Jumat, 11 Desember 2009

DANA NEGARA KAYA BUAT NEGARA MISKIN

Sejak Senin (7/12) lalu, Konferensi Perubahan Iklim PBB dibuka. Konferensi yang berlangsung di Kopenhagen, Denmark sampai tanggal 18 Desember 2009 ini diikuti oleh 192 negara. Meski diikuti oleh banyak negara, yang paling jadi point of view justru negara-negara miskin dan berkembang, kayak China, India, dan tentu saja Indonesia.

Bagi negara kaya raya nan jaya di udara (Uni Eropa), negara-negara miskin dan berkembang merupakan aset yang berharga buat menyelamatkan bumi. Masalahnya, negara kaya sudah nggak banyak hutan, sementara negara miskin dan berkembang masih punya hutan. Tahu dong kalo hutan itu kini dijadikan paru-paru dunia?

Oleh karena menjadi paru-paru dunia, maka negara kayak China, India, dan Indonesia dielus-elus agar tetap menjaga hutan. Bayangkan kalo hutan habis, maka dunia nggak punya paru-paru lagi. Akibatnya, umat manusia di dunia inipun akan mengembuskan nafas mereka. Nah, mumpung belum telat –meskipun sebenarnya sudah telat-, Konfrensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark ini menjadi pertemuan terpenting dalam membahas perubahan iklim. Presiden Pertemuan Para Pihak ke-15 (COP-15) Konfrensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC) Connie Hedegaard bahkan mengagendakan upaya pendanaan dari pemerintah dan perusahaan swasta dari negara-negara kaya buat disumbangkan ke negara-negara miskin dan berkembang itu tadi.



Kenapa perlu dana? Begini, pada saat Konferensi Perubahan Iklim PBB dua tahun lalu (2007) di Bali, negara-negara maju berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Seperti kita ketahui GRK ini menjadi penyebab perubahan iklim sehingga bumi menjadi semakin panas. Kalo bumi panas, es mencair. Kalo es mencair, maka akan terjadi beberapa bencana, salah satunya naiknya level air laut. Kalo air laut naik, maka pulau bisa tenggelam.

Nyatanya, komitmen negara-negara maju meleset. Mereka malah mendesak negara-negara miskin yang emisinya besar (maksudnya polusinya sudah gila-gilaan), kayak China, India, dan juga Indonesia berkomitmen lebih besar. Apalagi negara-negara berkembang seringkali merusak hutan yang tadi sudah saya katakan sebagai paru-paru dunia.

Sebagaimana ditulis Kompas (Selasa, 8 Desember 2009), pekan lalu Denmark mengeluarkan Danish Proposal yang berisi usulan agar negara berkembang turut menurunkan emisi. Namun kelompok negara berkembang G-77 (baca: 77 negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia) dan China menolak usulan itu.

“Jejak sejarah emisi adalah industri negara maju. Mereka yang wajib menurunkan,” kata Ketua Pokja Pasca-Kyoto 2012 Delegasi Indonesia Tri Tharyat.



Statement Tri Tharyat diperjelas lagi oleh Kim Carstensen dari Global Climate Initiative WWF. Menurutnya, soal agenda upaya pendanaan dari pemerintah dan perusahaan swasta dari negara-negara kaya buat disumbangkan ke negara-negara miskin dan berkembang merupakan persoalan lain. Yang terpenting masing-masing pihak mampu menurunkan ego.

“Jangan hanya bicara uang (materi negoisasi) dan amandemen. Namun, bicaralah tentang kehidupan kita, orang-orang di tempat lain, anak-anak, dan cucu-cucu kita.”

Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB tahun 2009 ini, Indonesia membawa tiga agenda penting. Agenda pertama, yakni target penurunan emisi rata-rata 40% oleh negara-negara maju sesuai Bali Action Plan. Lalu mendorong disepakatinya implementasi mekanisme reducing emission from deforestation and degradation. Agenda terakhir, memasukkan isu kelautan menjadi isu sentral dalam perubahan iklim sebagaimana tertuang dalam Manado Ocean Decleration.

“Salah satu strategi Indonesia adalah pro-aktif dengan menurunkan emisi 26% pada tahun 2020 dari business as usual,” papar Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Rachmat Witoelar (lihat Kompas, Selasa, 8 Desember 2009, hal 14).



Sebagai negara berkembang, Indonesia memang serba salah. Kenapa? Sebab, negara kita yang kaya raya ini masih bergelut dengan masalah korupsi. Orang miskin ingin menjadi kaya, jalan supercepat via korupsi. Orang kaya ingin semakin kaya lagi, jalan yang paling nikmat tapi penuh dosa ya korupsi. Hutan atau tanah-tanah kosong yang seharusnya bisa menjadi daerah resapan air atau ruang terbuka hijau, dialihfungsikan menjadi mal, pertokoan. Itu akibat kongkalikong mereka yang tadi ingin kaya secara instan, tetapi mengorbankan lingkungan.

Baiklah kalo negara-negara kaya ingin mendanai negara-negara miskin, kayak Indonesia ini, namun korupsi masih menjadi budaya kita, maka komitmen menurunkan emisi nggak bakal tercapai. Dana dicuri oleh si penerima dana, sementara pembabatan hutan tetap terjadi dan pemerintah nggak melakukan tindakan, apa gunanya komitmen? It’s only lips service! Barangkali satu hal yang bisa kita lakukan adalah melakukan buat diri kita, keluarga kita, dan akhirnya lingkungan kita. Bagaimana caranya? Green thinking!

Berpikir bagaimana menekan emisi dengan cara nggak selalu menggunakan kendaraan bermotor. Kalo pergi ke suatu tempat yang jaraknya dekat, ya jalan kaki aja. Kalo rada jauhan dikit, naik sepeda. Kalo jauh, pilihannya bisa menggunakan kendaraan umum. Kendaraan bermotor adalah pilihan terakhir.


Terlalu banyak mobil juga merupakan bagian dari pencemaran udara. Selama kita masih berhutang dengan Jepang, selama itu pula penjualan mobil nggak akan pernah dibatasi. Coba berhutang sama negara yang cuma produksi sepeda, pasti yang banyak bukan mobil, tetapi sepeda...

Berpikir menyediakan sedikit lahan di rumah buat menanam pohon. Meski ukuran rumah kita mungil, bukan berarti nggak bisa “menghijaukan” rumah kita. Banyak cara agar rumah kita tetap green.

Last but not least, pergunakan barang-barang yang bisa didaur ulang. Sebaiknya bekerja peperless alias nggak menggunakan kertas terlalu banyak. Ingat! Dengan menggunakan kertas, maka kita membutuhkan pohon-pohon yang ditumbangkan di hutan. Mengerikan bukan?

all photos copyright by Brillianto K. Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar