Nggak ada nama yang formal dari bus ini. Anda bisa menyebutnya sebagai bus kuning, bus UI, maupun bus kampus. Nggak ada yang melarang atau menangkap Anda kalo Anda salah sebut.
Dinamakan bus kuning, karena warnanya kuning. Buat orang yang buta warna, barangkali penyebutan warna buat bus ini bakal problem. Warna kuning merupakan simbol warna kampus pemilik bus ini, yakni Universitas Indonesia (UI). Entahlah mengapa UI mengambil warna kuning sebagai warna almamaternya. Padahal zaman Orde Baru (Orba), kuning identik dengan organisasi partai politik Golongan Karya (Golkar) yang dahulu banyak dikecam. Tapi dalam kisah ini saya nggak mau ngomongin soal warna kuning.
Nggak banyak kampus yang punya bus kampus. Meski kampusnya sangat luas, dimana buat jalan antar fakultas jauh, belum sebuah kampus punya bus. UI termasuk kampus yang luar biasa, mengajak mahasiswa menggunakan transportasi umum. Bahkan sekarang ini UI menyediakan sepeda bagi para mahasiswa.
Penamaan bus UI, ya lebih karena bus ini dimiliki oleh UI, bukan kampus di luar UI. Begitu pula bus kampus. Nama bus kampus barangkali lebih umum, yakni mengacu bus buat anak-anak kampus. Lho, memangnya mahasiswa-mahasiswa non-UI bisa naik bus ini? BISA! Waktu zaman saya masih berstatus mahasiswa, banyak kok mahasiswa kampus lain yang nebeng naik bus ini. Wong, Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) mereka nggak diperiksa, kok. Nggak ada Kondekturnya, bo!
Dahulu, ketika belum banyak mobil pribadi masuk ke kampus, bus kuning ini banyak peminatnya. Terus terang pada saat sekarang, dimana banyak anak-anak kaya berkampus di UI ini dan menggunakan mobil pribadi, saya nggak tahu apakah sama penuhnya kayak dahulu kala.
Dahulu lagi, setiap jenis bus, trayeknya beda-beda. Ya, kayak Metromini atau Kopaja gitu, deh, dimana nomor-nomor yang ada di depan mobil, menandakan trayek yang akan dilalaui. Misal, Kopaja 68 jurusan Kampung Melayu-Pasar Minggu. Mini bus ini pasti akan melawati jalur Tebet Barat, MT. Haryono, Pancoran, Samali, dan Pasar Minggu. Kopaja 68 nggak akan melewati Mampang Perapatan atau Warung Buncit. Kalo mau lewat dua jalan itu, Anda kudu naik Metromini nomor 75 jurusan Blok M-Pasar Minggu.
Bus kuning yang mirip dengan Kopaja atau Metromini, dahulu biasanya nggak lewat jalur Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), tetapi lurus ke arah Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Politeknik, baru melewati Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya). Kalo bus yang besar –kayak bus AKAP (Antarkota Antarpropinsi)-, baru belok ke Fakultas Psikologi, Fisip, Sastra, dan Politeknik. Namun kadang-kadang, trayek bus ini bisa berubah. Entahlah, suka-sukanya sopirnya aja. Yang pasti, semua bus berawal dari halte bus UI yang ada di depan pintu masuk UI, dan gratis!
Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri sowan ke pangkalan bus UI di dekat Rektorat. Saya sempat ngobrol dengan bus-bus kuning, meski mereka semua nggak ada yang bisa jawab dan nggak bisa cerita. Padahal saya ingin sekali berjumpa bus yang pernah membawa saya menuju halte kampus. Maklum, kangen, bo. Ah, daripada nggak ada yang bisa mengaku, saya memberanikan diri memilih satu di antara bus kuning di situ yang kira-kira menurut saya masih tercium aroma keringat saya sewaktu masih mahasiswa dahulu kala.
“Alhamdulillah, dari dulu saya sudah merasakan naik-turun bus,” kata saya dalam hati sambil duduk di kursi belakang bus. “Kalo enggak barangkali seumur hidup saya akan tergantung oleh mobil atau motor. Dan saya nggak akan pernah menikmati naik kendaraan umum atau naik sepeda.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar