Rumah bercat putih itu tak berubah sejak 40-an tahun lalu, ketika beralih fungsi dari kantor menjadi rumah tinggal Fatmawati. Baik jendela, maupun struktur bangunannya tetap sama. Meski di sekeliling rumah yang berada di jalan Sriwijaya Raya no 26, Kebayoran Baru ini sudah banyak rumah, namun tetap saja asri, karena di sekelilingnya masih tumbuh pepohonan yang meneduhkan.
Di teras rumah, dimana terdapat bangku dan meja klasik, terdapat beberapa orang. Mereka adalah tamu calon Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang akan "bertarung" di Kongres Bali pada April nanti. Siapa lagi kalo bukan Guruh Soekarnoputra. Alhamdulillah, di tengah kesibukannya menghimpung kekuatan di pengurus cabang di daerah-daerah, saya dan teman-teman tvOne berhasil menjumpai pria yang akrab disapa mas Guruh ini.
Struktur bangunan dari dulu sampai sekarang masih belum diubah.
Bagi Guruh, fokus utama saat ini memang pencalonan dirinya menjadi Ketua Umum PDIP periode 2010-2015. Meski sebelumnya sempat meramaikan pencalonan sebagai Ketua Umum PDIP dan kalah dengan kakak kandungnya, Megawati Soekarnoputri, namun tekadnya buat menjadi Ketua Umum belum padam. apalagi Mega sendiri sudah merestui keinginan Guruh jadi Ketua Umum PDIP. Maklum, menurut info, mantan Presiden RI ke-5 itu ingin istirahat. Ia sudah 17 tahun memimpin partai berlambang moncong putih. Usianya pun nggak muda lagi, yakni 63 tahun.
"Ini panggilan hati," kata Guruh yang saat ini tercatat masih menjabat Ketua DPP PDIP. "Saya sedih melihat kondisi bangsa ini yang masih jauh dari apa yang kita harapkan. Bahkan yang memilukan budaya kita sudah jauh ditinggalkan oleh bangsa kita sendiri. Oleh karena itu, saya ingin berjuang lewat kebudayaan. Salah satu alat perjuangan saya ya lewat partai politik."
Terlahir dengan nama Muhammad Guruh Irianto Soekarnoputra di Jakarta, 13 Januari 1953. Ia adalah anak bungsu dari pasangan Presiden pertama RI, Soekarno dan Fatmawati. Sebelum terjun ke dunia politik, Guruh dikenal sebagai pendiri Gencar Semarak Perkasa atau dikenal dengan nama GSP Production, yang sebelumnya mendirikan Swara Mahardhika.
Guruh dan kedua orangtuanya: bung Karno dan bu Fatmawati.
Anggota DPR periode 2004-2009 dan 2009-2014 ini juga sempat mendirikan grup musik bernama Guruh Gypsy dan Gang Pegangsaan bersama Keenan Nasution, Abadi Soeman, dan Chrisye. Ia sempat menikah dengan wanita asal Uzbekistan, Gusyenova Sabina Padmavati atau yang akrab disapa Sabina.
Selain membahas soal politik dan pencalonan dirinya, saya juga membahas masalah seputar rumah dan pribadinya. Maklumlah, saya baru pertama kali ke rumah yang sempat ditinggali oleh Ibu Fatmawati. Bahkan konon rumah di Sriwijaya ini merupakan hadiah Soekarno pada istri keduanya itu.
Di antara istri-istrinya, Fatmawati memang istri Soekarno yang konon paling "spesial". Kenapa "spesial"? Pertama, ketika ingin meminang Fatmawati, ada satu syarat yang harus dilakukan Soekarno, yakni Fatmawati nggak ingin dimadu. Ia akan menerima Soekarno kalo sudah menceraikan Inggit secara baik-baik.
Bu Fatmawati sempat mensyaratkan Presiden Soekarno kalo mau mengawini dirinya, yakni menceraikan secara baik-baik bu Inggrit.
Soekarno kemudian minta pendapat dari rekan seperjuangannya, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansyur. Awalnya bingung juga. Tetapi salah satu keinginan Soekarno ingin meminang Fatmawati adalah, karena keturunan. Setelah 18 tahun menikah, belum mendapatkan putra. Akhirnya pada 1943, Soekarno menikahi Fatmawati. Saat itu, usia Fatmawati 19 tahun, dan Soekarno 41 tahun. Dari pernikahan tersebut, terlahir lima anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.
Ruang para penari GSP di rumah jalan Sriwijaya kalo yang di jalan Wijaya penuh (foto kiri). Kotak sumbangan yang ada di pojok ruang penari (foto kanan).
Sudah beberapa puluh tahun ini, rumah di Sriwijaya ditempati oleh Guruh. Beberapa anggota Swara Mahardika atau GSP seringkali ke rumah ini. Bahkan kalo tempat latihan tari di jalan Wijaya, Jakarta Selatan penuh, para penari GSP latihan di rumah ini. Kebetulan di rumah ini ada sebuah ruang berukuran 10x10 m.
Ruang tempat latihan tari ini berada di sayap kiri rumah. Para penari bisa langsung masuk tanpa harus melewati teras maupun ruang tamu utama rumah ini. Kalo lewat "dalam" rumah, kita akan melewati beberapa ruang yang di hampir seluruh ruang itu terdapat barang-barang antik. Di ruang tamu, misalnya. Selain seperangkat sofa, ada sebuah meja, dimana di atas meja terdapat dua buah patung dan dua buah foto, yakni foto Guruh semasa muda dan Soekarno yang sedang memegang tangan pengemis. Di atas meja terdapat sebuah lukisan Guruh saat bersama kedua orangtuanya.
Yang paling sakral adalah sebuah ruang yang berada setelah ruang tunggu. Sebenarnya nggak tepat juga disebut ruang, karena lokasinya terbuka. Begitu masuk ke dalam rumah, setelah pintu masuk, maka kita akan melihat sebuah gebyok berukiran kayu berwarna dominasi hijau yang menempel ke tembok. Uniknya, di tengah-tengah ukiran tersebut terdapat sebuah tempat yang disekat oleh kaca. Di dalam tempat itu ada beberapa bantal dan guling bertumpuk. Ada dua patung sepasang pengantin dan dua buah guci berwarna putih dengan ukiran biru. Menurut asisten Guruh, tempat itu ada "penunggu"-nya, yakni titisan Nyi Roro Kidul.
Grand piano yang ada di ruang tengah (foto kiri). Konon di tempat ini Dorce sempat kemasukan roh Bung Karno.
"Tolong jangan diambil gambarnya di area ini ya mas," pesan asisten Guruh menasehati kami agar jangan mengambil gambar yang terdapat gebyok. "Karena pernah ada kejadian yang nggak kita inginkan kalo melanggar".
Namun begitu ditanyakan ke Guruh lagi, yang dilarang adalah memfoto atau shooting secara frontal di depan gebyok kayu itu. Karena menurut Guruh, di dalam kaca terdapat benda-benda pusaka peninggalan Soekarno dan bu Fatmawati.
"Cuma saya yang bisa merasakannya," kata Guruh.
Terus terang saya penasaran dengan cerita asisten Guruh soal Nyi Roro Kidul. Bukan bermaksud menantang, saya mencoba mengabadikan tempat itu sebagai kenang-kenangan. Dengan membaca bismillah dan ayat kursi, saya pun difoto dengan background tempat yang dikatakan terdapat pusaka-pusaka peninggalan Soekarno dan Fatmawati. Tetapi maaf saya nggak bisa publikasikan foto saya ini.
Batik-batik koleksi Guruh yang dipajang di dekat ruang makan.
Setelah ruang gebyok kayu, terdapat ruang makan. Kedua ruang ini dipisah oleh sebuah partisi kayu yang masih asli. Di samping ruang makan, terdapat sebuah grand piano. Di atas grand piano ada dua buah piala dan sebuah foto, yakni foto Soekarno dan Fatmawati. Konon pada saat Dorce berada di dekat piano, ia kesurupan. Suara dan kelakuannya ala Soekarno. Ada-ada aja! Pasti pada saat masuk rumah nggak Assala mu'alaikum, ya "penunggu"-nya jelas marah. Apalagi jenis kelamin Dorce nggak jelas.
Di antara ruang makan dan piano, ada ruang khusus memperlihatkan batik-batik nusantara. Ada batik yang masih berupa selendang dan dilipat. Ada batik yang sudah dibuat kemeja.
Mejang dulu bareng Guruh.
Setelah dikasih unjuk ruang-ruang di dalam rumah jalan Sriwijaya ini, barulah kita bisa melihat para penari GSP berlatih menari. Di pojok tempat menari, ada sebuah kotak besar, yakni kotak sumbangan uang dari siapa saja, dimana di depan kotak itu terdapat tulisan DANA GOTONG ROYONG PANCASILA.
"Uang ini akan dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan," kata Guruh.
Tur saya bersama Guruh sampai di ruang tempat menari. Menurut Guruh, mereka sedang latihan buat sebuah pergelaran. Sebenarnya saya ingin sekali menari, tetapi beruntunglah keinginan saya nggak sempat direalisasikan. Sebab, kalo saya menari, formasi yang dibuat oleh koreografer bakal rusak. Kalo rusak, saya bisa-bisa dicubitin oleh semua penari. Ah, masa tahan?!
all photo copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar