Sebenarnya tak ada yang salah pembangunan dengan mengutamakan roda perekonomian. Namun kalo tidak diatur dan pemerintah daerah nggak konsisiten mengawasi pembangunan ini, maka menimbulkan dampak buruk. Setidaknya ini terjadi pada kawasan industri baru seperti Kelapa Gading dan Pantai Indah Kapuk. Master plan yang tidak teratur di kedua wilayah tersebut, mengakibatkan dampak bencana banjir yang meluas di Jakarta.
Itulah yang dikatakan oleh Program Director of Strategic Indonesia, Audy Wuisang (Warta Kota, 25/08). Tambah Andy, Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta ini telah hilang. Padahal dalam rancangan pertama 1965-1985, Jakarta sudah memiliki konsep RTH yang bagus, yakni green belt. RTH ini melingkari kota Jakarta. Namun sayang, dalam rancangan tahun 1985-2005, green belt hilang.
Hilangnya RTH disebabkan oleh prioritas pada pembangunan kawasan untuk menggerakkan roda perekonomian. Sayangnya, prioritas ini tidak mempertimbangkan masalah penanganan banjir dan pembuatan drainase di Jakarta, yang jelas-jelas merupakan kota yang terletak di dataran rendah dan dilewati oleh 13 sungai.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) lebih suka mengobrak-abrik Jakarta sebagai “hutan beton” daripada hutan tanaman. Selain itu, Pemprov juga tidak transparan menginformasikan mengenai tata kota. Padahal kalo Pemprov transparan, warga Jakarta jadi mengerti mengapa begini-mengapa begitu tata kotanya. Mengapa harus ditanami pohon? Mengapa kita perlu RTH? Serta mengapa-mengapa lainnya. Dengan transparansi serta pengetahuan warga soal tata kota, maka tidak ada bangunan-bangunan liar yang berdiri tanpa izin.
Sekadar informasi, data dari Dinas Pengawasan dan Penataan Bangunan (P2B) DKI Jakarta, sepanjang tahun 2008, terdapat 3.402 bangunan yang melanggar tata ruang. Gokilnya, pada tahun 2008, setiap hari rata-rata berdiri sembilan bangunan bermasalah.
Di kawasan Kelapa Gading dan Pantai Indah Kapuk juga banyak terdapat bangunan bermasalah, dimana tidak mengikuti rencana tata ruang. Sejatinya, rencana tata ruang kedua kawasan tersebut merupakan bagian dari kawasan 1.000 hektar sebagai kawasan hutan lindung dan daerah resapan air. Nyatanya, oleh warga setampat, developer, yang tentu saja diketahui oleh Pemprov diubah peruntukannya sebagai “hutan beton”. Jadi jangan heran kalo tiap hujan besar dan lama, pasti banjir.
Selain soal “hutan beton”, buruknya tata kota bisa juga terlihat dari pemukiman yang terdapat di sepanjang bantaran kali maupun di sepanjang rel kereta api. Oleh karena tidak ditata, maka terkesan kumuh. Perlu Anda ketahui, gara-gara prilaku warga di sepanjang kali banyak yang kurang disiplin, yakni dengan membuang sampah ke sungai, maka volume sampah yang terbawa oleh aliran sungai cukup banyak. Menurut catatan, sedikitnya ada 76.385 m3 sampah yang diangkut dari mesin penyaring sampah otomatis di 14 titik sungai yang melewati Jakarta.
Menurut Koordinator Operator Saringan Sampah dari PT Asiana Technologies Lestary, Dohar Marbun, yang penulis kutip dari Warta Kota (25/10/09), Kali Perintis di Jakarta Timur setiap bulannya rata-rata membawa 950 m3 sampah. Kali Cideng mengalirkan sampah 3.098 m3/ bulan. Last but not least, Kali Palmerah mengangkut sampah sebanyak 2.098 m3/ bulan.
Itu tadi baru ngomongin masalah kesemrawutan penataan di sepanjang sungai maupun sepanjang rel kereta api. Belum ditambah kesemrawutan di ruas jalan dipenuhi oleh para pedagang kaki lima. Mau siang, mau malam, trotoar yang seharusnya berfungsi sebagai jalan untuk para pejalan kaki, malah dimanfaatkan oleh para pedangan kaki lima. Tentu pemanfaatan ini diketahui oleh daerah setempat, dalam hal ini Walikota. Tapi mengapa para pedagang itu tetap bisa berdagang di trotoar atau ruas-ruas jalan? Silahkan Anda tebak sendiri. Yang pasti, situasi tersebut menambah klop Jakarta sebagai kota paling semerawut!
Tentu saya dan barangkali Anda masih berharap, Jakarta menjadi kota yang memiliki konsep tata ruang yang aduhai indahnya. Warna hijau yang belakangan ini di peta semakin hari berkurang, di masa mendatang kembali menghijau. Kawasan hutan lindung, daerah resapan air, dan tentu saja RTH bertumbuh di beberapa lokasi. Saya pikir, pertumbuhan ketiga indikator yang bisa menghijaukan Jakarta itu dari tanah-tanah “tak bertuan”, tanah-tanah sengketa, atau mengembalikan POM bensin sebagai RTH. Bukan tidak mungkin green belt yang kita semua impikan sebagai konsep rancangan Jakarta tahun 1965-1985 bisa terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar