Cuaca mendung. Sudah bisa diduga, hujan akan segera turun. Meski begitu, kondisi mendung nggak menyurutkan niat saya dan istri buat menyantap soto ayam Lamongan yang kebetulan terletak di dekat rumah kami. Baru juga si pelayan meletakkan dua mangkuk soto ayam di meja, hujan mengguyur sudut-sudut jalan dengan tetesannya yang cukup deras. Byuuur!!!
Soto ayam Lamongan yang kami cicipi pagi ini ternyata Endang S. Taurina alias enak juga. Berarti, di dekat rumah kami banyak soto enak yang bisa dinikmati. Soto pertama di depan penjara Salemba, samping pos polisi Kayu Awet. Soto nikmat kedua di depan kali Rawasari, samping ARCICI (stadion sepakbola di kompleks Rawasari Country Club). Memang sih harganya beda. Soto di Salemba semangkuk cuma Rp 7.000, sedang di depan kali Rawasari semangkuk soto ayam spesial ati dan telur Rp 10.000. Kalo sudah beda harga begitu, ya tinggal kami yang pilih. Mau yang agak jauhan atau yang dekat?
Di tengah kenikmatan menyantap soto yang Mak Nyoos itu, tiba-tiba dering SMS di handphone saya berbunyi. Rupanya dari bang Kodok. Siapa tuh? Bang Kodok adalah "preman" yang tinggal di kolong jembatan Kampung Melayu. Sudah beberapa bulan ini saya dekat dengan beliau, karena tujuan saya lebih karena ingin mengangkat harkat dan martabat kaum marjinal, kaum terpinggirkan.
"KK tempat aku udah kerendam"
Begitulah tulisan di layar handphone saya tepat pukul 10:16:07 wib. Siapa itu KK? Bang Kodok memanggil saya dengan sebutan KK atau kakak. Membaca pesan singkat itu, naluri sosial saya langsung muncul. Sebenarnya bukan cuma membayangkan bang Kodok semata, tetapi anak-anak yang tinggal di situ. Gimana nasib mereka ya?
"Apa yang bisa kita bantu buat mereka, Pap?" tanya istri.
"Makan aja deh," jawab saya tanpa pikir panjang.
Rasanya nggak enak banget kalo sedang menikmati makan enak, ada orang lain yang sedang kesusahan, apalagi orang itu teman dekat kita. Nggak heran, begitu menghabiskan sisa soto ayam, kami langsung bergegas ke pasar buat membeli kebutuhan buat dimasak di rumah.
Hari libur kemarin menjadi hari sosial seluruh keluarga. Nggak ada mal, nggak ada belanja-belanjaan, nggak ada main di Time Zone, Amazon, atau sebangsanya. Semua kudu sibuk memasak, mengepak makanan, dan men-delivery ke kolong jembatan Kampung Melayu. Anak-anak kami pun diikutsertakan buat merasakan bagaimana kami sibuk buat ngurusin orang-orang yang butuh pertolongan. Alhamdulillah, semua kelar dan mereka pun senang.
"Maaf ya bang, saya nggak bisa ngelihat ke kolong jembatan," kata saya pada bang Kodok sambil menyerahkan beberapa plastik berisi makanan bungkus buat makan malam. "Saya harus shooting di Cawang. Insya Allah besok pagi saya mampir."
Kebetulan Sabtu malam saya punya program live. Jadi saya memang nggak sempat sidak ke kolong buat melihat kondisi lapangan dan ngobrol apa saja yang bisa disiapkan lagi. Tapi saya sempat melihat di kolong, bayangan beberapa orang penuh sesak di situ. Saya nggak sempat melihat anak-anak di situ.
"Anak-anak selamat kan bang?" tanya saya sebelum meninggalkan TKP menuju ke lokasi shooting Cawang.
"Alhamdulillah, anak-anak sudah saya pindahkan semua ke lokasi lain yang aman," jelas bang Kodok.
Keesokan hari, saya kembali meninjau kolong jembatan. Dengan bang Kodok saya diajak ngider-ngider ke lokasi banjir. Saya melihat sungai masih cukup tinggi. Alirannya pun cukup deras. Sementara di bawah kolong jembatan, jalanan masih becek dan berlumpur. Kebetulan saya sudah mengantisipasi kondisi itu dengan tidak memakai sepatu. Kalo pake sepatu, dijamin sepatu bakal penuh lumpur. Saya cuma pake sandal jepit.
"Insya Allah besok kondisi di sini sudah normal," kata bang Kodok.
Pagi itu saya ngobrol dengan beberapa warga kolong jembatan yang sedang membersihkan bekas banjir. Selain tema banjir, saya juga menyinggung soal bagaimana dengan masalah kesehatan, mengingat paska banjir justru rawan kesehatan. Menurut bang Kodok, kalo sakit nggak semua warga akan pergi ke dokter atau ke Puskesmas. Tergantung dari ada atau nggak adanya duit. Kalo ada duit ke dokter, nggak ada ya nggak ke dokter.
"Lho nggak minta surat miskin?"
"Nggak bisa, bang," jawab bang Kodok. "Kami kan nggak punya KTP DKI. Yang dikasih surat miskin cuma mereka yang punya KTP DKI aja."
Oalah! Begitu, toh! Antara kasihan dan enggak mendengar ucapan bang Kodok itu. Kasihannya, mereka kan orang miskin. Harusnya mereka dijamin oleh negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945? Coba deh kita lihat UUD 45 pasal 34 berikut ini:
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Nah, sudah jelas kan? Bahwa siapa pun warga, mau DKI mau warga Kalimantan, berhak mendapatkan fasilitas kesehatan, karena dijamin oleh negara. Ini baru soal kesehatan, belum kita bicara soal pendidikan? Anyway, bang Kodok dan warga kolong jembatan nggak pernah protes. Mereka tetap bekerja keras buat mendapatkan uang, untuk keperluan pendidikan anak-anak mereka plus kesehatan. Tentu saja dengan cara yang halal.
"Makanya kita ini tergolong orang kaya semua, bang," ujar bang Kodok seraya menyindir pemerintah. "Wong kita semua di sini nggak punya surat miskin."
Ah, seandainya kami bisa menolong lebih banyak lagi, buat meringankan beban saudara-saudara kami di kolong jembatan ini, terutama anak-anak. Agar mereka bisa menjadi generasi yang nggak lagi tinggal di kolong jembatan sebagaimana orangtua mereka kini, tetapi memiliki rumah hasil kerja yang halal.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar