Sabtu, 05 September 2015

PIKNIK KLENIK

Halo sobat Backpacker dimana pun Anda berada.

Udah lama sya nggak piknik. Makanya pas liburan kemarin, saya piknik bersama keluarga ke Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Namanya piknik, maka yang dibawa hal-hal yang berhubungan dengan piknik. Apa itu? Makanan, minuman, sendok, garpu, payung, celemek, talenan, gitar, tikar, sekop, palu, dan kampak. Maaf, tiga benda yang terakhir nggak saya bawa, kok.

Kalo piknik memang kudu bawa tikar. Kalo nggak bawa tikar, namanya bukan piknik. Masa bawa kasur? Kalo kasur namanya bukan piknik, tapi tidur. Ya iyalah, kalo ada kasur, ngapain juga kalo nggak tidur. Apalagi kalo kasur ditemenin sama bantal dan guling. Tapi kan bawa makanan? Iya, kalo makan sambil tidur bukan piknik namanya. Lagipula nggak boleh makan sambil tiduran, dimarahin nenek.

Piknik kudu bawa makanan. Kalo nggak bawa makanan, namanya cuma duduk-duduk di atas tikar di bawah pohon yang rindang. Ngapain juga cuma duduk-duduk? Kalo kelaparan siapa yang bertanggung jawab hayo? Meski nggak diomelin sama Polisi atau Petugas Kebun Raya kalo nggak bawa makanan, tapi kita kudu bawa makanan. At least cemilan lah, misalnya batu koral, kerikil-kerikil tajam, atau cakwe.

 Makan boleh nggak pake sendok atau garpu. Kalo kata kepercayaan saya, sendok dan garpu itu makruh: nggak dilakukan juga nggak dosa. Kalo nggak bawa sendok, makanlah pake tangan. Sebaiknya tangan kanan. Kalo tangan kiri katanya nggak sopan. Memang sih nggak sopan. Sya biasa menggunakan tangan kiri sebagai tangan buat nyebok. Tahu kan kata “nyebok”? Yaitu membersihkan lubang pantat dari kotoran setelah kita pup. Kalo kebetulan makan pake tangan, tangannya ya dicuci dulu lah.

Kalo ketahuan udah bawa makanan, ya kudu bawa temennya, apalagi kalo bukan minuman. Percuma juga kalo udah makan nggak minum, pasti dijamin seret tengorokannya. Analoginya itu bisa disamakan, udah mandi nggak handukan atau udah pake celana jins tapi nggak pake celana dalam. Pokoknya bawa minum. Minum itu penting. Lebih penting daripada makan. Konon katanya orang bisa hidup hanya dengan minum. Soalnya kalo kita nggak minum, maka kita bisa dehidrasi. Soalnya 70% dari tubuh kita berisi air dan kudu diisi air.

Dengan modal di atas, saya dan keluarga siap piknik lahir maupun bathin.

Sengaja saya dan keluarga pilih piknik di Kebun Raya Bogor. Pertama, tempatnya startegis di jantung kota Jakarta, eh..maksudnya Bogor. Nggak jauh dari rumah saya yang ada di Kalimantan *busyet! nggak kejauhan yak?*. Kedua, venue ini mengingatkan kembali komitmen kita sebagai warga dunia kelas tiga, agar kembali ke alam. Mengingat saat ini manusia-manusia dunia sedang doyan-doyannya jadi enviromentalist alias lingkungan minded. Yang dulu tukang potong-potong kayu di hutan, sok berteman dengan alam. Semua bisnis saat kudu berbau-bau hijau: green bahasa kerennya.

Semua serba green. Real estate promosi lokasinya green. Padahal waktu ngebangun, membabat habis ratusan kayu, ribuan pohon, dan otomatis mengusir habitat mahkluk lain, yakni binatang. Bukan cuma real estate, dunia perbankan udah lama juga melakukan kampanye green banking. Sebenarnya cocok sih istilah green dangan bank. Bank identik dengan uang. Biasanya kalo orang mata duitan disebut matanya ijo, maksudnya hijau.

“Mata loe green banget sih kalo liat duit,” kata seorang Ibu muda yang wajahnya cukup tua.

Alasan terakhir kenapa saya dan keluarga pilih Kebon Raya Bogor buat piknik, ya karena venue itu memang cocok buat piknik. Nggak mungkin kan piknik di halaman tetangga? Yang ada diusir tetangga, karena halamannya buat jemuran. Nggak mungkin juga kan piknik di tengah lapangan bola? Nanti diomelin para pemain bola yang lagi latihan. Padahal mereka nggak usah latihan juga nggak bakal menang, apalagi latihan. Maklum, sepakbola Indonesia sampai kapan pun nggak akan pernah berjaya, selama pemimpinnya masih dia-dia juga yang nggak memberikan berkah.

Balik lagi ke soal piknik di Kebon Raya Bogor. Saya senang banget bisa back to Kebon Raya. Selama perjalanan dari Cempaka Putih ke Bogor via tol Jagorawi, gw diceritakan banyak soal sejarah Kebon Raya Bogor. Kata Bokap saya, kalo nggak ada yang namanya Prof. Dr. C.G.C. Reinwardt, nggak mungkin ada Kebon Raya. Botanis asal Jerman ini berada di Indonesia pada awal abad ke-19. Ia merasa, eksplorasi tumbuhan dan masalah pertanian, merupakan tugasnya di Hindia Belanda (dulu nama Indonesia belum ada, jadi disebut Hindia Belanda). Merasa sebagai tanggungjawabnya, ia kemudian menulis surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Namanya G.A.G.P. Baron van der Capellen. Dalam surat itu, Reinwardt minta sebidang tanah buat penelitian, dimana akan diteliti manfaat tumbuhan sekaligus mengkoleksi tanaman yang bernilai ekonomi. Nggak cuma tanaman dari seluruh kawasan Indonesia, tapi juga mancanegara.

Persisnya tanggal 18 Mei 1817, Reinwardt melakukan pemancangan pohon pertama di “sebidang tanah” yang diberikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tanggal itu sekaligus diperingati berdirinya Kebun Raya. Awalnya, nama Kebon Raya adalah Islands Plantentuin atau Hortus Botanicus Bogoriensis. Tahu nggak luas Kebon Raya saat itu? Bukan “sebidang tanah”, tapi 47 ha, Bo! Tapi jangan-jangan zaman dahulu, makna
“sebidang tanah” ya segitu-itu. Gimana kalo menyebutkan “tanah yang luas”? Pasti lebih gokil lagi ukuran hektarnya.

Lokasi Hortus Botanicus Bogoriensis berdekatan dengan Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang saat itu tinggal di Bogor. Sekarang Istana itu masih megah berdiri dan dikenal dengan nama Istana Presiden Bogor. Saat ini, kalo dihitung-hitung, luas Kebun Raya Bogor mencapai 87 ha. Bujug! Luas rumah saya nggak ada seperempat-seperempatnya luas Kebon Raya?!

Saat ini nama lengkap Kebun Raya Bogor adalah Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Venue ini di bawah kepengurusan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), lebih tepatnya berada di bawah Kedeputian Ilmu Pengetahuan Ilmu Hayati. Kayak outlet franchise, Kebon Raya ternyata punya cabang. Cabangnya ada tiga, yakni Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi dan Kebun Raya “Eka Karya” Bedugul - Bali.

Menurut data, koleksi tumbuhan di Kebun Raya ada 222 famili, 1.266 marga, 3.444 jenis, 13.865 spesimen. Beberapa jenis koleksi tumbuhan di Kebun Raya bahkan ada yang masuk daftar langka. Berdasarkan IUCN Redlist, tumbuhan yang dikategorikan langka jumlahnya mencapai 231 jenis. Jangan-jangan kalo gw jadi pohon, gw masuk kategori langka dan statusnya perlu dimusnahkan segera.

Saya dan keluarga akhirnya sampe juga di Kebon Raya. Kami cari-cari spot yang bagus buat piknik. Kriteria spot yang bagus: nggak banyak orang yang piknik di situ (syukur-syukur nggak ada orang samsek alias sama sekali), dekat dengan bunyi sungai supaya merasakan seolah dekat dengan pengunungan, dan nggak banyak kelelawar (ngeri aja kalo di atas ada kelelawar kotorannya bisa masuk ke sayuran). Akhirnya spot yang kami impikan, dapat juga.

Selagi keluarga saya menggelar sajadah, eh maksudnya tikar, saya jalan-jalan di seputar situ. Ceritanya mau menghirup udara dari pohon-pohon yang segede-gede gajah itu. Apa yang terjadi saudara-saudara? Saya melihat banyak mobil parkir di depan sebuah venue mirip makam. Eh, bener venue itu adalah makam. Makan siapakah gerangan? Katanya makam Ratu. Bukan Ratu Pantai Selatan, bukan pula Ratu Ngebor alias si Inul. Bukan pula Ratu Elizabeth, maupun Ratu Plaza. Dengan keluguan dan penuh penasaran, saya menyelidiki orang-orang yang masuk ke Makam?

“Orang-orang ini pada ngapain sih Pak?” tanya saya sok meyelidik pada seorang yang berwajah tua yang katanya Kuncen makam itu.

“Nyekar, Dik,” kata si Kuncen itu. “Adik mau nyekar?”

“Saya sih maunya makan di Ayam Goreng Mas Mono. Tapi karena penasaran, saya jadi ke makam ini. Bapak suka Ayam Goreng Mas Mono?”

“Ah, enggak, Dik. Nggak level. Bapak biasa hang out di MacD,” papar si Kuncen.

“Mac Donnald maksudnya, Pak?”

“Bukan! Megong Dikit! Jadi di pojokan dekat Kebon Raya, adik megong dikit ada tempat makan eunak tenan...”

“Maaf Pak, ngomong-ngomong ini makam siapa sih?” tanya saya penasaran.


“Makan Ratu Bogor...”

“Ratu Bogor itu masih saudaraan sama Tales Bogor dan Asinan Bogor ya, Pak?”

“Mungkin juga sih, Dik...”

Kalimat demi kalimat terus meluncur dari juru Kuncen makam ini. Menurut saya, di ramah dan memang harus begitu. Kenapa? Kalo nggak ramah, di nggak akan bakal dapat tips dari para peziarah. Lumayan kan kalo satu perziarah ngasih doi 50 ribu, at least 20 ribu. Kalo saya hitung-hitung yang datang lebih dari 50 peziarah. Ini baru satu hari, belum hari-hari lain. Bisa-bisa gaji Pegawai Negeri lewat!

Terus terang saya nggak mudeng, kenapa sih orang-orang ini menziarahi makan? Kalo makan keluarganya masuk akal lah. Ini saya yakin-seyakin yakinnya mereka datang ke situ bukan, lantaran makan keluarga mereka. Mereka ini berdoa di depan makam berjam-jam sambil mulut mereka komat-kamit. Kayak-kayanya sih membaca ayat suci Al-Qur’an. Ini dibuktikan dengan si komat-kamit memegang tasbih di tangan kanannya.

Di ujung makan, saya melihat ada dua cerutu yang ujungnya ada nyala api. Nggak tahu cerutu-cerutu itu buat siapa. Buat si Peziarah, kayaknya nggak mungkin. Masa berziarah sambil merokok cerutu? Memangnya Bandit kayak di film-film Al-Capone? Kalo cerutu-cerutu itu diberikan ke hantunya si Ratu, berarti si Ratu dulu perokok berat. Selain cerutu, ada juga susu. Saya yakin, si Ratu suka susu. Nggak tahu mereknya susu cap nona atau susu cap kuda liar. Kalo gw mah sukanya susu murni, bukan susu sapi. Ngerti dong maksudnya? Di sekitar makam, tercium bau dupa. Suasananya mirip kayak di kuil-kuil Hindu maupun Buddha. Saya bingung lagi, si Ratu ini orang Islam atau orang non-Islam sih? Kok pake dupa-dupaan?

“Kenapa sih mereka berziarah di sini, Pak?” tanya saya mengobati kebigungan.

“Mereka mendoakan Ratu dan mendoakan diri mereka, Dik...”

“Ngapian mendoakan Ratu, Pak? Bukankah lebih baik mendoakan orangtua?” kata saya mencoba mempertanyakan statement si Kuncen itu.

“Iya sih Dik. Tapi katanya kalo berdoa di makam Ratu, kita bisa minta apa aja. Kita bisa dapat rezeki!”

Hah?! Rezeki?! Ini Kuncen jago banget promosinya. Rezeki kok mintanya sama makam? Sama Ratu? Aneh?! Tapi antara percaya dan nggak percaya, yang datang ke makam itu mobil-mobil mewah. Nggak ada bajaj atau bemo. Orang-orangnya pun tampangnya well educated alias berpendidikan lah.

Bukan cuma pendidikan. Dari yang saya perhatikan, orang-orang yang datang memang orang mampu, orang yang punya agama. Wong ada Ibu-Ibu yang pake jilbab, kok yang datang ke makam. 

“Siapa yang menjamin mereka akan bisa dapat rezeki, Pak?” tanya saya sambil melihat seorang Ibu berjilbab menguyurkan air dari sebuah botol ke mobilnya. Saya yakin, botol itu tadi ada di makam yang katanya udah baca-bacain mantra. Mungkin dengan mengguyurkan air, si mobil bisa mengantarkan rezeki ke Ibu jilbab tadi.

“Udah terbukti, kok, Dik. Masa adik nggak percaya? Lihat sendiri kan yang datang mobil keren-keren?” ungkapnya seperti mo membanggakan diri.

“Bapak udah berapa lama jaga makam?”
“Udah sejak kecil,” jawabnya.

“Bapak udah punya rumah dan mobil berapa?”

“Belum punya. Rumah masih ngontrak, Dik. Memangnya adik mau ngasih rumah sama mobil?
Kalo ada, boleh tuh bagi-bagi, Dik...”

Kasihan benar si Kuncen itu. Berpuluh-puluh tahun di makam itu, tapi nggak kaya-kaya. Kalo memang berziarah di makam Ratu Tales Bogor itu bikin kaya, kenapa si Kuncen aja dijadikan orang kaya? Nggak cuma si Kuncen, hidup orang-orang yang ke berziarah ke makam itu juga kasihan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar