Minggu, 14 Februari 2010

MELANCONG KE VIHARA

Perayaan Imlek tahun 2010 ini memang sudah saya niatkan melihat aktivitas etnis Tionghoa melakukan peribadatan di vihara. Kebetulan istri saya mengajak jalan-jalan ke Petak Sembilan yang ada di Glodok sana. Mumpung ke Petak Sembilan, saya pun mampir ke sebuah vihara yang ada di situ, yang sudah menjadi cagar budaya. Vihara itu bernama vihara Dharma Bhakti.


Jalan menuju Petak Sembilan. Lihat bangunan di sebelah kiri di foto, ada toko obat jadul.

Buat menuju vihara ini, kita memang kudu melewati area Petak Sembilan yang terkenal itu. Buat Anda yang belum mengenal apa itu Petak Sembilan, saya paparkan sedikit sejarahnya ya, yang sebagian saya kutip dari majalah bulanan Kabari (silahkan klik di http://www.kabarinews.com) dan buku Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 karya Johannes Theodorus Vermeulen.

Bahwa sejarah Petak Sembilan terjadi sejak zaman Belanda. Saat itu, jumlah orang Tionghoa pada akhir Desember 1739 mencapai 4.389 orang. Mereka tinggal di wilayah Timur dan Barat Batavia (nama sebelum Jakarta), termasuk pinggiran kota sebelah selatan. Namun manuskrip menyatakan jumlah etnis Tionghoa di kota mencapai 14.000 orang.


Sebelum masuk ke area Petak Sembilan, saya melewati gang yang menurut saya cukup artistik ini. Kebetulan ada sepeda onthel pula. Mantabs

Pada tanggal 9 Oktober 1739, bangsawan terkenal asal Amsterdam Adriaan Valckenier memerintahkan untuk membersihkan seluruh etnis Tionghoa, karena dianggap bersekongkol dengan pemberontak (maksudnya warga Indonesia yang menentang Belanda).

Melihat Belanda yang sewenang-wenang membunuh warga etnis mereka, sejumlah warga Tionghoa kemudian melakukan pemberontakan sekitar November 1740. Namun oleh karena jumlah armada etnis Tionghoa nggak sebanding, maka tentara Belanda tetap sebagai pemenang. Nah, sejak itu banyak etnis Tionghoa yang diungsikan ke beberapa lokasi, baik ke luar kota, misalnya ke Bekasi, maupun ke pinggiran Jakarta. Khusus di Jakarta, mereka diungkiskan ke Glodok dan Petak Sembilan atau ke Tangerang.

“Mungkin nama Petak Sembilan berasal dari bentuk rumahnya yang berpetak-petak," jelas Hao Qin (50), peramal yang sudah tinggal di Petak Sembilan sejak tahun 1960-an. "Soal jumlahnya sembilan atau bukan, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, kakek saya pernah cerita, kawasan Petak Sembilan yang asli ada di jalan Kemenangan itu, di sebelah Kalimati.”


Sebagian jalan Kemenangan dipasang lampion merah dalam rangka menyambut Imlek. Keren banget!

Di sepanjang jalan Kemenangan yang mencapai 500 meter itu dikenal sebagai pasar Petak Sembilan. Bukan cuma di jalan Kemenangan, tetapi di seluruh gang yang menjadi cabang-cabang jalan Kemenangan juga dijadikan lokasi jualan. Jangan heran banyak pemilik rumah di gang situ ikut-ikutan berjualan di depan rumah mereka.

Sejarah pedagang yang berjualan di depan rumah terjadi saat Glodok Building dibongkar tahun 1968. Menurut Ketua RW 02, An Yan, menuturkan, para pedagang Glodok Building ditampung di Petak Sembilan. Kebetulan, pedagang-pedagang di Glodok punya rumah sendiri di Petak Sembilan, sehingga mereka berjualan di depan rumah.

“Sejak itulah pasar Petak Sembilan mulai terkenal. Bahkan lebih terkenal dari pasar Glodok sendiri. Nah, begitu Glodok Building selesai dibangun, para pedagang kembali berjualan di Glodok, tetapi mereka juga tetap berjualan di depan rumah mereka, sampai sekarang,” tambah An Yan.

Di sepanjang jalan Kemenangan berjejer aneka dagangan. Mulai dari makanan sampai barang kebutuhan rumah tangga. Kebetulan pagi itu hujan mengguyur lokasi menuju vihara, jadi saya dan istri saya nggak begitu detail melihat dagangan yang ada. Namun saya tetap melihat aktivitas dagangan di sepanjang jalan Kemenangan. Agak-agaknya semua dagangan, ada di situ. Ada sayur mayur, ikan, daging, dan aneka dagangan lain.



Aneka dagangan ada di Petak Sembilan. Mulai dari sayur mayur, ikan, babi potong, sampai kodok. Ada belut, sampai bunga potong. Pas Imlek harganya naik semua.

Setelah melewati Petak Sembilan, barulah saya masuk ke gerbang vihara Dharma Bhakti. Buat masuk ke vihara ini ada tiga pintu. Ada pintu utama dan dua pintu yang berada di samping vihara. Kalo saja nggak ada petunjuk warna merah dan ukiran khas China, barangkali kita sulit mengenali pintu masuk vihara. Maklum, di pintu masuk ada para pedagang.

Begitu menginjakkan kaki ke area vihara, jam sudah menunjukan pukul 08. Meski dalam kondisi rintik hujan, suasana sudah cukup ramai. Beberapa etnis Tionghoa berpencar menjalankan ibadat mereka. Ada yang menyebah ke sebuah gentong raksasa yang bercat emas metalik. Dengan membawa beberapa dupa yang dikepalkan tangan, mereka melakukan gerakan setengah menunduk dan tegap seraya memohon pada Buddha. Dupa itu kemudian ditancapkan ke pasir yang ada di atas gentong raksasa itu.

Ada sebagian etnis Tionghoa lagi yang berdoa di dalam vihara, dimana terdapat tiga patung sang buddha dan 9 dewa. Patung buddha terletak di tengah vihara. Sedangkan patung 9 dewa diletakkan mengelilingi setengah lingkaran di dalam vihara itu dan berada di balik lemari kaca.

Saya berdiri di antara lilin-lilin raksasa sambil mengabdikan beberapa etnis Tionghoa melakukan peribadatan. Tentu saja nggak lupa mengabadikan moment periadatan itu dengan menggunakan camera digital pocket kesayangan saya.

Menurut apa yang saya baca di Kompas (Minggu, 07/02/2010), buat menyambut Imlek 2561 ini, pabrik lilin dan hio Sumber Karya milik Can Yau Sen di Teluk Naga, Kampung Melayu, Tangerang, Banten, mengolah 5 kuintal lilin dan 3 kuintal hio setiap hari. Lilin-lilin dan hio-hio tersebut dikirim ke Pontianak, Bangka Belitung, dan tentu saja ke Jabodetabek.

Koh Aseng, panggilan akrab Can Yau Sen, memproduksi beragam ukuran lilin. Lilin terkecil berukuran setengah kati hingga lilin raksasa 1.000 kati berdiameter 50 sentimeter dengan tinggi 200 sentimeter.

Kebetulan saya sempat berkenalan dengan salah seorang etnis Tionghoa yang sudah lebih dulu berdoa dan memotret kejadian peribadatan seperti yang saya lakukan. Dengan etnis Tionghoa inilah saya dijelaskan tentang patung Buddha, 9 dewa, serta filosofi yang terkandung dalam peribadatan di situ.

"Sebenarnya apa yang kita lihat ini adalah sebuah bentuk rasa syukur," jelas Pak Chandra, etnis Tionghoa itu. "Hampir 80 persen mengajarkan kita pada moral. Selebihnya adalah peribadatan rutin."

Selama melihat ada etnis Tionghoa melakukan sesuatu, saya langsung tanya Pak Chandra. Misalnya melihat ada seorang Ibu yang menggoyang-goyangkan seplastik kecil air putih di atas tunggu yang panas.

"Air itu dipercaya sebagai obat," ungkap Pak Chandra. "Ibu itu ingin air itu punya khasiat, sehingga begitu air itu diminum maka penyakit akan sembuh."



Macam-macam cara peribadatan. Ada seorang ibu yang mengasapkan plastik beisi air putih (foto kiri), ada pula yang mengangkat tiga kardus tebal (foto kanan).

Sebelum plastik berisi air itu digoyang-goyangkan, Ibu itu menuangkan dua sendok bubuk. Menurut Pak Chandra, bubuk itu adalah bubuk kayu Cendana. Kalo bubuk menyan khusus buat golongan bawah, sedang bubuk kayu Cendana adalah wewangian buat para dewa.

"Kalo itu saya nggak tahu, deh," jawab Pak Chandra sambil tersenyum.

Pak Chandra mengaku nggak tahu, gara-gara saya tanya apa maksud seorang Bapak tua membuka dompet dan dompet itu sengaja dikenai asap kayu Cendana yang ada di tungku itu. Kata Pak Chandra, apa yang Bapak lakukan itu nggak termasuk bagian dari peribadatan dalam Imlek ini.

"Barangkali dia ingin isi dompetnya penuh terus," kata Pak Chandra berguyon.


Saya berada di lilin-lilin raksasa. Kalo ukuran tubuh saya 165 cm, berarti lilin tersebut tingginya mencapai 180 cm.

Menurut penangalan Tahun Baru China, Imlek tahun 2010 ini adalah Tahun Baru 2561. Di belakang tahun 2561, ada tulisan "Cia Gwe 1". Menurut ramalan, di Tahun Baru China ini, waktu terbaik keluar rumah adalah pukul 23:00-01:00 wib dan 03:00-09:00 wib. Saya nggak menyarankan Anda percaya dengan ramalan itu, karena kebetulan saya nggak percaya dengan ramalan dan peramal. Saya masih percaya Allah. Yang pasti, ramalan itu saya baca di sebuah kertas yang terpampang di dinding vihara Dharma Bhakti.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar