Sabtu, 05 November 2011

JAKARTA BERKEBUN: BERKEBUN TANPA HARUS PUNYA KEBUN

Saya adalah satu dari jutaan orang yang tidak punya kebun. Beruntunglah Anda yang masih punya kebun, baik tepat di rumah Anda, maupun lahan luas di luar kota milik Anda. Namun “kemiskinan” saya -karena tidak memiliki kebun- tidak serta merta membuat saya frustrasi. Alhamdulillah, istri saya berhasil menjerumuskan saya ikut komunitas yang mengajak saya (baca: kami) yang tidak punya kebun, tapi punya passion berkebun.

Sore ini, untuk kesekian kalinya saya ikut komunitas “Jakarta Berkebun”. Kali ini, kami -para anggota- diajak menanam bibit beberapa tanaman, mulai dari jaggung sampai tomat. Sebelumnya, saya dan keluarga sempat mengikuti aktivitas panen ubi di kebun yang sama, yakni di sebuah tanah milik Springhills, Kemayoran, Jakarta Pusat.


Nggak cuma orangtua, tetapi anak-anak juga bisa turut serta di Jakarta Berkebun. Nggak ada kriteria macam-macam, jika Anda tertarik, silahkan gabung.

Kenapa sih di Springhills? Kebetulan lokasi di Kemayoran ini merupakan pilot project yang akan diterapkan di berbagai pelosok Jakarta, dan di kota-kota besar lainnya. Di lahan yang baru di-launch Februari 2011 ini, Jakarta Berkebun meminjam area kosong seluas 10.800 meter persegi milik Springhill Group di kawasan The Royale Springhill Residence, Kemayoran.

“Seru!”

Yap! begitulah suasana Jakarta Berkebun. Betapa tidak, bagi kami yang tidak memiliki lahan besar untuk berkebun serasa memiliki: bisa tanam sendiri, memanen sendiri. Namun sebelum memanen, kita diberikan ilmu berkebun dulu oleh sang Kepala Sekolah Jakarta Berkebun, yakni Ibu Ida.

“Berkebun nggak harus punya kebun,” ujar Ibu Ida di hadapan anggota komunitas Jakarta Berkebun. “Kalo kita nggak punya kebun, tanam di pot. Kalo nggak punya pot, tanam di kaleng bekas biskuit”.

Intinya, dimana pun kita bisa berkebun. Di tengah keterbatasan lahan di Jakarta, berkebun ternyata bisa dimana saja, seperti kata Ibu Ida di atas tadi. Nah, kalo Anda penasaran ingin berkebun di halaman yang luas seperti saya, sepertinya Anda wajib ikut komunitas Indonesia Berkebun ini.

Sekadar info, Jakarta Berkebun ini digagas oleh Ridwan Kamil -seorang arsitek terkemuka- untuk mencoba ‘menyelipkan’ suasana pedesaan yang lebih alami dan hijau di antara rimba pusat perbelanjaan dan bangunan beton di Ibu Kota.













Jakarta Berkebun memanfaatkan ruang-ruang terbengkalai, baik tanah-tanah yang tidak terurus, yang belum dibangun, atau tanah-tanah sisa yang memang tidak dimanfaatkan, sehingga dapat difungsikan menjadi ruang terbuka hijau (RTH). Milly Ratudian Purbasari, pemimpin gerakan Jakarta Berkebun, memaparkan bahwa hal itu memprihatinkan karena pada akhirnya lahan-lahan kosong itu hanya menjadi tempat penimbunan sampah dari tempat-tempat di sekitarnya.

Baik Ridwan maupun Milly berharap, kemunculan Jakarta Berkebun pada akhirnya akan berdampak meluas ke seluruh daerah seperti Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Bahkan komunitas berkebun ini menyebar juga di beberapa kota seperti di Banten, Padang, Solo, Pontianak, Tasikmalaya, Medan, dan Semarang.

Yuk kita berkebun!

Minggu, 12 Juni 2011

MULYONO ALIAS MIE EDI: LEGENDA BAKMI TEBET

Jangan sekali-kali mengaku warga asli Tebet kalo tak kenal nama Edi. Bagi mereka yang masih tinggal di Tebet sampai dengan tahun 80-an, mie ayam yang mangkal di sebuah sekolah dasar ini sangat legend. Bukan cuma soal rasa, tetapi harganya relatif terjangkau untuk ukuran warga menengah ke bawah.

Di samping sekolah yang dikenal dengan sebutan SD Bedeng itulah Edi pertama kali mangkal. Dengan modal gerobak reot, Edi memulai usaha mie ayamnya, dimana awalnya untuk murid-murid SD itu dan warga sekitar Tebet Timur Dalam. Waktu itu harganya masih 250 perak semangkuk.

“Waktu itu harganya baru,” ujar pria bernama asli Mulyadi ini.


Nyatanya mie ayam Edi tidak cuma tersohor di kalangan guru-guru, murid-murid SD Bedeng, maupun warga Tebet Timur Dalam, tetapi hampir seluruh Tebet mengenal mie ayam Edi, sebagaimana warga Tebet mengenal warung tegal mojok yang dikenal dengan nama Warmo.

Saking tergila-gila dengan mie Edi banyak pelanggan yang punya pengalaman buruk makan di mie Edi, tak kapok datang lagi ke situ. “Padahal ada pelanggan yang sempat kehilangan mobil pas makan,” kata pria asal Boyolali ini. “Waktu makan ada orang yang sudah teriak-teriak ‘mobilnya jalan sendiri tuh!’, eh tapi dia tetap makan mie saya”.

Ada lagi cerita soal pelanggannya yang kaca mobilnya sempat dipecahkan maling, tetapi dia cuek dan tetap menyantap mie Edi. Padahal seluruh barang pribadi yang ada di dalam mobil ludes dicuri. Nampaknya, pelanggan itu lebih sayang kehilangan kenikmatan menyantap mie Edi, ketimbang barang-barang milik pribadi yang ada di dalam mobil.

“Kalo datang ke mie Edi, rasanya seperti mengingat masa kecil dulu,” ujar Sindhi, salah seorang warga asli Tebet yang kini bermukim di Cempaka Putih.

Selain Sindhi, banyak pelanggan Edi yang masih setia menyantap mie buatannya. Hebatnya, para pelanggannya itu sudah menjadi “orang”. Ada yang sudah menjadi bos di perusahan besar, pengusaha, bahkan ada seorang pelanggan yang sekarang menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014.

Sejak tahun 2006, Edi tidak mangkal lagi di Tebet Timur Dalam. Padahal hampir seluruh warga Tebet tau, Edi mangkal di situ. Warung mie Edi kini berada persis di samping Pasar di dekat stadion Persatuan Sepakbola Tebet Timur (PSPT), tepatnya di Tebet Timur Dalam Raya no. 64.

“Saya mulai kontrok dengan harga Rp 11 juta tahun, kini (di tahun 2011) sudah Rp 25 juta per tahun,” ujar Edi.


Tampak muka warung mie Edi di Tebet Timur Dalam Raya.

Kini selain dibantu empat asistennya, Edi juga dibantu oleh anak pertamanya. Sepertinya, anak pertama dari 3 anaknya ini akan dipersiapkan menggantikan usaha mie ayamnya yang sudah melegenda di Tebet ini. “Tadinya saya sudah bilang pada anak saya kalo memang nggak niat kuliah, ya usah kuliah. Ternyata dia nekad kuliah, eh tetapi baru semester ke-9 sudah keluar dan kawin,” ungkap Edi berkisah tentang anaknya yang sempat kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Nasional (Unas).

Saya bukan warga asli Tebet, tetapi tiap kali meluncur ke Tebet, biasanya akan menyantap mie Edi ini. Kalo tidak menyantap mie ayamnya, biasanya saya menyantap semangkuk mie goreng plus es teh manis.

Rabu, 08 Juni 2011

JAKARTE PUNYE CERITE

Tak lama lagi, Jakarta akan berulangtahun ke-484. Dalam rangka HUT Jakarta, saya mencoba membuat beberapa fakta perkembangan ibukota ini paska-penjajahan Belanda. Saya tidak akan bercerita lagi mengenai kemenangan pasukan Fatahillah melawan pasukan Belanda dalam merebut tanah Batavia.

Kisah mengenai sejumlah fakta mengenai pembangunan Jakarta di bawah ini saya ambil dari berbagai sumber dan tidak berurutan. Semoga bermanfaat untuk Anda sebagai referensi sejarah Jakarta. Selamat membaca!

1. Sebelum pendudukan balatentara Jepang, diperkirakan penduduk Jakarta sekitar 500.00 jiwa. Antara tahun 1948-1951, terjadi migrasi dan urbanisasi rata-rata tiap tahun 118.563 jiwa. Jadi bisa dikatakan, sejak Jakarta baru berdiri dan bernama Kotapraja Jakarta sudah memikul beban dari kota-kota lain. Tak heran awal tahun 50-an, penduduk Jakarta mencapai 2 juta jiwa.

2. Parcaya tak percaya, awalnya wilayah Kebayoran semula diperuntukan lapangan terbang baru. Namun akhirnya Kebayoran dijadikan kota satelit untuk mengatasi kebutuhan perumahan.

3. Rancangan awal wilayah Kebayoran -yang memiliki luas 730 hektar ini- dibuat oleh Ir. V.R. van Romondt pada 1937. Konsep Romondt Kebayoran adalah kota taman.

4. Sampai sekarang wilayah sekitar Blok M masih sering disebut CSW. Padahal CSW itu bukan nama sebuah wilayah, tetapi sebuah yayasan yang punya hak merancang pembangunan di sekitar situ pada tahun 1948. CSW sendiri singkatan dari Centrale Strichting Wederopbouw.

5. Dari tahun 1950 sampai tahun 1952, pemerintah daerah DKI Jakarta membuka daerah-daerah baru, yang semula rawa atau kebun peninggalan Belanda. Ada 205 hektar tanah yang dibuka untuk perumahan, perkampungan, sekolah, dan pabrik, yakni di daerah jalan Plaju, Kebon Sereh, Grogol, Rawasari, Tanah Tinggi, Sentiong, dan Pejompongan.

6. Mampang Prapatan dahulu adalah kawasan peternakan rakyat. Sampai tahun 2011, masih tersisa peternakan sapi perah.

7. Pada 1950, ada 4 status tanah di Jakarta, yakni tanah kotapraja, tanah negara, tanah pribadi, dan tanah swasta. Sekitar 3.566 hektar tanah swasta yang berada dalam kondisi tidak terurus, berubah menjadi perkampungan sesak dan kumuh.

8. Atas bantuan dari Amrika Serikat, jalan by pass yang dikenal dengan jalan Ahmad Yani yang menghubungkan Tanjung Priuk-Cawang diresmikan pada 23 Oktober 1963. Jalan ini difungsikan setelah pemerintah membuka beberapa lahan di sekitar itu, antara lain 270 hektar di wilayah Pulomas serta 300 hektar di Cipinang Galur.

9. Sampai dengan tahun 1961 pemerintah Jakarta masih mengeluarkan ketentuan besar dan ketinggian bangunan di beberapa jalan protokol. Misal di jalan Thamrin, jalan Sudirman, dan jalan Kramat Raya, jalan Salemba Raya, jalan Matraman Raya, sampai Jatinegara ditetapkan, ketinggian bangunan tidak boleh lebih dari 4 lantai. Antara Slipi, Mampang Prapatan, segitiga Cawang sampai persimpangan Celilitan ketinggian bangunan tidak boleh lebih dari 3 lantai.

10. Pada 1961 digulirkan proyek Cempaka Putih yang sifatnya non-profit. Di atas luas wilayah 235 hektar, didirikan perumahan pegawai Pemda, dimana dana pertama diperoleh dari perusahaan-perusahaan yang bekerjasama dengan Pemda.