Tiga bocah itu nampak riang memainkan layang-layang. Di atas tumpukan puing-puing, mereka menarik dan mengulurkan benang gelasan agar layang-layang yang berada di langit bisa tetap melayang. Sementara di sekeliling lokasi tempat berada puing-puing itu, nampak keramaian kendaraan bermotor dan orang-orang lalu lalang. Mereka nggak peduli dengan lokasi tempat bermain tiga bocah dan memang nggak ada kewajiban buat dipedulikan.
Tiga bocah itu berada di atas puing-puing bekas bioskop Rivoli. Benar saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air! Bioskop Rivoli kini udah nggak berwujud lagi. Bioskop yang dahulu kala sekitar tahun 60-an sempat menjadi bioskop bergengsi di tanah air udah diruntuhkan dan kini rata dengan tanah.
Bioskop Rivoli terletak di jalan Kramat Raya. Lokasi bioskop yang didirikan tahun 1950-an ini berbatasan dengan jalan Pal Putih, Kelurahan Kramat, dan Kecamatan Senen. Menurut data, pemilik bioskop ini bernama Hj. Zuleha. Namanya Rivoli kabarnya berasal dari kepanjangan Revolusi Nasional.
Entah apa yang membuat Hj. Zuleha mendirikan bioskop yang segmented ini. Barangkali gara-gara tahun 50-an, komunitas orang India begitu banyak dibanding etnis Cina. Menurut Ilham Bintang yang gw ambil dari buku Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar karya Salim Said (Pustaka Sinar Harapan, 1991), pada tahun 60-an yang menjadi “tuan rumah” adalah film-film dari India dan negara-negara sosialis. Namun, hal tersebut wajar. Eropa Barat saja didominasi oleh film-film Amerika alisa Hollywood.
Oleh karena film India menjadi “tuan rumah”, Rivoli menjadi bioskop number one. Betapa tidak, film-film India baru, secara eksklusif diputar di bioskop ini. Pribumi yang maniak film Bollywood dan tergila-gila oleh penampilan bintang Hema Malini, Amitabh Bachchan, Anil Kapoor, Karishma Kapoor, Shahrukh Khan, Kajol, dll nggak mungkin nggak nonton di Rivoli. Nggak heran, Rivoli nggak cuma jadi venue buat etnis India, tapi juga pribumi, khususnya warga Betawi.
Rivoli before dibongkar. Pada tahun 1936, Jakarta baru punya 15 gedung bioskop. Tahun 1970, Jakarta udah punya 53 bioskop. Dari 53 bioskop, salah satunya Rivoli.
Seiring munculnya televisi swasta, Rivoli mulai turun kelas. Dari bioskop elit, jadi bioskop kelas dua. Ini menginjak di dekade 90-an. Meski begitu, warga pribumi kelas dua tetap setia nonton film yang ada bintang pujaan hati mereka di bioskop Rivoli. Hebatnya, mereka ini nggak cuma sebulan sekali nonton, tapi bisa berkali-kali keluar masuk bioskop. Biasanya penonton yang gemar ke Rivoli dari segmentasi anak-anak muda yang berstrata sosial menengah bawah. Padahal saat itu ada saingan bioskop Rivoli, yakni Rialto Senen (sekarang udah menjadi Gedung Kesenian Wayang Orang Bharata) dan Grand Teater yang nggak jauh dari situ.
Why does Rivoli still number one than those Theatre?
Ternyata Rivoli jadi tempat pacaran yang paling asyik. Maklumlah, harga tiket masuk (HTM) relatif murah. Dengan kondisi kursi yang kulit yang lumayan empuk dan remang-remang, jelas akan mempermudah pasangan buat melakukan aksi berpacaran. Terakhir yang gw denger, banyak wanita-wanita muda di situ yang bisa diajak nonton on the spot. Tinggal kenalan sebentar, suka sama suka, bayarin nonton, dan pacaran deh di dalam gedung bisokop. Lumayan kan dua jam bisa pegang-pegangan tangan, pelukan, dan bahkan pake adegan ciuman segala. Lho kok dua jam? Yaiyalah! Tahu dong film India durasinya lama, cong!
Puing-puing bekas tembok Rivoli. Sekarang dijadikan arena anak-anak main layangan.
Bioskop Rivoli makin miris nasibnya. Setelah digempur oleh kehadiran stasiun televisi swasta, Rivoli juga terdesak dengan maraknya usaha bioskop milik konglomerat Sudwikatmono dan Benny Sutrisno yang mengembangkan Cineplex 21. Ketika Cineplex 21 bisa memutar 4-5 jenis film berbeda dalam satu hari, Rivoli cuma mampu memutar dua jenis film. Itu pun tetap film India yang sebenarnya di tahun 90-an udah bisa dinikmati di satsiun televisi TPI, SCTV, dan RCTI.
Terjadi pemindahan kepemilikan. Belakangan diketahui nama Pemiliknya adalah Sachlani Hasbullah. Menurut Hasbullah, sebagaimana gw kutip dari majalan Tempo no 43/III 29 Desember 1973, demi eksistensi bioskop dia sih nggak masalah dengan memutar film Indonesia. Tapi beliau takut diboikot.
"Kami terpaksa ber-dang-dang-dut, karena tidak bisa memutar film nasional", kata Hasbullah. Kalo Rivoli memutar film Indonesia, bioskop lain akan memboikot film tersebut. Caranya? Dengan tidak mau memutarkan film Indonesia di gedung bioskop. Kalo film-film Indonesia nggak mau diputar, ya otomatis film nggak laku. Nggak heran kalo Produser enggan membawa copy film ke Rivoli.
Puing-puing Rivoli dilihat dari jembatan busway.
Menurut Johan Tjasmadi yang waktu itu Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), keterangan Hasbullah di atas tadi itu nggak 100% benar. Bioskop Rivoli kebetulan memang nggak termasuk salah satu grup yang mengurus soal booking dan show. Selain itu, Rivoli juga udah cukup karena mengkhususkan diri dalam film India. Enggak bisanya Rivoli memutar film nasional, itu lebih karena sebagai taktik pemasaran.
Demi eksistensi bioskop, berbagai upaya dilakukan. Namun Pemilik bioskop tetap pusing tujuh keliling, karena di ujung tahun 90-an, Rivoli nyaris nggak ada penontonnya. Nggak heran kalo bioskop ini kemudian dibiarkan kosong. Konon agar bisa menutupi biaya operasional Petugas gedung, Pemilik menyewakan ke sebuah usaha penerbitanan. Sayang, usaha ini bangkrut. Lalu halaman parkir bioskop dimanfaatkan sebagai lahan parkir, dimana di situ juga ada warung makan dan toko kecil.
Namun di tahun 2009, Rivoli cuma tinggal kenangan. Bioskop ini udah dibongkar. Sebagai warga Betawi yang dahulu kala sempat merasakan bangku bioskop di Rivoli, terus terang gw sedih. Kabarnya, di lahan seluas lebih kurang seribu meter persegi ini akan dibangun sebuah hotel. Entah benar atau enggak, satu hal yang pasti, nanti gw nggak akan bisa cerita lagi ke anak dan cucu gw tentang Rivoli.
“Cucuku tersayang, dulu di situ ada bioskop. Namanya bioskop Rivoli,” kira-kira begitu kalo gw bercerita pada cucu gw.
“So what gitu, Akung?”
“Akung cuma mau sharing aja, kok. Soalnya dulu gara-gara nonton di situ, Akung jadi ngefans banget sama Amitabh Bachchan...”
“Amit-amit! Itu siapa Akung? Makhluk apaan tuh?”
“Dia itu bintang film India...”
“Waduh! Kok Akung jadul banget sih? Nggak gaul! Masa di era BlackBerry kayak begini masih doyan bintang India? Ngefans sama si Amit-Amit...hmm..siapa Akung?”
“Amitabh Bachchan!”
“Ya, itu! Amit-amit banget sih?!”
“Habis Akung harus ngefans sama siapa dong?”
“Siapa siapa kek....ngefans sama Ucok Aka kek! Deddy Stanzah kek! Atau Nike Ardilla...”
“Lho, kok kamu kenal sama Ucok Aka? Kenal sama Dedy Stanzah? Nike Ardilla? Memangnya kamu ini kelahiran tahun berapa sih?”
“Masa Akung nggak inget? Saya kan kelahiran tahun 1955!”
“O Pantes! Kalo kamu lahir tahun 1955, jadi Akung umurnya berapa dong sekarang?”
“150 tahun!”
“Innalillahi Wainna Ilahi Rooji’un!!! Tua banget ya gw ini?!”
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar