Minggu, 17 Januari 2010

MENELUSURI SEJARAH MENGUAK JEJAK MEESTER CORNELIS

Begitulah judul acara yang digelar oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI) pada Minggu, 17 Januari 2010 ini. Judulnya aja sudah "melusuri sejarah", jadi acara ini benar-benar menelusuri jejak sejarah yang kali ini mengenai kawasan Jatinegara lama, Jakarta Timur.

Dalam menelusuri kawasan Jatinegara lama, kami nggak diperkenankan menggunakan kendaraan bermotor, baik motor atau mobil. Begitu pula sepeda yang nggak diizinkan beroperasi buat sementara waktu. Kami kudu menyusuri kawasan Jatinegara ini 100% dengan berjalan kaki. Walking tour kata orang bule. Seru abis!



Kalo ada kolektor nekad, kotak surat yang ada di kantor pos Jatinegara ini bisa diangkut. Pasalnya, kotak suratnya memang jadul banget alias sudah jadi barang antik yang nilainya miliaran rupiah, karena diproduksi tahun 1913 dan asli Belanda.

Kawasan Jatinegara memang identik dengan Meester Cornelis. Pria bule asli Belanda ini pada penjajahan Belanda memegang tampuk pimpinan di wilayah Jatinegara dan sekitarnya. Sejarah kehadiran Cornelis dimulai sejak 1661. Adalah guru agama Kristen asal Pulau Banda bernama Cornelis Senen. Dialah yang membuka kawasan hutan jati di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Jatinegara ini. Jabatannya sebagai guru agama itulah yang membuat Cornelis Senen mendapat tambahan gelar “Meester” di depan namanya. “Meester” sendiri artinya “Tuan Guru”.

Sejak akhir abad 17, Meester Cornelis mulai menguasai tanah di kawasan hutan jati itu. Masyarakat pun menyebutnya dengan kawasan Meester Cornelis. Kawasan hutan jati yang dibuka Meester Cornelis perlahan berkembang jadi kota Batavia. Pada 1924, Mester dijadikan nama kabupaten, yang terbagi dalam empat kawedanan. Kawedanan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang.



Menurut tour guide senior Maria, rumah-rumah yang ada di pinggir jalan sebelum pasar Jatinegara ini ditinggali oleh para centeng (foto kiri atas). Tugas centeng adalah menseleksi siapa yang mau berdagang di pasar. Nah, kalo rumah yang ada ada kaca patrinya ini (foto kiri bawah) konon merupakan tempat tinggal keluarga mafia Tionghoa. Kalo sudah lewat para centeng, para pedagang baru boleh menghadap mafia ini dan kalo sogokannya gede, pedagang bisa berdagang di dalam pasar Jatinegara.

Sedangkan, nama Jatinegara baru mulai digunakan pada awal pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942. Penggantian nama ini nggak lain buat menghilangkan nama-nama yang ada Belanda-Belanda-nya. Pemilihan nama Jatinegara lebih karena kawasan itu adalah hutan jati yang lebat.

Tur diawali di kantor pos Jatinegara yang berada persis di samping Polsek Jatinegara, jalan Matraman Raya No.22. Di kantor pos ini, seluruh peserta tur dikumpulkan dan di-briefing oleh Ketua KHI Asep Kambali. Selain Ketua KHI, pria kurus berkacamata ini juga dikenal sebagai sejarawan dan professional historical guide. Selain Asep, ada pula Alwi Shahab, seorang penulis senior dan budayawan, yang ikutan hadir.

Peserta kemudian dibagi beberapa kelompok, sesuai warna bendera. Ada kelompok merah, ada kelompok biru. Warna bendera ini nggak ada hubungannya dengan partai politik tertentu. Setiap kelompok terdiri dari sekitar 10-15 orang dan mendapatkan seorang tour guide. Hampir 100% tour guide-nya masih muda-muda. Mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi. Ada yang dari Universitas Indonesia (UI) Fakultas Ilmu Budaya jurusan sejarah. Ada yang dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).


Jendela SMPN 14 yang lebar. Angin bisa masuk dengan leluasa. Model jendela besar seperti ini memang salah satu ciri khas bangunan Belanda. Bule-bule Belanda tahu, Indonesia itu panas, makanya kudu dibuat jendela yang lebar biar anginnya banyak masuk.

“Bangunan kantor pos ini masih asli,” kata tour guide kelompok biru yang dipimpin oleh Deni Kurniawan, lulusan UNJ jurusan sejarah. “Ciri khas bangunan yang dibuat zaman Belanda, yakni tembok dan batu-batu alam yang menempel pada dinding”.

Kotak surat yang ada di depan pintu masuk kantor pos ini memang jadul banget alias masih asli. Kalo lihat tahun pembuatan di bagian kanan kotak tersebut, ada angka 1913. Itu artinya dibuat pada tahun 1913. Selain angka 1913, ada tulisan: depenbrock & reiceps ulft. Menurut Alwi, kata “ulft” yang ada di tulisan itu adalah nama kota yang memproduksi kotak surat yang terbuat dari besi baja ini. Sekadar info, Ulft itu adalah kota yang ada di sebelah Timur Belanda.

Dari kantor pos, kami memulai penelusuran jejak sejarah yang sesungguhnya, yakni dengan melewati lapangan Kodam. Lalu berjalan ke arah Selatan menuju sebuah sekolah tua yang ada di kawasan Meester ini. Sekolah yang berada persis di samping Jatinegara Mal ini masih digunakan sebagai lokasi belajar SMP Negeri 14, Jatinegara.

Kalo dilihat dari struktur bangunannya, sekolah yang berada di jalan Matraman ini dibuat pada zaman Belanda. Menurut tour guide-nya, salah satu ciri khas bagunan Belanda adalah ada ruang di bawah bangunan yang digunakan sebagai saluran air. Orang-orang bule Belanda itu sudah punya visi jauh ke depan, bahwa saluran air di rumah rumah itu penting banget. Dengan memperhatikan saluran air, maka pada saat hujan, rumah kita nggak akan tergenang. Pembuangan air jadi lancar ke arah yang benar, yakni ke kali atau sungai.



Tangga penyebrangan menuju Pasar Jatinegara tampak dari dalam pintu masuk SMPN 14 (foto kanan). Ruang kelas yang masih mempergunakan bangku yang terbuat dari kayu. Jadi inget zaman dulu waktu masih sekolah (foto kiri).

Selain saluran air, ciri bangunan Belanda adalah jendela. Mereka sadar, Indonesia bukan Belanda yang punya musim dingin atau bahkan salju. Indonesia cuma punya dua musim: hujan dan panas. Kebanyakan yang muncul adalah musim panas. Oleh karena itu, jendela rumah-rumah Belanda di Indonesia ini gede-gede. Hal tersebut dibuat agar angin bisa banyak masuk ke dalam rumah.

Dari SMPN 14, rombongan berjalan menuju ke stasiun kereta api Jatinegara. Tepatnya ke Dipo lokomotif Jatinegara. Buat menuju ke Dipo, kami melewati pasar burung dan anekahewan yang berada di seberang Pasar Jatinegara. Kira-kira sekitar 100 meter dari ujung pasar yang letakkan masih di jalan raya Matraman, sampailah kami di Dipo.


SMPN 14 satu-satunya sekolah tua bersejarah buatan Belanda.

Struktur bangunan di Dipo masih asli, termasuk alat pemutar lokomotif kereta produksi Delft, Belanda tahun 1913 yang masih dipergunakan sampai sekarang. Aset peninggalan Belanda ini ternyata bermanfaat banget buat PT. KA. Padahal usia alat pemutar ini sudah hampir mencapai seabad. Ya, begitulah kalo buatan Belanda, pasti selalu awet dan tahan lama.




Kami kemudian masuk ke dalam ruang listrik, dimana di situ segala perlistrikan kereta diatur. Meski menggunakan bangunan lama, peralatan listrik buat mengontrol masing-masing kereta sudah menggunakan peralatan modern dan baru. Padahal zaman Belanda, semua kereta belum menggunakan listrik, tetapi batu bara. Nah, kebetulan banget di dalam gedung itu masih ada sebuah gedung bekas menyimpan batu baru. Tempat penyimpanannya di bawah, mirip basement.

“Itulah salah satu alasan mengapa bangunan Belanda ada semacam basement-nya,” kata Maria, seorang tour guide senior yang ikut rombangan kami. “Tapi sekarang tempat bekas taro batu bara ini jadi kolam air, karena tergenang air hujan”.


Ruang bawah tanah yang dahulu dipergunakan sebagai gudang penyimpanan batu bara. Saat ini cuma berisi genangan air. Padahal saya ingin sekali melihat ada apa di bawah dan merasakan seolah saya berada saat zaman Belanda.

Kami lanjut berjalan menuju ke bangunan eks. Kodim. Buat menuju ke tempat ini, kami melewati stasiun kereta api Jatinegara. Menurut Maria, stasiun ini sudah banyak yang direnovasi. Memang sih, strukur bangunannya masih dipertahankan gaya stasiun kereta api zaman Belanda, tetapi kalo diperhatikan banyak item-item yang sudah nggak asli lagi. Lantai stasiun misalnya. Lantai yang sekarang, sudah diganti dengan keramik KW2 yang barangkali belinya di jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, dekat rumah saya.

“Kalo dulu, lantainya setebal kamus,” jelas Maria sambil memperlihakan ukuran ketebalan lantai dengan carinya. “Kalo dipukul sulit pecahnya. Tapi kalo keramik yang ada di stasiun ini, sekali pukul juga sudah pecah”.


Gedung eks Kodim 0505 yang konon katanya mau dijadikan Gedung Kesenian Jakarta Timur. Mari kita tunggu kebenarannya. Asal jangan sampai membongkar gedung tua, eh yang "berdiri" setelah itu adalah apartemen atau mal. Kalo ini terjadi, saya protes!

Ternyata kami nggak bisa masuk ke gedung eks. Kodim 0505 (eks. Landrad). Menurut Asep, KHI nggak dapat izin dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta. Katanya, Kepala Dinas-nya nggak pengen gedung ini diekspos di media. Mereka takut dipertanyakan mengapa gedung ini nggak dipertahankan. Atau kalo memang struktur bangunannya rapuh, kenapa nggak direnovasi aja? Sebenarnya aneh kalo mereka takut. Justru ketakutan ini malah menimbulkan kecurigaan, ya nggak? Jangan-jangan bagunan yang berada di atas tanah yang cukup luas ini akan berubah fungsi menjadi mal atau apartemen. Bukankah biasanya begitu? Ah, entahlah! Menurut Asep, eks. Kodim 0505 ini akan dijadikan gedung kesenian Jakarta Timur. Mari kita tunggu kebenarannya!


Nggak boleh ada orang yang boleh masuk lagi di eks Kodim.

Target selanjutnya adalah ke vihara Amurva Bhumi yang ada di dalam pasar Jatinegara. Buat mencapai vihara, rombongan kudu melawati pasar Jatinegara. Namanya juga pasar, jadi yang dijual pun macam-macam. Bukan cuma sayur-mayur, tetapi saya sempat bertemu dengan pedagang kodok dan pengrajin janur. Kami pun melewati kios-kios pedagang peralatan bagunan dan otomotif mirip kayak di pasar Poncol, Senen, Jakarta Pusat.

Menurut pedagang, sebenarnya buat menuju ke vihara Amurva, nggak usah lewat pasar juga bisa, yakni lewat jalan Matraman (samping gereja GPIB Koinonia). Namun gara-gara sudah terlanjur nyasar, kami terpaksa kudu melewati jalur pasar dan kios-kios tadi.



Vihara Amurva konon berdiri 370 tahun lalu. Ketika kami datang, beberapa orang sedang mengadakan rapat mengenai perayaan Cap Go Meh yang akan dilaksanakan pada 28 Februari mendatang. Rapatnya sangat serius, karena perayaan ini membutuhkan kordinasi dengan instansi terkait dan butuh dana yang nggak kecil. Menurut penjaga vihara, biaya tahun lalu mencapai kurang dari Rp 400 juta.

Cap Go Meh adalah tradisi yang lahir dari perayaan Imlek. Seperti orang Tionghoa di seluruh dunia, orang Tionghoa di Indonesia pun merayakan Imlek buat menyambut tahun baru China. Kalo orang Islam mengadakan Idul Fitri atau orang Kristen merayakan Natal, maka orang Tionghoa merayakan Imlek.




Tahun baru Imlek muncul dari tradisi masyarakat Tiongkok, dimana merupakan tradisi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas panenan dan sekaligus harapan agar musim berikutnya, agar memperoleh hasil panen yang jauh lebih baik.

Imlek selalu dirayakan selama 15 hari berturut-turut. Sebagai hari puncak, yakni hari ke-15 disebut dengan Cap Go Meh. Dalam tradisi Hokkian berarti malam ke-15 yang merupakan puncak perayaan Imlek, dan Cap Go Meh dirayakan secara khusus. Soal detail perayaan Cap Go Meh, saya akan ceritakan kisahnya ya. Kebetulan di vihara, saya sempat berjumpa dengan ketua panitia yang siap memandu saya selama perayaan di bulan Februari nanti.

Perjalanan wisata Jatinegara tua dalam rangka menelusuri jejak Meester Cornelis berakhir di gereja Koinonia. Gereja yang berada di pojok jalan Matraman Raya, Jakarta Timur ini masih mempertahankan keaslian struktur bangunan serta bangku-bangku yang terbuat dari kayu itu.Meski temboknya sudah berkali-kali dicat, namun gaya arsitektur Belanda-nya masih terasa. Nggak heran kalo pada tahun 2005, Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta Aurora Tambunan menganugerahkan gelar sadar pelestarian kebudayaan, karena berhasil memelihara gereja sebagai cagar budaya. Plakat yang terbuat dari seng berwarna emas dengan lambang Pemprov DKI Jakarta itu dipanjang di depan pintu masuk gereja.

Sebelum pamit pulang, saya pamit pada Asep selaku Ketua KHI. Saya bilang, aktivitas ini luar biasa, karena menumbuhkan kecintaan pada sejarah. Sebetulnya bukan baru kali ini saja KHI menyelenggarakan wisata menelusuri jejak sejarah, tetapi sudah dilakukan berkali-kali. Bahkan Asep mengajak saya lagi buat ikutan ke Cirebon pada akhir bulan Januari ini, dimana kali ini bakal menyusuri jejak Wali Songo. Mendapat tawaran itu, spontan saja saya jawab: “Hayo! Siapa takut?!”

KOMUNITAS HISTORIA INDONESIA (KHI)
Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia
Telpon: (021) 3700.2345 | M.0818.0807. 3636
Phone : (021) 3700.2345, Mobile : 0818-0807-3636
E-mail/FB : komunitashistoria@yahoo.com

Mailing list: http://groups.yahoo.com/group/komunitashistoria
Homepage : http://www.komunitashistoria.org

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

2 komentar:

  1. mester cornelis atau jatinegara memang banyak menyimpan kenangan penjajahan Belanda.

    Btw, mohon dibahas dong kenapa Jepang merubah nama daerah tersebut jadi Jatinegara.

    salam
    yasmina souvenir
    "sedia undangan dan souvenir unik"

    BalasHapus
  2. Nanti saya riset knp Jepang merubah nama daerah tsb menjadi Jatinegara ya... sabar ya...hehehe

    Kalo udah ktm, barangkali bisa bikin souvenir soal Jatinegara kali ya Yasmina...hahahaha...

    BalasHapus