Senin, 30 November 2009

SEHARUSNYA BISA JADI JALUR HIJAU

Di Jakarta ini kalo dikumpulkan, banyak sekali lokasi yang bisa dijadikan "paru-paru kota". Yang dimaksud "paru-paru kota" dalam konteks ini adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang bermanfaat buat olahraga, entah itu jalan kaki atau bersepeda.

Ketika saya lokasi, banyak sekali tempat-tempat yang nggak produktif, yakni sebuah tanah yang ditumbuhi pohon-pohon liar. Memang sih banyak tempat yang bukan punya pemerintah, yakni tempat-tempat yang merupakan tanah sengketa itu tadi. Tetapi sayang banget kalo bertahun-tahun nggak dikosongkan. Masa demi RTH, pemerintah nggak mampu beli tanah, atau menutup pengadilan, sehingga tanah menjadi tanah pemerintah sih? Asal tanah sengketa jangan dijadikan mal atau perkantoran aja kalo tanah-tanah sengketa dimenangkan pemerintah. Soalnya pengalaman banyak tanah-tanah yang seharusnya bisa dijadikan RTH justru malah dijual kepada pengusaha.

Berikut ini beberapa tempat yang saya sempat "sidak":

Tempat di bawah ini saya jumpai di samping dan belakang Wisma Aldiron Dirgantara, Pancoran, Jakarta Selatan. Menurut saya nggak produktif banget! Buat mencapai lokasi ini, kita kudu masuk dari kompleks Hanggar yang adanya di samping Wisma Aldiron.







Lokasi di bawah ini adanya di perempatan Cempaka Putih, tepatnya di pojokan Pulomas. Lokasi ini dahulu bekas pemukiman kumuh, yang konon tempat tinggal para pencuri, garong, jambret, dan kapak merah. Ketika ada penjambret menjambret, ia lari ke pemukiman ini dan seluruh warga tutup mulut. Nggak ada yang mau ngasih tahu si penjambret itu. Padahal mereka tahu. Sebenarnya Pemerintah Daerah (Pemda) - di zaman Soetiyoso- luar biasa sudah membongkar pemukiman kumuh ini. Dengan pembongkaran tersebut, kuantitas kejahatan di perempatan lampu merah Cempaka Putih relatif menurun.


Masih di perempatan Cempaka Putih. Dahulu tempat ini adalah kantor maupun pabrik Coca-Cola, makanya dikenal sebagai perempatan Coca-Cola. Namun ketika Coca-Cola nggak di situ lagi, tanah dibiarkan kosong. Nggak produktif. Padahal kalo bisa dimanfaatkan jadi taman hijau, wah keren banget!




Kalo ini RTH di dekat rumah saya. RTH ini dibangun setelah Gubernur pada saat periode Sutiyoso berhasil mengusir para pedangang keramik dan rotan yang sempat menimbulkan konflik.



all photos copyright by Brillianto K. Jaya

MUSIM HUJAN, POHON PUN TUMBANG




Jumat, 27 November 2009

FOTO MODEL SEPEDA LIPET

Terus terang dahulu kala saya pernah berniat jadi foto model. Entah setan apa yang merasuk ke otak saya sampai nekad pengen jadi model. Bukan profesi modelnya yang salah, tetapi saya yang salah. Salah karena punya wajah pas-pasan, bahkan dahulu kala ada yang bilang jelek.

Meski dianggap jelek, saya memberanikan diri mengirim foto ke salah satu majalah remaja yang dahulu kala seringkali menyelenggarakan kontes wajah ganteng. Sebenarnya bukan cuma wajah ganteng yang menjadi kriteria pemilihan model yang dilakukan oleh majalah yang sekarang sudah almarhum ini, yakni tinggi dan kesempurnaan tubuh. Kalo soal attitute dan jantan atau betina si calon model, wah itu nomor dua.

Beberapa waktu lalu, saya kesampain juga jadi model. Keponakan saya yang kebetulan hobi fotography mengontrak saya buat jadi modelnya. Nggak sampai kontrak eksklusif sih, tetapi cukup minum sebotol teh botol dan gorengan. Kenapa pilih saya, karena saya dianggap masih terlihat ganteng dan suka bersepeda. Objek fotonya kali ini memang kendaraan yang bergerak. Jadilah saya foto model sepeda lipat atau yang biasa dikenal dengan sebutan "seli".

Inilah beberapa foto hasil jepretan keponakan saya. Mohon jangan lihat hasil fotonya, tetapi objek yang difoto. Sebab, objek yang difoto itu mantan calon model yang telah gugur di medan perang. Meski nggak sempat jadi model, saya tetap dikenal oleh banyak orang sebagai titisan Anang Hermansyah. Padahal saya males banget disama-samakan dengan Anang. Saya lebih suka disamakan dengan Krisdayanti. Lebih cantik dan mirip Barbie! Nah, lho?! Lagipula banyak orang bilang saya masih sedikit lebih ganteng dibanding Anang. Kebetulan aja beda nasib.

Berikut ini beberapa pose saya tanpa make up alias natural. Venue pemotretan ini berada di seputar Senayan dengan waktu sore hari. Kalo Anda kagum terhadap objeknya, mohon maaf objeknya nggak dijual atau disewa, karena property of right-nya sudah ada yang punya.




all photos copyright by Wahyu

KALO NGANTRI, SAYA NGGAK MUNGKIN DAPAT JATAH DAGING QURBAN

Itulah kalimat yang diucapkan Pak Kirno yang saya temui di depan pintu gerbang Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Bapak setengah baya ini adalah satu dari ribuan mustahik yang berhasil mendapatkan jatah daging qurban.

“Saya datang ke masjid dari jam 4 subuh, Pak,” katanya sambil memegang erat-erat sekatong plastik berlogo Masjid Istiqlal yang berisi daging qurban. “Saya nyelak aja di antara antrean. Habis kalo ikutan ngantri, nggak bakal dapat, Pak. Tetangga saya aja yang kemari pakai bajaj, ngantri dari jam 4 kayak saya, nggak dapat.”


Antreannya meliuk-liuk hampir sepanjang 400 meter. Mereka rela melakukan ini cuma demi 1 kilo daging sapi atau kambing.

Di gerbang Masjid, Pak Kirno sedang menunggu anaknya yang juga ikut ambil jatah daging qurban. Sementara di antara ia, beberapa ibu-ibu keluar pagar dengan wajah kecewa berat. Maklum, mereka banyak yang mencoba mengantri, tetapi nasib mereka apes, karena menurut Panitia jatah hewan qurban.

“Padahal saya tahu masih ada beberapa sapi yang belum di potong,” kata Pak Kirno. “Di dalam aja saya lihat masih banyak daging, kok. Buat panitia kali, tuh!”















Ketika antrean panjang dan berdesak-desakan, anak-anak terhimpit. Pasukan penyelamat anak-anak pun menjadi sangat penting. Anak-anak yang hampir kehabisan nafas, mau pingsan, dan terjepit, langsung diangkat satu per satu.

Pak Kirno dan beberapa orang mustahik lain boleh jadi beruntung. Salah seorang yang paling apes dialami oleh Bu Endang. Ia bela-belain datang ke Masjid sehari sebelum pemotongan hewan, yakni hari Kamis. Bersama anaknya, ia bermalam di palataran parkir masjid. Malang benar, ketika hari Sabtu dini hari bangun, anteran sudah panjang. Meski ia mencoba antre, Panitia pun mengumumkan lewat speaker pada pukul 07.15 wib, daging qurban sudah habis.

Kalo Anda berada di Masjid Istiqlal pagi tadi, sedih sekali melihat para mustahik. Sebelum Panitia mengumumkan daging qurban habis, saya sedih, begitu banyak orang Islam miskin yang ada di Jakarta ini. Ironisnya lagi, mereka antre di depan sebuah Gereja Katedral. Saya yakin kalo ada jamaah non-muslim yang melihat kondisi di areal Masjid kayak begitu dari balik jendela Gereja Katedral, mereka pasti geleng-geleng kepala. Masya Allah!


Biar sudah datang sehari sebelumnya bela-belain nginep, atau datang pagi, belum tentu dapat jatah daging qurban. Banyak orang yang kecewa dengan "tragedi" jatah daging habis!

Makin sedih hati kita begitu jatah hewan qurban diumumkan habis oleh Panitia Masjid. Mereka yang sudah berusaha antre bermeter-meter –antrean bisa mencapai empat ratus meter, karena antreannya meliuk-liuk-, pasti akan kecewa berat. Entahlah kenapa ini sampai terjadi. Satu yang pasti, para pengantri ini nggak dibekali oleh kupon. Saya nggak tahu apakah di tahun-tahun sebelumnya sempat menggunakan kupon dan kemudian ditiadakan, karena nggak efektif, atau memang tahun 2009 ini sengaja nggak pakai kupon, sehingga Panitia yang konon menyiapkan 7.000 kantong daging qurban dengan percaya diri bisa sukses membagikan.

Buat saya, peristiwa pagi ini di Masjid Istiqlal membuat malu diri saya sebagai orang Islam. Entahlah apakah Panitia juga malu. Yang pasti, konsep bagi-bagi hewan qurban kayak begini kan bukan baru setahun-dua tahun ini saja dilakukan, tetapi sudah bertahun-tahun. Namun kenapa kejadian kayak begini masih saja terjadi ya? Aneh!



Yang menjadi korban jadinya malah anak-anak. Banyak anak kecil yang digendong oleh Ibunya yang terjepit di antara antrean. Ada yang hampir kehabisan nafas dan harus segera ditarik dari antrean, lalu diberikan minum. Ada yang muntah-muntah, karena sudah antre dari hari sebelumnya dan masuk angin.


Barangkali mekanisme pembagian daging qurban memang sudah salah. Bukankah seharusnya kita –Panitia atau orang yang mampu- membagi-bagikan daging, bukan mustahik yang disuruh antri? Sebab, dengan mereka mengantre, Panitia pasti nggak akan tahu apakah yang antre itu benar-benar mustahik yang membutuhkan atau justru sebaliknya mereka yang dengan sengaja menjadi pengumpul daging? Apalagi mereka yang mengantre nggak dibekali oleh kupon. Bukan se’udzon ya, tetapi makelar daging seringkali bermunculan dalam kondisi kayak begini. Mereka “berpesta” di tengah penderitaan para mustahik.

Dengan sistem mengantar –bukan mengantre-, mustahik yang akan diberikan sudah terdata dengan jelas. Barangkali tahun depan, harus ada panitia yang bertanggung jawab men-delivery service daging qurban, kayak restoran-restoran franchise gitu. Setelah tim pembungkus plastik daging selesai, tim delivery service ini langsung mengantarkan seluruh jatah hewan qurban ke kelurahan, atau bahkan sampai ke RW-RW yang kemungkinan belum mendapatkan jatah qurban, tetapi punya banyak mustahik di kampung itu.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

CEMBURU DENGAN UI SEKARANG


Semenjak masuk ke areal eks kampus saya di Depok, sikap sirik tiba-tiba muncul. Saya jadi sebel dengan situasi, dimana saya seolah dihadapkan pada sebuah pertanyaan tentang eksistensi diri saya saat ini. Kenapa begini? Kenapa begitu? Seharusnya saya baru menjadi mahasiswa tahun 2009 ini. Bukan sepuluh tahun yang lalu! Di mana segala yang ada di mantan kampus saya ini serba terbatas.

Sungguh sangat menyesal diri saya ini. Ibarat kata, dahulu saya nggak menikmati apa yang sekarang dinikmati oleh mahasiwa-mahasiswa di eks kampus saya ini. Padahal kalo dahulu kala udah ada, saya jamin, nggak banyak mahasiswa yang naik kendaraan bermotor. Ujung-ujungnya, pihak Rektorat nggak akan menebangi pohon-pohon yang tumbuh alamiah di sekitar kampus dan lantas digantikan gedung-gedung yang sesungguhnya nggak perlu-perlu amat.

Apa sih yang membuat saya menyesal?

Sepeda! Hah?! Sepeda?! Yap! You know what, sejak Rektor Universitas Indonesia (UI) dijabat oleh Prof. Dr. Gumilar R Soemantri, UI memberikan fasilitas ke para mahasiswanya buat menggunakan sepeda gratis. Mahasiswa yang hendak menggunakan sepeda, cukup menunjukan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) pada petugas yang menjaga halte tempat sepeda berada.

Luar biasa bukan?

Saat ini baru terdapat sekitar 200-an sepeda yang tersebar di 13 halte. Jumlah ini tentu nggak cukup kalo dibandingkan dengan jumlah mahasiswa UI sekarang yang udah mencapai sebanyak 35.000 orang. Namun, kalo diperas 50% dari 35.000, tentu belum setengahnya menikmati fasilitas sepeda gratis ini. Maklum, mahasiswa UI yang sekarang beda banget dengan mahasiswa UI zaman dahulu kala, termasuk zaman gw.

Sepuluh tahun lalu, UI belum sekapitalis sekarang. Gedung-gedung dan lahan-lahan parkir kendaraan bermotor masih nggak begitu banyak. Pohon-pohon karet masih banyak dibiarkan tumbuh. Buat menghirup udara suegar pun bisa kapan aja. Begitu sampai halte UI, kita bisa lepas dari kepenatan dan polusi yang ada di jalan Margona. But look at now! Udara sekarang di UI nggak semurni dahulu. Udah banyak terpolusi oleh kendaraan bermotor. Maklum, kendaraan bermotor udah banyak. Nggak heran kalo menurut sang Rektor yang termasuk Rektor termuda ini, mahasiswa UI sekarang menuntut ruang kelas yang memiliki pendingin udara alias AC.

Memang sih harus saya akui, tahun depan UI punya target masuk dalam peringkat seratus Perguruan Tinggi (PT) terbaik di dunia. Dimana hal tersebut kudu membutuhkan fasilitas maupun infrastruktur yang sepadan dengan PT kelas dunia lain. Saat ini berdasarkan Times Higher Education- QS World University Rangking (THE-QS World) periode 2008, UI menduduki peringkat 287 dari 500 perguruan tinggi terbaik di dunia. Peringkat ini masih lebih baik dibanding ITB dan UGM yang masing-masing berada di peringkat 315 dan 316.

By the way busway THE-QS World itu mahkluk apaan?

THE-QS World itu sejenis mahluk yang memamah biak. Eh, bukan ding! THE-QS World itu sebuah lembaga yang bertugas membuat peringkat-peringkat PT di seluruh dunia. Lembaga ini mensyaratkan empat kriteria dalam pemringkatan. Pertama soal kualitas penelitian (research quality). Lalu kualitas pengajaran (teaching quality). Selanjutnya kualitas lulusan (graduate employability). Yang terakhir, aspek internasional (international outlook). UI berhasil mengantongi nilai signifikan pada aspek kualitas penelitian. Indikator dari aspek ini ialah persepsi mengenai UI dari para responden (peer review) di seluruh dunia. Selain itu, indiktor lainnya yakni jumlah kutipan (citations per faculty) dari paper ilmiah yang dihasilkan UI.

Menurut pak Rektor, dengan pencapaian target tahun 2010, UI bakal mendapatkan kepercayaan warga negara Indonesia sebagai bagian PT incaran. Maksudnya, kalo selama ini orang-orang kaya mengkuliahkan anak-anak mereka ke luar negeri, nah, tanpa perlu ke luar negeri, di UI pun juga berkualitas kok PT-nya. Soalnya, UI udah jadi PT kelas dunia. Hal tersebut jelas akan membangkitkan rasa percaya diri bangsa Indonesia dalam hal PT, ya nggak?

Sebagai mantan alamuni UI, saya mah bangga-bangga aja dengan target itu. Tapi soal eksistensi sepeda yang baru ada setahun ini, saya tetap aja cemburu. Diriku dicemburui oleh sepeda kuning itu. Meski para mahasiswa yang menggunakan sepeda ini kudu melewati track yang jalurnya masih terbatas, buat saya yang ngefans berat bersepeda, tetap aja menarik ide bersepeda di lingkungan kampus.

Selain menyehatkan badan, bersepeda di kampus menekan jumlah para kaum kapitalis yang ada di lingkungan UI. Memang sih, ide bersepeda yang dilakukan mahasiswa bukan konsep baru. Di Yogya hal ini banyak kita jumpai. Kalo di Jakarta, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Drikarya udah lama membuat tradisi bersepeda bagi para mahasiswa. Nah, UI sebagai PTN yang dianggap elit, sangat luar biasa bisa menciptakan tradisi bersepeda bagi para mahasiswanya.

So, sambil kejar target agar masuk 100 PT terbaik di dunia, nggak salah dong kalo jalur track sepeda di UI diperbanyak. Kalo perlu para Pengayuh sepeda dibebaskan berada di jalan aspal. Kalo perlu juga, seluruh wilayah UI dibebaskan dari kendaraan bermotor. Mereka yang mau ke kampus cukup naik bus kuning, sepeda, atau jalan kaki. Kendaraan bermotor para kapitalis direlokasikan ke sebuah tempat khusus. Wah, kalo ini bisa terjadi, selain sebagai PT terbaik karena memenuhi empat kriteria yang disyaratkan THE-QS World tadi, UI bisa menjadi green campus.

“Ah, menghayal aja loe, man!” ujar sohib gw yang tiba-tiba menepuk tangan gw. Agak kaget juga ditepuk sama sohib gw itu. Gw yang sempat ngiler terpaksa harus membasuh wajah agar menjadi pria keren lagi kayak Ariel Peter Pan.

“Namanya juga usaha, Bro!”

all photos copyright by Brillianto K. Jaya



QURBAN DI KAMPUNG OGUT

Meski masjid kecil dan lokasinya di dalam kampung, ada tiga ekor sapi yang dipotong dan 10 ekor kambing. Kalo dibandingkan dengan masjid Istiqlal yang terdapat 20 ekor sapi dan ratusan kambing, masjid Uswatun Hasanah yang lokasi persisinya di bawah gang Kabel, Cempaka Putih Barat, ya lumayanlah. Daripada nggak ada sama sekali warga yang mau berqurban, mending dikit tapi tetap bisa potong sapi dan kambing.

Sebagai jama'ah masjid di kampung, ogut sedikit banyak membantu, at least membantu mengabadikan moment-mement berharga mereka yang sedang memotong sapi, kambing, atau memporak-porandakan tubuh hewan-hewan qurban dengan pisau mereka. Ogut juga merasa berbahagia bisa bersama-sama para kambing yang hidupnya diujung golok nan tajam membara itu.

Selamat jalan duhai wahai hewan-hewan, semoga selamat sampai tujuan!












all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Rabu, 25 November 2009

LUBANG RESAPAN BIOPORI

Menjamurnya gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, maupun perkantoran, buat sebagian orang menyenangkan. Begitu pula, jalan-jalan yang sebelumnya tanah, belakangan ditutup dengan aspal hot mix, menggembirakan para pengendara kendaraan bermotor pribadi. Namun sesungguhnya, semua itu menimbulkan dampak pada lingkungan dan alam.

Air hujan yang turun, nggak mampu lagi diserap oleh tanah-tanah yang tertutup oleh gedung maupun aspal hot mix itu. Aliran yang jatuh dari langit akhirnya menggenang di jalan raya, sementara di kali, sampah-sampah yang pada saat musim kering dibiarkan berada di kali, membuat kali menguap dan bajir pun nggak bisa dielakkan.



Orang-orang Jakarta sebenarnya sudah mengerti sebab-akibat banjir. Tapi mereka cuek bebek. Tetap mendirikan bangunan di daerah resapan air atau membang sampah sembarangan. Anehnya, ketika banjir melanda, yang disalahkan Tuhan. Menurut mereka, Tuhan nggak kasih pada mereka. Padahal yang salah bukan Tuhan, tetapi kita.


Lubang biopori yang ada di rumah kami, yang letaknya di halaman belakang rumah kami. Meski tanah rumah kami kecil, kami selalu memprioritaskan ada daerah resapan yang harus dibuat. Artinya, harus ada halaman yang nggak diplester. Tanah harus tetap dibuarkan hidup dengan cara membiarkan eksistensinya, sehingga ia turut membantu meresapkan air. Kalo kita membunuh tanah, kita akan merasakan akibatnya kelak.

Memang nggak akan habis-habisnya kalo kita saling salah menyalahkan. Oleh karena itu, di tengah warga yang cuek bebek, karena nggak peduli dengan alam dan lingkungan, muncullah penemuan yang namanya Lubang Resapan Biopori (LRB). Apa itu LRB?

LRB merupakan metode resapan air yang bertujuan membantu mengatasi masalah sampah perkotaan. Dengan luban ini, sampah-sampah yang biasa dibuang sembarangan, bisa dikumpulkan di dalam sebuah lubang, kemudian ditimbun. Tentu saja yang ditanam di dalam lubang adalah sampah organik atau sampah-sampah yang bisa mengurai dengan cepat dengan tanah.

Dengan menanamkan sampah-sampah organik, otomatis akan meningkatkan kualitas tanah. Artinya tanah menjadi subur. Tumbuhan yang berdiri di atas tanah itu akan produktif. Ini juga mempengaruhi kualitas air yang di kota-kota besar ini cukup mengawatirkan.



Ini adalah alat bor biopori. Dengan alat yang terdiri dari tongkat dan mata bor yang tajam ini, kita bisa membuat lubang hampir sedalam 1 meter.


Selain itu, LRB juga menjadi salah satu solusi atas bencana banjir yang melanda kota-kota besar, kayak Jakarta ini. Sebab, lubang-lubangnya bisa meresapkan air. Tahu sendiri, tanah-tanah yang dulu masih banyak beredar di pingir-pingir jalan, kini sudah diaspal. Pengaspalan itu menyebabkan genangan. Genangan itu yang menyebabkan banjir.

Membuat LRB itu gampang banget. Semua rumah bisa membuat, meski rumah tersebut nggak memiliki halaman yang luas. Contohnya rumah kami. Meski cuma punya tanah yang segede Unyil (maksudnya kecil), kami tetap memprioritaskan daerah resapan air, yakni dengan tidak mengaspal seluruh halaman depan rumah. Sehingga di halaman depan kami bisa membuat LRB. Bahkan jauh sebelumnya kami sudah membuat lubang cukup besar buat menampung sampah-sampah organik.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Selasa, 24 November 2009

OLEH-OLEH DARI SEX SHOP

Sebuah kotak berukuran 5x5 cm itu cukup eye catching. Warna hijau muda yang menjadi warna dasar kotak itu sungguh menarik mata. Tutup kotaknya pun lucu, bergaris-garis aneka warna: merah, biru, dan putih.

Dari kotaknya saja, barangkali bisa membuat kita penasaran isi di dalam kotak itu. Barang berhargakah? Yang harganya mahal? Atau cuma sebuah barang murahan yang nggak penting?

Buat saya nggak penting lagi harga atau jenis barangnya. Tetapi saya lebih melihat dari perspektif lain, yakni itikad membelikan oleh-oleh. Yes! Kotak beserta isinya ini adalah oleh-oleh temen saya yang baru melancong ke Singapura dalam rangka dinas kantor.


Ini dia mug yang diberikan teman saya yang berdarah Batak.

Saya dan barangkali ada di antara Anda, seringkali malas atau nggak pernah sama sekali membeli oleh-oleh, bukan cuma buat teman, tetapi keluarga. Membeli oleh-oleh memang bukan kebiasaan saya atau kalo dalam bahasa gaulnya: BUKAN GUE BANGET! Saya bukan tipikal orang yang berinisiatif membelikan oleh-oleh tiap pergi ke luar kota. Nggak heran tiap kali pergi dinas, selalu diingatkan oleh istri agar beli oleh-oleh.

Nah, back to basic, beberapa waktu lalu temen saya memberikan sebuah oleh-oleh yang menurut saya luar biasa. Sebuah mug yang ada gambar seorang wanita seksi menggenakan hot pants. Lucunya lagi, pantat si wanita itu menonjol ke luar, sehingga kita bisa memegang pantat wanita ini tanpa harus takut dituntut gara-gara dianggap melecehkan.



Kalo ini bukan oleh-oleh dari Singapura, tetapi dari orangtua saya yang baru pulang dari Jember, tape manis yang uenak.


Kata temen saya yang memberikan oleh-oleh, mug ini dibeli di sebuah sex shop. Walah! Entah apa yang membuatnya berpikir saya ini termasuk sex addicted atau sex maniac. Namun saya menghargai banget jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang, lho kok? Maksudnya menghargai efford teman saya yang membelikan oleh-oleh ini.

Selain saya, ada teman-teman lain yang juga diberikan oleh-oleh, dimana belinya juga di sex shop. Nah, kebetulan satu teman saya yang diberikan oleh-oleh ini memang gila sex. Bukan cuma suka mengkoleksi video-video porno atau langganan panti pijat plus-plus, tetapi tampangnya cukup pas buat dijadikan bintang film BF. Anda tahu oleh-olehnya apa? Sebuah payudara yang terbuat dari karet seukuran bola tenis, yang kalo dipegang-pegang oleh kita begitu lembut, indah, berseri (kayak iklan produk sampo?).


Payudara-payudaraan oleh-oleh teman saya yang diberikan kepada fakir miskin, eh bukan ding! Diberikan kepada salah satu teman saya yang memang tergila-gila pada kehidupan seks.

Kayak-kayaknya, payudara mainan itu akan selalu dibawa oleh teman saya bermuka mesum itu kemana pun ia pergi, asal jangan dibawa ke masjid aja. Kebayang kalo dibawa ke masjid, payudara palsu itu jatuh dari kantong bajunya, lalu menggelinding ke jamaah di sampingnya. Mending kalo jamaah di sampingnya nggak terangsang, coba kalo jamaah itu nggak jadi meneruskan sholat dan langsung pegi ke WC. Wah, berbahaya tuh!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Senin, 23 November 2009

KALO SAJA NGGAK ADA KEBUN RAYA, BOGOR LEBIH POPULER DISEBUT SEBAGAI KOTA ANGKOT

Menyebutkan kota Bogor, pasti nggak akan lepas dari nama Kebun Raya. Bogor dengan Kebun Raya, ibarat dua kata yang nggak bisa dilepaskan. Sejarah Kebun Raya Bogor, tidak bisa lepas dari sejarah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia ini.

Kota yang diapit oleh Jakarta dan Sukabumi ini terletak 54 km sebelah selatan Jakarta. Luasnya 21,56 km². Menurut sensus tahun 2003, jumlah penduduk Bogor berjumlah 834.000 jiwa.

Pada masa kolonial Belanda, Bogor dikenal dengan nama Buitenzorg. Arti Buitenzorg adalah ‘tanpa kecemasan’ atau ‘aman tenteram’. Maksudnya, saat itu kalo tinggal di Bogor, kita akan merasa tentram, aman, dan nyaman. Nggak kayak sekarang, meski masih ada Kebun Raya, Bogor lebih dikenal sebagai kota angkot. Dimana-mana ada angkot. Padahal nggak semua angkot yang beredar, penuh penumpang. Yang terjadi justru, angkot yang hilir mudik cuma diisi dua sampai tiga penumpang. Bikin macet! Bikin polusi!

Anyway, sejarahnya sebelum nama Buitenzorg itu muncul itu dimulai pada tahun 1687, Letnan Tanujiwa asal Sumedang mendapat perintah dari pemerintah Belanda buat membuka hutan di Padjajaran. Di lahan itulah kemudian berdiri sebuah perkampungan di Parung Angsana yang diberi nama Kampung Baru. Tempat inilah yang kelak menjadi cikal bakal tempat kelahiran Kabupaten Bogor. Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu Ciliwung.



Pada tahun 1745 Bogor ditetapkan Sebagai Kota Buitenzorg yang artinya "kota tanpa kesibukan", dimana terdapat sembilan kampung yang digabung menjadi satu pemerintahan di bawah Kepala Kampung Baru. Gelar Kepala Kampung adalah Demang. Daerah tersebut disebut Regentschap.

Bogor menjadi tempat berdirinya kerajaan pertama yang sangat dikenal di Indonesia, yakni kerajaan Hindu Tarumanagara. Kerajaan tersebut berdiri pada abad ke-5. Selain Tarumanegara, ada beberapa kerajaan lain yang memilih bermukim di Bogor. Why? Katanya sih karena daerah di Bogor termasuk daerah pegunungan. Dalam peperangan, dearah pegunungan dianggap startegis buat bertahan terhadap ancaman serangan musuh. Selain itu daerah Bogor cukup subur dan memiliki akses mudah buat melakukan apa saja, mulai dari menjalankan roda pemerintahan dan perdagangan.

Prasasti-prasasti yang ditemukan di Bogor tentang kerajaan-kerajaan masa silam, salah satu prasasti tahun 1533. Prasasti tersebut menceritakan kekuasaan Raja Prabu Surawisesa dari Kerajaan Padjajaran. Kerajaan ini menjadi salah satu kerajaan yang paling berpengaruh di pulau Jawa. Bahkan tahun sebelumnya, yakni tahun 1482, ada prasasti yang menceritakan soal Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji I Pakuan Padjajaran.



Di tahun itulah tepatnya tanggal 3 Juni 1482, Prabu Siliwangi diangkat menjadi Raja Kerajaan Padjajaran. Hari penobatan itu kemudian diresmikan sebagai hari kelahiran kota Bogor pada tahun 1973 oleh DPRD Kabupaten dan Kota Bogor, dan diperingati setiap tahunnya.

Setelah penyerbuan tentara Banten, catatan mengenai kota Pakuan hilang. Pada tahun 1687, Scipio dan Riebeck melakukan penelitian atas Prasasti Batutulis dan beberapa situs lainnya di kota Bogor. Dari penelitian tersebut, dua orang Belanda itu berhasil menemukan kembali sejarah kota Bogor yang hilang. Mereka menyimpulkan, pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran terletak di Kota Bogor.



Kebun Raya Bogor dibangun sejak Tahun 1817 oleh seorang ahli botani yaitu Prof. Dr. RC. Reinwardth. Luas Kebun Raya Bogor 87 Ha dan terdapat 20.000 jenis tanaman yang tergolong dalam 6000 Species. Kebun Raya Bogor ini merupakan Kebun Raya terbesar di Asia Tenggara.

Kisah pembangunan Kebun Raya dimulai pada tahun 1745. Adalah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff yang membangun Istana Bogor. Pembangunan istana itu seiring dengan pembangunan jalan raya Daendels yang menghubungkan Batavia dengan Bogor. Kota Bogor rencananya Cuma sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal.



Pada tahun 1746, van Imhoff menggabungkan sembilan distrik ke dalam satu pemerintahan. Ke-9 distrik itu adalah Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga dan Kampung Baru. Pengambungan kesembilan distrik itu kemudian dinamakan Regentschap Kampung Baru Buitenzorg. Di kawasan baru itulah van Imhoff kemudian membangun sebuah Istana Gubernur Jenderal, yang kelak bernama Istana Bogor.

Nama Buitenzorg lambat laun berkembang dan mengacu pada sebuah wilayah dari wilayah-wilayah yang sebelumnya udah ada. Wilayah-wilayah tersebut yang menjadi Buitenzorg ini meliputi Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede. Pada tahun 1950, Buitenzorg menjadi Kota Besar Bogor yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1950.



Ketika VOC dikuasai oleh Inggris di bawah Gubernur Jendral Thomas Rafless pada abad ke-19, Istana Bogor mengalami renovasi. Di sekitar Istana dibangun kebun yang kemudian dikenal sebagai sebagai Kebun Raya (Botanical Garden). Di bawah Rafless, Bogor juga ditata menjadi tempat peristirahatan yang indah.

Pada tahun 1903, pemerintahan kembali dipegang oleh pemerintah Belanda. Bertepatan dengan pemerintahan Belanda kembali, terbit Undang-Undang yang mengatur soal desentralisasi yang menggantikan sistem pemerintahan tradisional. Undang-Undang Desentralisasi ini menerapkan sistem administrasi pemerintahan modern, yang menghasilkan Gemeente Buitenzoorg. Hasilnya? Pada tahun 1925, dibentuk provinsi Jawa Barat (propince West Java) yang terdiri dari 5 karesidenan, 18 kabupaten dan kotapraja (staads gementee). Buitenzoorg menjadi salah satu staads gementee. Sejak tahun 1957 sampai 1999, Bogor berubah-ubah terus.

Pada tahun 1957, nama pemerintahan diubah menjadi Kota Praja Bogor, sesuai Undang-Undang nomor 1 tahun 1957. Pada tahun 1965, Kota Praja Bogor berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor, dengan Undang-Undang nomor 18 tahun 1965 dan Undang-Undang nomor 5 tahun 1974. Terakhir pada tahun 1999, Kotamadya Bogor berubah menjadi Kota Bogor pada tahun 1999 dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999.

Terus terang sebagai warga negara Indonesia, saya bangga memiliki tempat seperti Kebun Raya ini yang dikenal di seluruh dunia. Namun saya nggak bangga, Bogor memiliki jumlah angkot yang terlalu banyak. Kalo Anda tahu, warna angkot hijau muda dan biru itu belum tentu mencerminkan jalur yang ditempuh angkot tersebut. Meski warnanya berbeda, trayek yang ditempuh kadang sama. Saya mengerti kenapa Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Tingkat I Bogor ini terus memberikan izin pengoperasian angkot, sehingga angkot-angkot baru terus beredar. Setoran angkot ke kas Pemda pasti menguntungkan.

Beruntunglah warga Bogor masih memiliki Kebun Raya sebagai salah satu objek pariwisata, kalo enggak, pariwisata Bogor adalah kemacetan yang disebabkan oleh angkot-angkot yang jumlahnya nggak tertahankan itu. Kebun Raya lah yang akhirnya menanggung risiko sebagai tempat yang menyerap karbondioksida (CO2) yang merupakan gas pencemar udara yang dihasilkan dari knalpot-knalpot kendaraan bermotor yang melintas di Bogor, salah satunya ya angkot itu.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya


video copyright by Brillianto K. Jaya

MINDER TAPI CUEK

Tak terasa, sepeda pertama saya umurnya sudah 2 tahun. Saya lupa kapan tanggal dan bulan tepatnya, tetapi sepeda berwarna putih belang merah ini saya beli tahun 2007, di salah satu toko di Pasar Rumput, Manggarai.

Entah apa yang mendorong saya akhirnya mau memilih sepeda bermerek Wim Cycle ini. Kata orang, mereka ini cuma dikonsumsi oleh anak-anak kecil, sedang saya? Saya bukan anak kecil lagi, bukan pula remaja, tetapi seorang Ayah dengan dua putri yang cantik jelita. Lho kenapa pilih Wim Cycle? Saya sendiri heran.

Ada tiga alasan yang mungkin akhirnya saya membeli sepeda Wim Cycle ini. Pertama saya memang sudah nafsu ingin membeli sepeda. Ketika di rumah saya sudah ada dua sepeda baru buat dua anak kami, saya belum punya sepeda. Itulah mengapa saya merayu istri agar dibelikan sepeda. Lho kok merayu istri? Emangnya saya nggak punya duit? Punya lah lau!

Dalam rumah tangga kami, tiap membeli barang sekunder apalagi tertier yang relatif mahal, di atas dua juta, harus didiskusikan dulu. Sebab, siapa tahu ada kebutuhan mendesak, dimana uang yang seharusnya bisa dipergunakan buat kebutuhan primer, nggak dipakai buat kebutuhan sekunder atau tertier itu tadi. Nah, sepeda termasuk kebutuhan sekunder. Artinya, nggak primer, nggak tertier. Ada di tengah-tengah.



Setelah berdiskusi panjang kali lebar kali tinggi, saya dan istri pun berangkat hunting sepeda ke Pasar Rumput. Saya pun “dijebloskan” ke salah satu toko di Pasar Rumput yang kelak menjadi toko yang sepedanya kami beli. Pemilihan toko ini, karena istri saya sempat membeli dua sepeda baru di toko ini. Berharap dengan membeli lagi satu sepeda di toko ini, kami dapat diskon. Maklum jeng, perempuan memang begitu, ya nggak? Apa-apa pasti mencari diskon, potongan harga, korting, pokoknya yang bisa menghemat duit belanjaan. Sayang kan kalo uangnya, meski akhirnya yang dipergunakan uang suami. Kalo bisa irit, kenapa harus boros?

Jadi inti alasan saya membeli sepeda yang pertama, ya itu tadi, faktor yang kayak-kayaknya mendesak buat punya sepeda. Juga faktor syirik gara-gara dua anak saya dibelikan sepeda baru, saya yang doyan sepeda nggak punya sepeda. Masa mau naik sepeda atau ikut car free day pakai sepeda roda tiga sih, nek? Nanti saya disangka orang gila atau Bapak-Bapak nggak tahu, karena sepeda anaknya diembat juga.

Alasan kedua, promosi si Mbak yang ada di toko di Pasar Rumput, Manggarai itu begitu menyentuh kalbu. Entah pakai ilmu seni merayu konsumen karangan siapa dan penerbit apa yang membuat si Mbak jago banget. Saya sampai takjub dan nggak bisa memilih sepeda lain, selain sepeda yang dipilih si Mbak.

“Warnanya keren banget nih Pak,” ujar Mbak penjaga toko berpromosi. “Jarang lho ada sepeda yang warnanya merah belang putih.”

Bener juga sih, jarang ada merah belang putih. Yang sering terjadi, putih belang hitam. Ada juga hitam muda belang hitam tua. Juga ada putih belang kelabu. Kalo putih belang merah? Rasanya memang jarang. Saya memang dibuat bingung dengan soal belang-belang ini. Padahal kalo otak saya normal, masalah belang putih dan merah, pasti relatif banyak. Yang nggak ada, yang saya pikirkan soal belang yang nggak ada itu di dalam dunia perbinatangan. Kalo dalam dunia binatang, ya memang nggak ada putih belang merah. Itulah yang saya bingung, luar bisa sekali si Mbak bisa menghipnotis saya.

Akhirnya saya pun membeli sepeda putih belang merah ini. Kayak anak kecil, saya heppy banget dapat sepeda baru dan langsung mencoba menggoes sepeda baru saya ini dari Pasar Rumput, Manggarai ke Cempaka Putih Barat. Memang sih nggak jauh, tetapi pada saat itu matahari sedang ceria alias memancarkan sinarnya dengan terik. Maklum, jam menunjukan pukul 1 siang.

Kisah dua tahun lalu sudah berlalu. Kini saya rasanya ingin mengganti sepeda putih belang merah ini. Bukan karena sepeda saya rusak, sehingga nggak bisa dipergunakan lagi. Oh, bukan. Bukan pula, karena sepeda saya out of date alias sudah dianggap udzur. Kayaknya nggak juga. MTB yang modelnya seperti sepeda saya kayaknya masih berkeliaran di jalan.

Jadi apa dong?

Kemarin di saat car free day (CFD), saya dibuat minder oleh empat orang penggoes yang membawa sepeda muahal. Kenapa saya tulis kata “mahal” menjadi “muahal”? Sebab, sepeda yang saya ceritakan di sini benar-benar mahal. Saya bisa mereka-reka, harganya pasti di atas 20 jutaan, karena saya sempat lihat di pameran di Jakarta Fair, sepeda dengan jenis MTB yang saya bilang muahal itu harganya segitu, bahkan ada yang mencapai 30 jutaan.



Keminderan saya terjadi saat saya berhenti untuk makan bubur kacang hijau, yang jualannya di pinggir jalan Sudirman. Sepeda saya parkirkan di pinggir tukang bubur kacang hijau. Belum lama saya menikmati bubur kacang hijau, datang segerombolan penggoes. Rupanya mereka juga ingin membeli bubur kacang hijau. Kalo sekadar membeli bubur mah, it’s ok, tetapi yang bikin saya minder, sepeda-sepeda yang mereka gunakan harganya “muahal”. Entah sengaja atau tidak, sepeda-sepeda mereka yang “muahal” itu diparkirkan di samping sepeda saya. Walah, makin minder saja saya.

Saya yakin, mereka nggak bermaksud menggoda saya agar berniat mengganti sepeda seperti sepeda mereka yang harganya puluhan juta itu. Mereka pasti melakukan itu tanpa sadar, maksudnya meletakkan sepeda mereka persis dekat sepeda saya. Barangkali saya aja yang punya jiwa sensitif.

Alhamdulillah, setelah menghabiskan bubur kacang hijau, rasa minder saya hilang. Ibarat kata, bubur kacang ijo membangkitkan semangat saya agar jangan rendah diri. Ngapain juga minder wong kita nggak mencuri, kok? Uang saya hasilkan selama ini pun didapat dari pekerjaan halal, kok, kecuali saya Koruptor.

Jadi saya memutuskan pada diri saya sendiri agar tidak perlu minder, tetapi cuek aja. Saya menetapkan diri dalam waktu dekat nggak perlu beli sepeda baru. Meski sepeda saya cuma Wim Cylcle yang harganya murah meriah, yang penting frekuensi nggegoesnya banyak. Maksudnya, saya menjadikan sepeda benar-benar sebagai alat transportasi, bukan cuma gaya-gayaan. Buat saya sayang aja beli sepeda mahal-mahal kalo dipakainya seminggu sekali. Alasan ini sih sebetulnya cuma buat memotivasi diri saya agar nggak minder aja. Selebihnya, saya pasti akan punya sepeda seperti mereka yang mahal itu. Tunggu saja waktunya!

NGEGOES DI PINGGIR PANTAI ANCOL

Ngegoes di jalan raya dengan ngegoes di pinggir pantai pasti beda. Kalo ngegoes di jalan raya, kita akan menjumpai gedung-gedung bertingkat, pepohonan yang ada di pinggir-pinggir jalan, dan kendaraan bermotor. Sementara kalo ngegoes di pantai, selain menikmati deburan ombak pantai, kapal nelayan yang sedang melaut, kita juga menikmati semilir angin pantai.

Beberapa kali, saya menggoeskan sepeda saya di pantai. Meski cuma pantai Ancol, tetapi hawa pantai lumayan terasa, apalagi kalo saya melakukannya di hari-hari yang bukan weekend, misalnya hari Kamis, wah sepi dan asyik. Kok bisa menggoes di Ancol pas weekdays? Kebetulan beberapa kali di hari Kamis, saya selalu melakukan shooting di Backstage, Ancol. Jadi ketika kru teknis sedang melakukan pre-production, saya manfaatkan dengan menggoes.




Sebagai bentuk komitmen pada para penggoes kayak saya, Ancol juga membuatkan bike line atau jalur sepeda.



Mejeng dulu, ah, di Bende Ancol. Sekadar info, bende ini berdiameter 5.555 meter dan menjadi bende terbesar di dunia. Bende ini terbuat dari kuningan murni (brass sheet) yang didatangkan dari Italia dan dibuat di Yogyakarta oleh Empu Triwiguno selama 45 hari. Selama pembuatan, Empu dibantu oleh 70 pandai besi. Bende ini menjadi simbol pembangunan di milenium ke III dan diresmikan oleh Gubernur Sutiyoso pada 31 Desember 1999.

PASAR IKAN DI TAMAN IMPIAN JAYA ANCOL

Coba sekali waktu Anda bersepeda di Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), tiap Minggu pagi, ada sebuah pasar yang menjual ikan-ikan segar. Lokasi tepatnya di dekat Putri Duyung Cottage, TIJA.

Menurut pihak Ancol, mereka yang berdagang di pasar ikan TIJA ini adalah nelayan asli yang biasa melaut di laut dekat Ancol situ. Gagasan menyatukan nelayan-nelayan laut Ancol di pasar ini supaya mereka tertib, nggak kayak pedagang illegal. Dahulu, sebelum ada pasar ikan, beberapa nelayan menjual ikan tanpa izin pihak Ancol, sehingga mereka cukup mengganggu pemandangan. Biasalah, kalo ada orang yang memasuki perairan tanpa izin, pasti takut. Nah, dengan dikumpulkannya para nelayan, maka penggunjung Ancol bisa leluasa membeli, sebaliknya pedagang nggak takut-takut lagi buat menjual.

Beginilah suasana di Minggu pagi di TIJA. Anda tertarik buat membeli ikan-ikan segar yang baru ditangkap dari laut? Silahkan datang ke TIJA.



video copyright by Brillianto K. Jaya

TERGUSUR DEMI JALUR HIJAU

Rupanya Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo nggak main-main menghijaukan kembali Jakarta. Ibukota negara Indonesia yang sudah diisi oleh bangunan beton dan menggusur resapan air dan menghabiskan jutaan pohon ini, sedikit demi sedikit ingin dikembalikan ke fungsi semula: menjadi ruang terbuka hijau. Salah satu langkah Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta yang dikomandoi oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman (PP) Provinsi DKI Jakarta, yakni menghancurkan POM Bensin yang mayoritas menggunakan jalur hijau.

Berdasarkan data Dinas PP Provinsi DKI Jakarta, saat ini terdapat sekitar 4,6 juta pohon di Jakarta (Koran Jakarta, Senin, 23 November 2009, hal 17). Menurut Dosen arsitektur lanskap Universitas Trisakti, Nirwono Joga, jumlah pohon segitu belum cukup buat wilayah Jakarta. Seharusnya, tambah koordinator komunitas Peta Hijau Jakarta (PHJ), idealnya Jakarta membutuhkan 10.812.500 pohon. Angka ini bukan angka sembarangan atau simsalabim, tetapi sudah melalui perhitungan, yakni kebutuhan oksigen dan air warga Jakarta yang jumlahnya 8 juta jiwa.

Tentu Anda tahu fungsi pohon buat apa, ya kan? Wah, masa Anda lupa? Fungsi pohon itu bukan cuma buat gaya-gayaan. Asal tanam pohon dan sebuah tempat menjadi hijau. Oh, no. Bukan cuma itu. Pohon itu fungsinya sebagai penyerap karbondioksida (CO2) yang merupakan gas pencemar udara. Pohon juga berfungsi sebagai pensuplai oksigen (O2) yang tentu saja dibutuhkan oleh kita semua. Selain itu, pohon mampu meresapkan air ke tanah, sehingga air tanah semakin meningkat dan kita jadi nggak kekurangan air. Nah, itu kalo kita tinjau fungsi pohon dari sisi ekologis.

Kalo ditinjau dari sisi estetis, pohon berfungsi menjadikan kota nampak hijau, sejuk, dan nggak gersang. Ketika matahari bersinar dengan "genit-genitnya", pohon bisa menjadi tempat berteduh. Begitu pula saat hujan, biasanya kita juga bisa mencari pohon. Tentu pohon yang besar, bukan pohon toge.

Memang berat mengalihfungsikan POM bensin menjadi ruang terbuka hijau (RTH). Sebab, sebagian besar pemilik POM bensin adalah anak-anak pejabat, bahkan ada juga anak mantan Presiden. Moga-moga Bang Foke nggak peduli siapa pemilik POM bensin itu. Kumisnya yang hitam lebat dan aduhai itu bisa dimanfaatkan buat menantang mereka yang menghalang-halangi niat baik sang Gubernur. Inilah beberapa POM bensin yang berhasil dibongkar buat dikembalikan lagi ke fungsi semula sebagai RTH. Salut buat Bang Foke! Maju terus POM bensin! Lho kok POM bensin? Maksudnya, maju terus kebijakan alih fungsi menjadi RTH!


POM BENSIN DI JALAN MATARAM, KEBAYORAN BARU





POM BENSIN DI JALAN KWITANG, JAKARTA PUSAT (SAMPING TOKO BUKU GUNUNG AGUNG)






POM BENSIN DI JALAN SUDIRMAN (SAMPING ATMA JAYA/ PLAZA SEMANGGI)




all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Minggu, 22 November 2009

AN OLD MAN WITH ROLLER BLADE

Bagi mereka yang rajin berkunjung ke jalan Sudirman saat Car Free Day (CFD) pada hari Minggu, pasti akan menjumpai pria berusia lebih dari setengah baya yang menari-nari di tengah jalan. Ia bukan orang gokil yang berlenggak-lenggok tanpa sebab. Pria ini masih normal. Ia menari di jalan raya ini dalam rangka melatih oleh tubuhnya dengan menggenakan roller blade.

Dialah Pak Jos Soedarso. Pria yang akrab disapa Jos ini adalah pelatih roller blade yang cukup tersohor di antara para pemain roller blade di Indonesia ini. Kalo kebetulan nggak ada CFD, ia bisa melatih di beberapa tempat, termasuk di dekat rumahnya sekitar Kebayoran Lama.

Saat saya temui, pria kelahiran 16 Juni 1938 ini sedang menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya. Mulai dari tangan, kaki, juga kepala. Awalnya saya nggak tahu kalo Pak Jos ini menggunakan musik sebagai panduan gerakannya. Setelah saya perhatikan, ternyata di kupingnya ada dua ear piece yang kabelnya terhubung dengan sebuah i-Pod yang disembungikan di dalam sport training-nya.



Pak Jos yang saya temui melenggak-lenggok di jalan raya di Sudirman tiap kali Car Free Day (CFD) tiap Minggu.

Pak Jos sangat santun sekali. Ketika pertama kali saya jumpai, ia terlebih dahulu memberikan hormat dengan menempelkan kedua telapak tangan , menempelkan ke dada, dan kepalanya menuntuk. Persis kayak seorang Petapa yang memberi hormat pada sang Dewa. Setelah memberi hormat dengan cara seperti itu, Pak Jos langsung menjulurkan tangan buat bersalaman dengan saya.

Kalo dari sikap yang saya tangkap, Pak Jos senang sekali bercakap-cakap. Ia nggak segan-segan mengungkapkan kembali masa-masa dimana ia pertama kali diperkenalkan dengan roller blade. Ia mengakui, roller blade pertamanya didapat dengan cara membohongi orang Belanda.

Ketika itu, sekitar tahun 1946-an, Pak Jos ingin sekali memiliki roller blade. Kebetulan ia tinggal di dekat Manggarai, dimana di tahun-tahun itu masih banyak keluarga Belanda yang tinggal di situ. Setiap hari, ia melihat anak-anak Belanda main roller blade, sementara ia yang cuma warga kampung di Manggarai hanya bisa menikmati anak-anak bule main sepatu beroda itu. Namun dengan kecerdikannya, suatu hari Pak Jos membuat sebuah permainan yang terbuat dari biji karet.

“Biji karet dibolongi tengahnya kemudian dirangkai menjadi seperti tasbih,” kenang Pak Jos. “Biji karet itu bisa berputar-putar seperti baling-baling. Karena dianggap canggih oleh anak-anak Belanda, maka saya diminta untuk membuatkan. Padahal menurut saya nggak canggih-canggih amat. Tapi mereka tetap mengganggap permain saya itu menarik dan dimintai tolong untuk membuatkan. Saya bilang sama orangtua anak-anak Belanda itu. Saya mau membuatkan asal dibarter dengan roller blade. Walhasil, mereka setuju dan akhirnya saya mendapatkan roller blade pertama.”


Roller skate yang digunakan Pak Jos ini dibeli sejak tahun 1992 dari Amrik. Roller blade pertama, didapat gara-gara membohongi anak Belanda.

Saya belajar sendiri menggunakan roller blade sampai akhirnya saya mahir. Oh iya, roller blade yang diberikan oleh orangtua anak Belanda tadi itu adalah roller blade bekas. Jadi, kondisi ban-nya sudah ogleg atau bergoyang-goyang. Saking oglek, ban-nya menimbulkan percikan-percikan api.

Lagi-lagi Pak Jos berntung. Percikan-percikan apa yang keluar dari roda roller blade bekas yang dipakai Pak Jos dianggap oleh anak-anak Belanda canggih. Gara-gara ingin memiliki roller blade yang bisa menggeluarkan api itu, anak-anak Belanda menyuruh orangtua mereka agar mau menukarkan dengan sepada tersebut.



Akhir cerita, roller blade lama ditukar dengan roller blade baru. Pak Jos nggak pernah terpikirkan mendapatkan roller blade baru. Roller blade yang dikenakannya dibeli pada tahun 1992-an. Harganya masih 1.000 U$, dimana roller blade keren punya ini harus diimpor dari Amerika Serikat.

Di usianya yang sekarang mengginjak 71 tahun, ia tetap masih lincah menggerakkan tubuhnya di atas roller blade. Luar biasa bukan? Ia sempat bertanya pada saya soal musik kesukaan. Saya menjawab, apa saja termasuk klasik milik Beethoven, Mozart, atau Amadeus. Pak Jos pun tersenyum dan mengatakan kalo hampir semua musik bisa ditarikan dengan menggunakan roller blade, termasuk musik cha-cha maupun jazz. Sayang, saya nggak sempat tanya apakah musik trash metal bisa ditarikan juga?