Minggu, 15 November 2009

BUTUH TIGA ORANG BUAT PASANG GIGI

Sebagai bentuk komitmen dalam menggoes, akhirnya gue putuskan buat mengganti gigi pada my folding bike. Bukan, bukan itu maksud gue. Sepeda memang nggak punya gigi. Yg punya gigi cuma mahkluk Tuhan bernama manusia dan binatang. Ada juga sih binatang yang nggak punya gigi, manusia juga ada yang nggak punya gigi. Khusus manusia, mereka yang nggak punya gigi adalah manusia yang lemah, karena nggak berani unjuk gigi.

Baiklah aku teruskan kisah nyata ini (lho, kok ganti kata jadi “aku”? nggak asyik, ah! Mari kita switch bersama menjadi kata “gue” lagi! Bimsalabim! Abrakadabra!). Bahwa gue ingin nyaman dalam menggoes sepeda. Sebab, menggoes adalah menu sehari-hari yang akan gue laksanakan sebagai upaya menjaga lingkungan dan juga mengamalkan UUD 1945. Nah, kata teman gue, ban sepeda lipat (seli) gue kekecilan. Kalo kekecilan, kasihan banget jarang yang gue tempuh jadi lama. Iya sih, seli gue merek United ini menggunakan ban 16”.

Selain masalah ban kecil, temen gue yang lain juga bilang, seli gue seharusnya pake banyak gigi. Ya kayak beberapa seli yang pake gigi graham, gigi susu, gigi.... lho?! lho?! Ngawur! Maksudnya pake gigi yang biasa ada di sepede-sepeda gitu, entar itu 6 atau 8, dimana kalo kalo sepeda kita udah punya gigi, pada saat ngegoes, kita bisa disetel sesuka hati. Mantabs kan tuh, crot?!

Kemarin, gue pikir-pikir sudah saatnya merealisasikan keta teman gue soal gigi. Ini seperti yang gue jelaskan di atas tadi, dalam rangka komitmen menggoes, sehingga pada saat menggoes, gue merasa nyaman tentram dan aman terkendali. Walhasil, setelah nganter istri di Menara Jamsostek, Gatot Subroto, Jakarta Selatan, gue membelokkan sepeda ke arah Pasar Rumput, Manggarai. Berharap di kawasan penjual sepeda ini ada bengkel sepeda. Alhamdulillah, ternyata ada, cong!

Bengkel sepeda itu terletak di antara para penjual sepeda di Pasar Rumput, Manggarai. Nyempil, istilah Betawi. Udah nyempil, gue nggak melihat papan nama bengkel itu. Padahal udah melirak-lirik sampai leher mau copots. Busyet, nih orang yakin banget bengkelnya bakal laris tanpa papan nama. Ternyata eh ternyata, gue salah duga! Bengkel ini emang bener-bener laris manis tanjung kimpul. Ketika ogut sampai di situ, ada beberapa orang yang membeli pernak-pernik sepeda. Jadi nggak salah kalo gue mampir ke bengkel yang dimiliki oleh bapak bernama Akas.

Setelah berdiskusi selama beberapa detik, sekaligus nawar, pemilik bengkel yang asli orang Pemalang, Jawa Timur ini menganjurkan mengganti beberapa bagian di seli gue, salah satunya mengganti gigi alias gear. Begitu harga sepakat dan waktu pengerjaan juga mantabs (katanya satu jam, dalam kenyataannya kurang dari segitu sih), doi langsung mempreteli seli gue.

Saudara-saudara sebangsa setanah air, ternyata nggak gampang memasang gigi. Butuh 3 orang buat pasang gigi di seli gue. Gue jadi berpikir, kok lebih mudah masang gigi manusia daripada gigi sepeda ya? Dokter gigi cuma butuh seorang asisten, sementara Dokter sepeda butuh 2 asisten. Weleh! Weleh! Bukan karena asistennya tolol atau pemilik bengkelnya bo’on. Tapi kalo gue perhatikan, memang syusah pasang gigi. Presisinya kudu pas. Kalo nggak pas, rante yang diputar pada saat kita ngegoes, akan nggak syng alias bunyi bletak-bletuk. Bunyi bletak-bletuk itu adalah hasil dari rante yang nggak pas itu tadi pada gear atau gigi yang terpasang. Maka dari itulah Cak Akas butuh bantuan dua asisten, dan kebetulan asistennya beda usia. Asisten pertama udah kakek-kakek, asisten kedua masih ABG (soal beda usia ini penting nggak ya elo diketahui?).

Alhamdulillah, seli gue sekarang udah punya gigi. Gue makin berani unjuk gigi di depan mereka yang nggak punya gigi, termasuk kakek-kakek atau nenek-nenek yang giginya udah ompong. Gue juga mulai berani menggoes di depan Dokter Gigi, karena gue udah punya gigi (sungguh, ini nggak penting banget dan nggak ada hubungannya!). Gue juga makin pede ketemu anggota band Gigi yang semuanya punya gigi, plus Dewa Budjana yang punya kumis mirip Andi Malaranggeng. Sambil menggoes, gue bernyanyi lagu gigi yang udah turun temurun dinyanyikan oleh semua manusia di Indonesia Raya ini.

Burung kakak tua,
hinggap di jendela
Nenek sudah tua,
giginya tinggal dua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar