Senin, 23 November 2009

MINDER TAPI CUEK

Tak terasa, sepeda pertama saya umurnya sudah 2 tahun. Saya lupa kapan tanggal dan bulan tepatnya, tetapi sepeda berwarna putih belang merah ini saya beli tahun 2007, di salah satu toko di Pasar Rumput, Manggarai.

Entah apa yang mendorong saya akhirnya mau memilih sepeda bermerek Wim Cycle ini. Kata orang, mereka ini cuma dikonsumsi oleh anak-anak kecil, sedang saya? Saya bukan anak kecil lagi, bukan pula remaja, tetapi seorang Ayah dengan dua putri yang cantik jelita. Lho kenapa pilih Wim Cycle? Saya sendiri heran.

Ada tiga alasan yang mungkin akhirnya saya membeli sepeda Wim Cycle ini. Pertama saya memang sudah nafsu ingin membeli sepeda. Ketika di rumah saya sudah ada dua sepeda baru buat dua anak kami, saya belum punya sepeda. Itulah mengapa saya merayu istri agar dibelikan sepeda. Lho kok merayu istri? Emangnya saya nggak punya duit? Punya lah lau!

Dalam rumah tangga kami, tiap membeli barang sekunder apalagi tertier yang relatif mahal, di atas dua juta, harus didiskusikan dulu. Sebab, siapa tahu ada kebutuhan mendesak, dimana uang yang seharusnya bisa dipergunakan buat kebutuhan primer, nggak dipakai buat kebutuhan sekunder atau tertier itu tadi. Nah, sepeda termasuk kebutuhan sekunder. Artinya, nggak primer, nggak tertier. Ada di tengah-tengah.



Setelah berdiskusi panjang kali lebar kali tinggi, saya dan istri pun berangkat hunting sepeda ke Pasar Rumput. Saya pun “dijebloskan” ke salah satu toko di Pasar Rumput yang kelak menjadi toko yang sepedanya kami beli. Pemilihan toko ini, karena istri saya sempat membeli dua sepeda baru di toko ini. Berharap dengan membeli lagi satu sepeda di toko ini, kami dapat diskon. Maklum jeng, perempuan memang begitu, ya nggak? Apa-apa pasti mencari diskon, potongan harga, korting, pokoknya yang bisa menghemat duit belanjaan. Sayang kan kalo uangnya, meski akhirnya yang dipergunakan uang suami. Kalo bisa irit, kenapa harus boros?

Jadi inti alasan saya membeli sepeda yang pertama, ya itu tadi, faktor yang kayak-kayaknya mendesak buat punya sepeda. Juga faktor syirik gara-gara dua anak saya dibelikan sepeda baru, saya yang doyan sepeda nggak punya sepeda. Masa mau naik sepeda atau ikut car free day pakai sepeda roda tiga sih, nek? Nanti saya disangka orang gila atau Bapak-Bapak nggak tahu, karena sepeda anaknya diembat juga.

Alasan kedua, promosi si Mbak yang ada di toko di Pasar Rumput, Manggarai itu begitu menyentuh kalbu. Entah pakai ilmu seni merayu konsumen karangan siapa dan penerbit apa yang membuat si Mbak jago banget. Saya sampai takjub dan nggak bisa memilih sepeda lain, selain sepeda yang dipilih si Mbak.

“Warnanya keren banget nih Pak,” ujar Mbak penjaga toko berpromosi. “Jarang lho ada sepeda yang warnanya merah belang putih.”

Bener juga sih, jarang ada merah belang putih. Yang sering terjadi, putih belang hitam. Ada juga hitam muda belang hitam tua. Juga ada putih belang kelabu. Kalo putih belang merah? Rasanya memang jarang. Saya memang dibuat bingung dengan soal belang-belang ini. Padahal kalo otak saya normal, masalah belang putih dan merah, pasti relatif banyak. Yang nggak ada, yang saya pikirkan soal belang yang nggak ada itu di dalam dunia perbinatangan. Kalo dalam dunia binatang, ya memang nggak ada putih belang merah. Itulah yang saya bingung, luar bisa sekali si Mbak bisa menghipnotis saya.

Akhirnya saya pun membeli sepeda putih belang merah ini. Kayak anak kecil, saya heppy banget dapat sepeda baru dan langsung mencoba menggoes sepeda baru saya ini dari Pasar Rumput, Manggarai ke Cempaka Putih Barat. Memang sih nggak jauh, tetapi pada saat itu matahari sedang ceria alias memancarkan sinarnya dengan terik. Maklum, jam menunjukan pukul 1 siang.

Kisah dua tahun lalu sudah berlalu. Kini saya rasanya ingin mengganti sepeda putih belang merah ini. Bukan karena sepeda saya rusak, sehingga nggak bisa dipergunakan lagi. Oh, bukan. Bukan pula, karena sepeda saya out of date alias sudah dianggap udzur. Kayaknya nggak juga. MTB yang modelnya seperti sepeda saya kayaknya masih berkeliaran di jalan.

Jadi apa dong?

Kemarin di saat car free day (CFD), saya dibuat minder oleh empat orang penggoes yang membawa sepeda muahal. Kenapa saya tulis kata “mahal” menjadi “muahal”? Sebab, sepeda yang saya ceritakan di sini benar-benar mahal. Saya bisa mereka-reka, harganya pasti di atas 20 jutaan, karena saya sempat lihat di pameran di Jakarta Fair, sepeda dengan jenis MTB yang saya bilang muahal itu harganya segitu, bahkan ada yang mencapai 30 jutaan.



Keminderan saya terjadi saat saya berhenti untuk makan bubur kacang hijau, yang jualannya di pinggir jalan Sudirman. Sepeda saya parkirkan di pinggir tukang bubur kacang hijau. Belum lama saya menikmati bubur kacang hijau, datang segerombolan penggoes. Rupanya mereka juga ingin membeli bubur kacang hijau. Kalo sekadar membeli bubur mah, it’s ok, tetapi yang bikin saya minder, sepeda-sepeda yang mereka gunakan harganya “muahal”. Entah sengaja atau tidak, sepeda-sepeda mereka yang “muahal” itu diparkirkan di samping sepeda saya. Walah, makin minder saja saya.

Saya yakin, mereka nggak bermaksud menggoda saya agar berniat mengganti sepeda seperti sepeda mereka yang harganya puluhan juta itu. Mereka pasti melakukan itu tanpa sadar, maksudnya meletakkan sepeda mereka persis dekat sepeda saya. Barangkali saya aja yang punya jiwa sensitif.

Alhamdulillah, setelah menghabiskan bubur kacang hijau, rasa minder saya hilang. Ibarat kata, bubur kacang ijo membangkitkan semangat saya agar jangan rendah diri. Ngapain juga minder wong kita nggak mencuri, kok? Uang saya hasilkan selama ini pun didapat dari pekerjaan halal, kok, kecuali saya Koruptor.

Jadi saya memutuskan pada diri saya sendiri agar tidak perlu minder, tetapi cuek aja. Saya menetapkan diri dalam waktu dekat nggak perlu beli sepeda baru. Meski sepeda saya cuma Wim Cylcle yang harganya murah meriah, yang penting frekuensi nggegoesnya banyak. Maksudnya, saya menjadikan sepeda benar-benar sebagai alat transportasi, bukan cuma gaya-gayaan. Buat saya sayang aja beli sepeda mahal-mahal kalo dipakainya seminggu sekali. Alasan ini sih sebetulnya cuma buat memotivasi diri saya agar nggak minder aja. Selebihnya, saya pasti akan punya sepeda seperti mereka yang mahal itu. Tunggu saja waktunya!

2 komentar:

  1. gud om.. sama kayak saya..
    ceritanya sungguh menginspirasi..
    eh kemaren saya beli baju sepedanya di http://tokobajusepeda.blogspot.com lumayan lengkap dan murah2 lho om.. top deh buat ceritanya.. hehehee

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih atas pujiannya. alhamdulillah kalo cerita saya menginspirasi.

      Teman2, tuh kalo ada yg perlu baju sepeda silahkan mampir ke tokobajusepeda.blogspot.com.

      Hapus