Rabu, 23 Desember 2009

ANOTHER "ANAK KOLONG"

Selama ini istilah "anak kolong" itu identik dengan anak tentara. Nggak semua "anak kolong" anak tentara. Ada anak kolong yang benar-benar anak yang hidup sehari-hari di kolong, lebih tepatnya di kolong jembatan. Mereka nggak cuma makan dan tidur, tetapi belajar, berak, ngobrol, dan bermain juga dilakukan di kolong jembatan.

Kalo Anda mau lihat, di Jakarta ini banyak anak-anak yang hidup di kolong, karena orangtua mereka memang nggak punya rumah. Boro-boro beli bahan baku buat bangun rumah, buat beli tanah aja nggak mampu.




Mereka memang serba salah. Tapi kalo mau jujur ya seharusnya mereka juga sadar, hidup di kota besar kayak Jakarta ini kudu tahan banting. Kalo nggak menggusur, ya kegusur. Mereka yang nggak punya duit, udah pasti kegusur. Bagi yang nggak punya duit, kudu cukup sadar diri dan tinggal di kolong-kolong jembatan kayak anak-anak yang saya temui beberapa hari lalu.

Saya bersyukur bisa punya teman baru lagi, yakni anak-anak kolong jembatan, tepatnya di jembatan layang Kampung Melayu. Mereka adalah another anak kolong yang ternyata nggak semuanya badung dan kriminal. Ini setelah saya ngobrol dari hati ke hati dengan mereka. Dari cara bicara dan tingkah laku pun bisa terlihat, kok. Bahkan luar biasanya, satu dari anak-anak kolong ini selalu juara kelas, mengalahkan anak orang mampu.



Tampak dalam (foto atas) dan tampak luar (foto bawah). Sebelum ditutup, di kolong jembatan ini ada pasar yang sudah ada beberapa tahun. Pasar ini gusuran dari samping Kelurahan Pasar Bukit Duri, Manggarai. Setelah ditutup, pasar tetap ada tetapi nggak dikolong, melainkan di pinggir jalan raya Casablanca. Sementara beberapa keluarga tetap tinggal di kolong dengan kondisi gelap gulita. Itu kondisi pada siang hari (foto atas), bagaimana malam hari ya? Sudah pasti tidur sama tikus dan ular.

Meski dengan keterbatasan fasilitas, anak-anak ini tetap ceria. Dengan baju kumal, wajah kusam, masih ada tawa di antara mereka. Padahal mereka nggak tahu kalo ada banyak anak kecil seusia mereka sudah mendapatkan Blackbarry dari orangtua, dimana harga Blackbarry mereka sama dengan setengah tahun pendapatan orangtua anak-anak kolong ini. Padahal anak-anak kolong ini pun nggak pernah tahu kalo ada anak-anak yang saat ini sedang menikmati liburan di sebuah kapal pesiar dan keliling Eropa. Sementara anak-anak kolong ini cukup menikmati sebuah ayunan yang terbuat dari karet ban bekas yang digantung di batang pohon atau petak umpet.



Bolongangan itu bukan jendela (foto atas), tetapi tembok yang dibolongin buat udara dan sinar masuk. Padahal udara yang masuk itu berasal dari sungai kotor Kampung Melayu dan asap kendaraan yang berasal dari terminal. Meski begitu, ada tanah sedikit buat anak-anak main ayunan.

Kalo kita berada di situ, pasti rasa syukur kita pada apa yang kita miliki sekarang ini muncul. Kita nggak terlalu ngotot mengejar harta atau tahta dengan cara salah. Kita pasti akan melakukan cara yang biasa, namun tetap yakin Allah akan melihat aktivitas kita dan memberi yang terbaik. Sayang, kita nggak terlalu nafsu buat berkunjung ke orang-orang kayak begini. Coba kalo Anda turun ke kolong jembatan dan melihat bagaimana mereka hidup, pasti kita akan ucap: Alhamdulillah ya Allah!


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar