Bak seorang selebritis yang sedang naik daun. Begitulah yang saya alami ketika pertama kali naik kereta api. Memang kalo sekadar naik kereta api, barangkali saya nggak akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Yang saya alami, naik kereta sambil membawa sebuah folding bike alias sepeda lipat alias seli.
Sebetulnya saya nggak sedang cari sensasi. Saya cuma ingin merasakan seperti mereka yang sehari-hari naik kereta api sambil membawa sepeda. Ternyata menyenangkan juga, apalagi kebetulan saya naik kereta api kelas ekonomi AC. Sekadar info, kereta api yang melayani Penumpang dari Jakarta-Bogor-Depok (Jabode) ada tiga jenis. Kereta Pakuan yang langsung melaju dari Kota menuju Bogor dan cuma berhenti di Gambir. Kemudian kereta api ekonomi non-AC yang berhenti tiap stasiun. Serta ekonomi AC yang juga berhenti di setiap stasiun, tapi menggunakan AC.
Ini bangku kereta api ekonomi AC yang empuk. Di atas bangku ini ada mesin AC plus kipas angin. Saat ini, jumlah kereta api ekonomi AC lebih banyak dari non-AC. Padahal dahulu kala, tiap 15 menit sekali muncul ekonomi non-AC. Kenapa? Soalnya ekonomi non-AC mau dialihkan ke AC. Makanya kalo pagi-pagi dan sore-sore, ekonomi AC penuh. Tapi tetap enak, karena dingin dan nggak diganggu oleh Pedagang asongan, Pengemis, dan Pengamen.
Perbedaan ekonomi non-AC dan ekonomi AC adalah keekslusifannya. Di kereta api ekonomi AC, kita nggak akan menjumpai Pengamen maupun Pedangan Asongan yang seringkali mengganggu Penumpang. Tukang-Tukang yang membawa barang dagangan seperti buah-buahan atau karung-karung berisi macam-macam, juga nggak akan kita jumpai.
Saya merasakan kenikmatan yang tiada tara ketika naik kereta api ekonomi AC ini. Selain dingin, bangku di ekonomi AC relatif agak lowong. Maklum, ketika saya naik, waktunya tepat. Orang-orang sudah ada di kantor. Kebetulan sewaktu mau coba kereta ini, hari masih pagi. Saya memanfaatkan waktu sebelum harus pergi ke 9 Clouds, dimana lokasi shooting hari ini. Shooting apa? Shooting program Malam Minggu-One yang tayang di tvOne.
Seli saya yang menjadi pusat perhatian di stasiun Cawang dan Bogor. Mungkin seli masih dianggap benda ruang angkasa kali ya?
Kerata api ekonomi AC memang relatif nyaman. Dalam satu gerbong, terdapat 4 mesin AC berkekuatan kurang lebih 1/5 pk, dimana satu mesinnya terdapat dua lubang udara yang tentu saja berfungsi buat mengeluarkan udara dingin dari arah kiri dan kanan. Selain mesin AC, ada delapan kipas angin yang ditempatkan di samping lubang udara AC tersebut. Fungsinya nggak lain nggak bukan menyebarkan udara dingin ke seluruh sudut gerbong. Nggak heran kipas angin itu membuat suhu di gerbong makin dingin aja. Mantabs nggak tuh?
Udara yang dingin membuat beberapa Penumpang membungkus tubuhnya dengan jaket. Saya yakin mereka adalah Penumpang yang sudah biasa naik kereta api ekonomi AC ini. Kalo tahu dari awal dinginnya kayak gitu, saya pasti akan menyiapkan diri membawa jaket, syal, sarung, dan selimut. Kok banyak amat? Kalo jeket masih nggak berhasil menghangatkan badan alias udara dingin mampu menembus jaket, maka dibutuhkan sarung. Kalo sarung pun doesn’t work, pakai selimut. Kebetulan selimut di rumah saya relatif tebal, yakni 1/5 sentimeter. Sayang seribu kali sayang, saya nggak tahu soal suhu dingin ini. Maklum newcommer alias pendatang baru. So, dengan kaos tipis berlengan panjang dan celana pendek (pakaian yang biasa saya kenakan kalo naik sepeda), saya terpaksa menahan hawa dingin. Barangkali yang nggak kedinginan adalah kepala dan mata saya. Maklum, saat naik kereta, saya tetap mengenakan helm sepeda dan kacamata hitam.
Ada sebagian orang yang memanfaatkan udara dingin buat peluk-pelukan. Saya yakin, mayoritas pasangan yang berpelukan itu bukan pasangan sah alias masih pacaran. Soalnya kalo sudah married biasanya malah justru malu peluk-pelukan. Aneh ya? Padahal sudah sah sebagai pasangan suami-istri. Nah, dunia memang terbalik. Yang sah malu, yang masih belum muhrim justru menampakan diri terang-terangan saling bemesraan. Seperti pasangan yang duduk di samping kiri, dimana saya duduk. Pasangan ini begitu hangat pelukannya. Mereka kayaknya nggak peduli di samping ada manusia seperti saya ini, atau di depannya ada pasangan suami-istri yang membawa seorang anak mereka, atau di samping pasangan suami-istri itu ada seorang ibu dan putrinya. Pokoknya pasangan yang berpelukan di samping saya hot banget.
Selama perjalanan, saya nampak menjadi pusat perhatian. Entah apa yang ada dalam otak mereka yang melihat saya. Barangkali saya dianggap mahkluk aneh dari Mars yang naik kereta pakai helm dan kacamata hitam, bawa sepeda lipat pula. Barangkali saya juga dianggap teroris, temannya Noordin M. Top, yang dicari-cari Mabes Polri. Maklum, penampilan saya cukup misterius. Bukankah si Pembom JW. Marriot dan Ritz-Carlton pada Jumat, 17 Juli 2009 lalu itu penampilannya misterius? Pake jas hitam, topi hitam, dan bawa ransel. Sedang saya juga aneh: pake helm sepeda, kacamata hitam, celana pendek krem, kaos putih berlengan panjang, dan sepatu kets hitam. Udah gitu selalu memfoto aktivitas yang ada di kereta api dengan camera pocekt digital pula. Aneh! Ah, enggak kok! Aneh! Enggak!
Selain penampilan, mereka yang memandangi saya juga pasti memperhatikan seli yang aya letakkan di depan saya. Mereka pasti masih asing dengan seli ini. Terus terang sampai saat ini saya belum menemukan sejarah seli, siapa penemu seli, dan orang yang pertama kali mengenalkan seli di Indonesia. Yang pasti, seli adalah sepeda yang sangat praktis, ekonomis, dan sedikit berkumis, eh enggak ding! Maksudnya praktis gitu, lho. Sebab, seli bisa naik kendaraan umum maupun pribadi tanpa menggunakan alat bantu, sebagaimana sepeda jenis lain yang nggak bisa dilipet. Kalo seli nggak perlu ditaro di kap mobil atau dibawa di bumper belakang mobil dengan bantuan besi pengait. Seli cukup dimasukkan di bagasi. Mau mobil sedan, kek atau mobil jenis MPV, kek, bisa. Pokoknya kayak slogan minuman yang katanya berenergi: BISA!
“Maaf tiket, Pak!”
Seorang Petugas tiket meminta saya tiket atau karcis kereta api. Maaf ya, kisah soal seli dipotong dulu, soalnya ada Petugas tiket. Saya perhatikan, ada tiga Petugas tiket yang ada di gerbong saya. Semua berseragam safari hitam, mirip kayak security zaman sekarang yang jarang lagi ada yang menggunakan seragam security ala tentara.
Sebagai Petugas tiket, mereka bertugas ya memeriksa tiket lahyau. Masa memeriksa gigi? Kalo memeriksa gigi nanti disangka dokter gigi. Nah, khusus kereta api ekonomi AC, tiketnya harus tertera angka 5.500. Itu artinya, harga sekali naik kereta Rp 5.500. Harga tiket kelas ekonomi AC dengan ekonomi non-AC memang beda. Kalo yang non-AC harganya Rp 2.000. Beda Rp 3.500. Jauh ya bedanya? Yaiyalah! Berani bayar kenyamanan, ya berani bayar harganya dong! Kalo saya mah harga segitu murah. Kebayang sehari-hari naik bus Mayasari Bakti dari Cawang-Pulogadung ongkos Rp 2.000. Nah, dengan Rp 5.500 saya bisa “piknik” ke Bogor dari Cawang. Nyaman dan dingin pula. Asoy geboy dong?!
Ini suasana di dalam gerbong kereta api ekonomi AC. Nampak terlihat lengan, kan? Suhunya pun dingin banget, cong! Kalo niat naik kereta jenis ini, siap-siap bawa handuk, eh maksudnya jaket atau selimut.
Menurut kabar, ada rencana menghapus trayek kereta api ekonomi non-AC. Semua penumpang yang biasa non-AC terpaksa naik ekonomi AC. Untung atau rugi? Tergantung! Sekali lagi, kalo ingin kenyamanan, ekonomi AC memang relatif mantabs. Memang sih terpaksa menambah dana ekstra 3.500 lagi dari ongkos sebelumnya, Tapi (sekali lagi) kita nggak bakal menjumpai para Pengemis, Peminta sumbangan masjid, Pengamen, Tukang koran, dan Tukang sayur, dan lain-lain, yang menurut saya cukup mengganggu. Mohon jangan salah mengerti, bukan saya nggak sosialis, bukan nggak punya kepekaan sosial, lho. Tapi saya pikir, bukan tempatnya mereka hilir mudik di dalam gerbong, deh. Bukankah kita berhak mendapatkan kenyamanan selagi dalam perjalanan? Kecuali Anda menikmati gangguan-gangguan itu, ya kayaknya Anda bisa protes pada PJKA, deh.
“Maaf, Ibu salah naik. Ini kerata AC. Tiket Ibu ini ekonomi non-AC,” jelas Petugas tiket.
“Jadi saya harus bagaimana Pak?” tanya Ibu itu yang kebetulan membawa seorang Putri.
“Nanti di halte berikut, Ibu turun saja,” perintah Petugas yang berabut cepak dan ada sedikit jerawat di pipinya.
Situasi tertukarnya Penumpang non-AC yang naik kereta api AC atau sebaliknya, memang seringkali terjadi. Ada yang memang nggak ngerti dengan perbedaan jenis kereta api. Tapi lebih banyak “Penumpang gelap”. Maksudnya bukan Penumpang yang berkulit hitam sehingga wajahnya jadi gelap, lho. Bukan pula Penumpang berpakaian serba hitam dan masuk ke dalam gerbong malam hari dalm kondisi mati listrik. Bukan, bukan Penumpang kayak gitu. Yang dimaksud “Penumpang gelap” adalah mereka yang nggak beli tiket, tapi mau naik kereta api. Atau Penumpang yang beli tiket non-AC, tapi pengen merasakan kenyamanan di kereta api AC. Biasa orang Indonesia! Seringkali ingin untung, tapi dengan cara-cara yang nggak baik.
Back to kisah seli yang sempat terpotong tadi. Masih mau tahu soal seli ini kan? Baiklah. Nah, seli itu ada dua jenis. Kalo seli yang berat terbuat dari besi. Kalo yang enteng, terbuat dari alumunium. Tingginya macam-macam. Ada yang 140 cm, ada pula yang sampai 190 cm. Ban seli pun ada beberapa jenis. Ada ukurannya 20”, ada yang cuma 16” kayak punya saya. Soal beban, meski seli terlihat mini, tapi bisa menampung beban sampai seberat 150 kg. Jadi, orang sege Ade Rei pun nggak masalah pake seli, meski pasti akan terlihat aneh. Yaiyalah! Badan segede gitu naik sepeda mini yang lebih mirip sepeda anak-anak. Tapi ya, terserah aja sih kalo tahan malu.
Kata orang, saya nggak kayak di kereta api, tapi di sebuah ruang tunggu. Padahal saya benar, lho, ada di dalam gerbong kereta api ekonomi AC. Lihat bangkunya, empuk. Tahu nggak, dengan penampilan kayak gini, saya menjadi pusat perhatian ala selebritis. Disangka teroris kali ya?
Harga seli bermacam-macam. Ada yang cuma seharga Rp 1 juta. Ada yang seharga Rp 2,8 juta. Kalo nggak salah, bulan Mei 2009 lalu, komunitas Bike 2 Work (BTW) bekerjasama perusahaan Rodalink mengeluarkan sepeda asli Indonesia. Harganya Rp 2,880.000. Mahal? Tergantung! Kalo mau cari seli second, Anda bisa ubek-ubek di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan. Barangkali di situ menemukan seli second yang body dan bannya masih yahud dan tentu saja harganya sesuai dengan kantong Anda. Tapi pengalaman saya, harga di Pasar Rumput dan di toko sepeda nggak jauh-jauh amat, deh. Bahkan sepeda saya yang MTB harganya lebih mahal sedikit di Pasar Rumput dibanding di Ace Hardware! Saya sarankan, better kalo mau beli seli second buka website BTW. Klik aja feature forum yang ada di website itu, pasti Anda akan menemukan orang-orang yang menjual seli. Kalo lagi nggak ada, ya lemparkan pertanyaan soal keinginan Anda memiliki seli.
Soal seli yang masih asing, memang betul. Sebelum naik kereta, orang-orang melihat ketika saya melipat seli. Lho kok dilipat? Bukankah seli itu sudah kecil? Lagipula Penumpang di ekonomi AC kan nggak penuh? Iya, soalnya saya tahu diri. Itu memang sifat saya. Meski ada orang yang berani baik seli tanpa dilipat, saya tetap nggak enak hati. Kalo nggak menyusahkan orang lain bukankah lebih baik?
Menurut Penumpang yang sempat saya ajak ngobrol, banyak Pengguna sepeda yang biasa menaikkan sepeda ke kereta non-AC tanpa harus melipat. Bahkan tanpa peduli bukan cuma Pemilik seli yang nggak melipat, Pemilik sepeda MTB yang rodanya berdiameter 26” pun cuek bebek.
“Kita sesama Pengguna KRL sudah biasa, kok,” kata Pak Marijan, Pegawai Patra Jasa yang sahari-hari menggunakan KRL non-AC ini. “Kita sudah sama-sama maklum. Ini juga kita lakukan terhadap Tukang-Tukang jualan yang kadangkala barang-barangnya gede-gede.”
Finally, seli saya berhasil menginjakkan kaki di tanah Bogor. Rasanya saya kayak Neil Amstrong yang mendarat di bulan ketika pertama kali turun dari kereta ekonomi AC.
Begitulah orang Indonesia, selalu penuh pemakluman. Nggak peduli menyusahkan orang atau enggak, sing penting bisa naik dan sampai ke tempat tujuan. Padahal saya yakin-seyakin-yakinnya nggak semua orang memaklumi. Pasti ada banyak juga yang nggak berani bilang kalo mereka yang membawa sepeda MTB atau seli yang nggak dilipat atau Tukang-Tukang yang membawa barang-barang segede gajah itu mengambil space di dalam gerbong kereta api itu. Sebagai Konsumen KRL, orang yang nggak suka dengan Pengguna yang nggak tahu diri itu tetap punya hak protes. Emang KRL ini punya Nenek Moyang loe?! Saya sarankan, mereka yang membawa sepeda, naik di ekonomi AC. Terserah kalo nggak mau dilipat selinya atau membawa MTB. Soalnya ekonomi AC nggak terlalu padat sebagaimana non-AC.
Kisah percintaan saya dengan kereta api ekonomi AC ini membuat ketagihan. Saya jadi pengen lagi melakukan pengalaman itu lagi. Namun, saya kudu tahu jadwal keberangkatannya. Kenapa? Ketika pertama kali naik, saya nggak tahu kalo kereta api yang AC itu nggak kayak non-AC jadwal keberangkatannya. Kalo ekonomi non-AC hampir 15 menit sekali ada. Pakuan juga begitu. Tapi Pakuan kan nggak bisa distop. Nah, ketika saya naik dari Cawang, ekononi AC baru hadir pukul 10:20 wib. Saya sempat menungu lebih kurang 1 jam lebih dikit. Saya nggak tahu apakah sebelum pukul 10:20 wib ada jadwal keberangkatannya. I don’t know. Maaf, saya nggak sempat tanya petugas tiket. Untuk jadwal keberangkatan dari Bogor, kebetulan saya nggak perlu nunggu lama. Tepat pukul 13:30 wib, kereta api AC take off, eh maksudnya berangkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar