandukan oleh mereka.
Bagi mereka yang nggak mampu buat memandu, cukup berdoa di hadapan Dewa-Dewi atau sekadar menyentuh tandu yang terbuat dari kayu dan dicat berwarna merah itu. Ada pula orang yang memberikan amplop warna merah berisi uang yang diletakkan di dekat patung Dewa atau Dewi. Konon katanya, orang yang memberikan amplop yang biasa disebut angpaw akan mendapatkan banyak rezeki.
Selama sekitar empat sampai lima jam pawai keliling Kawasan Kota, cuaca berubah-ubah. Awalnya matahari bersinar cukup menyengat. Maklumlah, pawai dimulai tepat pukul 13.00 wib. Tiba-tiba sempat mendung dan turun rintik-rintik hujan. Namun, cuaca kemudian cerah kembali. Saya nggak ngerti apa makna cuaca yang berubah-ubah begitu. Apakah di tahun Macan ini penuh dengan rintangan dan kemudian kita bisa mengatasi rintangan tersebut? I really don't know. Ya, moga-moga aja, kita selalu diberikan kesehatan dan kesuksesan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin!
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar