Ini hari terakhir kami di kampung Cibe’o, Baduy Dalam. Waktu dua hari rasanya begitu cepat berlalu. Sebetulnya kami ingin berlama-lama lagi tinggal di sini. Selain hubungan yang sudah begitu akrab dengan Sarip, Syapri, Sarja, Sarta, Sarid, dan tentu saja dengan pak Narja, kami merasa nyaman tinggal di lingkungan yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Saat di Baduy Dalam, kami seperti hidup di alam kedamaian. Tidak dikejar-kejar oleh kesibukan, deadline, dan aneka godaan duniawi. Kami tak terkontaminasi oleh berita-berita negatif, bebas dari kasak-kusuk dunia perpolitikan yang penuh kemunafikan, dan tentu bebas polusi.
Selama dua hari, kami belajar banyak dari orang-orang Baduy Dalam. Belajar tentang kepemimpinan, loyalitas, kesederhanaan, dan tentu saja kejujuran. Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa seluruh warga kampung Baduy Dalam patuh pada jabatan yang bernama Pu’un. Bagi mereka yang melanggar, akan diberikan sanksi oleh Pu’un. Sanksi yang paling keras adalah dikelarkan dari kampung.
Kepemimpinan Pu’un jelas sangat terhormat. Pu’un adalah sistem dan semua warga Baduy Dalam harus tunduk pada sistem. Loyalitas dan konsekuen pada sistem inilah yang tak ditemukan di luar Baduy Dalam. Saya berani katakan, Indonesia saat ini tidak punya pemimpin yang dihormati. Ketakutan orang pada Presiden saat ini lebih bukan karena tunduk pada sistem, tetapi mereka takut pada jabatan atau posisi. Mereka takut juga, karena ingin cari muka. Sungguh munafik.
Begitu banyak contoh, dimana Presiden tidak lagi mendapat respek dari sebagian besar warga. Tentang ketidakkonsistenan pemberantasan korupsi dan ‘tebang pilih’ pada mereka yang sudah jelas korup. Berbeda dengan apa yang kami lihat di Baduy Dalam ini. Tanpa politik pencitraan, namun dengan kesederhanaan mereka konsisiten dan loyal pada pemimpin dan hukum adat.
“Harus sepagi ini, pak?” tanya Imung pada pak Narji.
“Iya,” jawab pak Narji.
Sebagaimana pembicaraan tadi malam, tour leader kami, Imung, diminta pak Narji untuk menghadap ke Pu’un. Hal ini dilakukan, karena kami dianggap telah melanggar aturan. Di masa Kawalu, seharusnya kami dilarang berkunjung ke Baduy Dalam. Kalau pun boleh, seharusnya tidak lebih dari 3 orang. Sementara tim kami yang datang dan menginap di Baduy Dalam berjumlah 11orang.
Saat diperintahkan pak Narji itu, Imung sedang bercakap-cakap dengan teman kami di papange. Kebetulan suasana masih gelap, karena baru saja kami selesai melaksanakan sholat subuh berjamaah. Jam di tangan saya menunjukan pukul 04:45 wib.
Menurut pak Narji, kenapa Imung harus menghadap sepagi itu, karena para Pu’un akan melaksanakan meeting. Ada masalah mendesak yang harus dibicarakan. “Meeting para Presiden,” ujar pak Narji, yang mengistilahkan Pu’un sebagai seorang Presiden.
Sambil menunggu kabar pertemuan pak Narji dan Imung dengan Pu’un, kami bercakap-cakap dengan Syapri dan teman-temannya. Rupanya saat ini Syapri sedang senang belajar bahasa Inggris. Kesempatan berjumpa dengan kami, dimanfaatkan olehnya untuk bertanya tentang kata-kata atau percakapan sederhana dalam bahasa Inggris.
“Kalau saya suka itu apa bahasa Inggrisnya?” tanya Syapri.
“I like it,” jawab teman kami.
“Kalo saya suka kamu, I like you,” tambah teman saya lagi.
“Oh, bukan I love you ya?” protes Syapri.
“Itu saya cinta atau sayang kamu…”
Keinginan belajar bahasa Inggris Syapri begitu keras. Ini terlihat dari antusiasmenya bertanya dan mengulang kata atau kalimat-kalimat yang diberikan teman saya. Melihat hal itu, salah seorang teman saya langsung mengeluarkan buku catatan kecil berwarna kuning dari tasnya dan menuliskan beberapa kata. Begitu selesai ditulis beberapa kata, langsung diberikan ke Syapri.
Syapri memegang kertas kecil sambil membaca. Beberapa teman-temannya, Sarip dan Sarid mengerumuni Syapri. Berharap bisa ikut belajar bahasa Inggris. Suasana paska Subuh itu mirip seperti kursus singkat bahasa Inggris.
Sementara teman-teman kami melakukan short course, saya ngobrol dengan teman Syapri lain, Agus. Dengannya saya baru tahu, tiga warga Baduy Dalam yang semalam pergi ke Ciboleger itu adalah mereka yang ingin membeli keperluan untuk seorang warga Baduy Dalam yang meninggal.
“Ada nenek-nenek yang umurnya sudah seratus tahun meninggal,” ujar Agus.
“Kita nggak boleh berkunjung ke rumah yang meninggal ya?” tanya saya penasaran.
“Tidak boleh”.
Rasa penasaran itu muncul, karena biasanya dalam kematian di sebuah dearah terdapat upacara adat, sebagaimana di Batak misalnya. Ada seorang Mauli Bulung, yakni sebutan orang yang meninggal, dimana jazadnya diletakkan di peti mayat, dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan.
Kematian seseorang dengan status Mauli Bulung, menurut adat Batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Oleh karena itu, tidak ada lagi isak tangis. Bahkan pihak keluarga boleh bersyukur dan bersuka cita, berpesta tetapi bukan hura-hura, yakni dengan cara memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi Penyayang.
Begitu pula upacara kematian dalam Adat Bugis Makassar yang biasa disebut Ammateang. Dimana saat ada seseorang dalam suatu kampung meninggal, mereka yang melayat biasanya membawa sidekka (semacam sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan), yakni berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus mayat.
Sementara di luar rumah orang yang meninggal, anggota keluarganya membuat usungan (ulureng) untuk golongan to sama’ (bacanya tau samara yang artinya warga biasa) atau walasuji (golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Berbarengan dengan pembuatan ulureng, dibuat pula cekko - cekko, semacam tudungan berbentuk lengkungan panjang, sepanjang liang lahat. Cekko-cekko itu akan diletakan di atas timbunan liang lahat, saat jenazah telah dikuburkan.
Nah, saya yakin banget Baduy Dalam juga punya upacara kematian. Namun, begitu Agus mengatakan saya tidak boleh mengunjungi orang yang meninggal, pun tidak boleh mendekat ke rumah yang meninggal, saya tidak ingin melanggar perintah itu. Sebab, jika nekad, bisa jadi saya barangkali tidak bisa pulang hari ini, ‘dipaksa’ untuk berputar-putar di bukit sebagaimana pernah terjadi pada Imung, atau disihir jadi batu seperti Malin Kundang.
Lewat Agus saya juga mendapatkan info, bahwa pernah ada warga Bandung yang meninggal di sungai yang dalamnya 6 meter. Menurutnya, tewasnya warga Bandung itu bukan, karena kesalahan sungai, tetapi kesalahan si korban. Sebetulnya almarhum sudah diingatkan agar jangan berenang di sungai itu oleh Jaro, tetapi ia nekad dan kemudian tewas.
Ternyata bukan cuma seorang warga Bandung yang tewas di sungai itu, tetapi ada tiga orang lain, yang semuanya warga Baduy Dalam. “Mereka semuanya bunuh diri,” ujar Agus tanpe merinci penyebab mereka bunuh diri. “Satu orang bunuh diri sambil membawa anaknya yang masih bayi.”
Waktu sudah pukul 08:30 wib. Kami siap-siap untuk pamit, kebetulan pula Imung sudah kembali dari Pu’un. Setelah berkisah sedikit tentang pertemuannya dengan Pu’un, kami pamit dengan anggota keluarga, dimana tempat kami menginap. Saat pamit, kami mengucap banyak terima kasih pada mereka yang dengan tulus dan ikhlas telah menerima kami.
“Terima kasih bapak-ibu, Insya Allah nanti kalo Syapri menikah, kami bisa berkunjung ke sini lagi,” janji salah seorang teman kami.
Kami pun meninggalkan Baduy Dalam, kampung yang selama dua hari ini kami tinggali. Kampung dengan penuh kesederhanaan, yang masih berkomitmen untuk tidak ikut godaan duniawi. Kampung yang memiliki pemimpin yang dihormati seluruh warga dan patuh pada hukum. Ah, seandainya pelajaran tentang loyalitas pada pemimpin dan hukum, kesederhanan, dan kejujuran itu ada pada diri kita yang hidup di luar Baduy Dalam ini, Indonesia pasti menjadi bangsa yang luar biasa. Namun sayang, perampok-perampok negeri ini adalah saudara-saudara kita sendiri. Jadi butuh pemimpin bertangan besi dan tidak berjiwa korup yang berani menghabisi perampok-perampok itu.
(tamat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar