Sabtu, 05 Desember 2009

HAJATAN DI KAMPUNG OGUT

Ketika menuliskan kisah ini, sayup-sayup masih terdengar alunan musik dangdut yang mengiringi seorang penyanyi dari kamar saya. Entah apa judul lagu dan penciptanya, karena saya nggak terlalu mengikuti lagu dangdut. Bahasa kasarnya, (maaf) I HATE DANGDUT! Namun satu hal yang pasti, lagu yang terdengar sampai ke kuping saya itu, berasal dari tetangga yang sedang menggelar hajatan bernama kawinan.

Sebenarnya antara rumah saya dengan si pemilik hajatan cukup jauh, kira-kira 400 meter. Tetapi loadspeaker yang dipasang di kanan dan kiri panggung dan segede-gede gajah itu kebetulan mengarah ke rumah saya. Saya nggak bisa membayangkan, bagaimana nasib tetangga yang kebetulan dekat dengan rumah yang menggelar hajatan. Boleh jadi sampai detik ini nggak akan bisa tidur. Yaiyalah! Baru mau merem aja, mata akan bergoyang-goyang sesuai irama dangdut yang dimainkan oleh para pemusik di atas panggung.


Undangan dari Robi. Nama saya salah. Sejak kapan nama saya berubah menjadi FABRYANTO? Ia ketolong banget dengan ada tulisan "mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan nama/ gelar". Kalo nggak ada kalimat itu. kelar deh! Saya nggak akan datang ke hajatan ini.

Saya juga nggak bisa membayangkan kalo ada tetangga dekat situ ada yang sakit gigi. Saya nggak yakin sakit giginya akan cepat sembuh mendengar irama dangdut. Saya juga nggak yakin hidupnya akan aman tenteram dengan kebisingan itu. Syukur-syukur masih bisa sabar, coba kalo bunuh diri, loncat dari salah satu mal kayak para pendahulu-pendahulunya yang loncat dari pusat perbelanjaan. Tapi katanya Meggy Z mending sakit gigi daripada sakit hati ya?

Begitulah kondisi di kampung saya kalo sedang ada acara, terutama hajatan. Sebuah tenda akan menutup jalan. Sehingga mereka yang sudah biasa melewati akses tersebut, terpaksa harus berputar. Selain tenda, sebuah panggung berukuran 3X3 meter juga turut andil menutup akses jalan.

Terus terang saya nggak tahu, apakah si pemilik hajat sudah melaporkan pada pihak RT, RW, maupun Kelurahan? Saya juga nggak begitu yakin, keluarga pengantin akan melaporkan kemeriahan di kampung saya ini ke polisi setempat, minimal ke Kapolsek. Padahal logikanya, ketika ada dangdutan, pasti menimbulkan suara berisik. Bukan cuma berisik di RT yang mengadakan hajatan, tetapi RT tetangga. Mending semua tetangga suka dangdut. Kalo ada yang suka rock n’ roll gimana dong? Kalo ada yang suka jazz gimana juga?

Selain itu soal izin RT atau RW, yang saya tahu, setiap ada keramaian, dibutuhkan surat izin keramaian. Izin ini diberikan oleh Kapolsek setempat dan diketahui sampai ke Polda. Tapi sekali lagi saya nggak yakin, izin-izin itu nggak dilakukan. Si pemilik hajat cukup sounding ke tetangga. Inilah bentuk toleransi yang terjadi di kampung. Seluruh warga sudah TST alias tahu sama tahu. Kalo ada salah seorang warga yang buat hajatan dan ada dangdutannya, ya si tetangga kudu maklumi, karena barangkali someday tetangga itu yang bikin hajatan dan membuat berisik seluruh kampung.


Robi (kiri) dan Babenya: Bang Mangne (kanan). Baru bisa married setelah tanah keluarga terjual. Maklumlah, Robi cuma bekerja sebagai kuli bangunan yang proyeknya serba nggak jelas. Sementara Bang Mangne cuma pensiunan hansip yang nggak ada uang pensiunnya. Hidup The Mangne Family cuma dari dua kontrakan di samping rumah mereka.

Baiklah kalo semua tetangga sudah bertoleransi, sekarang mari kita bicara soal keluarga dan si penggantinnya. Keluarga yang menggadakan hajatan di kampung saya ini biasa dikenal dengan panggilan Bang Mangne. Dahulu beliau adalah hansip kampung dan juga guru pencak silat saya. Meski badannya kecil, tetapi ia termasuk salah seorang jagoan kampung.

Hajatan yang dibuat Bang Mangne ini buat anak bontotnya yang bernama Ampusara. Namanya keren banget ya? Entah apa arti nama tersebut dan mengapa nama orang Betwai terdengar “aneh” begitu. Satu hal yang pasti, di kampung saya, Ampusara ini lebih ngetop dengan panggilan Robi.

Sesungguhnya Robi sudah lama ingin married. Tetapi kondisi keuangan keluarga Bang Mangne yang nggak bersahabat. Tahu sendiri, hansip kan nggak punya uang pensiun. Begitu pula dengan menjadi guru silat. Perguruan silat yang dipimpinnya tentu nggak memberikan uang pensiun. Satu-satunya sumber uang adalah mengkontrakkan sepetak tanah pada seorang Madura dan sebuah kamar kosong buat pasangan suami-istri asal pulau Jawa.

Tentu duit dari hasil kontrakkan nggak cukup buat menikahkan Robi. Walhasil, Bang Mangne beberapa bulan lalu menjual sebidang tanah berukuran 40 meter persegi, yang sebelumnya sempat ditawarkan kepada saya. Terus terang saya sempat tertarik. Maklum, tanah yang dijual itu masih berada di wilayah Cempaka Putih Barat, bo. Harganya pun relatif murah, yakni 900 ribu/ meter. Tetapi setelah saya timbang-timbang, harga segitu sama aja dengan risiko yang akan saya dapat, yakni nggak bisa masuk akses mobil dan berhimpitan dengan tetangga di samping kiri-kanan.

Dari hasil jual tanah itulah Bang Mangne akhirnya bisa mengawinkan Robi. Sebagai pemuda lulusan STM Pembangunan yang kerjaannya sebagai kuli bangunan partimer, Robi bersyukur Babenya bisa mengawinkannya dengan dara bernama Eni Nuraeni. Anehnya, meski dalam hajatan ini menyewa orkes dangdut yang sudah main dari siang tadi sampai sekarang, Robi nggak menyewa jasa photografer.

Barangkali photografer buat Robi dan keluarganya nggak begitu penting kali ya? Mereka lebih mementingkan dangdutan yang barangkali harganya jauh lebih mahal daripada meng-hire jasa photografer. Lucu! Aneh! Hajatan yang boleh jadi sekali seumur hidup nggak diabadikan dengan foto atau video. Semakin lucu, ketika saya bersama istri datang ke situ, Bang Mangne meminta saya mengabadikan momentum resepsi dan dangdutan itu. Ini gara-gara saya bawa camera pocket digital dan iseng-iseng mengabadikan suasana hajatan di kampung yang belum tentu saya diundang lagi.

“Sekalian di-video-in ya, Mas,” pinta istri Bang Mangne, seraya memanfaatkan kebaikan hati saya. Apa boleh buat...

“Baiklah!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar