Pada saat ke Baduy Dalam beberapa waktu lalu, saya dan istri belum pernah berjumpa dengan Yardi dan Jali. Makanya saat hadir ke rumah kami, wajah mereka asing buat kami. Katanya,
saat kami ke Baduy Dalam, tepatnya ke kampung Cibeo, mereka sedang
berladang. Kami hanya menjumpai Safri dan Sarta, dua teman Baduy Dalam
yang berkunjung ke rumah kami.
Pekerjaan wajib masyarakat Baduy adalah ngahuma (bertanam
padi lahan kering). Pekerjaan ini bukan hanya sekedar mata pencaharian,
tetapi juga merupakan ibadah yang merupakan kegiatan suci. Sebab, dalam
berladang aktivitas yang dilakukan adalah mengawinkan dewi padi atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri.
Kegiatan berladangnya
akan selalu diikuti dengan upacara-upacara keagamaan yang dipimpin oleh
ketua adat. Beberapa larangan dalam proses kegiatan berladang bagi
masyarakat Baduy antara lain: (1) tanah tidak boleh dibalik, maksudnya
dalam kegiatan penanaman dilarang mencangkul, tetapi cukup dinunggal; (2) dilarang menggunakan pupuk dan oabat-obat kimia; (3) Dilarang membuka ladang di leuweng titipan (hutan tua) atau leuweng lindungan lembur (hutan kampung); (4) waktu pengerjaan harus sesuai ketentuan, tidak saling mendahului.
Ke-4 ketentuan dan tata
cara berladang tersebut, sifatnya mutlak. Semua ditentukan secara
musyawarah oleh ketua adat di Baduy-Dalam berdasarkan pikukuh karuhun serta berlaku untuk semua warga Baduy.
Back to kisah
Yardi. Sore menjelang malam, Yardi sempat mendapat telepon dari seorang
wanita. Kebetulan saya belum pulang dari kantor. Istri pun tidak mencoba
untuk menggali wanita yang menghubungi Yardi ini. Selain mengganggu privacy, juga tidak terlalu penting untuk dijadikan pembicaraan.
Namun yang menarik, pada
saat menerima telepon, Yardi berbicara dengan bahasa Betawi ‘medok’
sekali. Istri yang kebetulan mendengar, karena memang suara Yardi keras,
jadi tersenyum sendiri.
“Ini sapa, nih?!” tanya Yardi. “Loe tau darimane nomor gue?!”
Oleh karena saya tidak
ada, jadi saya membayangkan, Yardi bukan lagi orang Baduy Dalam yang
menggunakan bahasa lokalnya. Saya membayangkan, ia seperti sosok Mandra
yang sedang menerima telepon dari wanita, sebagaimana pernah muncul
dalam beberapa scene di sinetron Si Doel Anak sekolahan.
Seperti sebagian dari Anda
ketahui, orang Baduy Dalam menggunakan bahasa Sunda dialek
Sunda-Banten. Meski tidak mendapat pendidikan formal, sehingga tidak
bisa membaca dan menulis, sebagian besar warga Baduy Dalam apalagi Baduy
Luar, mampu berbahasa Indonesia. Oleh karena sering ke Jakarta, logat
Betawi Yardi ternyata lebih kental. Kata ‘elo’ dan ‘gue’ sudah dikuasai
dengan lancar.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar