Jumlah rumah tua peninggalan zaman Belanda di Salemba ternyata masih banyak. Meski nggak begitu akurat, namun kalo saya hitung pakai jari, setidaknya ada sekitar 10 rumah tua masih kokoh berdiri. Di jalan Salemba Raya saja ada sekitar lima rumah yang masih ditempati. Tentu saja bukan ditempati oleh pemilik asli, tetapi kebanyakan oleh keturunannya.
Sebut saja rumah yang ditempati oleh Pak Soeseno yang berada di Salemba Tengah no 15, Jakarta Pusat ini. Sebelum ayahnya meninggal tahun 60-an, ada warga Tionghoa yang sempat menempati rumah rumah ini. Padahal, akunya, setelah Belanda diusir dari Indonesia tahun 1943, ayahnya yang mantan Direktur Jendral Departemen Penerangan zaman Soekarno yang berhak menempati rumah ini.
"Nggak heran kalo rumah ini sekarang jadi rumah sengketa antara keluarga kami dan etnis Tionghoa itu," jelas Pak Soeseno yang kini berusia sekitar 62 tahun ini.
Sambil menunggu pembeli, rumah tua di Salemba Tengah ini dipergunakan sebagai tempat aerobik dan body language.
Gara-gara sengketa, rumah itu dikuasai oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta bidang perumahan. Nggak heran setiap bulan, Pak Seno kudu menyetor uang sekitar Rp 500 ribu ke kas Pemda yang ada di sekitar Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebagai uang sewa tinggal. Itu baru uang sewa, sementara Pak Seno kudu membayar uang NJOP sebesar Rp 5 juta.
Sebagai pensiunan Departemen Keuangan tahun 2000, Pak Seno merasa berat. Nggak cuma uang buat bayar NJOP, tetapi buat sewa bulanan saja sudah dirasa nggak mampu. "Berapa sih uang pensiunan pegawai negeri?"
Pak Seno memang nggak berkutik dengan kasus sengketa ini. Awalnya saya heran, kalo memang rumah ini seharusnya menjadi hak keluarganya, karena dahulu dimiliki oleh sang ayah, mengapa jadi sengketa? Apalagi ketika saya lihat di tembok depan rumah terdapat tulisan almarhum ayahnya Pak Seno yang bernama Pak Mohammad Soeleman. Ternyata sejak dahulu, ayahnya nggak membuatkan rumah ini sertifkat hak milik.
"Yang punya sertifikat justru orang Tionghoa yang saya bilang tadi," jelas Pak Seno, yang memutuskan nggak menikah sampai sekarang ini. Oalah! Itu ternyata masalahnya!
Rumah Pak Seno tampak depan. Gara-gara rumah ini berstatus sengketa, Pak Seno yang lahir dan dibesarkan di sini masih menyewa rumah ini sampai sekarang dan membayar NJOP.
Ketika saya selidiki, pemilik sertifikat itu atas nama Marjono Lingga, yakni pemilik NV Tjitajam (maksudnya Citayem, Bogor). Di surat keterangan bertanggal 5 Agustus 1976 itu tertulis, Pak Marjono tinggal di jalan Pecenogan no 31, Jakarta Pusat. Status kepemilikan rumah itu pun bukan hak milik Pak Marjono sepenuhnya. Tetapi ia cuma punya sertifikat hak guna bangunan (HGB) bernomor 102/ Salemba no 255 tahun 1907. Sementara Pak Soeleman, ayah Pak Seno, cuma diberikan wewenang buat tinggal dengan cara menyewa rumah yang lokasinya dekat dengan rumah sakit MH. Thamrin, Salemba ini.
Ketika pertama keli ditempati, luas rumah ini 1.280 m2. Namun berkat pelebaran jalan buat jalan pinggir kali, yang persis di samping sayap kanan rumah, tanahnya kini tinggal 727,70 m2. Sementara luas bangunannya adalah 253 M2.
"Beberapa waktu lalu saya dapat kabar, Pemda akan memperluas kali di samping rumah, sehingga bisa jadi tanah rumah ini akan diambil lagi," jelas Pak Seno yang tinggal di rumah itu bersama ketiga kakaknya yang sudah sepuh-sepuh itu.
Rumah Pak Seno tampak dari dalam. Semua masih asli, termasuk ubinnya.
Kini Pak Seno tinggal tunggu nasib aja. Maksudnya, kalo pihak Pemda masih berbaik budi, dia masih diizinkan buat tinggal di rumah sengketa itu. Namun, ia mengaku, sebenarnya sudah cukup berat harus membayar Rp 500 ribu per bulan dan membayar Rp 5.172.776.
Nasib yang sama juga terjadi pada rumah-rumah tua di jalan Salemba lain. Ada satu rumah tua persis di pinggir jalan Salemba Tengah Baru yang sudah berberapa kali ditawar oleh pengusaha kos agar dijual. Hebatnya si pemilik rumah tua ogah melepas rumah peninggalan Belanda itu. Rupanya ia nggak tergiur dengan uang.
"Desakan agar menjual rumah nggak sekali dua kali, tetapi berkali-kali," ujar pria yang nggak mau disebutkan namanya, yang kini menjadi tukang kebun sekaligus penjaga rumah di Salemba Tengah Baru itu.
Pernah kejadian, pengusaha kos-kosan di belakang rumah menabrak pagar rumah tua tersebut. Si pemilik rumah tua nggak terima, si pengusaha kos pun nggak terima. Ia langsung memperkarakan ke polisi. Saat memperkarakan masalahnya, lagi-lagi ia mendesak pemilik rumah tua agar menjual rumahnya. Untunglah, pemilik rumah tua ini juga banyak kenal polisi. Masalah pun kelar.
Rumah tua persis di ujung jalan Salemba Tengah Baru (foto kanan). Sudah berkali-kali ditawar agar sudi dijual. Untunglah si pemilik nggak tergiur oleh uang. Pemilik kos mewah ini (foto kiri) yang berada di belakang rumah tua, yang masih tetap penasaran buat membeli rumah tua di depan kos-kosan itu.
Saat ini di jalan Salemba memang terdapat kampus, yakni Bina Sarana Informatika (BSI). Biasalah, dimana ada kampus, biasanya banyak kos-kosan. Nah, rupanya banyak pengusaha yang ingin mengambil celah bisnis kos-kosan ini. Ada juga sih pemilik kos yang memang asli rumahnya di sekitar Salemba. Namun biasanya kaum pendatang yang menjadi "pengacau", yakni dengan menyulap perumahan sebagai tempat tinggal menjadi kos-kosan.
Tentu kalo tidak merubah peruntukan pemukiman atau struktur bangunan, ya no problemo. Tetapi kalo sampai membongkar bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda yang memiliki nilai historis, barangkali kaum pendatang model begini kudu dilenyapkan dari muka bumi ini. Yaiyalah! Mereka pasti cuma memikirkan uang, ketimbang konservasi bangunan tua. Buat mereka, nggak ada manfaatnya mempertahankan nilai historis. Lebih baik berbisnis, lupakan masa lalu. Begitulah kapitalis.
Anyway, sifat kapitalis mereka yang nggak peduli dengan nasib bangunan-bangunan tua nggak 100% salah juga. Sebab, bukan tanggung jawab mereka juga menjaga bangunan-bangunan tua agar tetap lestari. Di sini ada juga tanggung jawab moral dari pihak Pemda. Kalo Pemda pikir, kita tetap butuh sejarah, maka bangunan-bangunan yang memiliki nilai historis nggak akan dipugar atau diberikan pada pengusaha yang nggak peduli dengan yang namanya konservasi.
Pemda justru seharusnya melindungi para pemilik bangunan. Caranya? dengan memberikan keringanan pajak atau bahkan kalo perlu mensubsidi renovasi. Itu kalo Pemda pikir sejarah itu penting, lho. Kalo enggak, ya bangunan-bangunan di Salemba memang tinggal tunggu nasib aja, deh.
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
ok terus berjuang terus pak seno semoga berhasil dan memilikin rumah tersebut........!
BalasHapusRumah pak Seno sekarang sdh jadi salon. Entah sudah dibeli oleh pemilik salon atau dikontrak. Yg pasti design jadulnya sdh tdk nampak lagi...hiks!
Hapus