Tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kuatanggeuhan.
 Kerajaan yang disebut juga Kemuning Kewangi ini diperintahkan oleh 
Raja. Nama Raja itu Prabu Swamalaya. Raja ini memiliki seorang Putri 
bernama Gilang Rukmini.
Sebagaimana manusia yang punya 
keinginan, Putri Rukmini pun punya. Keinginannya, di setiap helai 
rambutnya harus dihiasi oleh emas permata. Keinginan itu jelas non-sense atau kalo kata orang Sunda: aya-aya wae!
 Nggak heran Raja Kuatanggeuhan menolak keinginan sang Putri. Bukan 
karena Raja pelit, lho! Bukan pula Raja nggak punya uang buat membelikan
 Putri emas permata, lho. Raja punya banyak duit bukan? Penolakan sang 
Raja lebih kepada masalah make sense
 (masuk akal atau nggak masuk akal permintaan itu). Penolakan itulah 
yang kemudian membuat sang Putri marah. Dalam amarahnya, Putri membuang 
seluruh perhiasan yang pernah diberikan oleh Ayahnya. 
Rupanya
 Tuhan murka melihat seorang anak yang marah kepada orangtuanya. Nggak 
heran, ketika perhiasan-perhiasan itu dibuang, tiba-tiba bumi 
gonjang-ganjing. Keadaan itu membuat Raja, Putri, dan seluruh warga 
panik tujuh keliling. Permukaan tanah seketika mengeluarkan air. Dari 
air mancur yang kecil, semakin lama semakin besar, sampai akhirnya 
menenggelamkan kerajaan Kuatanggeuhan. Tentu Raja Prabu Swamalaya dan 
Putri Rukmini ikut tenggelam. 
Nggak lama kemudian, dari dalam dasar danau terpancar cahaya. Indah sekali. Cahayanya nggak cuma air butek
 atau warna hijau, tapi cahaya yang berwarna-warni. Nah, cahaya di danau
 yang berwarna-warni itulah yang kemudian menjadikan danau yang terletak
 di kawasan puncak Bogor ini dinamakan Telaga Warna.
Ternyata
 bukan cuma legenda soal kemarahan Putri Rukmini terhadap Raja Prabu 
Swamalaya aja yang ada di Telaga Warna. Pak Tatang, salah seorang 
Petugas di Taman Wisata Alam Telaga Warna, menceritakan legenda lain. 
Bahwa di dalam telaga ini ada sebuah kerajaan Padjajaran. Seperti kita 
ketahui, Padjajaran pernah menguasai seluruh wilayah Jawa Barat dan 
sekitarnya. Kerajaan yang didirikan oleh Sri Jayabhupati, seperti yang 
disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak pada tahun 923 ini di daerah 
Pakuan, Bogor. Artinya nggak jauh dari Puncak. Alkisah, Ratu kerajaan 
ini punya keinginan. Kali ini bukan keinginan yang aneh sebagaimana 
Putri Rukmini. Keinginan Ratu adalah memiliki keturunan alias anak, agar
 tahta kerajaan bisa diwariskan kelak. 
Sayang seribu kali sayang, sampai beberapa tahun married,
 sang Ratu belum juga dikaruniai anak. Sebenarnya Tuhan sedang menguji 
kesabaran Ratu. Namanya manusia, pasti tetap punya rasa sedih. Gara-gara
 kesedihan Ratu yang berkepanjangan, air matanya membentuk sebuah telaga
 dan kemudian menenggelamkan kerajaan Padjajaran. 
“Makanya
 ada yang pernah meneliti, di tengah-tengah telaga ini ada segitiga 
semacam pucuk sebuah candi,” kata Pak Tatang, yang sudah 18 tahun 
bertugas di Telaga Warna ini.
Beberapa Peneliti, baik 
dari Arkeolog maupun Peneliti lain, memang pernah melakukan penelitian 
terhadap Telaga Warna ini. Terus terang nggak ada satu pun hasil 
penelitian yang menyebutkan soal eksistensi candi atau situs purbakala 
yang terendam di dalam telega ini. Yang ada cuma bukti kedalaman telaga 
ini, yakni 30 meter untuk telaga yang terdalam. Sementara yang paling 
dangkal kurang lebih 1,5 meter. Namun, tahun lalu sempat diukur lagi, 
kedalaman telaga ini sempat menyusut, menjadi 25 meter. Nah, oleh karena
 nggak ada bukti soal situs-situs purbakala atau peninggalan Kerajaan 
Padjajaran, maka cerita Pak Tatang tadi menjadi tambahan legenda seputar
 keberadaan Telaga Warna ini.
Masih soal legenda, ada 
pula kisah dua ekor ikan purba yang konon ada di dalam telaga sampai 
kini. Ikan purba tersebut bernama Layung dan Tihul. Cukup aneh buat nama
 seekor ikan. Layung berwarna merah, sedang Tuhul berwarna hitam. Namun,
 masyarakat sekitar situ percaya kedua ikan purba itu benar-benar ada 
atau hidup di Telaga Warna ini. Saking percaya, masyarakat di sekitar 
Puncak percaya, orang yang mampu melihat ikan purba itu berenang atau 
meloncot dari permukaan air akan memperoleh rezeki. Cita-cita orang 
tersebut akan tercapai.
Begitulah Telaga Warna. Penuh 
misteri. Menurut Pak Tatang, orang-orang memang masih banyak percaya 
soal legenda dan ikan purba ini. Hal itulah yang kemudian menjadikan 
Telaga Warna ini sebagai tempat persugihan, dimana setiap Jumat kliwon 
atau malam 1 Suro, beberapa orang seringkali melakukan ziarah. 
“Sebenarnya
 di luar dari malam-malam itu, banyak pula orang yang berziarah ke 
sini,” tambah Pak Tatang yang mengaku sering melakukan meditasi dalam 
rangka meningkatkan ilmu getaran jiwa di Telaga Warna ini.
Oleh
 karena banyak peziarah, pihak Departemen Kehutanan, dalam hal ini 
Perhutani yang bertanggungjawab mengelola Wisata Alam Telaga Warna ini, 
membuatkan sebuah ruang buat berziarah yang dibangun mirip sebuah pos 
penjaga atau loket yang menjual tiket. Di ruang sempit berukuran kurang 
lebih 1,5 meter kali 2,5 meter itu terdapat sebuah bangunan mirip makam.
 Padahal bangunan yang diplester dengan menggunakan keramik warna putih 
itu sebelumnya nggak ada makam atau prasasti apapun. Aneh? Begitulah 
kenyataannya.
Ketika saya masuk ke ruang itu, masih ada
 sisa beberapa batang hio di sebuah pot. Sepertinya sebelumnya ada yang 
sempat melakukan ziarah. Di luar bagunan pun saya sempat menemukan 
bungkus hio yang bergambar sebuah patung Budha dengan tulisan Mandarin 
di kardusnya. Selain bangunan berbentuk makam kecil, tiga pot tempat 
mengisi hio, ada pula dua figura kaligrafi bertuliskan Allah dan Nabi 
Muhammad dalam bahasa Arab. Figura itu menempel di dinding di atas 
“makam-makaman” itu.
Selain ruang ziarah, tentu saja 
banyak fasilitas lain yang terdapat di Telaga Warna. Menurut Pak Tatang,
 kurang lebih baru dua tahun ini terdapat fasilitas outbond. Ada pula flying fox,
 dimana tingginya mencapai 15 meter dengan rute sepanjang 100 meter. 
Pada saat kita menggantung, kita akan melewati telaga. Lumayanlah buat ngetes nyali. Selain fasilitas itu, bahkan banyak pula kelompok yang memanfaatkan lokasi ini sebagai lokasi camping. 
Bagi
 Anda yang cuma ingin berkeliling di telaga sambil menikmati bukit yang 
ditumbuhi pepohonan dan mengitari telaga, Anda bisa menyewa perahu atau 
rakit. Harga perahunya Rp 7.500 per orang. Kebetulan saya sempat 
berkeliling danau bersama Pak Tatang dan merasakan berada di 
tengah-tengah telaga. Selain kesejukan udara, saya seperti merasakan 
hawa mistis yang ada di telaga ini, apalagi setelah mendengar soal 
legenda-legenda soal kerajaan  Kuatanggeuhan dan kerajaan Padjajaran.
“Tenang
 aja. Nggak ada mahkluk halus yang akan mengganggu kita, asal kita nggak
 rusuh,” kata Pak Tatang yang mengaku sempat melihat beberapa kali sosok
 mahluk halus ketika melakukan meditasi.
Saya semakin 
merinding ketika Pak Tatang menunjuk dua orang yang sempat meninggal di 
telaga ini beberapa tahun lalu. Apalagi saya sedang berada di titik 
tengah telaga dan nggak jauh dari TKP atau Tempat Kejadian Perkara. 
Menurut cerita beliau, ada lima orang yang naik rakit kayu. Mereka ribut
 sekali ketika berada di tengah danau. Bukan cuma tertawa, tapi becanda.
 Entah kenapa tiba-tiba rakit tengguling. Semua orang tercebur ke 
telaga. Tiga orang berhasil diselamatkan, sedang dua orang lagi tewas. 
Barangkali berita ini nggak sempat diekspos ke media. Namun, sebetulnya 
menurut Pak Tatang nggak apa-apa, agar orang lebih berhati-hati. Sejak 
kejadian itu, nggak pernah ada kejadian lagi. Setiap kali ada orang yang
 naik perahu atau rakit, Pak Tatang selalu mengingatkan agar jangan 
rusuh.
Di Wisata Alam ini kita juga bisa melihat langsung monyet-monyet liar jenis kera (macaca fascularis) dan lutung (trachypitechus auratus).
 Mereka berkeliaran bebas di sekitar telaga. Suasana ini mengingatkan 
saya pada sebuah lokasi di Bali, dimana terdapat banyak monyet liar. 
Sebenarnya, ada tulisan yang melarang Pengunjung  agar jangan memberikan
 makanan. Namun, ketika saya di berada di situ, ada saja Pengunjung yang
 memberikan makan monyet-monyet itu. Nggak heran, berkumpulnya 
monyet-monyet liar buat mengambil makanan, menjadi atraksi tersendiri di
 telaga ini.         
“Pimpinan yang bertanggungjawab 
di Telaga Warna ini memang jeli mengeksplorasi wisata alam ini,” papar 
Pak Tatang yang seperti membandingkan Telaga Warna dahulu dengan 
sekarang ini, dimana fasilitasnya sudah banyak. “Modal membangun 
fasilitas ini cuma 25 juta, eh nggak sampai enam bulan sudah bisa balik 
modal dan per bulan bisa mendapat income 30 juta per bulan”.
Telaga
 Warna menerapkan dua tarif. Kalo WNI harganya cuma dua ribu perak, 
sedang non-WNI dipunggut biaya Rp 15 ribu. Kalo ingin menggunakan 
fasilitas flying fox, kita 
cukup membayar Rp 10 ribu rupiah. Itu tarif WNI. Kalo WNA, harganya 
dipatok Rp 30 ribu. Sengaja harga WNI dan WNA dibedakan. Sebab, ternyata
 banyak WNA yang mampir ke sini, terutama mereka yang berasal dari Arab 
Saudi. Ketika saya berkunjung, beberapa warga Arab nampak di situ.
Belakangan
 ada rumor yang mengungkapkan pengelolaan Telaga Warna ini akan 
diserahkan pada pihak swasta. Ada sebuah perusahaan swasta yang sudah 
tertarik mengelola potensi yang ada di Wisata Alam Telaga Warna ini. 
Menurut Pak Tatang, perusahaan besar ini sudah punya rencana besar 
menambah beberapa fasilitas yang sekarang sudah ada, salah satunya 
membuat rumah-rumah pohon yang akan menjadi penginapan umum. Menarik? 
Tergantung. Kalo penambahan fasilitas tersebut tidak merusak kondisi 
alam, barangkali nggak masalah. Tapi kalo justru malah merusak, 
barangkali Pemerintah harus menanguhkan kerjasama tersebut.
“Tapi
 barangkali pihak swasta tersebut masih butuh waktu merealisasikan 
kerjasama dengan pihak Departemen Kehutanan,” kata Pak Tatang. “Soalnya 
pengelola Telaga Warna yang justri sehari-hari mengoperasikan wisata ini
 belum tahu-menahu asal-muasal kerjasama ini. Mereka justru tahu 
belakangan. Namun hebatnya, perusahaan swasta ini justru sudah 
mendapatkan lampu hijau dari Menteri,” lanjut Pak Tatang lagi. Ah, 
bukannya sudah biasa pusat dan daerah nggak kompak ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar