Kamis, 12 November 2009

PLEASE DON'T COME BACK AGAIN YA, BO!

Sebagai pria kelahiran ibukota Jakarta, gw menikmati banget hari-hari saat lebaran lalu. Kalo dihitung-hitung, selama tiga hari kota gw sepi sepoy kayak kuburan. Kenikmatan seperti itu udah lama nggak gw rasakan, kalo pun iya, paling-paling setahun sekali kayak pas lebaran ini.

Padahal kalo hari-hari biasa, kota gw yang tercinta ini mancret-cret minta ampyun. Mending macetnya ada jam-jamnya, ini mah nggak kenal waktu dan nggak bisa diduga. Kalo ada yang mengasumsikan hari macet itu hari Senin dan Jum’at, wah sekarang mah udah nggak bisa diprediksi. Mau hari Selasa kek, Rabu kek, pokoknya Jakarta tetap macet. Nggak pecaya? Elo berani taruhan?

Terkadang suatu hari nanti gw membayangkan kota kelahiran gw ini tanpa kemacetan lalu lintas. Tiap hari pergi dari rumah ke kantor tanpa rasa stres. Nggak takut telat absen. Nggak harus ambil joki ketika masuk jalur 3 in 1. Nggak harus marah-marah pada Penggendara motor yang menyerempet body mobil kita. Nggak harus masuk tol dan memperkaya income Jasa Raharja yang nyatanya tol macet-macet juga. Last but not least, kulit dan mata tetap sehat dan kinclong, karena kualitas udara nggak terpolusi.

Namun itu semua nggak mungkin terjadi kalo mobil dan motor nggak dibatasi. Mobil nggak dibatasi pembelian dan tahun produksinya. Mobil-mobil yang tahun produksinya di atas sepuluh tahun, masih bebas beredar. Lah, wong Pengusaha mobil-mobil bekas menjamur gitu kok! Kecuali mobil buat koleksi, dimana si pemilik mobil rela membayar pajak lebih mahal dari harga mobil baru.

Sami mawon karo mobil, motor pun nggak dibatasi pembelian, tahun produksi, dan jenis motornya. Dealer-dealer motor bebas menjual berapa pun jumlah motor. Jenis motor yang dibeli juga nggak dibatasi. Motor-motor 2 tak masih banyak beredar daripada jenis 4 tak. Gw paling sebel kalo ketemu motor 2 tak yang asapnya mengepul kemana-mana dan langsung mengenai muka. Si Penggendara apa nggak mudeng kalo asap yang dikeluarkan via knalpot motornya bisa bikin kojor orang-orang di belakangnya? Ah, kayaknya dia nggak peduli.

“Yang penting bisa cepat sampai ke kantor!”

“Ya, begitu itulah kalo sifat asli manusia udah keluar. Egois!”

“Makanya banyak pengendara motor yang mati pas pulang kampung...”

“Yang penting bisa cepat sampai ke kampung...”

“Maksudnya kampung akhirat?”

“Hush! Hati-hati kalo ngomong!”

Tanpa kita sadar, lalu lintas di kota besar kayak Jakarta ini, terutama di weekdays, selalu menambah jumlah penyakit. Nggak cuma kaum pengendara motor, mereka yang merasa nyaman di dalam kendaraan mobil pun malah justru seringkali penyakitnya lebih banyak dari Pengendara motor.

Menurut Petugas pengukur kualitas udara BPLHD DKI, tingkat pencemaran akibat CO (karbon monoksida) yang di weekdays mencapai 2-3 ppm, turun drastis menjadi 0,4 ppm. Sekadar mengingatkan, CO itu dapat menyebabkan penyakit gara-gara kekurangan oksigen. Daya darah buat mengambil oksigen berkurang. Hal itu menyebabkan ketegangan pada jantung.

Kadar nitrogen oksida turun ke angka 2 ppb. Padahal di weekdays angka nitrogen oksida mencapai 20 ppb. Sedangkan kadar partikel debu di hari-hari sibuk biasa 140 mikrogram, turun menjadi 120 mikrogram. Artinya turun sebanyak 20 mikrogram.

Dalam laporan tahunan yang diterbitkan oleh Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) dan KLH berjudul Indonesia Fuel Quality Report Clean Fuel: a Requirement for Air Quality Improvement 2006 yang penulis kutip dari buku Rumah Tangga Peduli Lingkungan karya Bagong Suyoto (PT. Prima Infosarana Media, Mei 2008), pencemaran udara udah sampai tahap kritis. Rendahnya kualitas udara menyebabkan kematian 3 juta orang setiap tahun. Mereka yang mati ini akibat penyakit asma, gangguan pernafasan akut, gangguan kardiovaskular, dan kanker paru-paru.

Once again, polusi udara tersebut salah satu penyebabnya adalah kendaraan bermotor. Polutan yang diemisikan berupa hidrokarbon (HC). Senyawa ini menyebabkan iritasi mata, batuk, dan berpotensi mempengaruhi kode genetik. Sedang polutan yang menyebabkan penyakit asma, gangguan pernafasan akut, gangguan kardiovaskular, dan kanker paru-paru bernama partikular matter (PM). Last but not least, timbal (Pb) yang dikenal sebagai timah hitam merupakan racun syaraf (neurotoxin) yang dapat mengakibatkan penurunan kecerdasan dan kemampuan otak pada anak. Buat orang dewasa, neurotoxin ini dapat menyebabkan hipertensi, anemia, dan mengurangi fungsi reprodusi.

Mengerikankah?

Tergantung! Kalo kita cuek dengan polutan-polutan itu, ya tetap aja melakukan aktivitas sehari-hari dengan apa adanya. Nggak ada niat sedikit pun buat menghindar atau mengurangi polutan. Tetap naik motor 2 tak yang asapnya ngebul kemana-mana itu. Tetap memakai mobil diesel yang asap knalpotnya udah hitam pakat. Pokoknya masa bodoh lah! Sing penting bisa pergi kerja, dapat duit, dan menyekolahkan anak.

Dalam sebuah mimpi, gw membayangkan sebuah kota yang sedikit sekali terdapat kendaraan pribadi. Kalo pun ada, di dalam kendaraan pribadi nggak cuma 1 orang pengendara. Dalam sebuah mobil kayak Avanza atau Innova, diisi 5-6 orang. Yang di dalam bukan cuma pemilik mobil atau sopir, tapi ada teman-teman yang sejalan menuju kantor. Bukankah dalam sebuah kantor kita tahu rumah teman kita atau dimana teman kita bisa menunggu bus? Tinggal janjian di suatu tempat, sama-sama ke kantor, deh! Kecuali kita memang ditakdirkan menjadi manusia pelit, beda lagi itu urusannya.

Dalam sebuah mimpi, kota yang gw tinggali ini justru lebih banyak pengayuh sepeda. Bike to Work (B2W) tumbuh pesat. Kalo sekarang jumlah B2W lebih dari 150 ribu orang, dalam mimpi gw jumlah pengayuh sepeda udah mencapai 5 juta orang. Di mimpi itu, udah ada jalur khusus sepeda yang nggak boleh dilewati oleh kendaraan bermotor. Mereka yang nggak menyayuh sepeda, menggunakan transportasi masal dan berjalan kaki.

Tiba-tiba.

“Apa-apaan nih?! Siapa yang ngasih izin sepeda masuk ke hotel?!”

Bentakan suara Security ini membuyarkan seluruh impian gw. Padahal saat itu gw lagi asyik-asyiknya ngiler. Bahkan sebagian iler gw udah membentuk sebuah pulau di t-shirt gw. Bau iler gw itu harum semerbak.

“Saya kan parkir di dekat motor, Pak?”

“Tetap nggak boleh! Sepeda dilarang masuk hotel! Sepeda juga dilarang masuk ke mal. Pokoknya hotel dan mal bukan buat mereka yang membawa sepeda, understand?! Kalo mau tetap naik motor atau mobil, pake yang tenaga listrik! Ngerti?!”

Ternyata menjadi orang-orang yang “beda” itu selalu dimusuhi. Ketika ada orang yang mencoba mengatasi polusi udara yang udah parah ini, eh malah dianaktirikan. Mobil-mobil mengkilap yang justru membuat udara kita jadi kotor, malah diagung-agungkan bak pahlawan. Aneh! Ah, kita memang udah terbiasa hidup di alam terbalik. Yang baik dibilang jahat. Yang jahat diagung-agungkan bak orang baik.

“Itu die makanya gw lebih suka lihat Jakarta kayak tiga hari ini, ya nggak?”

“Yap! Udara jadi bersih, nggak terpolusi oleh asap kendaraan, dan mereka yang biasa naik kendaraan umum, penjalan kaki, dan orang yang naik sepeda kayak gw jadi nggak deg-degan kesengol motor...”

“Nah, gw berdoa pada Tuhan dan memohon pada mereka yang pulang kampung agar tetaplah berada di kampung forever. Please don’t come back again ya? Let’s Jakarta back to nature...”

"Setuju!"

"By the way, elo sendiri orang Jakarta bukan?"

"Bukan!"

"Halah! Sok mendukung gw segala. Udah sana pulang kampung and don't come back again ya? Bikin sumpek Jakarta aja, loe!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar