Sejak keluar dari pintu tol di Rangkasbitung, saya sempat menghitung jumlah pasar yang kami lewati. Seperti biasa, setiap lewat pasar, semua kendaraan memperlambat laju. Tak heran terjadi kemacetan, karena antrean kendaraan tersebut. Yang menyebalkan, di tengah kemacetan seperti ini, ada saja kendaraan yang kurang disiplin, menyalip dari kanan atau kiri.
Saat kemacetan terjadi, tepatnya ketika kami melewati Pasar Jayanti Serang, seorang Petugas DLLAJR tiba-tiba mengentikan mobil Elf kami. Polisi bertubuh tambun dan berkaca mata hitam itu bertanya pada sopir kami.
“Kok KIR-nya belum diperpanjang?” ujar sang petugas pada sopir kami.
“Sudah kok pak?” jawab sopir kami.
“Coba menepi dulu. Saya lihat surat-suratnya.”
Saya dan penumpang mulai menggerutu dengan kejadian tiba-tiba ini. Tour guide kami, Imung, bahkan mengecap, Petugas ini cuma mau cari uang, apalagi setelah sang sopir menjelaskan, bahwa KIR beres. Petugas DLLAJR ini rupanya tidak melihat ada stiker di sisi kiri kendaraan yang tertulis masa berlaku 23 Agustus 2012. Ia hanya melihat sisi kanan, dimana tertulis masa berlaku KIR 25 Februari 2012.
Papan petunjuk yang ada di sisi kanan menunjukan 25 KM lagi ke arah Rangkasbitung. Tepat di KM 17, perut saya sudah terasa minta diisi makan. Kebetulan selesai sholat Jum’at, kami tidak langsung makan. Tour guide kami sudah menyiapkan tempat makan yang sudah menjadi langganannya. Sebagai ‘prajurit’ kami ikut, meski perut bunyi krucuk-krucuk gara-gara menagih makan.
Alhamdulillah, kami akhirnya sampai di sebuah restoran yang arsitekturnya memperlihatkan relatif sepuh. Memang bukan arsitektur kolonial, tetapi nampak tua. Baik pintu, jendela, maupun kusen, terlihat khas bangunan tahun 70-an. Melihat kondisi bangunan seperti itu, saya dan barangkali teman-teman yang lain saat itu menduga, makanan yang disajikan adalah makanan jadul yang khas Rangkasbitung.
Ternyata saya salah. Makanan yang disajikan bukan makanan tradisional, tetapi nasi rames, sop daging, dan ayam bakar kampung. Minumannya pun juga standar atau tidak ada minuman khusus, misal jus Rangkasbitung misalnya. Tak heran, supaya beda dari teman-teman lain yang memesan es teh manis, saya pesan es cendol.
“Es cendolnya dahsyat!” komentar saya begitu selesai menyeruput.
Saya dan teman-teman baru tahu, kenapa Imung mengajak kami makan di restoran bernama Ramayana ini. Menurutnya, sejak mengantarkan tamu-tamu ke Baduy, ia selalu mengajak makan ke restoran yang sudah berdiri sejak 1975 ini.
“Gue nggak pernah ngajak ke restoran lain, selalu ke sini,” promosi Imung. “Lidah gue sudah cocok dengan masakan di restoran ini”.
Bukan cuma Imung, kami semua juga setuju, bahwa masakan di restoran Ramayana yang berlokasi di jalan Multatuli no 71, Rangkasbitung ini memang mantap. Tak cuma nasi rames, cendol, tetapi juga sopnya, termasuk sambalnya. Bahkan ada salah satu teman kami berniat banget membawa sambal restoran ini ke Baduy Dalam. Namun menurut pelayan, restoran ini tidak melayani pembelian cuma sambal. Mendengar hal tersebut, pupuslah harapan makan sambal Ramayana di Baduy Dalam.
Kelar makan, kami melanjutkan perjalanan melalui jalan di daerah Lewimidamar, Sudamanik, Lebak. Jalan daerah ini terkenal rusak. Maklum, banyak truk hilir mudik melewati jalan ini. Truk-truk ini adalah truk pengangkut pasir yang membawa pasir-pasir menuju ke kota.
Saat melewati wilayah Sudamanik, saya sedih sekali melihat kondisi sekitar. Bukan jalan yang rusak, tetapi bukit-bukit yang ada di sebelah kanan dan kiri nampak rusak, karena dieksplorasi. Rasa nikmat sehabis makan di restoran Ramayana sudah hilang ketika melihat pemandangan itu. Entah sampai kapan eksplorasi ini akan segera berakhir, tapi sepertinya masih akan terus berlangsung dan akhirnya akan menghabiskan seluruh bukit yang ada di sekitar wilayah itu.
Seperti juga di Jakarta, jalan rusak parah itu dimanfaatkan oleh sejumlah penduduk untuk meminta sumbangan pada kendaraan yang melewati jalan. Padahal saya yakin banget, sebanyak apapun recehan yang dikumpulkan penduduk-penduduk ini, tidak berpengaruh banyak pada kondisi jalan yang memang banyak rusak. Bukan mau seudzon, beberapa kali saya amati aktivitas seperti mereka ini menambal jalan sekadarnya, sementara sisa uang untuk rokok atau jajan.
Kami akhirnya memasuki wilayah Ciboleger. Artinya, sebentar lagi sampai di ujung perjalanan kami menuju Baduy. Saat masuk ke Ciboleger, hujan rintik-rintik menyambut kedatangan kami. Padahal saat itu matahari masih bersinar cerah. Langit tak terlihat mendung. Tetes hujan itu menyebabkan jalan beraspal yang semula panas, karena terkena terik matahari, mengeluarkan asap.
Beberapa menit sebelum berhenti di perhentian mobil terakhir di Ciboleger, nampak sebuah BTS atau tower tegak berdiri. Kami serentak langsung melihat sinyal dari masing-masing alat komunikasi yang kami bawa. Maklumlah, hampir sepanjang perjalanan menuju ke Ciboleger sinyal semua operator selular lemah, bahkan ada yang tidak mendapatkan sinyal sama sekali.
Nampak dua spanduk operator yang berperang. “Di sini sinyal paling kuat Telkomsel”, begitu spanduk pertama berpromosi. Begitu teman kami pengguna operator itu mengecek, ternyata tidak terbukti. Begitu pula dengan spanduk operator lain: “Hanya sinyal Indosat yang kuat di sini”, yang ternyata juga tidak terbukti. Satu spanduk yang bergambar Tukul Arwana pun juga tidak terbukti mengalahkan dua operator selular yang mengaku paling kuat itu.
Untung kami tak peduli perang operator selular tersebut, apalagi kami pun curiga dengan BTS yang tegak berdiri di Ciboleger ini belum berfungsi. Yang kami peduli, cepat sampai ke pos terakhir dan langsung menuju ke Baduy Dalam. Toh, di Baduy Dalam kami juga tidak akan menggunakan gadget secanggih apapun. Sebab, sejak awal tim Tour of Baduy Dalam ini memang sepakat untuk menjalani hidup tanpa tergantung dengan teknologi apapun, baik itu radio, televisi, listrik, maupun gadget.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar