Minggu, 24 Januari 2010

HUKUM RIMBA DI JALAN RAYA

Sebuah billboard gede terpampang di pojok jalan antara jalan HR. Rasuna Said dengan jalan Satrio Casablanca. Selama ngider-ngider di Jakarta, setahu saya billboard yang berisi himbauan pada para penggendara bermotor cuma satu-satunya.



Billboard himbauan menghormati pejalan kaki dan penggowes sepeda kayak begini cuma satu. Saya jadi berpikir negatif, yang menghimbau kayaknya nggak terlalu niat menggangkat derajat pejalan kaki dan penggowes agar dihormati. Kalo niat, bukan cuma satu billboard, tapi banyak. Kalo dirasa kemahalan, ya bikin poster, pin, atau spanduk, ya nggak?

Dalam billboard itu tertulis: JANGAN RAMPAS HAK PEJALAN KAKI DAN PESEPEDA. Himbauan tersebut berdasarkan undang-undang lalu-lintas angkutan jalan raya (UU LLAJ) 284 no 22/2009 yang dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan(Dephub).

Selama ini memang para penggendara bermotor kuran banget menghargai pejalan kaki dan penggowes sepeda. Cobalah tengok di jalan raya. Penggendara bermotor seenaknya mengendarai motor di trotoar. Entah si penggendara motor itu goblok atau tolol, nggak tahu kalo yang namanya trotoar khusus buat pejalan kaki. Udah menggunakan hak pejalan kaki, eh masih klakson-klakson orang yang lagi jalan di trotar itu pula, berharap pejalan kaki mau minggir. Gokil nggak tuh?


Kalo semua jalan kayak begini, sudah dipastikan pejalan kaki akan berjalan di jalan raya, dan sudah dipastikan pula kemacetan akan terjadi. Kenapa Pemda nggak mencari solusi kayak relokasi yang dilakukan di jalan Sabang, Jakarta Pusat ya?

Kelakuan penggendara mobil lain lagi. Merasa nanggung, mereka yang mau menyeberang jalan nggak dikasih jalan. Padahal si penyebrang jalan sudah menyeberang dengan baik, yakni di zebra cross. Nggak heran di negara kita tercinta ini, kalo mau menyebarang kudu berani menerobos laju kendaraan. Ya, risikonya memang vatal, tetapi seringkali butuh kenekatan kayak begitu.

Kalo di luar negeri, saking menghormati pejalan kaki dan penggowes sepeda, mereka yang menggunakan kendaraan bermotor kudu berhenti beberapa meter dari mereka. Ini bertujuan agar memberikan kesempatan mereka jalan. Nggak usah jauh-jauh di Eropa deh, di Malaysia aja. Beda banget dengan di Indonesia. Sebisa mungkin kalo ada celah buat ngebut, ya ngebut lah, apalagi penggendara motor, wah nggak usah ditanya deh kelakuannya.


Pemandangan kayak foto di atas ini sudah lazim di Indonesia. Hebatnya nggak ada satu aparat pun yang menegur mengenai hal ini.

Memang, banyak pejalan kaki yang nakal juga. Sudah dibuatkan jembatan penyeberangan, eh masih aja meloloskan diri lewat pagar. Alasannya, lebih efisien, efektif, dan nggak cape. Nggak heran, banyak pagar-pagar di bawah jembatan penyebarangan yang besi-nya "ompong". Itu ulah mereka yang pengen membuat jalan mulus tanpa harus lewat jembatan penyeberangan.

Back to trotar's problem yang dirampas oleh kendaraan bermotor. Bahwa belakangan, trotar digunakan buat parkir motor maupun mobil. Alasan si pemilik kendaraan bermotor, terlalu jauh parkirnya. Mending parkir di trotar dekat kantor. Toh, di jalan tersebut nggak ada tanda "P CORET" alias dilarang parkir.


Lokalisasi warung kaki lima di Sabang, Jakarta Pusat. Lihatlah trotoar di depan lokalisasi tersebut, bersih! Coba semua tempat melakukan hal ini sebagaimana jalan Sabang.

Kalo trotar sudah dipakai parkir, lain lagi dengan para pedangan warung tenda. Mereka ini sudah dari dulu mendirikan tenda di atas trotar. Nggak di kota-kota besar, di kota kecil pun sudah ikut-ikutan tren berdagang di trotoar. Seperti juga pemilik kendaraan bermotor, para pedagang ini punya alasan: (1) nggak disediakan tempat buat berjualan oleh pemerintah daerah; (2) kalo pun ada, lokasinya nggak strategis; atau (3) lokasi strategis yang disediakan terlalu mahal. Walah!

Pemerintah daerah (Pemda) setempat sebenarnya yang bertanggungjawab dengan eksistensi para pedagang yang menggunakan trotoar sebagai tempat jualan. Memang sih saya merasa perlu keberadaan para pedagang tenda itu, tetapi bukan berarti harus menggunakan trotar dong!



Ini lokalisasi yang dilakukan Bank Syariat Mandiri cabang Thamrin, Jakarta Pusat. Para pedangan baru maupun lama disatukan di satu lokasi seolah mejadi satu lokasi kuliner.

Di kawasan Menteng, Jakarta Pusat contoh. Dalam hal ini pihak Walikota Jakarta Pusat berhasil mendapatkan solusi dengan memindahkan seluruh pedagang-pedagang tenda di sebuah lokasi tanpa menggunakan trotoar. Ada tanah kosong yang disewa oleh Pemda yang cukup merelokasi para pedagang. Jadi, tanpa meninggalkan lokasi strategis di Sabang, para pedagang tetap meraih keuntungan.

Bahkan di sekitar situ, Bank Syariah Mandiri cabang Thamrin, Jakarta Pusat pun punya ide cemerlang, dengan memanfaatkan jalan samping gedung buat menghimpun para pedagang kaki lima di sekitar jalan Sabang. Walhasil, selain jalan Sabang nggak kumuh, enak dipandang, juga sedikit mengurangi kemacetan. Maklumlah, saat masih banyak pedagang di pinggir trotoar, space parkir buat kendaraan bermotor jadi terpakai. Akibatnya, pada saat mereka ingin parkir harus melambatkan kendaraannya saat menyusuri jalan dan itu berimbas pada kendaraan di belakangnya.

Solusi soal "perampasan" jalan bagi pejalan kaki dan penggowes sepeda belum dilakukan di semua tempat. Padahal ada yang menarik pada himbauan di billboard itu. Di akhir copywriting di billboard itu tertulis dengan indah: KESADARAN KITA, KESELAMATAN SEMUA. Maksud dari Dephub dengan tagline itu sebenarnya baik. Tetapi selama ini yang terjadi di lapangan jarang sekali kita nggak sadar-sadar. Pejalan kaki maupun penggowes sepeda nggak dianggap. Walhasil, sampai detik ini hukum yang ada di jalan raya bukan undang-undang, tetapi hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang menang.

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar