Sabtu, 05 September 2015

TELAGA WARNA: AKANKAH DIKELOLA PIHAK SWASTA?

Tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kuatanggeuhan. Kerajaan yang disebut juga Kemuning Kewangi ini diperintahkan oleh Raja. Nama Raja itu Prabu Swamalaya. Raja ini memiliki seorang Putri bernama Gilang Rukmini.

Sebagaimana manusia yang punya keinginan, Putri Rukmini pun punya. Keinginannya, di setiap helai rambutnya harus dihiasi oleh emas permata. Keinginan itu jelas non-sense atau kalo kata orang Sunda: aya-aya wae! Nggak heran Raja Kuatanggeuhan menolak keinginan sang Putri. Bukan karena Raja pelit, lho! Bukan pula Raja nggak punya uang buat membelikan Putri emas permata, lho. Raja punya banyak duit bukan? Penolakan sang Raja lebih kepada masalah make sense (masuk akal atau nggak masuk akal permintaan itu). Penolakan itulah yang kemudian membuat sang Putri marah. Dalam amarahnya, Putri membuang seluruh perhiasan yang pernah diberikan oleh Ayahnya.

Rupanya Tuhan murka melihat seorang anak yang marah kepada orangtuanya. Nggak heran, ketika perhiasan-perhiasan itu dibuang, tiba-tiba bumi gonjang-ganjing. Keadaan itu membuat Raja, Putri, dan seluruh warga panik tujuh keliling. Permukaan tanah seketika mengeluarkan air. Dari air mancur yang kecil, semakin lama semakin besar, sampai akhirnya menenggelamkan kerajaan Kuatanggeuhan. Tentu Raja Prabu Swamalaya dan Putri Rukmini ikut tenggelam.

Nggak lama kemudian, dari dalam dasar danau terpancar cahaya. Indah sekali. Cahayanya nggak cuma air butek atau warna hijau, tapi cahaya yang berwarna-warni. Nah, cahaya di danau yang berwarna-warni itulah yang kemudian menjadikan danau yang terletak di kawasan puncak Bogor ini dinamakan Telaga Warna.

Ternyata bukan cuma legenda soal kemarahan Putri Rukmini terhadap Raja Prabu Swamalaya aja yang ada di Telaga Warna. Pak Tatang, salah seorang Petugas di Taman Wisata Alam Telaga Warna, menceritakan legenda lain. Bahwa di dalam telaga ini ada sebuah kerajaan Padjajaran. Seperti kita ketahui, Padjajaran pernah menguasai seluruh wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. Kerajaan yang didirikan oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak pada tahun 923 ini di daerah Pakuan, Bogor. Artinya nggak jauh dari Puncak. Alkisah, Ratu kerajaan ini punya keinginan. Kali ini bukan keinginan yang aneh sebagaimana Putri Rukmini. Keinginan Ratu adalah memiliki keturunan alias anak, agar tahta kerajaan bisa diwariskan kelak.

Sayang seribu kali sayang, sampai beberapa tahun married, sang Ratu belum juga dikaruniai anak. Sebenarnya Tuhan sedang menguji kesabaran Ratu. Namanya manusia, pasti tetap punya rasa sedih. Gara-gara kesedihan Ratu yang berkepanjangan, air matanya membentuk sebuah telaga dan kemudian menenggelamkan kerajaan Padjajaran.

“Makanya ada yang pernah meneliti, di tengah-tengah telaga ini ada segitiga semacam pucuk sebuah candi,” kata Pak Tatang, yang sudah 18 tahun bertugas di Telaga Warna ini.

Beberapa Peneliti, baik dari Arkeolog maupun Peneliti lain, memang pernah melakukan penelitian terhadap Telaga Warna ini. Terus terang nggak ada satu pun hasil penelitian yang menyebutkan soal eksistensi candi atau situs purbakala yang terendam di dalam telega ini. Yang ada cuma bukti kedalaman telaga ini, yakni 30 meter untuk telaga yang terdalam. Sementara yang paling dangkal kurang lebih 1,5 meter. Namun, tahun lalu sempat diukur lagi, kedalaman telaga ini sempat menyusut, menjadi 25 meter. Nah, oleh karena nggak ada bukti soal situs-situs purbakala atau peninggalan Kerajaan Padjajaran, maka cerita Pak Tatang tadi menjadi tambahan legenda seputar keberadaan Telaga Warna ini.

Masih soal legenda, ada pula kisah dua ekor ikan purba yang konon ada di dalam telaga sampai kini. Ikan purba tersebut bernama Layung dan Tihul. Cukup aneh buat nama seekor ikan. Layung berwarna merah, sedang Tuhul berwarna hitam. Namun, masyarakat sekitar situ percaya kedua ikan purba itu benar-benar ada atau hidup di Telaga Warna ini. Saking percaya, masyarakat di sekitar Puncak percaya, orang yang mampu melihat ikan purba itu berenang atau meloncot dari permukaan air akan memperoleh rezeki. Cita-cita orang tersebut akan tercapai.

Begitulah Telaga Warna. Penuh misteri. Menurut Pak Tatang, orang-orang memang masih banyak percaya soal legenda dan ikan purba ini. Hal itulah yang kemudian menjadikan Telaga Warna ini sebagai tempat persugihan, dimana setiap Jumat kliwon atau malam 1 Suro, beberapa orang seringkali melakukan ziarah.

“Sebenarnya di luar dari malam-malam itu, banyak pula orang yang berziarah ke sini,” tambah Pak Tatang yang mengaku sering melakukan meditasi dalam rangka meningkatkan ilmu getaran jiwa di Telaga Warna ini.

Oleh karena banyak peziarah, pihak Departemen Kehutanan, dalam hal ini Perhutani yang bertanggungjawab mengelola Wisata Alam Telaga Warna ini, membuatkan sebuah ruang buat berziarah yang dibangun mirip sebuah pos penjaga atau loket yang menjual tiket. Di ruang sempit berukuran kurang lebih 1,5 meter kali 2,5 meter itu terdapat sebuah bangunan mirip makam. Padahal bangunan yang diplester dengan menggunakan keramik warna putih itu sebelumnya nggak ada makam atau prasasti apapun. Aneh? Begitulah kenyataannya.

Ketika saya masuk ke ruang itu, masih ada sisa beberapa batang hio di sebuah pot. Sepertinya sebelumnya ada yang sempat melakukan ziarah. Di luar bagunan pun saya sempat menemukan bungkus hio yang bergambar sebuah patung Budha dengan tulisan Mandarin di kardusnya. Selain bangunan berbentuk makam kecil, tiga pot tempat mengisi hio, ada pula dua figura kaligrafi bertuliskan Allah dan Nabi Muhammad dalam bahasa Arab. Figura itu menempel di dinding di atas “makam-makaman” itu.

Selain ruang ziarah, tentu saja banyak fasilitas lain yang terdapat di Telaga Warna. Menurut Pak Tatang, kurang lebih baru dua tahun ini terdapat fasilitas outbond. Ada pula flying fox, dimana tingginya mencapai 15 meter dengan rute sepanjang 100 meter. Pada saat kita menggantung, kita akan melewati telaga. Lumayanlah buat ngetes nyali. Selain fasilitas itu, bahkan banyak pula kelompok yang memanfaatkan lokasi ini sebagai lokasi camping.

Bagi Anda yang cuma ingin berkeliling di telaga sambil menikmati bukit yang ditumbuhi pepohonan dan mengitari telaga, Anda bisa menyewa perahu atau rakit. Harga perahunya Rp 7.500 per orang. Kebetulan saya sempat berkeliling danau bersama Pak Tatang dan merasakan berada di tengah-tengah telaga. Selain kesejukan udara, saya seperti merasakan hawa mistis yang ada di telaga ini, apalagi setelah mendengar soal legenda-legenda soal kerajaan Kuatanggeuhan dan kerajaan Padjajaran.

“Tenang aja. Nggak ada mahkluk halus yang akan mengganggu kita, asal kita nggak rusuh,” kata Pak Tatang yang mengaku sempat melihat beberapa kali sosok mahluk halus ketika melakukan meditasi.

Saya semakin merinding ketika Pak Tatang menunjuk dua orang yang sempat meninggal di telaga ini beberapa tahun lalu. Apalagi saya sedang berada di titik tengah telaga dan nggak jauh dari TKP atau Tempat Kejadian Perkara. Menurut cerita beliau, ada lima orang yang naik rakit kayu. Mereka ribut sekali ketika berada di tengah danau. Bukan cuma tertawa, tapi becanda. Entah kenapa tiba-tiba rakit tengguling. Semua orang tercebur ke telaga. Tiga orang berhasil diselamatkan, sedang dua orang lagi tewas. Barangkali berita ini nggak sempat diekspos ke media. Namun, sebetulnya menurut Pak Tatang nggak apa-apa, agar orang lebih berhati-hati. Sejak kejadian itu, nggak pernah ada kejadian lagi. Setiap kali ada orang yang naik perahu atau rakit, Pak Tatang selalu mengingatkan agar jangan rusuh.

Di Wisata Alam ini kita juga bisa melihat langsung monyet-monyet liar jenis kera (macaca fascularis) dan lutung (trachypitechus auratus). Mereka berkeliaran bebas di sekitar telaga. Suasana ini mengingatkan saya pada sebuah lokasi di Bali, dimana terdapat banyak monyet liar. Sebenarnya, ada tulisan yang melarang Pengunjung agar jangan memberikan makanan. Namun, ketika saya di berada di situ, ada saja Pengunjung yang memberikan makan monyet-monyet itu. Nggak heran, berkumpulnya monyet-monyet liar buat mengambil makanan, menjadi atraksi tersendiri di telaga ini.

“Pimpinan yang bertanggungjawab di Telaga Warna ini memang jeli mengeksplorasi wisata alam ini,” papar Pak Tatang yang seperti membandingkan Telaga Warna dahulu dengan sekarang ini, dimana fasilitasnya sudah banyak. “Modal membangun fasilitas ini cuma 25 juta, eh nggak sampai enam bulan sudah bisa balik modal dan per bulan bisa mendapat income 30 juta per bulan”.

Telaga Warna menerapkan dua tarif. Kalo WNI harganya cuma dua ribu perak, sedang non-WNI dipunggut biaya Rp 15 ribu. Kalo ingin menggunakan fasilitas flying fox, kita cukup membayar Rp 10 ribu rupiah. Itu tarif WNI. Kalo WNA, harganya dipatok Rp 30 ribu. Sengaja harga WNI dan WNA dibedakan. Sebab, ternyata banyak WNA yang mampir ke sini, terutama mereka yang berasal dari Arab Saudi. Ketika saya berkunjung, beberapa warga Arab nampak di situ.

Belakangan ada rumor yang mengungkapkan pengelolaan Telaga Warna ini akan diserahkan pada pihak swasta. Ada sebuah perusahaan swasta yang sudah tertarik mengelola potensi yang ada di Wisata Alam Telaga Warna ini. Menurut Pak Tatang, perusahaan besar ini sudah punya rencana besar menambah beberapa fasilitas yang sekarang sudah ada, salah satunya membuat rumah-rumah pohon yang akan menjadi penginapan umum. Menarik? Tergantung. Kalo penambahan fasilitas tersebut tidak merusak kondisi alam, barangkali nggak masalah. Tapi kalo justru malah merusak, barangkali Pemerintah harus menanguhkan kerjasama tersebut.

“Tapi barangkali pihak swasta tersebut masih butuh waktu merealisasikan kerjasama dengan pihak Departemen Kehutanan,” kata Pak Tatang. “Soalnya pengelola Telaga Warna yang justri sehari-hari mengoperasikan wisata ini belum tahu-menahu asal-muasal kerjasama ini. Mereka justru tahu belakangan. Namun hebatnya, perusahaan swasta ini justru sudah mendapatkan lampu hijau dari Menteri,” lanjut Pak Tatang lagi. Ah, bukannya sudah biasa pusat dan daerah nggak kompak ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar