“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak main-main dengan RTRW DKI 2010-2030,” ucap Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Kompas, Sabtu, 2 Januari 2010).
Pernyataan Gubernur tersebut buat memerangi dampak climate change alias perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global. Isu yang belakangan lagi hangat-hangatnya dibicarakan banyak orang ini, memang nggak bisa dianggap enteng. Pasalnya, gara-gara polusi udara dan kerusakan lingkungan akan mengakibatkan pemanasan global.
By the way, yang dimaksud dengan RTRW apa sih? Apakah Rukun Tetangga Rukun Warga? Oh, bukan! Kalo dua organisasi dalam kemasyarakatan tersebut sih sudah on the track, berjalan tanpa masalah. Arti RTRW kali ini adalah Rencana Tata Ruang Wilayah.
Seperti kita ketahui, di tahun 2009 lalu, Provinsi DKI Jakarta menggenjot penambahan Ruang Terbuka Hijau (RTH), dimana saat ini RTH di DKI Jakarta mencapai 9,3 persen dari luas wilayah Jakarta. Meski masih sedikit, tetapi usaha buat menambah jumlah RTH terus dilakukan.
Penambahan jumlah RTH tentu bukan cuma menutup beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang di tahun 2009 lalu terdapat 27 SPBU ditutup dan dikembalikan fungsinya sebagai RTH. Tetapi membokar bangunan-bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukan. Dengan begitu, Jakarta yang meski penuh dengan gedung-gedung pencakar langit, tetap hijau.
Sebenarnya, ada satu wilayah yang patut dicontoh, yakni Tebet. Wilayah ini memang menjadi wilayah favorit saya di Jakarta. Kenapa? Sebab, tata rumah di Tebet relatif teratur. Memang ada beberapa wilayah yang antara rumah satu dengan rumah yang lain rapat, seperti di wilayah Tebet Barat, di belakang rumah susun Tebet Barat dan Warmo. Saking padat, wilayah itu terlihat kumuh.
Menurut saya, wilayah Tebet tidak seperti wilayah yang masuk program perkampungan di era Ali Sadikin tahun 1966-1977 yang dikenal dengan proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT) itu, dimana jalannya cuma bisa dilakui kendaraan motor atau sepeda, dan tentu saja pejalan kaki. Memang sih gagasan Gubernur ke-6 kelahiran Sumedang, 7 Juli 1927 yang akrab disapa Bang Ali itu bagus, yakni menampung banyak penduduk di satu wilayah. Namun belakangan, proyek MHT malah jadi pemukiman kumuh, karena terlalu padat penduduk. Lihat saja di Kayumanis, Jakarta Timur atau Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
Beda dengan Tebet. Di wilayah ini, selain rumah-rumah relatif teratur, tidak rapat sebagaimana proyek MHT, juga terdapat jalur hijau. Di jalur hijau ini, warga bisa melakukan berbagai aktivitas, terutama buat anak-anak bermain. Sebelum pindah ke Cempak Putih, anak-anak saya selalu menikmati permainan di jalur hijau, karena biasanya di situ terdapat ayunan, perosotan, atau permainan lain.
Pertigaan di wilayah Tebat. Kalo jalan yang arah sebelah kanan menju ke Warmo dan Casablanca. Sementara yang ke arah kiri ke arah MT Haryono dan Tebet Timur.
Saya perhatikan, jalur hijau itu selalu ada per Rukun Warga (RW). Satu RW, satu jalur hijau. Luar biasa bukan? Sudah punya jalur hijau, Tebet pun masih punya hutan yang lokasinya di Tebet Barat. Nama formalnya Hutan Kota Tebet (HKT).
Saya membayangkan, wilayah-wilayah Jakarta bisa “disulap” seperti di wilayah Tebet –tidak termasuk Kebon Baru dan Lapangan Ros. Rumah-rumah yang sempit, kumuh, dan MTH ditata kembali. Meski di Tebet Utara –jalan mulai dari Dunkin Donnuts sampai Warmo- sudah berubah fungsi menjadi jalur bisnis, namun jalurnya tetap tidak terlihat kumuh. Di tiap RW tetap memiliki jalur hijau sebagai tempat bermain anak-anak. Memang sih kayak mimpi di siang bolong, tetapi bukan tidak mungkin buat dilakukan. Why not?
all photos copyright by Brillianto K. Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar