Perawakannya nggak menampakkan dirinya adalah seorang Sutradara profesional. Gaya bertuturnya pun menurut saya nggak cukup mencerminkan ia termasuk satu dari sekian sutradara non-Amrik yang berhasil menembus Hollywood. Namun ukuran fisik tersebut langsung sirna begitu tahu kalo wanita berdarah Ambon ini berhasil menembus Hollywood. Bukan karena anak konglomerat, tetapi hasil kerja keras.
Nyong Ambon yang membanggakan bagi bangsa Indonesia. Bukan karena anak konglomerat, tetapi semua hasil dari kerja keras, ia mampu menembus Hollywood
Dia bernama Jane Lawalata. Buatnya, menembus "jantung" perfilman dunia yang bernama Hollywood bukan lagi sebuah mimpi. But it's real. Oleh karena itulah pada 6-7 Februari 2010 nanti, ia ingin memberikan pengalaman pada para film maker di Indonesia. Bahwa semua film maker punya kesempatan yang sama buat menembus Hollywood, termasuk orang Indonesia seperti Jane ini. Pengalamannya tersebut akan di-share melalui sebuah workshop berjudul plus kompetisi membuat film berjudul Masuk Hollywood Bukan Mimpi.
Jane adalah lulusan jurusan sinema Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Editor. Kelar dari IKJ, ia bekerja di bagian produksi televisi RCTI dan TransTV. Ternyata bekerja di dua stasiun televisi hiburan terbesar di Indonesia ini nggak membuat dirinya nyaman. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus bergejolak. Ia harus bisa menembus jantung perfilman Hollywood, Amrik.
Berbekal tekad yang kuat serta tabungannya selama nge-job dan uang pemberian keluarga dari penjualan rumahnya, sekitar 25 ribu US$, Jane memberanikan diri merantau ke Amrik. Di sana ia ingin memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai dunia film di New York Film Academy (NYFA). Kalo di IKJ mengambil jurusan editing, maka di NYFA ini ia mengambil jurusan produksi secara menyeluruh.
Di NYFA, ia kuliah selama setahun, dimana biaya kuliahnya sekitar 18 ribu dolar. Tadinya ia berpikir akan nyambi alias mencari pekerjaan sambil kuliah guna mengisi kantongnya. Maklumlah, Jane bukan orang kaya. Kebayang, uang tabungan yang 25 ribu dolar langsung sisa 7000 US$.
"Tapi saya memutuskan buat fokus kuliah," kata Jane. "Ngeri kalo kuliah nyambi sambil kerja jadi keteteran dan nggak fokus."
Kelar setahun kuliah produksi, Jane mengambil workshop mengenai scriprtwritting, dimana tuition-nya kurang lebih 2500 US$. Jane sengaja mengambil scriptwriting, bukan editing atau directing.
"Ngapain juga ngambil jurusan yang sama," aku Jane memberi alasan mengapa mengambil jurusan scriptwriting (penulisan skenario) ketimbang editing atau directing (penyutradaraan). "Menurut saya sebagai Editor sedikit banyak sudah menguasai teknik penyutradaraan, makanya saya memilih jurusan penulisan skenario."
Poster workshop, dimana Jane menjadi keynote speaker. Bahwa menembus Hollywood bukan cuma mimpi. Semua film maker di Indonesia bisa seerti Jane dan punya kesempatan yang sama.
Menurut Jane, skenario sangatlah penting. Sudah jelas, tanpa skenario, nggak akan mungkin film bisa diproduksi. Lebih dari itu, dasar dari semua film yang bagus adalah skenario yang bagus.
"Mau pakai teknologi secanggih apapun, kalo ceritanya nggak kuat, ya sebuah film nggak akan menarik," jelas Jane.
Jane mengakui, belum ada lagi film Indonesia yang ditonton. Padahal saya ingin sekali mendengar contoh film nasional yang ceritanya bagus dan sebenarnya layak menembus Hollywood. Ia cuma berkomentar soal film yang terakhir ditontonya, yakni Denias, Senandung di Atas Awan karya sutradara John de Rantau dan diproduseri oleh Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale.
"Sebenarnya filmnya bagus, namun ceritanya sangat membosankan ya," ucapnya. "Banyak elemen yang belum tergarap, termasuk daerah Irian Jaya yang kurang dieksplorasi, sehingga terlihat sebagai tempelan semata."
Sebelum film Chatterbox, Jane memproduksi film layar lebar berjudul Through The Glass yang luncur Oktober 2008 bareng sineas Amrik. Namun di film ini, Jane tercantum sebagai co-produser dan penyunting. Kalo di Chatterbox, ia menjadi Scriptwriter, Director, dan Editor.
Mejeng bersama Jane dan My Bos.
Film Chatterbox bercerita tentang seorang gadis berusia 13 tahun bernama Chelsea ingin sekali menjadi orang terkenal, sebagaimana kedua saudara kandungnya. Kakaknya Bryan dikenal sebagai seorang pemain bola terpopuler di sekolahnya. Sedang kakak-perempuannya Angel terkenal gara-gara menjadi siswa teladan dan berhasil meraih beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke sekolah tinggi.
Chelsea melihat kesempatan dengan ikut serta via kompetisi, yakni Chatterbox, sebuah kompetisi yang melombakan kecerdasan, kelugasan dan kepedulian yang terbuka bagi seluruh SMU di Amrik.
Cerita ini mengambil latar SMU Gulf Breeze, sebuah kota kecil di negara bagian Florida. Produksinya memakan waktu sekitar setahun buat proses produksi. Film ber-budget 400 ribu US$ ini sendiri sudah diluncurkan bulan Nopember 2008.
Terus terang, ketika menonton film Chatterbox saya kaget bukan main. Saya nggak nyangka kalo pembuat film ini adalah Jane. Orang Indonesia! Bukan karena filmnya menggunakan teknologi canggih atau visual efex yang gila-gilaan sebagaimana film 2012 yang dianggap fenomenal itu. Tetapi saya seperti melihat film High School Musical yang disutradari oleh Kenny Ortega. Kita tahu Kenny Ortega adalah sutradara Hollywood yang cukup berhasil. Saking berhasilnya, Michael Jackson memilihnya sebagai sutradara film This is It. Dan Jane membuat film sebagaimana Kenny. Luar biasa bukan?
"Di sekuel Chatterbox, kisahnya memang mirip dengan High School Musical," aku Jane.
Barangkali ada yang berpendapat, Jane terlalu Hollywood banget. Kurang membawa Indonesia dalam content local di filmnya. Buat saya pribadi, nggak masalah. Saya yakin itu strategi Jane. Dia berjuang dulu agar menjadi Sutradara kepercayaan perusahaan film besar di Hollywood sana. Sampai suatu ketika, kisah-kisah Indonesia akan dibawa dalam kisah di film-filmnya. Dan mimpi menjadi Sutradara Hollywood pun benar-benar bukan mimpi lagi.
Berikut ini thriler film Chatterbox garapan Jane. Selamat menikmati...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar