Minggu, 15 November 2009

IT MIGHT BE HARD LIFE, BUT IT WAS GREAT EXPERIENCES

Sebut saja dia Zaldo. Usianya kira-kira 50 tahunan. Kulitnya hitam dan nampak sedikit kusam. Kalo kita perhatikan, warna kulitnya yang hitam, bukanlah warna kulit asli sejak dia lahir. Namun itu adalah hasil sebuah tempaan masa lalu di jalanan. Yap! Dia memang sempat hidup bertahun-tahun di terminal Blok M sebagai seorang Preman.

Nasib memaksa dirinya hidup seperti ini. Mengutip seperak dua perak dari setiap bus yang masuk ke terminal Blok M, Jakarta Selatan. Semua orang pasti akan mengecap dirinya hina. Bukan hanya Kondektur bus yang merasakan sebuah bentuk “ganguan” dengan kehadiran Zaldo itu, namun pastilah keluarga besarnya akan mencibir profesi yang dilakukannya.

Apakah Zaldo menginginkan pekerjaan sebagai Preman terminal Blok M?

“Nggak ada satu orang pun yang tertarik menjadi Preman,” papar Zaldo, putra kelahiran Padang, Sumatera Barat ini. “Saat itu gw terpaksa melakukannya”.

Kata “terpaksa” boleh jadi akhirnya menjadi bentuk lain dari “melegalisasikan” aktivitas Zaldo yang mulai dilakukan sejak tahun 1988. Saat itu terminal Blok M nggak seperti sekarang ini yang “modern”, dimana kalo ingin berganti bus harus masuk lewat alley atau terowongan bawah tanah. Zaldo yang nggak punya sanak saudara di Jakarta, terpaksa hidup tanpa tempat tinggal. Kala itu, terminal Blok M lah yang menjadi incaran pertama sebagai tempat tinggal.


Katanya, meski jadi Preman Blok M, namun seumur-umur belum pernah mencopet atau mencuri barang orang lain. Ketika masih menguasai terminal Blok M, justru dia membenci Pencopet. Selain Pencopet, dia dan teman-temannya akan mengusir orang-orang dari luar Blok M yang mabuk di wilayah terminal maupun di dalam bus.

“Gw makan, tidur, berak di terminal itu (maksudnya Blok M),” jelas pria yang saat ini bekerja sebagai Unit Superviser di salah satu televisi swasta nasional. “Modal gw cuma baju tiga stel yang ditaro di belakang WC umum tempat gw biasa mandi dan berak. Kalo tidurnya mah gw sembarangan aja. Kadang di halte, kadang di lantai. Pokoknya suka-suka gw”.

Buat sekadar makan dan minum, Zaldo terpaksa menjadi Preman di terminal Blok M. Di terminal yang terdapat ratusan bus ini, dia mengutip Rp 50,- setiap bus yang masuk ke terminal. Kala itu tahun 1988, ongkos bus masih Rp 200. Coba bayangkan kalo bus yang dikutip ada sekitar 100 bus per hari, maka dalam sehari dia mendapat duit Rp 5.000. Angka ini masih harus dibagi dua, karena dalam menjalankan profesinya sebagai Preman, dia dibantu seorang rekannya. Surat namanya.

Bersama Surat, Zaldo begitu kompak. Ketika bus masuk ke terminal, salah satu dari mereka naik ke atas bus. Misalnya Zaldo yang naik ke bus, Surat yang nggak naik dan menunggu di bawah. Di atas bus, Zaldo akan minta duit ke Kondektur. Kalo Kondektur nggak mau ngasih, maka tugas Surat yang akan menggeretak Kondektur. Hal tersebut akan dilakukan Zaldo kalo kebetulan Surat ada di atas bus, sementara Kondektur nggak mau ngasih duit.

Terkadang, sebelum diberikan duit, Kondektur akan minta tolong Zaldo atau Surat buat mengusir orang mabuk yang nggak mau turun di atas bus. Atau orang-orang rese yang memang menyusahkan Kondektur atau Supir bus buat mengusirnya ketika udah sampai di terminal.

“Waktu itu memang nggak ada Preman yang mengutip di terminal. Preman sih banyak, tapi yang di terminal cuma gw sama Surat”.

Menurut Zaldo, Preman di kawasan terminal Blok M itu udah terbagi-bagi di beberapa wilayah. Ada yang di wilayah buah-buahan. Ada yang beroperasi di wilayah Pedagang pakaian. Ada pula yang menjadi Preman di blok khusus Pedagang tas dan sepatu. Pokoknya konsentrasi wilayahnya terpecah-pecah. Mereka satu sama lain nggak saling berebut wilayah. Apalagi masing-masing wilayah itu udah berdasarkan suku. Mulai dari suku Jawa yang diwakili oleh orang-orang Surabaya dan Malang, maupun Medan yang terdiri dari Batak Medan, Padang, Palembang, dan Jawa Deli.

Kalo dipikir-pikir, pemasukan Rp 5.000 per hari di tahun 80-an, sangat bernilai. Ingat! Saat itu 1 US$ masih di kisaran Rp 1.600 dan harga minyak per berel US$ 16. Tepatnya pada tahun 1988, 1 US$ Rp 1.686; tahun 1989 (Rp 1.763); tahun 1990 (Rp 1.836); tahun 1991 (Rp 1.941); dan tahun 1992 (Rp 1.994). Namun buat Zaldo, hidup bukan buat masa depan, tapi cuma buat hari esok. Maksudnya, dia dan rekannya nggak mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya buat ditabung. Targetnya cuma sampai Rp 2.500 per hari. Setelah itu buat makan dan...

“Minum!”

Yang dimaksud minum di sini bukan minum air putih sehabis makan atau minum teh manis hangat. Minum di sini adalah menenggak minuman keras. Biasalah, katanya Preman kalo nggak minum nggak afdol kepremanannya. Ini juga berlaku buat tato. Mayoritas orang nggak akan mengakui seorang itu Preman atau bukan kalo di anggota tubuhnya nggak ada tato.


Pernah menjadi Tukang Obat di sekitar terminal Blok M. Diakui olehnya, mayoritas Pedagang Obat di situ membohongi orang-orang. "Tapi orang bodoh," katanya. "Kalo orang pintar mau mau dibohongi dan kemudian membeli obat". Salah satu obat yang pernah dijual, obat sakit gigi. Padahal bukan obat, tapi cuka yang ditaro di sebuah botol kecil. Cuka itu dites di gigi Penderita sakit gigi dengan mengunakan pingset dan kapas yang udah digulung dan dikasih cuka. Kapas itu diletakkan ke gigi, setelah itu ditaro di sebuah piring kecil. "Gw bilang, sakit gigi ini gara-gara ada cacingnya," kata Zaldo. Padahal cacingnya udah ada di piring kecil itu. Cacingnya diambil dari terong.


Sejak resign jadi Preman, Zaldo beralih profesi, yakni jadi Kantau. Saya nggak menemukan kata yang cocok buat menggantikan posisi kata Kantau ini. Namun lebih baik kita sebut saja sebagai Perantara. Kenapa Perantara? Sebab, tugas Kantau adalah menjadi Perantara antara Konsumen dengan Pedagang. Barangkali mirip kayak Sales. Tapi Sales di sini nggak digaji. Dapat duitnya dari fee yang didapat dari pembelian si Konsumen.

Kantau akan langsung melayani Konsumen ketika si Konsumen tertarik dengan produk yang mau dibeli. Semisal Komsumen hendak membeli sepatu. Kantau akan mencarikan nomor sepatu yang dibutuhkan Konsumen. Ketika Konsumen menawar, Kantau akan menyebutkan angka-angka sampai minimal keuntungan yang bakal didapat. Lho si Pedagang aslinya kemana? Ada di situ. Namun yang getol melayani atau merayu Konsumen, ya Kantau itu.

Bagaimana pembagian hasil antara Kantau dan Pedagang?

Kalo sepatu terjual Rp 100.000 dan ongkos produksinya Rp 50.000, maka 50%-nya buat Pedagang. Jadi Rp 50.000 diberikan langsung ke Pedagang agar ongkos produksi udah terbayar. Sisanya dibagi lagi, yakni 25% buat keuntungan (Rp 25.000) dan 25% buat Kantau (Rp 25.000). Kalo kebetulan Kantau-nya ada dua orang, ya dari Rp 25.000 harus dibagi lagi menjadi dua.

“Seorang Kantau harus tahu setiap harga barang yang akan ditawarkan ke Konsumen,” jelas Zaldo. “Kalo nggak tahu bisa berbahaya! Kita nggak bisa dapat untung, karena nggak tahu ongkos produksi produk itu berapa dan berapa fee yang akan kita dapat”.

Ada Kantau tipe lain (gw sebut Kantau tipe B), yang melakukan kebohongan pada orang lain. Tugas Kantau tipe ini lebih menjadi seorang Provokator yang menggerjain Konsumen. Konsumen yang dikerjain Kantau ini disebut Ornak (bacanya Orna tanpa huruf “k”). Gara-gara eksistensi Kantau tipe B, Konsumen bisa langsung membeli tanpa berpikir kalo mereka sedang dibohongi.


Ketika di terminal, dia mengutip duit dari Kondektur. Ketika sempat jadi Kondektur, giliran dia yang dipalakin Preman. Nggak cuma jadi Kondektur, dia juga sempat jadi Timer legal. Dia ngaku lebih sering berantem semasa jadi Preman di Blok M. Untungnya nggak sempat membuatnya tewas.


Modus Kantau tipe B sangat terkonsep. Ornak nggak sadar kalo dia terjebak dan dikelilingi oleh para Kantau. Sebagai contoh Pedagang jam tangan. Pedagang jam mempromosikan jam tangan yang seolah terbuat dari emas, padahal emas palsu. Si Pedagang berteriak-teriak tentang kehebatan jam tangan tersebut. Setelah membeberkan kehebatan jam tangan, dia langsung menawarkan ke Konsumen secara rendom.

“Saya jual dengan harga seratus ribu, Bapak mau,” kata Zaldo menirukan gaya bahasa pada saat menawarkan jam tangan ke Konsumen.

Tawaran buat membeli dari si Pedagang bisa direspon Konsumen secara positif, bisa pula enggak. Nah, tugas Kantau tipe B menjadi Provokator. Kantau ini memprovokasi Konsumen agar membeli. Kantau akan mengeluarkan statement kalo nggak beli produk itu bakal rugi. Bahkan Kantau sok-sokan mengeluarkan duitnya buat memancing supaya terlihat adanya transaksi. Padahal duitnya yang dikeluarkan Kantau adalah duit pribadi milik si Pedagang. Sekali lagi, Konsumen nggak tahu Kantau ini bekerjasama dengan Pedagang atau nggak. Faktor suksesnya akan tercatat kalo hasil provokasinya berhasil memakan korban. Korban-karban ini disebut Ornak.

Lalu bagaimana pembagian feenya?

Nggak kayak Kantau, fee jadi Kantau tipe B tergantung dari Pedagang. Nggak ada tarif persentasi-persentase-an. Si Pedagang akan menghitung berapa jumlah Kantau yang kompak memprovokasikan Ornak membeli sebuah produk. Kalo ada enam Kantau, dari keuntungan Rp 100.000 ya dibagi empat (masing-masing Rp 25.000). Oh iya, biasanya Kantau ini terjadi di dagangan yang produknya terbuat dari emas palsu, kayak jam tangan. Pernah tahu dong ada jam tangan merek terkenal (Rolex salah satunya), tapi bisa beli di Blok M dengan harga Rp 200.000?

“Coba kau beli arang” kata Zaldo menirukan rekannya yang udah lama menjadi Pedagang di seputar terminal Blok M. Yap! Pedagang juga menjadi profesi lain si Zaldo ini. Salah satunya, ya pedagang arang tumbuk ini.

Arang kemudian dihancurkan dan ditumbuk sampai halus. Selain Arang, Zaldo juga diminta buat mengumpulkan batere bekas dan batere baru. Batere baru itu digosok-gosok agar terlihat seolah batere bekas. Awalnya terus terang gw nggak tahu Arang dan batere itu mau dibuat apa. Tapi you know what? Kedua barang itu digunakan buat membohongi Konsumen!!! Arang yang udah dihasuluskan itu digunakan seolah sebagai isi batere. Pernah lihat dong isi batere itu mirip arang?

Ketika menjalankan aksinya, Zaldo mempraktekan dengan cara membolongi lubang kecil di bawah batere baru. Melubanginya menggunakan jarum semacam suntikan. Isi batere yang mirip arang itu dikeluarkan dan kemudian diisi arang. Ketika dites dengan menggunakan listrik dan bohlam, batere itu seolah berfungsi.

“Lihat kan! Batere yang lama ini berfungsi! Bohlam jadi menyala,” kata Zaldo mengulangi kata-kata mirip kala waktu itu menjadi penjual isi batere. “Nah, isi batere ini sangat membantu batere anda jika batere udah mulai soak”.

Lain soal kalo yang diuji coba adalah batere bekas. Maka lampu bohlam nggak akan menyala, karena memang baterenya udah lama. Bubuk batere palsu yang terbuat dari arang itu dijual per 3 kantong. Pada tahun 80-an, dijual sekitar tigaribuan.

Nggak ada yang pernah protes?

“Kalo protes, alasan kita sederhana: pasti batere Bapak memang bocor!”

Itu adalah bagian masa lalu yang suram, kata Zaldo. Katanya, dia nggak mau lihat lagi masa lalu yang benar-benar kelam. Kalo diibaratkan it was a hard life, but it was great experiences in his life. Betapa tidak, tanpa melewati sisi hitam, Zaldo nggak bakal menikmati hidup seperti sekarang ini. Meski dia masih merasa serba kekurangan, namun duit yang dia kumpulkan sedikit demi sedikit jelas lebih halal ketimbang duit yang dia hasilkan puluhan tahun lalu di terminal Blok M itu. Bukan begitu bung Zaldo?


(*) kisah ini kisah nyata sebagaimana diceritakan Zaldo ke gw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar